Taufan tiba dengan nafas putus-putus, tangannya bertumpu pada kedua lutut. Saat nafasnya sudah mulai beraturan, dia menarik kerah baju Halilintar, dan berteriak, "Kenapa dibiarin pergi?!"

"Ada yang salah."

Taufan mengerutkan alis, "Apanya yang salah?!"

Menurut Taufan, semuanya sudah sesuai rencana, dan setelah semua hal yang mereka lakukan beberapa hari ini, Halilintar malah membiarkan orang itu pergi begitu saja, menghilangkan kesempatan emas yang seharusnya mereka dapatkan. Taufan tidak bisa menerima hal itu. Namun, Halilintar hanya diam seperti orang bingung, bahkan saat Taufan bertanya untuk kedua kalinya.

"Coba telepon Solar atau Gempa sekarang!"

Halilintar baru merespon setelah Taufan berkata seperti itu. Lalu Taufan merintih saat telapak tangan Halilintar menyentuh tangannya. Itu adalah sengatan kedua yang pernah dia rasakan. Di tengah kebingungannya, Halilintar mengeluarkan ponsel. Tak lama kemudian anak itu malah lari kembali ke arah sebaliknya, tak peduli Taufan memanggilnya berulang kali.

Taufan ikut berlari di belakang Halilintar, meskipun tak bisa mengimbangi kecepatan larinya. Untunglah dia sempat melihat Halilintar masuk ke gedung dua. Namun, saat ingin memasuki gedung dua, tangannya yang akan meraih gagang pintu lebih dulu ditarik oleh seseorang.

Dua orang petugas keamanan berdiri di depannya dengan wajah garang. Kedua orang itu juga menariknya menjauh dari gedung dua.

"Tunggu, Pak. Ada teman saya di gedung dua," ucap Taufan sembari berusaha melepaskan diri. Sayangnya, tenaganya sudah terkuras habis saat berlari-lari tadi.

"Jangan banyak alasan. Tadi saya lihat kamu malah lari kesana kemari, bukannya pulang. Kamu nggak dengar pengumuman tadi pagi?"

"Tapi teman saya masih di dalam, Pak!"

Mereka tak mendengarkan apapun alasan darinya, sampai akhirnya sayup-sayup mereka mendengar suara Solar yang meneriakkan nama Gempa, dan saat itu juga Taufan melihat tubuh Gempa meluncur bagai daun yang gugur diterpa angin.


.

E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta

Bab 15: Pil Pahit

TW: Death character

.


"Gitu ceritanya, Pak." ucap Taufan kemudian. Kaizo yang duduk di sampingnya hanya diam tanpa suara, tidak sekalipun dia menyela sampai Taufan selesai bercerita.

"Kenapa kalian mengajak Gempa?"

"Nggak ada yang ngajak Gempa, dia sendiri yang mau ikut. Awalnya Solar nggak setuju, tapi besoknya dia malah ngebiarin gitu aja. Harusnya kita nanya ke Solar, Pak. Dia juga yang ada di atap bareng Gempa."

"Percuma."

"Percuma gimana maksudnya?"

Namun Kaizo tak menjawab, dia malah meninggalkan Taufan dalam keadaan bingung. Taufan tak mengerti, bagaimana Kaizo bisa menyimpulkan bahwa mendengar penjelasan Solar adalah hal yang sia-sia, sementara Solar adalah orang yang paling tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dibanding menyusul Kaizo yang menemui Halilintar, Taufan memutuskan menemui Solar di IGD, mungkin saja Solar sudah siuman, dan dia akan bertanya sendiri apa yang terjadi sebenarnya, agar semua ini menjadi jelas. Namun, begitu sampai, dia tidak menemukan Solar di tempat itu.

"Pasien atas nama Solar sudah dipindahkan oleh keluarganya ke bangsal VIP," kata seorang perawat yang Taufan tanyai. Taufan mengernyit, seingatnya dia belum menghubungi keluarga Solar. Apa mungkin Kaizo yang melakukannya?

Dan begitu sampai di bangsal VIP, Taufan tak bisa masuk sama sekali. Bangsal VIP Rumah Sakit Silika membutuhkan akses khusus lewat pemindai kartu. Melalui pintu kaca yang membedakan bangsal VIP dan bangsal biasa, Taufan hanya bisa melihat koridor yang tampak kosong.

Taufan berniat menceritakan apa yang dialaminya pada Kaizo. Dia mengira, mungkin saja Kaizo memiliki kartu akses, tetapi saat dia mengira Kaizo yang menemani Halilintar di ruang tunggu, ternyata Taufan hanya menemukan Halilintar seorang diri di sana, sedang duduk sambil menyembunyikan wajah di antara kedua lutut. Taufan tak berani menanyakan keberadaan Kaizo padanya, atau barangkali dia hanya takut salah bicara.

