Part 25 Hari-Hari Tenang

Gedung Putih, Washington D.C, Amerika Serikat.

Presiden Amerika George Dirrel melakukan pertemuan dengan petinggi militernya. Pokok pembahasannya adalah Al Jisr yang berada di Gaza, Palestina. Selama empat bulan pemerintah Amerika dan NATO mendesak Daulah Islam untuk membiarkan Amerika dan sekutunya mengirim pasukan. Nyatanya permintaan mereka tidak ditanggapi secara positif.

"Jadi kalian ingin bilang kalau usaha kita selama empat bulan ini tidak ada hasilnya?" Ujar Dirrel kepada para petinggi militernya.

"Sayangnya begitu pak Presiden, kami telah melakukan upaya negosiasi berupa penawaran profit dagang sampai ancaman embargo, bahkan dengan mengatasnamakan PBB. Tapi nampaknya orang-orang Ottoman itu sama sekali tidak khawatir dengan ancaman yang kami berikan." Ujar salah satu jenderal.

"Ini karena negara mereka sejak awal tidak menggantungkan perekonomian mereka pada perekonomian global. Di sisi lain mereka sendiri juga sudah memiliki sumber daya yang mereka butuhkan sehingga ancaman dari kita pun tidak akan berdampak banyak." Kali ini menteri pertahanan yang berbicara.

"Bagaimana dengan mata-mata yang kalian kirim ke Gaza? Setidaknya aku ingin informasi tentang apa yang ada di balik The Bridge dan apa yang orang-orang Ottoman itu lakukan di sana."

Para petinggi pun saling menatap satu sama lain dengan wajah yang terlihat khawatir. Mereka saling mengangguk seolah memahami isi pikiran masing-masing sebelum akhirnya salah satu jenderal yang lain menjawab pertanyaan presiden.

"Mereka semua ditangkap dan dipulangkan semua pak presiden. Pemerintah Ottoman memastikan bahwa mereka yang dikirim sebagai mata-mata tidak akan diperkenankan lagi untuk memasuki wilayah Ottoman."

Nampaknya orang-orang eropa dan Amerika lebih suka menyebut daulah Islam sebagai Ottoman, mengingat daulah yang saat ini ada merupakan penerus langsung dari dinasti Utsmani.

"Saya rasa, nampaknya tidak ada lagi yang bisa kita lakukan terhadap The Bridge selain hanya melihat saja dari jauh pak Presiden." Ucap jenderal itu melanjutkan laporan mata-matanya.

Presiden Dirrel pun menghela napas panjang. Di dalam pikirannya masih ada satu pilihan terakhir. Tapi pilihan ini merupakan pilihan agresif yang akan menimbulkan risiko konflik yang mungkin saja dapat berkembang menjadi konflik global antara NATO dengan daulah Islam.

"Kita hanya punya satu pilihan lagi yang bisa kita lakukan sebagai usaha terakhir kita. Aku yakin di balik The Bridge akan ada banyak sumber daya yang dapat diakses oleh orang-orang Ottoman dan membuat kita tertinggal lebih jauh lagi dari mereka. Jika kita memang tidak dapat mengaksesnya, orang-orang Ottoman juga tidak boleh mengaksesnya."

Presiden Dirrel pun terdiam sejenak. Seluruh ruangan itu menunggu presiden melanjutkan kata-katanya, membuat ruangan itu hening seolah seluruh penghuninya sedang menanhan napas. Namun, mereka tahu makna di balik kata-kata presiden Dirrel bahkan sebelum presiden melanjutkan kata-katanya.

"Perintahkan salah satu kapal selam kita dan perintahkan untuk mengambil posisi menyusup ke perairan samudera Hindia."

"Tapi, pak presiden, pengamanan angkatan laut Ottoman di sana sangat ketat. Kapal tempurnya bagaikan benteng mengapung dengan radar dan sonar yang dapat menjangkau puluhan atau bahkan ratusan mil. Kita mungkin akan kehilangan salah satu kapal selam kita di sana." Protes jenderal tertinggi angkatan laut yang ada di ruangan itu.

"Aku tidak keberatan kita kehilangan satu atau bahkan sepuluh kapal selam sekalipun asalkan orang-orang Ottoman itu kehilangan akses dari The Bridge. Perintahkan mereka untuk melucuti seluruh atribut yang terkait dengan Amerika. Jangan sampai orang-orang Ottoman itu mengetahui kalau ini adalah perbuatan kita."

Jenderal tertinggi angkatan laut yang ada di ruangan itu pun dengan berat hati mengangguk, lalu berdiri meraih telpon yang ada di ruangan itu dan menekan nomer telpon pimpinan angkatan laut yang ada di pangkalan Hawai.

"Hubungi kapal selam kita USS Virginia dan perintahkan untuk mengambil posisi di samudera Hindia."

###

5 Juni 2029

Memasuki bulan Juni, bulan ke ketiga di Edela semenjak pasukan Ghazi memasuki Al Jisr. Orang-orang dari daulah Islamiyah memang tidak setengah-setengah dalam melakukan pembangunan di wilayah yang mereka dapatkan di Edela. Dalam waktu satu bulan pertama, mereka berhasil membangun benteng besar yang disebut benteng Andalusia dan membangun kota kecil di bagian baratnya 2 minggu selanjutnya.

Setelah penaklukan kota Eklaire, para petinggi militer mulai memikirkan jalur suplai untuk pasukan Ghazi. Mengantarkan seluruh pasokan suplai ke para Ghazi yang ada di Edela yang jumlahnya ratusan ribu yang dilewatkan di Al Jisr sangat tidak efektif dan menimbulkan efek bottle neck. Akhirnya mereka setuju untuk membangun pabrik-pabrik kecil dan industri di kota Andalusia yang baru dibangun dan di dekat kota Eklaire yang memproduksi amunisi dan kebutuhan suplai para Ghazi. Makanan pun rencananya sebagian nanti juga akan didapatkan dengan membeli makanan dari penduduk lokal yang ada.

