One Act
Story by weyyy
Kim Jongin
Do Kyungsoo
GS/Mature Content/Some Typo's
"Pasti dia bilang sesuatu kan, Pak?"
Kyungsoo belum berhenti mendesak Kim ssaem sejak jam belajar berakhir, menuntut jawaban terus menerus mengenai Kim Jongin yang pindah sekolah secara tiba-tiba. Seraya membututi pria itu sampai meja kerja si guru, Kim ssaem sibuk setelahnya berkutat pada tumpukan dokumen di samping komputer.
Seorang wali kelas wajar saja menanyakan alasan kepindahan pada siswa. Namun, lagi-lagi tanggapan Kim ssaem menyeretnya pada perasaan frustasi dalam proses pikir Kyungsoo yang kompleks.
"Malam itu Kim Jongin datang ke rumah hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri. Saat kutanya mengapa, dia bilang ada hal yang mengharuskannya keluar sekolah dan tidak mengatakan apa pun lagi."
"Hanya itu saja?" Kyungsoo tak sadar telah bertanya dengan nada tak sopan. Sikap santun dan hormat mendadak lenyap entah kemana. Ketika menyadarinya, segera ia menggumam maaf.
Do Kyungsoo adalah orang lokal pindahan dari luar negeri. Memiliki otak cerdas dan nilai akademik yang gemilang yang dibawanya dari sekolah lamanya di Manhattan, AS. Dia tampak tidak mudah di dekati juga berlatar belakang dari keluarga terhormat. Agak tak masuk akal mendapatinya mengkhawatirkan Kim Jongin, siswa yang tidak serius belajar, dua atau satu kali dalam seminggu rutin membolos—sejak Kyungsoo pindah kemari hal itu mendadak tidak di lakukannya lagi, rumor pemalakan pada adik kelas, juga tanding sepak bola antar sekolah lain diluar organisasi resmi di landasi taruhan sejumlah uang. Dan.., kasus merokok yang hanya di ketahui Kyungsoo, atau juga teman gengnya.
Tentu saja hal itu membingungkan akan hubungan tak tersirat keduanya. Kerap kali terlihat akrab oleh teman-teman dan mengingat pernah mendengar kabar tersebut, mengira kalau mereka bisa saja menjadi sepasang sahabat. Kim ssaem akhirnya memaklumi cemas dan gugup kentara di wajah Kyungsoo.
"Maaf, Kyungsoo. Jongin tidak mengatakan alasan mengapa dia pindah." Menarik selembaran yang ia temukan akhirnya, selama agak mengacak-acak mencari pada tumpukan kertas, beliau menyodorkan benda tipis itu ke dekat Kyungsoo yang berdiri mematung. Berharap dapat memuaskan jawaban yang dia inginkan. "Ini bio-nya, kau bisa melihat alamat rumah dan nomor telepon wali. Juga keterangan dimana dia sekolah dasar dan menengah pertama."
"Terima kasih." Langsung saja meraih kertas itu dan membacanya cepat. Kyungsoo berujar dengan nada memohon, "Boleh kupinjam sebentar, Pak? Akan ku kembalikan secepatnya."
Sempat membungkuk sedetik Kyungsoo agak berlari keluar ruangan, setelah Kim ssaem mengizinkannya membawa selembaran informasi Kim Jongin. Ia menyalin di belakang halaman catatannya sesampainya di kelas, nomor telepon dan alamat lengkap sudah cukup bagi Kyungsoo menganggap masih ada setitik harapan. Bio Jongin segera dikembalikan pada Kim ssaem setelah itu sesuai janjinya.
Kalut juga tidak sabar menunggu sore hari waktu sekolah berakhir. Saat itu tiba, ia bergegas menemui teman-teman geng Jongin di halaman belakang sekolah. Kyungsoo mendapati sekelompok siswa itu tengah mengancam sambil mencekeram kerah seragam seseorang, sepertinya adik kelas.
Oh, sungguh malang. Kyungsoo pernah di posisi anak laki-laki berkaca mata itu. Mengingat sistem peraturan sekolah yang lemah, jarangnya pengecekkan cctv seakan benda itu hanya pajangan belaka, ia bertekad akan kembali melapor sehingga peraturan disini terbuka memberantas pembulian.