Setelah keluarga Halilintar datang, Taufan beranjak pergi dari sana. Wajah-wajah sedih mereka membuatnya tak nyaman. Setidaknya, taman rumah sakit masih lebih baik, meskipun sedikit ramai oleh keluarga pasien maupun dokter dan perawat yang sejenak melepas lelah, tetapi guru walinya tidak juga terlihat di sana.

Taufan memilih berkeliling mencari tempat yang lebih sepi. Seperti halnya Halilintar, dia juga butuh ruang untuk mencerna semua yang terjadi hari ini. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam kepalanya bahwa apa yang mereka lakukan akan berujung petaka. Sedikit banyak dia menyesali keputusannya sendiri. Pikirannya mulai mengawang, seandainya dia mengikuti keputusan Ying dan Yaya, mungkin sekarang dia tengah bersantai di rumah dan terhindar dari masalah. Namun, semua sudah terjadi, mau tak mau Taufan harus ikut terseret juga. Apalagi dia sendiri yang menemukan Solar di atap dan melihat bagaimana berantakannya tempat itu.

Kakinya melangkah menuju sisi lain taman rumah sakit, ada sebuah bangku panjang tak jauh dari pohon besar, terlihat ada siluet seseorang yang sedang duduk di sana. Semakin dekat, Taufan merasa semakin mengenali suara dari sosok yang duduk memunggunginya. Orang itu mengenakan jaket berwarna biru tua, seperti milik Kaizo, tidak salah lagi. Namun, langkah kakinya berhenti sejenak saat Taufan mendengar namanya disebut-sebut oleh guru walinya.

Tanpa sepengetahuan Kaizo, Taufan berjalan mengendap-endap mendekatinya. Setidaknya Taufan cukup diuntungkan dengan keberadaan pohon besar itu, tubuhnya bisa bersembunyi dengan sempurna.

"Om tau sendiri, mereka nggak suka orang luar mengorek-ngorek rencananya," ucap Kaizo pada seseorang di balik sambungan telepon.

Taufan mengernyit. Tunggu dulu, siapa yang mengorek siapa? Mereka berempat hanya mencari tahu tentang penulis sticky note. Namun, bagaimana bisa mereka mengorek informasi, kalau petunjuk yang mereka punya justru sedikit sekali, bahkan mereka tak tahu apa rencana para penulis sticky note itu.

"Nggak. terlalu rapi. Saya nggak heran lagi kalau besok semuanya sudah bersih."

Taufan mengernyit lagi. Apa maksudnya? Kaizo sedang membicarakan para penulis sticky note kan?

"Cuma bertiga, semua anak perempuan pulang, dan kondisi Gempa masih kritis, saya nggak berharap banyak." Ada jeda cukup lama. Taufan berusaha mendengar isi pembicaraan si penelepon di seberang sana, tetapi dia tak bisa. "Dia yang paling terguncang. Solar sudah ada di tempat ini, dia nggak bisa diharapkan. Taufan yang menemukan, tapi saya rasa dia nggak tau apa-apa."

Taufan mengepalkan tangannya. Satu kata yang sangat dia benci, tetapi disisi lain tidak bisa disangkal.

Semakin didengarkan, pembicaraannya semakin sulit dimengerti, dan hanya sedikit yang bisa Taufan tangkap. Namun, yang jadi tanda tanya besar, siapa mereka yang Kaizo maksud?

~o0o~

Halilintar duduk sendiri di ruang tunggu. Dia tidak lagi menangis, hanya duduk diam sembari ibu jarinya mengubik darah yang hampir kering di telapak tangan, kadang jari-jemarinya berpindah menarik-narik rambutnya, seolah-olah dengan begitu, semua pikiran buruk yang ada di kepalanya bisa ikut tertarik. Mulutnya tak berhenti merapalkan doa, dan wajahnya kadang-kadang disembunyikan di antara kedua lutut. Kadang sesekali matanya menatap kosong ke arah tembok, seolah tembok itu lebih menarik dari apapun.

Pikirannya bergelut dengan berbagai macam hal. Adiknya akan baik-baik saja, setelah ini mereka akan pulang dan beristirahat di rumah, pikir Halilintar. Dia ulang-ulang pernyataan itu dalam hatinya. Berharap dengan begitu akan membuatnya menjadi nyata.

Halilintar menoleh saat mendengar namanya diucap. Kedua orang tuanya sudah berdiri tak jauh darinya. Halilintar ikut berdiri, matanya menatap kosong ke arah mereka. Mama terkejut melihat seragam sekolah dan jaket yang dikenakan Halilintar tampak kotor, dari bagian dada hingga ke bawah terdapat banyak bercak merah gelap dan berbau amis.

"Kakak kenapa? Ada yang sakit?" tanya Mama langsung sembari memeriksa tubuhnya, memastikan tak ada luka di sana.

Halilintar menggeleng. Kedua tangan Mama segera menangkup wajah Halilintar, menelusuri wajahnya, tak lupa menghapus noda kemerahan yang menempel di sana.