Industri untuk kebutuhan suplai pun akhirnya berhasil dibangun dalam waktu kurang dari satu bulan. Orang-orang yang dipekerjakan tentunya adalah orang-orang lokal dari wilayah bekas kerajaan Scotia, khususnya mereka yang tidak memiliki atau kehilangan pekerjaan dan juga para budak yang baru saja dibebaskan agar mereka dapat memiliki penghasilan sendiri untuk kehidupan mereka. Untuk membuat suku cadang kendaraan, senjata, dan yang lain, daulah Islamiyah juga menyewa para pandai besi lokal untuk membantu pengerjaannya. Para petani diberikan pupuk untuk membantu pengerjaan lahan mereka yang nantinya sebagian hasilnya akan dibeli untuk kebutuhan suplai makanan pasukan Ghazi.

Pasokan suplai pun akhirnya tidak menjadi masalah lagi. Kebutuhan suplai yang harus dikirim melalui Al Jisr tidak banyak, hanya kebutuhan tertentu yang masih belum bisa diproduksi di Edela. Kota Eklaire juga memiliki penerangan listrik untuk pertama kalinya sebulan setelah dikuasai oleh para Ghazi yang sumbernya berasal dari reaktor fusi dingin ditambah dengan pembangkit tenaga angin dan matahari. Lampu-lampu yang menyala di jalanan kota membuat penduduk kota sempat terkejut dan mengiranya sebagai sihir sebelum akhirnya dijelaskan oleh perwakilan dari daulah Islamiyah di kota yang ditugaskan khalifah untuk sementara memimpin kota tersebut.

Di sebelah utara benteng Andalusia, terdapat pelabuhan yang baru saja selesai dibangun sebulan setelah penaklukan kota Eklaire. Pelabuhan ini bernama Darul Bahri dan hanya berjarak sekitar 20 Km dari benteng Andalusia yang selanjutnya menjadi pusat galangan kapal. Di dalamnya terdapat 5 Galangan kapal yang selesai dibangun. 1 diantaranya merupakan galangan kapal besar, sedangkan 4 yang lainnya berukuran sedang. Sebulan setelah dibangun, pelabuhan ini berhasil menyusun 2 kapal Penjelajah dan 4 kapal perusak yang bagiannya diantarkan melalui Al Jisr dan disusun di 4 Galangan kapal berukuran sedang.

Sebuah kapal perusak kadangkala dapat di bawah dalam keadaan utuh dengan SPMT atau dibagi menjadi sedikit bagian dan hanya membutuhkan waktu 2 hari dalam penyusunannya, sedangkan kapal penjelajah membutuhkan waktu seminggu. Tentunya pengerjaan sesingkat itu dilakukan 24 jam non stop dan dilakukan secara bergilir oleh para pekerja yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan. Saat ini galangan kapal yang berukuran sedang itu sedang membangun kapal-kapal perusak atau penjelajah lainnya. Bahkan ada satu kapal tempur yang juga sedang dalam proses penyusunan dan kemungkinan membutuhkan waktu 1 bulan lebih atau bahkan 2 bulan mengingat kapal itu juga akan dipasang modifikasi di lambungnya.

Di bulan ke ketiga, divisi infantri Afrika ke 9 pun bergabung dengan pasukan korps Edela yang akhirnya menambah jumlah personil tentara yang beroperasi di Edela sebanyak 15 ribu orang dan kemungkinan akan ditambah lagi dengan divisi infantri ke 7 dan ke 12. Memang sebelumnya pasukan divisi Afrika sibuk mengurus dan membendung wabah yang muncul dari Afrika tengah. Setelah wabah yang dimaksud mereda, divisi Afrika pun akhirnya mampu membagi pasukannya untuk sebagian dikirim ke Edela.

Pasukan Ghazi dari Afrika yang sebagian besar berkulit hitam tentunya menarik perhatian para penduduk lokal yang memandang dengan takjub bercampur heran. Nampaknya orang-orang dari Edela, lebih tepatnya dari kerajaan Scotia belum pernah melihat orang berkulit hitam di tempat mereka. Hal ini membuktikan bahwa salah satu slogan daulah yang menyatukan orang-orang dari berbagai ras dan suku bangsa bukanlah omong kosong belaka.

###

Selama seminggu berada di kota Anteinde yang sekarang dikuasai oleh pasukan Ghazi, Cecilia tidak hanya diam di ruangan kamarnya. Memang Cecilia sementara ini tinggal di penginapan yang sama dengan Ahmed atas permintaannya sendiri. Ruangannya pun juga tidak jauh dari kamar Ahmed. Biasanya di siang hari Cecilia akan berkeliling kota sendirian atau bersama Sylvania dan Ahmed.

Sebenarnya Cecilia tidak terlalu tahu bagaimana keadaan kota sebelum tentara Daulah datang. Tapi bagaimanapun ternyata hal yang terjadi adalah hal yang sangat berbeda dari apa yang dia pikirkan atau dibayangkan di kejadian penaklukan kota pada umumnya. Biasanya tentara yang menaklukan kota pasti akan menjarah kota itu. Para penduduk banyak yang dibunuh atau pun ditangkap untuk dijadikan budak. Minimal biasanya sebagian harta mereka akan dirampas dan diberikan pajak yang tinggi.

Tapi di sini ketika Cecilia memandang suasana kota dari jendela kamarnya. Tidak ada penjarahan dan tidak ada satu pun nyawa penduduk yang melayang. Para tentara dari daulah Islam pun tidak mengambil sepeser pun harta penduduk. Jika pun memang ada yang diambil, barang itu akan diganti sesuai dengan nilainya. Cecilia dapat melihat beberapa tentara yang berjaga dan berpatroli di sudut-sudut kota, jalanan kota, dan tembok pelindung kota. Tidak ada satu pun yang mengganggu dan menyerang penduduk. Bahkan kebanyakan mereka malah terlihat beramah tamah dengan penduduk.

