One Act

Present by weyyy

Kim Jongin

Do Kyungsoo

GS/Mature Content/Some Typo's


Terjadi keributan di ruangan kepala sekolah pagi itu. Kyungsoo tidak terlalu peduli pada Jung Soojung yang tiga hari berturut-turut membullynya sejak pertama kali pindah sekolah, memohon bersama ibunya kepada Bapak kepala sekolah—untuk tidak di keluarkan secara tidak hormat. Tiga teman Jung Soojung demikian, wajah memelas dari para ibu mereka perlahan menyeret Kyungsoo pada perasaan iba.

Menghela napas lalu menoleh pada ayah Kyungsoo, gadis itu menyentuh jas putih yang di kenakan ayahnya. Ayah Kyungsoo seorang dokter ahli bedah—terburu-buru datang ke sekolah sejak anaknya menelepon satu jam lalu atas insiden perundungan yang dilakukan Jung Soojung dan tiga siswi lain.

"Kenapa sayang?" tanya pria itu, membetulkan kaca matanya selagi anak gadisnya mendekat untuk berbisik.

"Aku kurang setuju dengan keputusan Pak kepala sekolah, Ayah."

"Kau yakin?"

Kyungsoo hanya mengangguk, sedetik berdeham. "Ehm, Pak kepala sekolah, kupikir aku bisa memaafkan. Mereka tidak perlu di keluarkan dari sekolah asal berjanji tidak mengganggu lagi."

"Aduh, ya ampun. Terima kasih, nak." Ibu Jung Soojung harus berlulut di hadapan Kyungsoo, membuat gadis itu terkejut atas sikap berlebihan barusan. "Kami sudah mengalami banyak kesulitan, aku berjanji akan mendidik Soojung lebih baik. Terima kasih, nak."

"Eomma!" Jung Soojung dengan kesal meraih bahu ibunya, memaksanya berdiri. "Kau tak perlu berlutut seperti ini. Aku malu!"

"Apa? Siapa yang membuatmu malu, hah?! Kau yang membuat ibumu ini malu!"

"Ah!" Jung Soojung memegangi kepalanya. Membiarkan orang lain melihat ibu memukul kepalanya begitu menjatuhkan harga dirinya. Ia hanya bisa menangis diam-diam selagi ibunya menyeretnya keluar ruangan.

Bapak kepala sekolah mematikan layar komputer yang di gunakan untuk memutar jejak cctv, bukti dari kasus perundungan Kyungsoo di halaman belakang sekolah. Karena akhirnya Kyungsoo memilih damai, melewati diskusi panjang beliau lebih cepat menyelesaikan masalah dan mempersilahkan para orang tua untuk pulang.

"Lain kali kalau mau cari ribut denganku, aku bersedia duel satu lawan satu." Bisik Kyungsoo pada salah satu teman Jung Soojung. Tanpa menjawab ucapan Kyungsoo, dia kemudian keluar ruangan bersama ibunya.

.

.

"Jadi, aku tidak dilaporkan?"

Kyungsoo berhenti melangkah ketika tiba-tiba Kim Jongin datang entah dari arah mana. Gadis itu mengurungkan niat minum minuman kemasan yang dibelinya di kantin. Ternyata Jongin masih memikirkan rokoknya yang di ambil Kyungsoo secara tidak izin, saat pemuda itu menolongnya dari kelompok Jung Soojung.

"Kurasa tidak." Jawaban singkat itu membuat Jongin mengikuti Kyungsoo berjalan di koridor.

"Oh, kalau begitu aku bebas merorok di atap sekolah." Itu adalah tempat paling aman dari pantauan cctv.

Kyungsoo tidak menanggapi.

"Kau serius melaporkan Soojung pada kepala sekolah."

"Oh, kau sudah tahu?"

"Seluruh manusia di sekolah ini sudah tahu berita itu. Sekaligus jadi tahu kalau kau bukan orang biasa."

"Jadi kau pikir aku apa?"

Jongin mengedikkan bahu, tetap mengikuti Kyungsoo berjalan, sampai baru menyadari mereka telah memasuki kelas.

"Ternyata kau anak dari keluarga kaya. Pemberi sumbangan dengan nilai paling tinggi di sekolah." Jongin duduk di kursi depan meja Kyungsoo yang kosong. Meletakkan kedua tangan pada sandaran kursi, senyumnya terasa mengejek. "Enak ya jadi orang kaya. Bisa melapor dan masalah cepat di selesaikan."