"Gempa mana?" Mendengar itu, Halilintar membuang muka ke sisi lain. "Dimana, Kak?"

"Di dalam," ucapnya dengan suara parau.

"Sebenarnya Gempa kenapa?"

Halilintar menunduk, menatap mata kedua orang tuanya saja dia tak sanggup. Pikirannya kembali berkecamuk. Haruskah dia katakan yang sebenarnya?

Belum sempat Halilintar bersuara, dua orang dokter menghampiri mereka di ruang tunggu.

"Benar dengan keluarga dari saudara Gempa?" tanya seorang dokter yang tampak lebih tua.

Dokter itu menghela nafas berat, sementara dokter lain yang lebih muda hanya diam sembari menunduk dalam. Air muka keduanya keruh saat menatap keluarga pasien, tetapi yang lebih keruh adalah wajah kedua orang tua Gempa saat mendengar penuturan dua petugas kesehatan itu.

Menurut diagnosa mereka, Gempa mengalami fraktur basis kranii atau patah pada tulang dasar tengkorak, saat ini kesadarannya semakin menurun, tetapi mereka pun tidak bisa melakukan tindakan intubasi karena ada kecurigaan Gempa juga mengalami patah tulang leher. Selagi Gempa dipindahkan ke ruangan intensif, mereka semua diminta bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Penjelasan itu bagai petir disiang bolong, menyambar dan, meluluhlantakkan harapan mereka. Mama tak kuasa menahan tangisnya langsung menggenggam erat kedua tangan dokter itu. Minta pertolongan bagaimanapun caranya.

Namun, si dokter utama kembali menghela nafas, dan berkata, "Kami semua sudah berusaha. Menyelamatkan nyawa seseorang memang tugas kami, tapi bukan kami yang menentukan hidup matinya."

Setelah mengatakan itu, mereka pamit undur diri, membiarkan IGD dipenuhi dengan tangis. Hingga pada pukul tiga pagi, hasil EKG Gempa adalah asistol, yang berarti tanda mutlak kematian. Gempa benar-benar pergi pagi itu.

Namun demi alasan penyidikan, jenazah Gempa belum bisa dibawa pulang ke rumah duka. Kabarnya pihak kepolisian ingin melakukan visum. Mereka beranggapan tindakan visum sudah cukup untuk mencari tahu penyebab kematiannya, ditambah Mama enggan menyetujui tindakan otopsi setelah diberitahu dokter bagaimana otopsi dilakukan.

"Ibu tahu? Saat otopsi, dokter akan membuat sayatan besar di tubuhnya, organ-organ dalamnya akan dikeluarkan, kalau perlu tulang-tulangnya akan dipatahkan. Kalau saya orang tuanya Gempa, saya pasti nggak mau jenazah anak yang saya rawat sepenuh hati diperlakukan seperti itu," ucap dokter itu saat menemani Mama yang duduk sendirian di ruang tunggu. Di tengah pikirannya yang kacau, pada akhirnya Mama setuju pendapat dokter itu dan membatalkan keinginannya untuk mengajukan tindakan otopsi.

Sembari menunggu hasilnya, rumah keluarga Halilintar kedatangan dua detektif dari kepolisian. Mereka memeriksa seisi kamar Gempa, setiap sudutnya dijelajahi, setiap hal disibak, selain itu mereka juga bertanya banyak hal tentangnya.

Terakhir, mereka ingin memeriksa laptop dan menanyakan keberadaan ponsel milik Gempa. Sayangnya, baik kedua orang tuanya maupun Halilintar tak mengetahui keberadaan ponsel itu. Terakhir kali Halilintar menghubunginya, ponsel itu sudah dalam keadaan mati.

Mendengar itu, kedua detektif itu tak bertanya lagi. Usai melakukan penyelidikan singkat itu, mereka semua berkumpul di ruang tamu. Saling duduk berhadapan.

"Bukan kecelakaan?" tanya Papa usai mendengar penjelasan singkat para polisi itu.

"Melihat pagar pembatas di atap gedung dua yang terlalu pendek dari ukuran biasanya, kami curiga ada dua kemungkinan. Pertama, kejadian ini bisa jadi merupakan tindakan bunuh diri, karena pagar pembatas sangat mungkin untuk dipanjat. Kedua, kejadian ini merupakan murni kecelakaan yang tidak disengaja. Tapi, setelah melihat barang-barang di atap yang berantakan, kemungkinan besar itu adalah bekas perkelahian, lalu kami semakin yakin setelah melihat kondisi Solar. Jadi kami menduga ini bukan tindakan bunuh diri maupun kecelakaan."

"Jadi maksudnya anak kami dibunuh?" tanya Papa memastikan. Petugas itu tak menjawab secara langsung, tetapi diamnya bisa diartikan sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Ada yang membunuhnya, tetapi kenapa?

"Kalian sudah menanyai Solar?" serobot Mama tak sabar. Dia sempat mendengar dari Halilintar bahwa Gempa ada di atap bersama Solar.

