..
.
.
Hello,
Goodbye.
.
.
.
Len Kagamine, 18 tahun. Seorang pemuda yang memiliki segalanya. Dia tampan, genius, tubuhnya atletis, dan yang paling penting, dia adalah pewaris tunggal Eternal Group yang sudah berdiri lebih dari 40 tahun.
Jadi, jika diberi nilai, dia mencetak skor A di semua sisi. Gimana tidak?
Mau punya pacar? Tinggal lirik sambil kedip mata sedikit juga dapat.
Mau jadi juara umum? Ah, itu sering. Dia cukup bolak balik halaman buku juga bisa.
Mau beli helikopter sepuluh? Itu setara jatah jajan mingguan dia.
Banyak orang yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan salah satu hal itu. Tapi Len justru ingin membuang semuanya.
Dia tidak suka wajahnya.
Dia tidak suka kepintarannya.
Dia tidak suka tubuhnya.
Dia tidak suka kekayaannya.
Dan, dia tidak suka kehidupannya.
Dia hanya ingin menghilang dan tidak ada satu orang pun yang mengingat, bahkan namanya. Seolah tidak pernah terlahir, dia ingin ketiadaan.
Dan hari ini, keinginannya akan dia wujudkan.
Minggu, pukul 08:37 pagi.
Len keluar dari kamar mandi dan berdiri di hadapan cermin. Mengeringkan rambutnya yang basah, memakai pakaian yang paling dia sukai, memasang arloji termahal yang dia punya, dan tidak lupa dengan sepasang sepatu kets keren edisi terbaru.
Refleksi pemuda itu sangat sempurna. Terlebih rambut pirangnya yang sengaja dibiarkan berantakan tapi terkesan seksi.
Lagu beat kesukaannya sudah menemani sejak tadi, lewat speaker kecil komputernya.
"Kau.. ngapain?"
Rin, yang mengamati Len bertanya penasaran. Bingung kenapa pemuda itu terlihat berbeda dari dua hari sebelumnya.
"Aku mau jadi hantu yang keren." Len menjawab santai.
"Cih, tetap saja hantu."
"Aku tidak mau berkeliaran mengganggu orang hanya dengan selembar kain tipis dan lusuh sepertimu." celetuk Len.
Rin memperhatikan baju yang dipakainya, lalu menatap Len tajam,
"Hei, aku mana tau ya kalau jadi hantu bajunya gak bisa ganti."
"Ya, jadi aku mau berterimakasih karena sudah menjadi contoh untukku."
"Berisik!" Rin membuang muka, sebal mendengar ledekan Len.
Len tidak menghiraukan. Dia duduk di meja makan, memakan steak yang baru saja dia hidangkan. Membuat Rin kembali memperhatikan pemuda itu.
"Enak ya?"
"Hmm." seru Len singkat.
Rin menatap lekat steak yang sedang Len potong, lalu mengikuti potongan daging itu masuk ke mulut Len.
"Enak Len?" tanya Rin sekali lagi.
"Ya."
"Dagingnya lembut tidak?"
Len mendengus sebal, dia benci diganggu saat sedang makan, "Apa pedulimu?"
"Wow, kau gak mau bagi aku?"
"Tidak."
"Sedikiiiiiit saja."
"Tidak."
"Ayolaaahhh.."
"Hhhhhhh..., lagipula memang hantu bisa makan?"
"Oh jangan sedih kakak, tentu bisaaa." Rin menjawab girang sambil bertepuk tangan kecil.
Len kembali mendengus sebal, "Yasudah, buatmu saja. Aku sudah tidak selera."
"Asiiikk.. betul ya?"
"Ya."
"Kalau begitu kau harus sajikan untukku." pinta Rin
"Berhenti membuatku kesal."
"Aku tidak bisa makan makanan yang tidak disajikan untukku."
Len memandang Rin sebal, "Cepat makan, atau kubuang sekarang."
"Tidak bisa. Lihat nih tanganku gak bisa sentuh dagingnya." kata Rin sambil memperlihatkan tangannya yang menembus daging.
"Lalu?"
"Kepalkan tanganmu Len, pejamkan matamu sambil bilang 'Rin Kagamine, hidangan ini untuk jiwamu'."
Len dengan muka bingung dan sebal mengikuti arahan Rin, "Rin Kagamine, hidangan ini untuk jiwamu."
"Yattaaaa...!" Rin berjingkrak senang.
Tak lama Len membuka kedua matanya, melihat Rin memegang pisau dan garpu layaknya manusia. Menyantap steak dengan lahap, sambil bergumam 'oh enak sekaliii..."
Dengan muka yang masih bingung, Len terus memperhatikan Rin.
"Aku tahu kau mau tanya apa, tapi nanti dulu ya aku mau makan." kata Rin sambil mengunyah.
Len hanya mengernyitkan dahi lalu pergi ke dapur, membuat milkshake pisang kesukaannya, 'hantu aneh.' celetuk Len dalam hati.
"Heeeiii, aku dengar yaaa..." Rin setengah berteriak, merutuki manusia yang baru ditemuinya 2 hari lalu itu.