Di beberapa tempat tertentu, ada juga tentara yang membantu penduduk memperbaiki rumah mereka yang terkena dampak perang. Sebenarnya Cecilia juga sudah melihat pemandangan yang serupa di kota Orluire tentang perlakuan Daulah Islam ke penduduknya, tetapi tetap saja melihat pemandangan serupa di kota ini membuatnya kagum. Belum pernah Cecilia melihat yang semacam ini sepanjang hidupnya. Lagipula Cecilia juga telah diselamatkan oleh salah satu prajurit mereka yang sekarang bahkan Cecilia anggap sebagai kesatrianya.

Mungkin tidak apa-apa jika menyerahkan nasib negeri dan penduduknya pada Daulah Islam ini pikir Cecilia. Bibirnya membentuk senyuman ketika melihat suasana kota yang damai di luar sana.

Cecilia jadi penasaran dengan Islam yang mereka sebut-sebut. Sebuah agama yang bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, tapi mengatur kehidupan mereka sepenuhnya mulai dari urusan individu yang paling sepele seperti makan dan tidur sampai tingkat kenegaraan seperti politik dan ekonomi. Hal ini sangat berbeda dengan kepercayaan yang dimiliki oleh orang-orang di wilayah kerajaannya atau bahkan di seluruh negeri yang dia ketahui. Kebanyakan di agama tersebut kepercayaan terhadap dewa hanya bertujuan sebagai kebutuhan spiritual saja dan tidak berpengaruh banyak di kehidupan nyata selain hanya memunculkan pengikut fanatik saja.

Tok tok tok

Suara ketukan di pintu kamarnya membuyarkan pikiran Cecilia. Kakinya pun melangkah menjauhi jendela kamar ke pintu kamarnya untuk membukakan pintu itu. Di depan pintu kamarnya adalah seorang perempuan yang belum lama ini dikenalnya, Sylvania yang menjadi kekasih dari kesatria idamannya. Selama ini Cecilia menganggap Sylvania sebagai saingannya, tetapi bukan berarti Cecilia membencinya. Sylvania adalah perempuan yang sangat baik, terutama terhadap dirinya. Terlepas dari apa yang dilakukan Cecilia ke Ahmed, Sylvania yang meskipun cemburu tidak melakukan hal yang buruk dan justru terkesan mendekati Cecilia sendiri.

"Hai Cecilia, apa aku boleh masuk?"

Cecilia pun mengangguk dan mengajak Sylvania untuk duduk di tempat tidurnya.

"Tidak seperti biasanya kamu datang sendiri Sylvania, di mana Ahmed?"

"Ahmed sedang melakukan latihan fisik, kau tahu, seperti kesatria dan para prajurit pada umumnya yang ingin menjaga kondisi fisik mereka."

Pandangan Sylvania sempat terarah ke luar jendela, lalu kembali beralih ke Cecilia yang duduk di sampingnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman ketika membayangkan kekasih hatinya itu.

"Aku pikir dia mendapat libur selama seminggu."

"Meski begitu, dia tetap melakukan latihan rutin selama beberapa jam setiap hari. Mungkin dia akan kembali satu jam lagi."

Tanpa sadar, Cecilia ikut tersenyum mendengar cerita tentang Ahmed. Orang yang sudah dia anggap sebagai kesatria penyelamatnya. Sejak kecil Cecilia selalu mendambakan kemunculan sosok kesatria yang datang menjadi penyelamatnya ketika dirinya dalam bahaya. Kesatria itu pun sudah muncul dan Cecilia tidak akan melepaskannya begitu saja, bahkan meskipun kesatria yang dimaksud sudah beristri. Terdengar jahat memang jika didengar secara sekilas. Namun, apa daya jika seorang gadis muda seperti Cecilia sudah jatuh cinta. Status menikah dari orang yang dicintainya mungkin bukanlah alasan untuk berhenti mengejarnya.

"Cecilia, ada yang ingin aku bicarakan denganmu terkait Ahmed."

Mendengar nama pria itu disebut, Cecilia pun menjadi antusias untuk mendengarkan pembicaraan Sylvania.

"Apa itu, Sylvania?"

"Apa kamu memang menyukai Ahmed?"

Cecilia sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaan itu dari Sylvania sendiri. Meski begitu kepalanya tetap mengangguk mantap mewakili isi hatinya.

"Benar, aku menyukai Ahmed, mungkin rasa suka itu saat ini juga sudah menjadi sebuah cinta."

Sylvania kembali tersenyum, membuat Cecilia menjadi semakin heran.

"Aku sudah berbicara dengan Ahmed. Sebelumnya aku ingin bercerita tentang kami dari bangsa Elf. Terlepas dari kelebihan kami, sebenarnya kami memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah terkait anak."

"Anak?"

Cecilia memang sering mendengar kelebihan dari bangsa elf terkait kekuatan mana mereka dan juga usia mereka yang panjang. Namun, baru kali ini Cecilia mendengar tentang kelemahan elf.

"Sebenarnya kami dari bangsa elf memiliki kesulitan untuk memiliki anak. Setiap pasangan elf biasanya membutuhkan beberapa dekade untuk dapat memiliki anak pertama mereka."

Cecilia masih belum dapat menebak kemana arah pembicaraan itu. Telinganya masih setia menunggu kelanjutan cerita Sylvania.

"Cecilia, aku ingin Ahmed memiliki keturunan, tetapi aku khawatir jika hanya bersamaku Ahmed tidak akan dapat memiliki keturunan dariku. Karena itu, aku ingin Ahmed memiliki istri lain selain diriku untuk dapat memberikannya keturunan."

Mendengar pernyataan dari Sylvania, harapan di dalam diri Cecilia meningkat drastis. Itu artinya Cecilia memiliki kesempatan untuk mendapat cinta pertamanya.

"Sylvania, kenapa kamu menceritakan ini kepadaku?"