Salah satu dari detektif itu menggeleng. "Belum. Sampai sekarang Solar masih belum sadar."

"Bagaimana dengan CCTV gedung itu?"

"Kalau saja kami bisa, kami pasti sudah memeriksanya. Tapi semua CCTV di gedung itu rusak."

Papa mengerutkan alisnya. "Rusak? Satu gedung rusak? Gimana bisa?"

"Pihak sekolah bilang, mereka memang sedang melakukan perbaikan besar-besaran. Karena itu, Halilintar. Kami mendapat informasi kalau hari itu semua kegiatan di luar jam pelajaran dihentikan sementara. Jadi, apa yang kamu lakukan di sekolah dari jam pulang sampai pukul 17.49?"

Halilintar sejak tadi hanya diam mendengarkan. Begitu namanya disebut, air mukanya berubah tegang, tanpa sadar dia menegakkan punggungnya. Salah satu tangan Mama beranjak menggenggam kedua tangan Halilintar yang sejak tadi bergerak gelisah di atas kedua lutut. Begitu pandangan mereka bertemu, Mama mengangguk.

"Cari para pengganggu kami," ucapnya sembari mengalihkan pandangan dari Mama.

"Kami?"

"Saya, Gempa, Taufan, dan Solar. Kami berempat."

"Bisa diperjelas."

Pelan-pelan, Halilintar menjelaskan semuanya secara singkat, tentang awal mula mereka merencanakan, sampai saat mereka melakukan pencarian itu. Dua detektif itu mengangguk-angguk kecil, meskipun penjelasan dari Halilintar agak melompat-lompat. Ketika Halilintar menyebutkan tentang keberadaan penulis sticky note, kedua detektif itu mulai tampak tertarik. Posisi duduk mereka semakin condong ke depan.

"Salah satu tulisannya bilang, akhirnya dia bisa menemukan saya. Tapi, ada yang aneh. Yang mereka tulis bukan nama saya, tapi MG2-072."

"Kamu tau apa artinya?"

Halilintar menggeleng. "Itu yang mau saya cari tau."

"Kalian berdua tau artinya?" tanya salah satu detektif pada kedua orang tua Halilintar.

Sejak Halilintar menyebutkan MG2-072, detektif itu menangkap perubahan raut wajah orang tua Halilintar. Namun ketika ditanya, keduanya mengelak.

Kedua detektif itu saling melempar tatapan sebelum memutuskan untuk mengakhiri penyelidikan hari ini. Mereka berkata akan datang kembali jika sudah menemukan informasi baru.

Sepeninggal dua detektif itu, Halilintar kembali ke kamarnya. Dia sempat menangkap ada keributan dari kedua orang tuanya di lantai bawah, tetapi dia tidak begitu mendengarkan. Rasanya tubuhnya tidak bersemangat melakukan apa-apa. Seolah bukan cuma tenaganya yang hilang, tetapi ada hal lain yang ikut hilang. Begitu melihat komik koleksi miliknya, tiba-tiba hatinya terasa sakit.

~o0o~

Esoknya, pihak keluarga dikabari bahwa jenazah Gempa sudah bisa dimakamkan. Pihak keluarga akan dikabari lagi jika hasil visum sudah keluar.

Tadinya pemakaman Gempa hanya akan dihadiri keluarga dan tetangga dekat saja. Namun, entah dapat informasi dari mana, beberapa murid perwakilan kelas A, juga wali kelas dan kepala sekolah SMA Budi Asih datang satu per satu, bahkan pihak sekolah mengantarkan karangan bunga ke rumah Gempa. Khusus kepala sekolah SMA Budi Asih, dia datang lebih awal dari guru wali kelas A. Wanita itu memakai setelan serba gelap dengan pewarna bibir merah bata untuk menunjukkan rasa belasungkawa.

"Saya Ayuyu, kepala sekolah di SMA Budi Asih," ucapnya saat pertama kali tiba di rumah duka. Tak lama kemudian Ayuyu memeluk Mama sembari berkata, "Saya turut berduka. Gempa anak yang sangat baik, saya merasa sangat kehilangan."

Pelukan itu membuat pertahanannya runtuh, Mama kembali menangis. Tak mudah menahan tangis dalam situasi seperti ini, untungnya usapan dari tangan Ayuyu bisa sedikit menenangkannya.

"Terima kasih. Tolong maafkan kesalahannya," ucap Mama dengan suara parau.

"Tentu."

Tak lama kemudian Papa datang menghampiri mereka berdua. Wajahnya lebih tegar dari Mama, meskipun matanya masih tampak sembab. Rahangnya tampak mengeras begitu bertatapan langsung dengan Ayuyu, ada amarah yang sedang coba dia tahan.

"Ibu punya waktu sebentar? Nanti ada yang mau kami bicarakan."

"Oh, tentu."