Kyungsoo memutuskan untuk memasukkan minumnya ke dalam tas, sejenak berhenti mendengar ucapan Jongin. Ia tak suka dikatai seperti barusan. "Aku tidak punya pilihan lagi. Itu karna mereka menyerangku bersamaan. Berhentilah menyebutku anak orang kaya."

"Apa kau pikir bisa menang jika duel satu lawan satu?"

"Itupun kalau mereka mau."

Jongin tertawa pelan, menggeleng atas keberanian Kyungsoo. Sampai teman sekelas mereka datang, gadis mungil dengan wajah cantik khas anak-anak, Kim Minseok, meminta hak kursinya yang di kuasai Jongin.

Jam istirahat berakhir, bel berbunyi tepat Jongin kembali ke mejanya di belakang paling ujung.

Kim ssaem, guru biologi sekaligus wali kelas, akhirnya masuk dan mengoceh mengenai materi yang menurut Jongin membosankan. Pemuda itu menguap beberapa kali, lalu di kejutkan dengan keributan kelas. Teman-teman sibuk berdiskusi mengenai tugas kuis berkelompok dua orang.

"Oh ya, Kyungsoo, kau mau satu kelompok denganku?" Minseok sedikit berbalik badan, tersenyum ketika lawan bicaranya mengangguk tanda setuju.

Minseok satu-satunya orang yang tidak malu untuk mengajak Kyungsoo bicara, pada akhirnya—sejak ia pindah sekolah. Miris, ini adalah pertama kalinya Kyungsoo merasa sedikit rileks di sekolah barunya, sebelum Yixing datang mendekati meja Minseok, merengek minta satu kelompok. Lalu Kyungsoo tak punya pilihan selain mengalah pada gadis keturuan tiongkok itu.

Ia menengok memperhatikan yang lain, mencari seseorang yang kiranya belum dapat teman kelompok. Tetapi Kyungsoo tak yakin.

"Maaf, Kyungsoo." gumam Minseok menyesal. Ia juga tidak enak karna Yixing sudah menjadi sahabatnya sejak masuk sekolah menengah atas.

Kim ssaem mengumumkan soal kuis yang akan di kerjakan, memastikan sekali lagi sebelum kelasnya berakhir. "Baik, semua sudah paham. Ada yang belum dapat rekan?"

Mendengar itu Kyungsoo mengangkat satu tanganya perlahan, pasrah.

"Oke, Jongin, kau bisa satu kelompok dengan Kyungsoo."

Mata Kyungsoo membulat gemas, menengok ke belakang pada satu-satunya orang yang juga mengangkat sebelah tangannya di ujung sana. Ekspresinya kelewat biasa-biasa saja. Kim Jongin terlihat tidak tertarik dengan tugas yang di berikan Kim ssaem.

"Jangan lupa untuk menyerahkan tugas dua hari lagi." Kim ssaem mengakhiri jam pelajaran terakhir dengan menoreh beban pada pikiran Kyungsoo. Yang lain ikut bergantian keluar kelas.

Bagaimana ia bisa satu kelompok dengan siswa berandalan seperti Kim Jongin. Terlebih tugas sistem reproduksi. Berani bersumpah akan mengerjakan kuis sendirian, Kyungsoo menenggelamkan wajahnya pada meja, sebelum beranjak dari sana meninggalkan kelas.

Sekolah berakhir pukul setengah tiga sore, Kyungsoo berniat pergi ke perpustakaan sebelum pulang. Lagi, Jongin mengejutkannya dengan mengekorinya sampai perpustakaan.

"Kapan kita akan mengerjakan tugas?"

"Kita?"

"Ya."

"Orang sepertimu mau mengerjakan tugas? Kupikir tidur di kelas lebih menarik buatmu." Kyungsoo sibuk mencari buku di rak. Berjinjit sekuat tenaga untuk mengambil buku paling atas, tapi tetap tak bisa ia raih.

Dengan mudah Jongin menyambar benda incaran Kyungsoo, menyerahkan kertas tebal dengan judul tertulis biology pada gadis itu.

"Ini tugas kelompok. Aku turut bertanggung jawab."

Kyungsoo tidak merasa terkesan atas bantuan itu, juga ucapan Jongin mengenai tanggung jawab. Ia berjalan menuju meja, menaruh buku dan tasnya. Tidak terlalu peduli pada Jongin yang mengikuti gerakannya, duduk berhadapan.

"Kalau begitu aku akan menulis, kau cari jawaban dari soal ini." Oh, gadis itu sengaja membuat Jongin berpikir sendirian, menilai apakah si rekan menepati tanggung jawabnya.