"Aku lihat kamu sangat menyukai Ahmed. Aku ingin jika memang Ahmed menikah lagi, aku ingin dia menikah dengan wanita yang benar-benar mencintainya. Karena itu, aku pikir mungkin kamu dapat memenuhi peran itu. Hanya saja …"

Sylvania terlihat ragu melanjutkan kata-katanya, membuat Cecilia penasaran sekaligus khawatir dengan apa yang akan dikatakan oleh Sylvania.

"Hanya saja apa Sylvania?"

"Hanya saja, di dalam Islam seorang muslim hanya boleh menikah dengan orang muslim lainnya dan tidak diperbolehkan menikah dengan seseorang yang agama atau kepercayaannya berbeda."

Kepala Cecilia tertunduk lemas ketika mendengar kalimat itu, seolah harapannya yang tadi melambung tinggi kini kembali terhempas ke bawah. Tapi saat itu juga Cecilia teringat jika Sylvania pernah berkata siapa pun dapat menjadi seorang muslim, termasuk dirinya sendiri.

"Sylvania, beritahu aku bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"

"Kamu yakin? Menjadi muslim berarti kamu harus meninggalkan agama dan kepercayaan lamamu Cecilia. Kamu harus menaati dan menjalani semua peraturan dan kewajiban yang ada dalam Islam. Tolong pertimbangkan ini matang-matang Cecilia, aku tidak ingin kamu menjadi seorang muslim hanya karena perasaanmu ke Ahmed. Setidaknya aku ingin kamu memahami Islam terlebih dahulu. Sekali kamu menjadi seorang muslim, kamu tidak boleh lagi mengganti kepercayaanmu seumur hidup."

"Tidak masalah, lagi pula aku juga sudah tertarik dengan agama kalian semenjak pertama kali aku mendengarnya beberapa minggu lalu. Karena itu, ajari aku Islam, Sylvania."

Sylvania pun tersenyum mendengar permintaan Cecilia dan mengangguk dengan antusias.

"Aku mengerti."

###

Camp Ghazi, Pinggiran tepi barat Kota Anteinde.

Ahmed sedang berlari-lari mengelilingi camp pasukan Ghazi seperti yang diceritakan oleh Sylvania. Sebelum berlari, Ahmed sempat melakukan 50 kali push up, 50 kali sit up, dan 50 kali pull up. Sebuah latihan dasar rutin yang biasanya dilakukan di tengah liburan. Selain hari libur, bila tidak ada misi tertentu latihannya akan lebih berat. Setelah berlari mengelilingi camp sebanyak 10 kali, rencananya Ahmed akan mengakhiri sesi latihannya dan kembali ke tempat penginapanya di tengah kota.

Hitungan putarannya sudah mencapai 9, keringatnya pun sudah cukup deras mengucur di sekujur tubuhnya. Di tengah latihan itu Ahmed teringat tentang pembicaraannya dengan Sylvania tempo hari. Perkataan Sylvania bahwa dirinya tidak dapat mengandung anak dengan mudah benar-benar mengganggu Ahmed. Terlepas dari jawaban Ahmed waktu itu, sebagaimana manusia biasa Ahmed tentu saja menginginkan seorang anak. Tapi di sisi lain, Ahmed juga tidak ingin mengorbankan perasaan wanita yang dicintainya itu.

Pikirannya benar-benar dilema, antara menerima tawaran Sylvania untuk menikah lagi atau dia hanya perlu pasrah saja kepada yang kuasa. Seorang anak adalah pemberian dari yang kuasa bukan? Bagaimanapun keadaannya, jika yang kuasa sudah berkehendak, dia tetap dapat memiliki seorang anak dari Sylvania bukan? Mungkin Ahmed hanya perlu pasrah saja dan berdoa. Mungkin Ahmed juga dapat meminta bantuan dari tim medis atau bahkan membawa Sylvania ke rumah sakit balik gerbang di duniannya.

Masih banyak pilihan lain yang dapat diambilnya pikir Ahmed. Tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan, apalagi keputusan penting seperti menikah lagi. Lagipula Ahmed juga tidak pernah memiliki perasaan istimewa dengan lawan jenis sebelumnya, sampai akhirnya dia bertemu dengan Sylvania yang terang-terangan menunjukkan perasaannya.

Bicara tentang terang-terangan, tiba-tiba pikiran Ahmed teringat dengan gadis lain. Gadis muda yang juga diselamatkannya belum lama ini, yang usianya juga mungkin belum lama baligh dan usianya jauh di bawahnya. Gadis yang juga begitu terang-terangan menyampaikan perasaannya. Bahkan jika dipikir lagi, mungkin gadis itu lebih terang-terangan dibanding Sylvania. Pikiran Ahmed langsung menggeleng ketika teringat dengan gadis itu.

"Apa yang aku pikirkan? Kenapa tiba-tiba aku teringat dengan gadis kecil itu? Seharusnya aku sudah cukup dengan satu wanita saja sebagai pendampingku bukan?"

Tidak lama kemudian, akhirnya langkah kakinya menyelesaikan putarannya yang ke sepuluh. Terlepas dari keringatnya yang mengucur deras, nafasnya masih terdengar teratur. Tapi tetap saja, setelah berlatih Ahmed perlu sedikit mengistirahatkan badannya, mungkin dengan duduk sejenak. Langkahnya berganti dari berlari menjadi jalan kaki biasa. Pandangannya menemukan sebuah tempat duduk di depan salah satu camp dengan seorang prajurit Ghazi lain yang sedang duduk di sana.

Ahmed mendatangi tempat duduk itu sambil menyapa prajurit yang wajahnya sedikit terhalang oleh topi yang dikenakannya. Sepertinya dia sedang membaca sepucuk surat di tangannya. Keterbatasan koneksi global di Edela membuat para prajurit yang terkadang harus kembali mengandalkan teknologi lama yang berupa kertas dan buku itu. Meskipun satelit daulah sudah mengorbit dan jaringan internet sudah mulai dibangun, beberapa orang sepertinya mulai terbiasa dengan kertas dan buku.

"Assalamualaikum, boleh aku duduk di sini."