Len tidak menggubris, kali ini fokusnya tertuju pada pisau kecil yang ada di dekatnya. Sambil membawa gelas milkshakenya, Len kembali menghampiri Rin yang sudah hampir menyelesaikan makannya.
"Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Len.
"Sudah, aku sudah habiskan semua. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku makan enak." Rin menjawab senang.
Daging yang tadi Len sisakan untuk Rin tidak tercuil sedikitpun, masih sama bentuknya.
"Aku menghabiskan sarinya, rasanya, dan kandungan makanannya. Jadi jika kau makan daging itu sekarang tidak seenak tadi, mungkin akan terasa hambar di lidahmu." Lanjut Rin, seolah mengetahui isi pikiran Len.
"Teruskan."
"Aku tidak bisa makan semauku. Aku hanya bisa makan makanan yang disajikan untukku. Seperti yang kau lakukan tadi."
Len diam, begitu banyak yang ingin dia tanyakan.
"Dengar Len, seperti yang kau lihat. Aku hanya memakai baju terakhir yang kugunakan. Aku hanya memakan makanan yang disajikan untukku. Dan aku hanya bisa dilihat oleh orang yang ingin mati bunuh diri. Kau yakin ingin sepertiku?" Rin menatap Len.
"Lalu, bagaimana kau makan selama ini?"
"Ke kuil. Di sana banyak makanan. Tapi karena banyak hantu, jadi hanya kebagian sedikit atau tidak sama sekali." jawab Rin.
Len kembali terdiam, "Kupikir hantu tidak butuh makan."
Mendengar perkataan Len, Rin tertawa getir, "Ya, kupikir juga begitu dulu."
"Apa semua orang yang meninggal, menjadi hantu?"
Rin tersenyum, lalu berdiri dan melihat foto-foto yang terjejer rapi di atas meja belajar Len. Potret diri Len dan orang terdekatnya sejak Len kecil, ada di situ.
"Tidak. Hanya mereka yang memutus tali hidupnya sendiri yang menjadi hantu." Rin menjawab pertanyaan Len tadi.
Hening.
Tidak ada lagi pertanyaan. Hanya suara musik beat yang masih terdengar.
Begitu banyak yang ada di pikiran Len, sejenak keraguan singgah di hatinya. Dia tidak yakin akan keputusannya. Entah mengapa, dia merasa Rin seolah ingin Len tidak mengambil tindakan bodoh.
Di tengah kalutnya pikiran Len, pintu apartemen Len digedor keras. Membuat pemuda itu kembali ke dunia nyata. Dengan helaan napas berat, Len menyenderkan badan ke kursi sambil menutup matanya.
"BUKA PINTUNYA, SIALAN!! AKU TAHU KAU DI DALAM!" teriak seseorang di balik pintu.
Rin cukup terkejut, dia menghampiri Len yang masih memejamkan matanya. Mencoba menyentuh tangan pemuda itu, tapi tentu saja tidak bisa. Wajahnya tersenyum sendu, 'Bodoh sekali aku.' katanya dalam hati.
"HEI! BUKA PINTUNYA!!"
Pintu semakin digedor keras, membabi buta. Membuat Len mau tidak mau memaksakan dirinya bangun, menghampiri tamu yang entah siapa itu.
PLAK!
"KURANG AJAR!!"
Hal yang pertama Len dapati adalah sebuah tamparan keras, lalu orang itu mencengkram kerah baju Len dan mendorong Len dengan sekuat tenaga.
Len tersungkur ke lantai, matanya memicing sinis ke orang di depannya.
"APA MAUMU, SIALAN?!" teriak orang itu lagi.
"Hahaha.. haha.. hahaha.." Len tertawa keras, tertawa puas seolah mengejek.
"Kaito-nii, kau tampak menyedihkan sekali." lanjut Len, sambil tertawa di sela ucapannya.
"KURANG AJAR!" Kaito melempar lembaran-lembaran kertas ke tubuh Len, "APA MAKSUD SEMUA INI SIALAN!"
Len berusaha bangkit, lalu merapikan kerah bajunya, "Aku hanya berbuat baik."
BUGH
Kaito meninju wajah Len, nafasnya berat karena emosi. Len kembali tersungkur ke lantai, masih dengan senyum mengejeknya.
"Kaito-nii, kau harusnya bersujud di hadapanku. Memohon agar aku menyisakan sedikit saham untukmu." Len menunjuk Kaito, lalu menunjuk lantai di hadapannya.
"DASAR TIDAK TAHU DIRI! KAU PIKIR KAU SIAPA?!"
"Aku? Pemegang semua saham perusahaan yang dengan setengah mati kau inginkan itu. Jadi, berbuat baiklah kepadaku." Len menyahut santai, wajahnya terlihat puas.
Kaito mengacak rambutnya frustasi, geram dengan perkataan adik semata wayangnya.
"Harusnya kau tak pernah dilahirkan. Harusnya kau mati saja, sialan." Pemuda berambut biru itu menatap Len geram.