Dengan gerakan santai Jongin membaca satu soal dari catatan kuis yang Kyungsoo sodorkan, kemudian sibuk membolak balik lembaran buku biologi yang diambilnya dari rak.

Hal itu membuat Kyungsoo langsung bosan sampai mengetuk-ngetuk pena pada meja. Setelahnya ia memutuskan menyalakan ponselnya sambil menunggu.

"Ah, ya, paman Lee, kau tidak perlu menjemputku, aku ada tugas dan akan pulang telat. Ya, aku bisa pulang sendiri naik taksi nanti."

"Siapa?" Pertanyaan Jongin membuat Kyungsoo agak terkejut saat menutup sambungan telepon.

Kyungsoo pikir apa urusannya bagi Kim Jongin untuk tahu tentangnya.

"Supirku."

Pemuda itu mengangguk sekali, lalu kembali sibuk membaca pada satu buku.

"Kau sudah siap menulis? Koreksi jika jawabanku salah."

Kyungsoo kembali di kejutkan dengan sikap Jongin. Pemuda itu menemukan jawaban dari kuis mereka lebih cepat dari yang ia duga.

"Sudah selesai?"

"Ya." Jawab Jongin. "Akan kusebutkan jawabannya sekarang. Tolong tulis."

Kyungsoo menuliskan semua yang Jongin jelaskan mengenai pemahaman sistem reproduksi manusia. Kesemuanya sempurna tanpa di lebih-lebihkan. Jawaban terasa jelas, pas dan lugas, hingga Kyungsoo merasa tak perlu mengoreksi dua kali.

"Sudah selesai kan?" Jongin berdiri, berinisiatif menaruh buku kembali ke rak. "Kalau begitu aku duluan."

Perasaan bingung yang begitu ambigu menyelubunginya, Kyungsoo menatap punggung Jongin menjauh.

.

.

Keesokan harinya Kim Jongin selalu muncul dan mengganggu jam istirahatnya. Kali ini ia duduk di satu meja bersamanya di kantin. Pemuda itu makan sangat lahap membuat Kyungsoo mendadak berhenti menyantap makan siangnya. Demi Tuhan Kyungsoo sangat lapar tadi, tiba-tiba selera makannya hilang ketika melihat Jongin makan seperti itu.

"Apa kau tidak gabung dengan teman-teman nakalmu?"

"Apa kau tidak punya teman sampai makan sendirian?"

Jongin menjawab pertanyaan Kyungsoo dengan pertanyaan.

"Minseok katanya sedang diet, dia tak mau ke kantin." Balas Kyungsoo sambil mendengus.

Kyungsoo bukan tipe yang mudah beradaptasi dengan segala aspek dinamika. Sikapnya terkesan dingin dan cuek. Terlebih fakta mengenai dirinya soal anak dari seorang dokter juga pemilik rumah sakit besar ternama sudah menyebar. Sampai terdengar oleh siswi dari kelas lain—yang juga lahir dari keluarga berada berusaha mendekatinya, namun Kyungsoo mengira pertemanan mereka hanya sekedar ajang pamer. Jadi, ia memutuskan membatasi teman di sekolah barunya.

Kyungsoo bukan orang yang suka membanggakan diri sendiri, harta atau keluarganya. Ia justru malu identitasnya terungkap dalam waktu dekat sejak ia pindah.

Mendapati Jongin terbatuk-batuk akibat makan terlalu cepat, Kyungsoo mendorong gelas minum miliknya ke arah pemuda itu. Jongin tampak tersedak. Berpikir bahwa dia sangat bodoh makan makanan sebanyak itu tanpa membawa minum.

"Kenapa tak bawa minum sih? Ini, minum punyaku."

"Ah.." Jongin merasa lega menghabiskan setengah gelas minum Kyungsoo. "Aku lupa ambil minum. Sebentar, akan ku ganti punyamu."

"Tidak perlu—" Tetapi Jongin sudah pergi. Lalu kembali membawa jus strawberry, yoghurt dan dua botol air mineral dalam kantung pelastik.

"Untukmu."

Jus strawberry itu terlihat segar menggoda Kyungsoo. Ia segera menyeruputnya. "Terima kasih."

Tiga hari pertama Kyungsoo masuk ke sekolah ini, Jung Soojung dan gengnya selalu mengganggunya, namun setelah Soojung berhenti Kim Jongin muncul kemudian. Rasanya setiap menit Kyungsoo selalu merasa pemuda itu ada di mana-mana, mengesampingkan fakta bahwa mereka satu kelas.