Prajurit yang dimaksud mendongak menatap Ahmed dengan sedikit terkejut dan menjawab salamnya.

"Waalaikumsalam, kapten, kau di sini rupanya."

"Ah, Adi, aku pikir kau prajurit dari kompi lain."

Prajurit itu adalah Adi, salah satu anggota pleton sekaligus regu Ahmed. Tanpa disadarinya, Ahmed sebenarnya sedang berada di depan tenda regunya. Hanya saja mungkin karena dia tidak ikut menetap di tenda itu dan menginap di dalam kota, Ahmed kadang lupa tenda regunya berada.

"Dasar kau kapten, hanya karena kau sudah menikah dan menetap di tengah kota, bukan berarti kau bisa melupakan tenda regu anggotamu begitu saja."

Ahmed terkekeh canggung karena perkataan Adi sambil mendudukkan badannya di samping Adi.

"Heheh, maaf, mungkin aku perlu lebih sering mengunjungi tenda kalian. Ngomong-ngomong, apa yang sedang kau baca?"

"Oh, ini surat dari keluargaku di Nusantara. Ibuku rutin mengirim surat setiap minggu semenjak aku di Edela, mungkin karena khawatir. Sebelum aku ditugaskan di Edela, biasanya ibu hanya mengirim pesan atau email sebulan sekali."

"Wah, Nusantara, maksudmu provinsi Indo-Melayu itu kan? Aku dengar wilayah itu memiliki lebih banyak wewenang otonom di daerahnya karena wilayahnya yang dapat dibilang paling jauh dari wilayah Daulah yang lain."

Ahmed melihat jam tangannya, sepertinya masih ada beberapa waktu untuk mengobrol di sini sebelum kembali ke penginapan untuk bertemu dengan Sylvania.

"Yah, mungkin itu benar, tapi pada akhirnya gubernur atau Emir di wilayah kami membuat kebijakan yang sebagian besar mengikuti rekomendasi dari pemerintah pusat di Anatolia."

"Seumur hidupku, aku belum pernah memiliki kesempatan untuk pergi ke sana. Mungkin kapan-kapan aku perlu berkunjung ke tempat tinggalmu."

"Wah kapten ingin pergi ke tempat tinggalku? Tentu saja aku dengan senang hati akan menerimanya."

Ahmed sedikit terkekeh melihat sikap antusias dari Adi. Padahal tidak ada yang istimewa dari dirinya, kenapa Adi terlihat seantusias itu dengan niat kunjungan Ahmed.

"Selain itu, bisa kah kau ceritakan lebih banyak tentang wilayah Nusantara?"

"Hmm, dari mana aku harus bercerita ya? Rumahku berada di dekat galangan kapal kota Surabaya. Ayahku adalah salah satu pekerja di galangan kapal itu. Awalnya dulu aku ingin mendaftar di angkatan laut seperti kebanyakan orang-orang nusantara lainnya. Tapi entah kenapa aku berakhir di angkatan darat."

Memang wilayah Nusantara yang berupa kepulauan terbesar menjadi salah satu basis angkatan laut terbesar besar milik Daulah juga. Bisa dibilang setengah dari galangan kapal yang membangun dan memodernisasi angkatan laut daulah saat ini berada di daerah itu. Ditambah lagi wilayah Nusantara juga menjadi penghasil tambang, pertanian, dan hasil laut terbesar di wilayah daulah. Memang pantas disebut sebagai zamrud khatulistiwa, meskipun daerah industri selain perkapalan di daerah itu tergolong minim karena dikhawatirkan perluasan industri akan menyebabkan degradasi wilayah hutan dan pertanian yang sangat dijaga oleh pemerintah.

"Di musim panas cuacanya membuat kami tidak dapat berhenti berkeringat meskipun kami berada di rumah dan tidak melakukan kegiata fisik. Di musim hujan, jalanan tidak pernah kering karena setiap hari diguyur hujan. Kebanyakan penduduk di sana bekerja di pertanian, pertambangan, dan perkapalan. Meski begitu ada juga yang bekerja di balai penelitian dan pengembangan. Sebagian besar pengembangan dan modernisasi persenjataan angkatan laut dikerjakan di Nusantara. Ah aku dengar orang-orang dari Indo-Melayu juga banyak yang dikirim ke sini untuk membangun angkatan laut kita di galangan utara benteng Andalusia."

Mereka mengobrol sampai tidak terasa mereka telah melewatkan satu jam dan adzan dhuhur pun terdengar dari tenda besar yang menjadi mushola di camp. Keduanya pun beranjak untuk menjalankan kewajiban rutin sebagai muslim. Di tengah jalan Ahmed sempat bertanya tentang anggota lainnya.

"Aku tidak melihat Karim dan yang lain, kau tahu di mana mereka berada?"

"Karim bilang dia ada keperluan di kota, Kemal dan Ramzi tadinya pergi ke kantin, Tariq dan Yusuf sedang menemani prajurit dari kompi lain yang sedang berpatroli, sisanya aku tidak tahu mereka kemana."

Tenda mushola yang digunakan untuk sholat meskipun besar, tapi ternyata tidak cukup untuk digunakan oleh prajurit di seluruh camp. Pada akhirnya ada yang harus membuat shaf di luar tenda dan ada yang harus menunggu bergantian sampai jamaah pertama selesai. Gedung di tengah kota yang tengah direnovasi untuk dijadikan masjid pun belum selesai. Rencananya gedung itu baru dapat beroperasi minggu depan sebagai masjid.

Selesai sholat, Ahmed yang akhirnya berpisah dari Adi berniat untuk kembali ke penginapannya di tengah kota. Namun, niatnya gagal ketika dia mendengar pengumuman bahwa seluruh perwira militer berpangkat kapten dan di atasnya di camp itu diminta untuk berkumpul di tenda aula. Dengan sedikit menghela napas karena niatnya lagi-lagi gagal, Ahmed pun mengubah arah langkahnya. Mungkin jika dirinya belum mendapat promosi pangkat, Ahmed tidak perlu ikut pertemuan ini.