Usai berkata begitu, Papa pergi menemui pelayat lain. Saat pemakaman berlangsung pun Papa terlihat enggan berada di dekat Ayuyu. Dia selalu menjaga jarak dengan berada di samping Halilintar, kadang berada di sekitar kakak, adik dan sepupu-sepupunya yang menyempatkan datang dari daerah lain.

Langit tampak muram ketika pemakaman Gempa berlangsung, tak lama kemudian rintik-rintik kecil membasahi para pengantar saat tiba di tempat pemakaman. Yang basah bukan hanya pakaian para pelayat dan tanah di sekitar, melainkan juga belasan pasang mata yang tadinya sok jagoan menahan tangis, tetapi pada akhirnya menangis juga, meskipun mereka diam-diam bersyukur dengan adanya hujan rintik-rintik. Karena dengan begitu, air mata mereka tersamarkan.

Ada tubuh yang terkubur, ada pula cerita yang muncul.

Ini seperti pertunjukkan drama panggung yang telah usai, tirai sudah beranjak turun, tetapi tidak menutup panggung seutuhnya. Ada celah kecil yang membuat penonton masih bisa mengintip apa yang ada di balik tirai, tetapi jarak pandang mereka sangat terbatas. Sama seperti penyebab kematian Gempa.

Semua orang membicarakan bagaimana Gempa meregang nyawa, tetapi mereka hanya tahu bahwa dia meninggal karena jatuh dari atap gedung dua. Kenapa Gempa bisa ada di sana dan bagaimana semua itu bisa terjadi? Tidak ada yang tahu. Informasi yang beredar pun simpang siur, tergantung siapa yang menambahkan, atau mengurangi cerita. Karena cerita lengkapnya hanya Solar dan Tuhan yang tahu.

Saat ada seseorang yang meninggal, ramainya rumah akan melebihi waktu seseorang lahir. Keluarga yang tinggal di belahan bumi lain pun akan menyempatkan datang. Obrolan akan berkembang di sana sini, melebar sampai kepada hal-hal yang pernah terlupakan. Karena hal itu, hampir tidak ada sudut kosong di rumah itu, sementara orang tua Gempa dan Halilintar membutuhkan ruang kosong untuk memperlebar jarak pandang mereka terhadap penyebab kematian salah satu putranya.

Mungkin tetangga dekat yang tidak ikut mengantar Gempa ke peristirahatan terakhirnya hanyalah Hangkasa. Itu karena saat dikabari, Hangkasa mengeluh sakit pinggangnya kambuh. Orang tua Halilintar tak bisa memaksa kakek itu ikut mengantar, mereka paham bahwa meski Hangkasa sering bertingkah ajaib layaknya anak muda, bagaimanapun juga dia sebenarnya sudah berusia senja. Sama seperti nenek Gempa yang juga tak bisa datang untuk mengantar cucunya karena terkendala usia dan jarak. Karena itu mereka tak enak saat ingin meminjam rumahnya, takut mengganggu istirahat kakek itu. Pada akhirnya orang tua Halilintar meminjam halaman belakang rumah Gaharum.

Sebetulnya halaman belakang rumah itu terasa nyaman. Nuansa hijau segar berasal tanaman-tanaman hias yang tumbuh dalam pot-pot besar, juga ada gazebo kecil yang dibangun tepat di atas kolam ikan mas. Namun, suasana yang terbangun antara ketiga orang itu sangat membuat tidak nyaman. Mungkin jika tanaman-tanaman milik Gaharum mempunyai kaki, satu persatu dari mereka akan lari ke luar rumah.

"Saya mau meminta pertanggung jawaban Ibu," ucap Papa langsung ke intinya, tanpa menghiraukan Ayuyu yang masih menikmati teh pemberian Gaharum.

"Pertanggung jawaban?"

"Bukannya harusnya sekolah menjadi tempat yang aman buat semua orang?"

"Apa indikator dari rasa aman itu sendiri?" tanya Ayuyu sembari meletakkan cangkir tehnya dengan tenang. "Nilai akademik? Kebanyakan nilai akademik siswa kami berada di atas rata-rata yang ditetapkan. Kami memang punya lingkungan belajar yang kompetitif, tapi bukan berarti yang lemah akan ditinggalkan. Bukankah itu aman bagi semua orang? Atau maksudnya sistem keamanan? Kami punya sistem keamanan yang bagus bagi—"

"Hebat," potong Papa Halilintar, lalu dia mendengus, ucapan Ayuyu menggelikan baginya. "Punya sistem keamanan yang bagus, tapi waktu ada kejadian kayak gini, tiba-tiba CCTV satu gedung mati. Satu gedung! Sekalian saja satu sekolah! Memangnya Ibu pikir itu masuk akal?"

"Saya belum selesai berbicara."