Kali ini Jongin mulai mengacau lagi. Kesusahan membuka yoghurt dan—crasss! Kemasan yoghurt rasa anggur itu robek dan isinya yang berwarna keunguan mengotori wajah juga seragam Jongin.

"Yoghurt macam apa yang di kemas dengan desain seperti ini, huh? Menyusahkan saja."

Pemuda itu kesal sambil mengelap wajah dengan tisu, dan Kyungsoo tidak bisa menahan tawanya.

Itu lucu sekali.

Ini pertama kali ada sesuatu yang membuat Kyungsoo tertawa di sekolah barunya.

.

.

"Ah, ya ampun. Bisa berhenti mengikutiku?" Kyungsoo sedang duduk-duduk di teras halaman sekolah dekat kelas, menghabiskan sisa jam istirahat dengan membaca buku. Ia menutup bukunya sewaktu melihat Jongin bergabung duduk.

Demi Tuhan sepuluh menit yang lalu mereka makan siang di satu meja. Sudah dua hari ini Jongin bergabung makan tanpa permisi.

"Kebetulan teman-temanku mengajakku nongkrong disini."

Kyungsoo memutar mata mendengar jawaban Jongin yang terlalu santai. "Oh ya, dimana mereka?"

"Mungkin sebentar lagi datang."

"Kalau begitu aku yang pergi."

"Tunggu. Sepertinya tidak jadi. Bukankah jam istirahat sebentar lagi selesai?"

Melirik jam tangannya yang mungil berwarna hitam, Kyungsoo menyetujui ucapan Jongin. "Malah sisa satu menit lagi."

"Tidak, bel sekolah lebih cepat dari jam tanganmu. Kau mau bertaruh? Tiga puluh detik lagi di mulai dari sekarang, bel bakal bunyi."

"Oh ya? Hm, kupikir 45 menit lagi."

Kyungsoo memegang buku di pangkuannya sambil melirik jam tangan. Matanya membola sewaktu bel berbunyi setelah tiga puluh detik, perkiraan Jongin ternyata benar. Gadis itu berdiri dan melangkah cepat, kemudian berbalik.

"Mengenai belnya kau benar. Ayo, masuk kelas. Kita harus mengumpulkan tugas Kim ssaem."

Menggeleng melihat Kyungsoo yang terburu-buru, Jongin tanpa sadar tersenyum. Dibalik sikapnya yang ketus, Kyungsoo masih mampu memancarkan sisi lembut dan semangat kanak-kanak. Atau agaknya dia mulai menerima Jongin sebagai teman.

.

.

Hari-hari berikutnya, Kyungsoo tidak mengerti mengapa ia merasa akrab dengan Jongin. Setiap hari mereka tidak pernah melewatkan jam makan siang bersama. Teman-teman geng Jongin mengejeknya karna pemuda itu seperti naksir si gadis anak pindahan kaya raya.

Dan Kyungsoo juga mempertanyakan hal itu, tapi tidak terlalu berharap.

Dari dalam hatinya, perlahan mulai menerima kehadiran Jongin di sisa-sisa sekolahnya sebagai angkatan yang akan lulus. Kyungsoo tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa ia mulai terbiasa berinteraksi dengan Jongin.

"Gawi bawi bo!" Di halaman sekolah itu mereka bertaruh siapa paling cepat menyelesaikan ujian akhir semester pada esok hari, jika kalah maka harus mentraktir.

Kyungsoo memenangkan permainan kertas gunting batu, jadi ia lebih dulu menguasai buku pinjaman perpustakaan mengingat mereka awalnya berebut. Gadis itu segera menyambar bukunya dan membacanya semangat.

Tetapi Jongin tidak menyesal harus kalah. Dia.. tidak tahu, mengapa Kyungsoo begitu menarik perhatiannya sejak awal. Bukan hanya wajahnya yang cantik, sikapnya yang dingin justru menggaet atensi Jongin. Sampai-sampai ia tak lagi nongkrong atau membully adik kelas bersama gengnya karena terlalu sibuk belajar—lebih tepatnya kegiatan Jongin sekarang adalah mengikuti Kyungsoo.

Pemuda itu menatap Kyungsoo yang fokus dengan bukunya, tiba-tiba jauh dalam dadanya memburu. Mungkin teman-temannya benar, dia memang naksir Kyungsoo. Bagaimana dahi gadis itu mengerut dengan gemas saat menemukan ketidak cocokan dalam buku dengan isi pikirannya. Rambut Kyungsoo yang kecoklatan terurai jatuh, hingga Jongin rasanya ingin sekali menepi helai itu ke belakang telinga dan mengelus pipinya yang memerah.