Sesampainya di tenda aula, di sana ada puluhan perwira militer lain yang sudah mulai mengambil deret tempat duduk yang disediakan. Semua perwira militer yang ada di ruangan itu tergabung di dalam korps Edela Satu, korps yang berada di garis depan wilayah Edela. Didukung oleh korps Edela dua yang menjadi pasukan cadangan di kota yang sama. Selain itu ada 3 korps lain di Edela, satu korps berada di benteng Andalusia, sedangkan 2 lainnya tersebar di antara kota Longnard, Orluire, dan Eklaire.

Setelah para perwira menempati tempat duduk masing-masing, Kolonel Umar yang menjadi pimpinan tertinggi korps satu pun memasuki tenda ditemani oleh Mayor Husein, Mayor Fatah, dan Mayor Halil. Sebuah proyektor pun dipasang dan dinyalakan yang kemudian menampilkan sebuah peta benua Edela. Tidak lama setelah proyektor itu menyala, kolonel Umar pun memulai dengan memberi salam terlebih dahulu yang kemudian dijawab oleh seluruh orang yang hadir.

"Baiklah, seperti yang kalian tahu, dunia tempat kita berpijak saat ini beberapa hari yang lalu resmi disebut dengan dunia "Hilmi". Wilayah yang kalian lihat di depan adalah benua Edela yang luasnya hampir sama dengan luas seluruh daratan Eropa minus Rusia. Sebenarnya ada benua lain di selatan yang luas daratannya sedikit lebih besar, kemudian di timur terdapat benua besar juga yang memiliki banyak pulau, dan terakhir di barat terdapat benua yang kelihatannya cukup luas seluas benua gabungan Eropa-Afrika atau mungkin seluas daratan Amerika."

Peta di proyektor pun diperbesar ke wilayah Scotia dan Leonia lengkap dengan warna dan perbatasan yang menandai wilayah kedua negara tersebut.

"Ini adalah kerajaan Scotia yang sedang kita tempati dan Leonia yang menjadi lawan kita."

Selanjutnya warna wilayah di peta sedikit berubah, menandai wilayah yang sekarang dikuasai oleh Daulah Islam dan yang masih dipegang oleh Leonia.

"Ini adalah wilayah yang kita kuasai dan wilayah yang masih berada di bawah kendali Leonia. Masih ada satu kota dari kerajaan Scotia yang berada di bawah kendali Leonia. Komando pusat sepertinya mulai tidak sabar untuk mengakhiri perang ini sekaligus mengakhiri ketakutan warga lokal terhadap ancaman dari Leonia. Proses operasi kita di Edela berjalan lambat karena kita masih kekurangan sumber daya manusia dan juga jalur suplai yang sulit karena harus melewati satu koridor kecil yang berupa Al Jisr dari wilayah daulah, ditambah lagi jaringan komunikasi dan infrastruktur yang harus dibangun dari nol menjadi penghambat utama kita."

"Namun, sekarang satelit Al Huda sudah mengorbit di Hilmi dan Jaringan komunikasi kita sudah mulai disusun kembali. Insyaallah seluruh peralatan navigasi dan pendukung kita akan mulai berjalan beberapa hari kedepan, termasuk koneksi Internet. Jalur suplai kita insyaallah juga sudah stabil setelah dibangunnya fasilitas produksi amunisi di beberapa kota yang kita kuasai dan kita mendapat banyak bala bantuan dari balik Al Jisr termasuk divisi Afrika ke 9 yang baru datang beberapa hari lalu dan tidak lama lagi akan bergabung dengan korps Edel satu dan dua."

Selanjutnya, di peta yang ada di proyektor, muncul dua arah panah yang dari wilayah Scotia menunjuk ke wilayah Leonia. Salah satunya menunjuk dari kota Anteinde, sedangkan yang satunya lagi menunjuk dari kota Longnard melewati laut.

"Komando pusat awalnya ingin menyerang langsung ke jantung Leonia, kota Leon yang menjadi ibukota kerajaan itu. Kota Leon hanya berjarak 50 kilometer dari garis pantai ini dan 100 kilometer dari kota Tillen yang menjadi kota koastal." Ucap kolonel sambil menunjuk kota Tillen di peta yang memang berada di garis pantai wilayah Leonia.

"Harapannya serangan melalui jalur laut akan menjadi serangan kejutan dan juga mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh serangan kita di wilayah Leonia. Nantinya dalam proses serangan ini, angkatan laut dan angkatan udara akan menjadi elemen terpenting untuk mengangkut pasukan dan suplai kita. Sayangnya angkatan laut masih belum memiliki banyak kapal yang sudah siap digunakan. Hanya ada dua kapal jelajah dan empat kapal perusak sejauh ini, karena itu kita masih harus menunggu angkatan laut kita siap juga. Prajurit dan suplai akan diantar menggunakan jalur udara, sedangkan kendaraan berat angkatan diangkut oleh kapal pengangkut. Kita akan menguasai kota Tillen, lalu langsung menyerang ke jantung mereka di kota Leon dan mengakhiri perang ini."

"Angkatan laut memerlukan waktu sekitar lebih dari 2 bulan lagi untuk menyelesaikan perakitan kapal mereka dalam jumlah yang cukup. Untuk itu kita masih harus bersabar untuk dapat menyelesaikan peperangan ini. Estimasi waktu penyerangan ke kota Tillen akan dimulai Insyaallah pada tanggal 17 Agustus 2029."

Kali ini fokus penjelasan kolonel berpindah di sebuah kota yang berada di bagian barat kerajaan Leonia.