"Solar," ucap Mama spontan. Suaranya menghentikan sejenak perdebatan Papa dan Ayuyu. "Saya dengar siswa yang bersama anak saya sore itu adalah anak tunggal pendiri yayasan. Kalian mau lindungi Solar?" Sejak mendengar bahwa Solar adalah satu-satunya orang yang bersama Gempa saat kejadian itu, Mama tak bisa berhenti berpikir, apa jangan-jangan Solat yang melakukan hal buruk pada Gempa? Apalagi kemarin diam-diam Mama mencoba berkunjung ke rumah sakit, sampai di sana Mama tak bisa menemuinya, dan yang paling tidak bisa Mama percayai adalah beberapa perawat mengatakan, Solar masih belum sadarkan diri sampai sekarang. Padahal sudah hampir tiga hari dari kejadian itu. Bukankah itu aneh?

"Saya bukan cuma sedang melindungi Solar. Saya sedang melindungi semua siswa."

"Caranya? Kalian saja gagal mencegah hal ini terjadi."

"Gagal? Kalian tahu, saya sudah mencegah hal-hal yang tidak diinginkan sebisa saya. Alat-alat penunjang keamanan di sekolah memang sedang dalam perbaikan berkala, termasuk CCTV gedung dua. Karena itu saya mengambil keputusan untuk meliburkan berbagai kegiatan di luar jam sekolah pada hari kejadian. Saya juga berkoordinasi dengan bagian kesiswaan untuk membuat pengumuman dengan pengeras suara agar semua anak mendapatkan informasi yang sama.

"Bagaimana kalau Bapak dan Ibu tanyakan sendiri pada Halilintar, kenapa dia tidak mengikuti arahan? Seharusnya, jika mereka mendengarkan pengumuman itu, mereka akan pulang ke rumah. Kalau mereka tetap curi-curi melakukan kegiatan di sekolah, itu sudah di luar kuasa saya. Yang jelas, saya sudah berusaha mencegah hal-hal buruk itu terjadi."

Orang tua Halilintar terdiam. Sekali lagi, Papa mengeraskan rahangnya sembari mengepalkan tangan. Dia ingin melempar semua kesalahan pada Ayuyu, tetapi dia tahu antara pernyataan pihak sekolah dan Halilintar memiliki kesamaan. Yakni kedua putranya sendirilah yang melanggar aturan. Lalu sebenarnya siapa yang harus dimintai pertanggung jawaban?

"Saya mengerti, kalian membutuhkan seseorang untuk disalahkan atas kejadian ini, tapi kalian juga tidak bisa menyalahkan kami sepenuhnya. Dalam situasi seperti ini, kita tidak boleh larut dalam emosi. Lebih baik kita fokus pada anak-anak. Ibu dan Bapak tenang saja, kami akan terus mengawal kasus ini. Saya bersedia membantu jika dibutuhkan."

"Itu memang kewajiban kalian. Tapi maaf, kami tidak bisa mempercayakan anak kami bersekolah di SMA Budi Asih lagi. Besok berkas kepindahannya akan kami urus. Terima kasih atas sistem keamanan yang sangat baik ini. Ibu boleh pergi," ucap Papa dengan nada final.

Wajah khawatirnya berganti ekspresi datar. Ayuyu mengembuskan nafas perlahan. "Baiklah, saya minta maaf. Permisi." Meskipun berkata begitu, wajahnya tidak menunjukkan penyesalan.

~o0o~

Setelah pemakaman Gempa dilakukan, Halilintar lebih banyak mengurung diri di kamar daripada melangkahkan kakinya ke sekolah. Apalagi lagi beberapa kali dia mendapati Mama tidur di kamar Gempa, memeluk pakaiannya yang belum sempat dicuci. Melihat hal itu, ada rasa bersalah yang terus tumbuh, semakin tinggi, lalu mengurungnya diam-diam, membuatnya tenggelam perlahan-lahan.

Sebelum ini, Halilintar belum pernah merasakan dampak berarti dari kematian orang terdekat. Baginya, kematian rasanya amat jauh. Beberapa kerabatnya mengatakan, Halilintar terlalu cuek dan tak berperasaan. Sebetulnya, Halilintar bukan tak berperasaan, dia hanya tak bisa merasakan ikatan emosional dengan mereka.

Karena itu kematian beberapa kerabat dekatnya tak begitu berdampak bagi Halilintar. Mereka tinggal di tempat yang jauh dan hanya bertemu muka setahun sekali saat liburan Hari Raya, bagaimana Halilintar bisa merasa kehilangan?

Begitu pula kematian kakeknya saat dia masih kanak-kanak. Halilintar bukanlah cucu kesayangan kakeknya. Jadi ketika kakeknya meninggal dunia, dia hanya menangis sebentar karena melihat Mama menangis, tetapi setelah itu Halilintar tak bisa menangis lagi, tidak seperti Gempa yang terus menangis sambil memanggil-manggil kakek. Mereka tak begitu dekat, justru Halilintar merasa kakeknya sedikit kurang menyukai keberadaannya. Jadi kalau begitu bagaimana ikatan emosional di antara mereka bisa terbentuk?