Menjelang sore hari itu, mereka menyelesaikan belajar lebih cepat. Berlarian meneduh ke halte dekat sekolah karena tiba-tiba hujan mengguyur sangat deras. Suara-suara petir menyambar bergantian di langit juga angin mengehembus jalanan. Hanya mereka berdua yang berada di halte itu.

Kyungsoo memeluk dirinya sendiri, bangku halte terasa membeku dan bertanya-tanya mengapa paman Lee, supirnya, belum datang menjemput. Ponsel paman Lee bahkan tidak biasanya tidak aktif.

Satu petir terdengar kencang terasa meledak di atas kepala, mengagetkan Kyungsoo dengan spontan agak melompat mendekat Jongin. Pemuda itu bergerak refleks merangkul, inderanya lantas mencium aroma manis menguar dari rambut panjang Kyungsoo.

"Maaf." Bisik Kyungsoo. Hendak menjauh memberi jarak, namun Jongin menahannya. Tetap mendekap seakan memberi perlindungan.

"Tidak apa-apa. Begini saja."

Hujan deras belum berhenti, petir-petir masih bersahutan mengejutkan dengan suaranya yang keras nan ngeri.

"Dingin?"

Kyungsoo mendongak untuk menatap Jongin, jantungnya mendadak berdegup acak menyadari wajah tampan itu terlalu dekat. Ia mengangguk atas pertanyaan barusan, memang benar dia kedinginan.

Mengeratkan pelukannya pada tubuh ramping Kyungsoo, ini terasa bukan masalah dan tubuhnya menggelenyar aman dalam dekapan Jongin. Ia menyenderkan sisi wajahnya ke bahu pemuda itu, agak terkejut mendapati otot-ototnya terasa keras. Sepertinya Jongin rutin berolahraga.

Jemari Kyungsoo agak meremas seragam Jongin tiap kali petir terdengar keras di atas mereka. Ia menatap jakun Jongin yang terlihat manly untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa tak nyaman akibat badai.

"Kyungsoo," panggil Jongin membuat pandangan mereka bertemu. "Apa kau punya pacar?"

Pertanyaan itu terdengar jenaka. Kyungsoo menggelengkan kepala. Ia tak pernah punya pacar seumur hidupnya.

"Syukurlah. Aku tak perlu berkelahi dengan seseorang karna memelukmu sedang hujan begini."

"Kalau kau.., apa kau punya yeoja chingu?"

"Tidak. Aku sangat pemilih."

"Lalu siapa yang kau pilih, Jongin?"

Jongin belum mau menjawab, tatapannya terasa dalam menyelami mata Kyungsoo yang berbinar seperti anak kucing. Pipinya yang memerah menarik telapak tangan lebar Jongin mengelus pada permukaan lembut disana. Perlahan mengikis jarak, Jongin merasakan dadanya terisi penuh oleh jutawan afeksi saat gadis itu memejamkan mata.

Jongin mencium bibir Kyungsoo hati-hati.

.

.

Kyungsoo begitu semangat pergi ke sekolah pagi ini. Ia tak hentinya tersenyum kecil sepanjang perjalanan hingga tiba di kelas. Mengundanng Minseok yang baru saja datang bertanya mengenai suasana hatinya karena Kyungsoo terlihat sangat bahagia. Ia turut tersenyum melihat wajah Kyungsoo yang berseri-seri.

Satu persatu teman-teman mulai mengisi kekosongan kelas, sampai akhirnya bel masuk terdengar senyum di wajah Kyungsoo mulai meluntur. Kim Jongin tidak ada di kursinya. Meja paling belakang di sudut kelas itu di biarkan kosong.

Dia tidak hadir. Kenapa?

"Pagi semuanya." Kim ssaem masuk kemudian, setelah siswa-siswinya menjawab sapaannya beliau mulai mengabsen.

"Oh iya, hari ini kita kehilangan teman di kelas karena Kim Jongin mengundurkan diri dan pindah sekolah."

Pengumuman tak terduga dari Kim ssaem itu menggores kecil di hati Kyungsoo.


TBC


Halo! wey balik lagi dari sekian tahun buat lanjutin oneshoot yang ternyata aku memutuskan untuk membuat sequel.

Aku tau ffn sepi banget, ga peduli ada yang baca atau engga wey cuma mau post aja. Semoga masih banyak yang sayang kaisoo ya :')

xoxo