"Sambil menunggu persiapan angkatan laut, kita akan menggunakan waktu yang ada untuk membebaskan kota Scotia yang terakhir yang masih berada di bawah kendali Leonia. Komando pusat khawatir jika orang-orang Scotia di kota itu akan menjadi pelampiasan kemarahan orang Leonia terhadap kita dan ingin segera membebaskan kota itu. Jadi, bersiaplah untuk operasi yang akan datang, bertakwalah kepada Allah dan berdoalah untuk kelancaran operasi ini, karena tidak ada kemenangan yang tidak berasal dari Allah. Kabar baik yang lain yaitu, kemungkinan angkatan laut bersedia membantu operasi pembebasan kota Charnau menggunakan kapal yang sudah ada untuk mendukung operasi kita dengan bantuan artileri jarak jauh. Itu saja yang dapat saya sampaikan. Semoga Allah bersama dengan kita. "

Seluruh perwira yang ada di ruangan itu pun berdiri, lalu menghormat ke kolonel. Setelah penghormatan itu dibalas oleh kolonel Umar, mereka mulai beranjak meninggalkan tempat duduk mereka dan keluar dari tenda bergantian termasuk Ahmed. Sayangnya langkah Ahmed yang mengarah ke pintu keluar harus terhenti ketika Ahmed mendengar namanya dipanggil oleh kolonel Umar.

"Kapten Ahmed, aku ingin berbicara denganmu sebentar."

Ahmed pun membalikkan badannya dan mendekat ke kolonel yang masih berada di depan.

"Ada apa kolonel?"

"Putri dari Scotia yang tempo hari bersamamu, dimana dia sekarang?"

Ahmed sedikit bingung kenapa kolonel menanyakan tentang Cecilia, tetapi Ahmed tetap menjawabnya.

"Putri Cecilia berada di penginapan yang sama denganku dan Sylvania, kolonel."

"Bagus, aku ingin kamu membawanya kemari 2 jam lagi. Ada yang ingin bertemu dengannya."

"Dimengerti kolonel, aku akan memintanya kemari 2 jam lagi."

Ahmed pun menghormat lagi sebelum kali ini benar-benar melangkah keluar dari tenda itu. Pikirannya sibuk mengira-ngira siapa yang ingin bertemu dengan Cecilia itu dan apa alasannya. Bukan berarti Ahmed khawatir dengan Cecilia, hanya penasaran saja. Mungkin rasa khawatir ada sedikit, hanya sedikit. Hanya rasa khawatir sebagai prajurit terhadap penduduk sipil saja. Setidaknya itu yang dipikirkan Ahmed.

Penginapan Ahmed berada tidak jauh dari tembok kota, itu artinya jarak antara camp Ghazi dengan penginapannya tidak terlalu jauh. Ahmed memang sengaja memilih penginapan terdekat dari camp agar dapat segera bertindak ketika ada panggilan atau situasi darurat. Sambil berjalan ke arah penginapannya, pandangannya juga sibuk melihat-lihat suasana camp Ghazi. Prajurit di sana-sini sibuk mengatur suplai, merawat kendaraan dan persenjataan, dan ada juga yang latihan.

Melewati camp bagian medis, di area ini banyak terdapat wanita sukarela yang menjadi perawat sekaligus menjadi pembantu petugas medis dan dokter. Kontras sekali dengan pakaian seragam prajurit medis dan prajurit lain yang warnanya hitam, para perawat dan dokter mengenakan seragam serba putih dengan arm band berlogo bulan sabit merah. Kebanyakan petugas medis di sana hanya mengatur suplai obat-obatan dan peralatan medis saja.

Ruang rawat dapat dibilang kosong karena tidak ada orang terluka di sana. Korban pertempuran seminggu lalu pun kebanyakan dikirim langsung ke benteng Andalusia yang peralatan medisnya lebih lengkap. Beberapa perawat banyak yang terlihat saling berbincang-bincang satu sama lain hanya untuk mengisi waktu kosong di dalam ruang rawat itu. Kebanyakan perawat adalah para janda atau gadis yang belum menikah. Hanya sebagian kecil yang menjadi istri dari prajurit Ghazi, termasuk Lussie yang juga ada di antara mereka.

Pandangan Ahmed terhenti ketika melihat Lussie di salah satu tenda kesehatan. Bukan Lussie sebenarnya yang dilihat Ahmed, tetapi Sylvania dan Cecilia yang ternyata juga ada di sana. Seperti Ahmed, seharusnya Sylvania juga mendapat jatah libur seminggu. Namun, sepertinya Sylvania terlalu bosan sendiri di penginapan dan memilih keluar bersama Lussie. Cecilia terlihat paling berbeda di antara perempuan lain karena tidak menggunakan seragam medis dan hanya menggunakan pakaian biasa dari penduduk lokal.

Di sisi lain, Ahmed sedikit bingung sejak kapan Sylvania terlihat akrab dengan Cecilia. Padahal sebelumnya Ahmed berpikir keduanya saling menjaga jarak karena rasa persaingan merebut dirinya. Ahmed merasa keduanya yang memperebutkan dirinya adalah hal yang konyol, padahal tidak ada yang istimewa dari dirinya, atau setidaknya itu yang dipikirkan oleh Ahmed. Teringat dengan permintaan kolonel, Ahmed pun menghampiri para gadis yang sedang berbincang itu. Mungkin ini waktu yang tepat untuk memberitahu Cecilia juga terkait permintaan kolonel itu.

Langkah kaki Ahmed pun berganti mengarah ke para gadis yang sedang berbincang di dalam salah satu tenda kesehatan itu. Gadis pertama yang menyadari kedatangan Ahmed ke tenda mereka adalah Sylvania yang tanpa sadar langsung memanggil nama Ahmed sekaligus mengambil perhatian yang lain.

"Ahmed?"

Ahmed pun tersenyum seraya mengucap salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, apa kau sudah selesai dengan latihan fisikmu?"

Ahmed mengangguk sambil mencari tempat duduk di dekat mereka.

"Tadinya aku ingin menemuimu dan Cecilia di penginapan, tapi ternyata kalian ada di sini."

Cecilia yang tidak mengerti bahasa yang digunakan Ahmed dan Sylvania hanya dapat menyaksikan pembicaraan yang tidak dia pahami. Bahkan Cecilia juga tidak sadar bahwa namanya sempat disebut Ahmed.