"Ya, kuharap juga begitu." kata Len.
Rin menyaksikan semuanya dalam diam. Dia berdiri mematung di antara kakak beradik itu. Raut wajahnya datar, tidak menunjukkan emosi apapun. Sebuah ekspresi yang dingin.
"Dengar, aku akan kembali besok. Dan kau sialan, kau harus memperbaiki semuanya seperti semula!" dengan wajah marah Kaito menunjuk wajah Len, lalu pergi dengn cepat sambil membanting pintu.
"AARRGGHHH!!!"
Sebuah erangan emosi terdengar di luar ruangan. Kaito berteriak sekuat tenaga, melampiaskan amarah yang masih ada di hatinya.
"Ck, dasar pemarah." Len berdiri, merapikan baju dan rambutnya sambil melangkah menuju kamar mandi.
Rin masih diam, matanya mengikuti Len dengan ekspresi yang sama. Sedangkan Len melihat refleksinya di cermin, tidak ada memar di wajahnya. Hanya ada bekas merah dan sedikit darah yang keluar dari sudut bibirnya.
"Tidak buruk. Aku tidak ingin ada luka di wajahku." katanya, sedikit tersenyum.
Len membersihkan wajahnya, lalu menuju wardrobe miliknya. Segudang barang-barang mewah ada di sana. Pemuda itu memilih kaus lainnya yang berwarna putih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru saja dia pilih.
Lalu Len mengambil kertas dan pena, kemudian duduk di ruang tamu sambil memakan buah pisang.
Rin yang sedaritadi hanya memerhatikan, kemudian menghampiri pemuda itu. Ingin tahu apa yang dilakukannya.
"Sedang apa?" tanya Rin.
"Membuat pesan terakhir."
"Kau benar-benar yakin?"
"Ya."
"Kau tidak mau memikirkannya lagi?"
"Hhhh.." Len menghembuskan nafas berat, lalu menatap Rin.
"Kenapa kau selalu bertanya seperti itu sejak kita bertemu?"
Rin menggendikkan bahunya, "Aku hanya tidak ingin kau menyesal."
"Tidak akan." seru Len, kembali menuliskan beberapa kata.
"Kau tahu, kadang aku bertanya-tanya. Jika waktu itu aku tidak menyerah, apakah hidupku akan berubah? Apakah aku akan berjuang dan akhirnya bahagia?" Rin duduk di samping Len, membaca apa yang pemuda itu tuliskan.
"Lalu, kau menyesal?" tanya Len, tanpa menghentikan penanya.
Rin terdiam sesaat, "Apakah jika waktu itu aku tidak menyerah, aku akan bertemu denganmu? Apakah kita akan saling menguatkan? Atau justru kita akan mati bersama?"
Len berhenti menulis, "Intinya, kau menyesal kan? Aku tidak akan menyesali keputusanku, jika kau ingin mengusikku lebih baik kau pergi."
Kali ini Rin tidak membalas perkataan Len. Gadis itu hanya memperhatikan kata demi kata yang Len tuliskan.
Hello, bagi siapapun yang menemukan kertas ini, kuharap hidupmu sial selalu.
Goodbye, semoga kita tidak segera bertemu. Jadi, panjang umur-lah dengan kesialanmu itu.
WARNING: Ada adegan Suicide. Bagi yang rentan bisa skip ya.
Len menaruh penanya, lalu bersandar di kursi. Memakan gigitan terakhir pisangnya. Pemuda itu menuju dapur dan mengambil sebuah pisau. Sebelum kembali ke ruang tamu, Len melihat penampilannya sekali lagi, memastikan jika dirinya terlihat keren.
Rin masih duduk di tempatnya semula, menunggu Len yang sekarang sedang memakai jaket jeans oversized-nya.
"Baiklah. Sudah sempurna." kata Len, mendudukkan dirinya di samping Rin.
Rin hanya diam, tatapannya sendu. Raut wajahnya terlihat sedih, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Len mengambil pisau yang ada di sakunya. Mengarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Pemuda itu memejamkan mata, lalu tanpa ragu menyayat dirinya sendiri. Darah segar mengalir dari luka, namun anehnya Len tersenyum.
Rin melihat semuanya. Air mata mengalir, dengan isakkan tangis dia mengantar Len pergi dan menuju dunianya. Berbagai emosi ada di tubuh gadis itu, tapi sekali lagi, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Jika saja kita dipertemukan lebih cepat, jika saja kita bisa menjadi sandaran satu sama lain, mungkinkah kita saat ini sedang bersenda gurau di sebuah tempat sambil membicarakan masa depan? Karena sejatinya, kita tidak mencari kematian, Len. Kita hanya mencari seseorang yang bisa menjadi rumah."
Halo, Vinnichi di sini.
Sorry ya kalau alurnya aneh, karena udah lama ga nulis dan ini nulis dari HP.
But still, I hope you enjoy.
Kritik dan saran diterima.
Terimakasih
.
.
.
.
.
Unknown World
.
.
.
.
.