Namun kali ini berbeda. Halilintar dan Gempa tumbuh bersama. Banyak waktu yang mereka lewati dan banyak pula kenangan yang terbentuk. Karena itu, kematiannya terasa begitu dekat, begitu menampar, dan yang lebih buruk, rasanya begitu menyakitkan.

Mungkin seharusnya dia yang berada di posisi Gempa saat itu, pikir Halilintar. Mengingat suatu ketika dirinya pernah diambang kematian, dan boleh jadi, dialah penyebab Gempa harus meregang nyawa. Halilintar kembali mengutuk dirinya sendiri atas apa yang terjadi. Dan Halilintar akan mengerti jika nanti sikap orang tuanya agak berbeda setelah ini.

Pintu kamarnya diketuk pelan. Jelas itu bukan berasal dari orang tuanya. Pagi-pagi sekali mereka sudah sibuk dengan berkas-berkas penting. Mereka bersikeras ingin mengurus berkas kepindahannya. Katanya, mungkin Halilintar akan butuh suasana baru. Mendengar itu, Halilintar tak mau ambil pusing. Mungkin memang benar, dia butuh suasana baru, jadi dia menurut saja.

Tak lama, kepala Hangkasa menyembul dari balik pintu, membuat lamunan Halilintar buyar. "Ikut yuk, Atok mau tunjukin sesuatu."

"Nanti kalau encoknya kambuh gimana?"

"Halah. Atok yang encok, kok kamu yang repot."

Halilintar menghela nafas berat, rupanya dia mengkhawatirkan orang yang salah.

Pada akhirnya mereka berdua keluar kompleks perumahan, berjalan kaki menyusuri trotoar. Setiap kali Halilintar bertanya kemana mereka akan pergi, Hangkasa hanya tersenyum saja. Kemudian mereka berhenti di sebuah warung pinggir jalan setelah Hangkasa merasa kakinya tak sanggup lagi melangkah.

"Duduk sini." Hangkasa menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.

Setelah Halilintar duduk, Hangkasa tak bicara apa-apa lagi. Mereka berdua duduk di sebuah kursi panjang milik pedagang kaki lima yang menghadap langsung ke jalan. Mobil dan motor berlalu lalang dari kedua arah, melaju kencang dikejar kesibukan, saling bersaing untuk menjadi yang terdepan. Di seberang jalan, sekelompok orang tertawa-tawa di sebuah warung ayam bakar yang asapnya harum sampai ke seberang, di sebelahnya lagi ada warung nasi Padang yang ramai menjelang waktu makan siang.

Diam-diam Halilintar menikmati suasana itu. Suara berisik kendaraan bermotor, suara obrolan orang-orang di sekitarnya, hal-hal kecil itu membuatnya bisa sedikit melupakan apa yang terjadi beberapa hari kebelakang.

"Udah berapa banyak mobil dan motor yang lewat?" tanya Hangkasa tiba-tiba.

Halilintar mengangkat bahu. Dia tak menghitungnya, hanya memperhatikan mereka berlalu begitu saja. Ada yang sangat santai seperti angkutan umum yang beberapa kali melintas, ada juga yang tergesa-gesa menyalip satu sama lain seperti satu mobil polisi yang baru saja melintas, sirenenya seolah sedang berteriak-teriak agar pengendara lain minggir.

"Banyak, kan?" tanya Hangkasa lagi, dan hanya dibalas anggukan. "Orang-orang tetap dikejar kesibukan, kendaraan tetap jalan sampai ke tujuan. Lihat warung ayam bakar itu? Atau warung nasi Padang itu? Yang punya warung tetap jualan dan pengunjungnya tetap santai makan-makan. Itulah kehidupan, Hali. Ia tetap berjalan meskipun dunia kamu rasanya hancur berantakan."

Satu tangan Hangkasa mengelus-elus kepala Halilintar. Anak ini sudah dia anggap seperti cucunya sendiri, mau tak mau dia akan ikut pusing memikirkan masalah yang dihadapi anak ini. "Atok bilang begini bukan berarti kamu nggak boleh sedih. Apa yang berlebihan itu nggak baik. Makan berlebihan, minum berlebihan, senang berlebihan, termasuk sedih berlebihan."

"Tapi Tok, semua ini gara-gara aku."

"Udah takdir, Hali. Mau dicegah gimana pun kalau takdirnya begitu, kita bisa apa?"

"Atok nggak paham."

"Punya umur panjang itu bikin Atok sering lihat kematian orang. Makanya Atok paham, kehilangan orang yang disayangi itu nggak pernah mudah. Kamu ngerasain banyak penyesalan, kan?" Halilintar mengangguk pelan. "Coba aja kalau waktu itu begini, coba kalau begitu. Pemikiran kayak gitu cuma bikin kamu jadi jalan di tempat. Padahal kamu harus terus jalan kedepan, nggak boleh terus-terusan lihat kebelakang."