"Cecilia? Tumben kamu mencari Cecilia, biasanya kamu malah mencoba menjauh darinya kan?"

Lussie dan satu wanita lain yang ada di tenda itu tertawa cekikian mendengar pertanyaan Sylvania. Hal ini membuat Cecilia malah semakin penasaran. Dalam hatinya, Cecilia bertekad untuk mempelajari bahasa Arab yang digunakan oleh Ahmed dan yang lain. Ahmed yang sedikit ditertawakan hanya dapat tersenyum kikuk sambil sedikit menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal.

"Ah, Aku ada sedikit keperluan dengannya."

Pandangan Ahmed pun berganti ke Cecilia yang dari tadi hanya diam saja karena tidak paham dengan pembicaraan yang lain.

"Cecilia, aku ingin kau ikut denganku 2 jam lagi, nampaknya ada yang ingin menemuimu?"

Wajah Cecilia berubah khawatir ketika Ahmed menyebutkan ada yang ingin menemuinya. Wajar saja memang, biasanya jika ada orang tak dikenal yang ingin menemuinya, ada kemungkinan orang tersebut adalah seorang pembunuh bayaran. Semenjak pecahnya perang antara Scotia dan Leonia, banyak sekali pembunuh bayaran yang mengincar keluarganya. Bahkan di pengasingan sebelum ditangkap tentara Leonia pun masih ada pembunuh bayaran yang mengincarnya, terlepas dari tersebarnya berita bahwa seluruh keluarga kerajaan dianggap mati.

"Siapa?"

Nada pertanyaan yang terlontar dari Cecilia itu nyatanya membongkar rasa khawatirnya. Ahmed pun sepertinya juga dapat memahami rasa khawatir Ahmed.

"Aku tidak tahu, tapi aku yakin dia bukan orang jahat. Lagipula jika terjadi apa-apa, ingatlah jika kamu sedang berada di tengah markas tentara terkuat di dunia ini dan semua orang di sini termasuk kami akan melindungimu."

Kalimat itu pun nampaknya dapat menenangkan Cecilia, membuat Cecilia akhirnya tersenyum dan mengangguk pelan. Sejujurnya Ahmed jarang sekali melihat sisi Cecilia yang seperti ini. Terakhir Ahmed melihatnya adalah ketika mereka sedang diserang di kota ini seminggu yang lalu. Memang sifat agresif Cecilia terhadap Ahmed membuat Ahmed sebal dan berusaha menjauh darinya. Akan tetapi, melihat sisi Cecilia yang seperti ini membuat Ahmed menyadari bahwa mungkin Cecilia pada akhirnya hanyalah gadis lembut biasa seperti gadis lainnya.

"Selain itu, apa yang sedang kalian bicarakan di sini?"

"Ahmed, kau tahu? Cecilia tadi berkata kalau dia ingin mempelajari Islam. Kami pun belajar melalui perangkat laptop yang kamu pinjamkan untukku tempo hari. Kami pun juga sedang mempelajari tentang sejarah Islam bersama-sama melalui video-video yang ada di internet. Kau benar Ahmed, dahulu negerimu dan dunia tempat asalmu juga hanya menggunakan senjata pedang, panah, dan tombak. Kalian bahkan tidak memiliki energi Mana. Tetapi hanya dalam hitungan seribu tahun, kalian melalui banyak perkembangan dan membuat penemuan-penemuan penting."

Mereka pun melanjutkan pembicaraan mereka seputar pembelajaran tentang Islam sambil menjelajahi internet di laptop yang dibawa oleh Sylvania. Tentu saja mereka kebanyakan menggunakan bahasa Prancis karena itu adalah bahasa utama yang digunakan ketiga gadis yang sedang diajari, terutama Cecilia yang bahkan sama sekali belum memahami bahasa Arab. Mereka saat ini menggunakan koneksi internet yang berasal dari satelit, tentu saja mereka harus menggunakan perangkat antena lain yang dihubungkan ke laptop mengingat laptop sendiri tidak dapat langsung terhubung ke satelit.

Tak terasa waktu sudah terlewat 2 jam, Ahmed pun mengajak Cecilia untuk memenuhi permintaan kolonel Umar. Keduanya berjalan menuju tenda aula. Memasuki tenda itu, Ahmed memberi salam dan disambut kolonel Umar yang sudah ada di dalam. Cecilia yang juga memasuki tenda itu berdiri di belakang Ahmed. Kursi-kursi yang tadinya digunakan untuk para perwira duduk sudah dibereskan dan sekarang di tengah ruang itu digantikan satu meja dan empat kursi yang ditata dimana dua kursi saling berhadapan dengan dua kursi lainnya.

"Kapten Ahmed, syukurlah kau bisa datang." Ujar kolonel setelah membalas salam.

"Dimana orang yang ingin menemui Cecilia?" Tanya Ahmed seraya mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam tenda dan tidak menemukan sosok lain selain kolonel Umar.

"Sebentar lagi dia akan datang, duduklah terlebih dahulu."

Ahmed pun menurut dan mengajak Cecilia duduk di kursi yang disediakan. Keduanya duduk berjajar menghadap kolonel Umar yang masih berdiri. Ahmed sebenarnya merasa tidak enak jika dirinya duduk sedangkan kolonel sendiri malah tidak duduk. Tidak lama kemudian, seseorang memasuki tenda mengenakan pakaian perwira biasa yang mirip dengan milik kolonel Umar dengan mengenakan baret dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya.

Ahmed terheran ketika melihat perwira itu. Tidak biasanya seorang perwira yang tidak berada di tengah pandemi seperti sekarang mengenakan masker. Selain itu, dari sorot matanya, Ahmed merasa pernah melihat mata itu sebelumnya. Kebingungan Ahmed langsung terjawab semua ketika seseorang yang mengenakan pakaian perwira militer itu melepas maskernya dan memperlihatkan wajahnya. Ahmed yang terkejut pun langsung berdiri dan memberi hormat.

"Sultan Osman?"