Halilintar bergeming. Ucapan Hangkasa tepat sasaran. Beberapa hari ini kata 'seandainya' berputar-putar dalam angannya. Seandainya dia melarang Gempa ikut rencananya dengan anak-anak kelas E hari itu, apa mungkin semua ini tak akan terjadi?

"Hadapi aja. Kalau senangnya hidup bisa kamu telan, sedihnya harus bisa kamu telan juga. Hidup bukan perkara senang-senang aja."

Hangkasa benar. Semua sudah terjadi, Halilintar hanya perlu menghadapinya.

Melihat Halilintar sudah merasa lebih baik, Hangkasa kembali mengacak-acak kepala Halilintar. Lalu dia beranjak dari duduknya dan berkata, "Yuk, pulang. Tadi Gaharum bilang dia masak banyak makanan kesukaan kamu, soalnya dia dengar kamu belum makan dari kemarin."

Halilintar meringis. Gaharum suka memasak banyak makanan, karena tidak bisa menghabiskan makanan itu sendirian, dia selalu membagikannya pada para tetangga. Namun, begitu tahu Halilintar beberapa hari ini tak bernafsu makan, dia pasti akan memasak makanan lebih banyak dari biasanya, dan itu harus dihabiskan, atau dia akan merajuk sampai beberapa hari kedepan.

Mereka kembali berjalan kaki ke rumah, saat jarak mereka dengan rumah Halilintar semakin dekat, dari kejauhan mereka melihat Gaharum berdebat dengan empat orang pria, dua orang di antara mereka mengenakan seragam kepolisian. Di samping Gaharum dan empat pria itu terdapat dua unit mobil polisi yang sirenenya masih menyala. Beberapa tetangga mulai bermunculan, ada yang tiba-tiba menyapu halaman rumahnya yang sudah bersih, ada juga yang tiba-tiba menjemur pakaian, tujuannya sama, mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Rupanya kedua mobil itu berhenti tepat di depan rumah Halilintar dan mereka langsung berjalan mendekat saat melihat kedatangan Halilintar, mereka tak mau berhenti bahkan ketika Gaharum mencoba menghalangi mereka.

"Saudara Halilintar, mari ikut kami. Saudara kami tahan atas dugaan pembunuhan di SMA Budi Asih. Tolong borgol dia," ucap salah satu pria itu kepada dua orang petugas kepolisian berseragam lengkap.

Kedua mata Halilintar terbelalak. Apa maksudnya ini? "Apa? Aku nggak …,"

Gaharum langsung menarik tangan Halilintar. Dia sembunyikan anak itu di belakang punggungnya. "Sudah saya bilang, kita bicarakan lagi saat orang tuanya ada di rumah."

"Orang tuanya bisa datang ke kantor kami. Sekarang biarkan kami menjalankan tugas."

"Aku nggak bunuh Gempa, Kek, Tok!"

"Kami tau, Nak," ucap Gaharum tanpa menoleh ke belakang.

Salah satu petugas polisi itu menyerahkan sebuah surat ke hadapan Gaharum. Bukti bahwa tindakan mereka memiliki dasar yang jelas. Sementara itu petugas polisi lainnya memborgol kedua tangan Halilintar dan memaksanya masuk ke dalam mobil.

"Kamu tenang aja, kami bakal menyusul bareng orang tuamu. Kita ketemu lagi di sana," ucap Hangkasa dari luar saat mobil itu perlahan-lahan pergi.

Andai saja Hangkasa dan Gaharum tahu.

.

.

.

Tbc


Halo, SkyLi di sini.

Lama juga nggak nulis haha. Itu karena pertengahan bulan Agustus kemarin HP aku hilang diambil orang. Aku biasa nulis di HP dan laptop, tapi biasanya aku nulis di HP biar bisa sambil rebahan. Sebenarnya chapter 15 ini aman, karena aku nulisnya di google dokumen yang tersinkron ke google drive. Yang jadi masalah adalah printilan plot yang udah aku siapin buat chapter-chapter ke depan ada yang nggak tersinkron di google drive dan sekarang hilang T^T

Selain itu bukan cuma hp yang hilang, jadi ada banyak hal yang harus diurus ulang. Makanya aku sempat kehilangan mood nulis sehabis kejadian itu.

Oh iya, buat ma bestie Dee Carmine, makasih banyak udah bikinin fanart Kaizo. Kaget banget jam 10 malam disuruh buka IG cuma buat liat gambar si Abang haha. Berhubung ffn nggak bisa ngelampirin gambar, jadi buat yang mau liat, silahkan mampir ke IG yang bersangkutan, atau liat di akun WP aku, aku lampirin gambarnya di sana.

Dan juga buat ma bestie Murasaki Dokugi, makasih banyak udah selalu sabar dan bersedia ngejawab pertanyaan aneh-aneh dari si Aku ini haha :D

Akhir kata, makasih banyak udah meluangkan waktu buat baca cerita ini. Kalau ada kritik dan saran, bisa dikirimkan ke kolom review.

Sampai nanti,
SkyLi