"Hei!" Ujar Kyungsoo sedikit berteriak menarik perhatian, tetap menjaga jarak. "Ada yang ingin kutanyakan soal Kim Jongin."
Satu siswa berbadan paling jangkung dan gempal tampak menjadi dominan baru setelah Jongin tak ada, dia saling berpandangan dengan yang lain lalu melepas cengkeramannya yang terasa mencekik si adik kelas. Sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak seolah Kyungsoo melontarkan candaan paling lucu. Diantara kekesalan mendadak akibat tawa bising mereka, Kyungsoo bersyukur saat dilihatnya si adik kelas tadi mengendap kabur di kejauhan.
"Jongin tidak gabung lagi dengan kami. Bukannya dia sibuk pacaran?"
"Tidak." Bantah Kyungsoo mengelak sindiran itu. "Kalian teman dekat Jongin. Jadi, beritahu aku alasan masuk akal kenapa dia pindah sekolah."
"Hah? Jongin pindah?" Si pemuda gempal itu malah terkejut.
"Sejak kapan?" Balas yang lain dengan ekspresi kaget yang sama—yang terlihat sangat bodoh.
Kyungsoo mendengus atas keputusannya mendatangi teman Jongin, pada akhirnya tidak mendapat hasil bagus. Ia mengeluarkan ponsel menelepon paman Lee, untuk menjemput secepat yang pria itu bisa. Kemudian kembali bergegas meninggalkan sekelompok geng sialan itu, yang kini berseru kesal karena baru menyadari mangsa mereka—si adik kelas melarikan diri akibat gangguan dari Kyungsoo.
Dalam perjalanan, sesaat paman Lee datang menjemput sepuluh menit setelahnya, lantas menjalankan perintah kala Kyungsoo minta diantar ke suatu tempat. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah tindakannya benar.
Mencari Kim Jongin. Fakta itu berputar dalam pikirannya dan menguasai isi otaknya hingga berbuat demikian konyol. Hari ini bahkan Kyungsoo tidak fokus belajar.
Sisi lain dari dirinya mengatakan bahwa ia tidak perlu repot-repot mengejar Jongin, hanya karena ciuman bodoh yang dilakukan bocah SMA kasmaran yang sialnya terjadi diantara mereka.
Tetapi jauh dalam dadanya terasa mengganjal, sangat tak nyaman bila Kyungsoo memilih diam saja—ketika seseorang mencuri ciuman pertamanya menghilang tanpa pamit.
Mencuri ciuman? Benarkah? Bukannya dia juga sedikit menikmatinya?
Kyungsoo jatuh dalam lamunan panjang hanya untuk menyusun pikiran bodoh itu. Setidaknya untuk saat ini, ia hanya ingin tahu alasan Jongin pergi.
"Sudah sampai, nona." Ujar paman Lee memecah sunyi, melirik spion tengah mobil untuk memastikan majikan mudanya tidak salah memilih tempat tujuan.
Kyungsoo tidak menyadari sudah bermenit-menit di lewati hingga mereka telah menjauh dari distrik Gangnam yang serba mewah. Kini sampai di suatu desa asing dengan perbedaan kesenjangan sosial yang mencolok. Kawasan itu seperti tak tersentuh kemajuan beradaban.
Daerah Guryong, lingkungan kumuh di pinggir Seoul, yang bahkan tidak terdaftar dalam peta dunia Korea Selatan. Dahi Kyungsoo mengerut menatap keluar jendela mobil, mendapati pemandangan yang kontras dengan kota Seoul.
Kyungsoo mengeluarkan catatan dari dalam tas, mengecek kembali alamat yang ia salin disana. Paman Lee menjalankan perintahnya dengan baik, sesuai GPS, tidak salah membawa mereka ke tempat yang ia pinta. Pilihan selanjutnya Kyungsoo mengetik nomor wali Jongin di ponselnya untuk di telepon. Amat mengejutkan bahwa nomor tersebut tidak terdaftar.
"Paman, tunggu disini sebentar."
"Baik, nona."
Kyungsoo memutuskan keluar mobil untuk melihat-lihat. Tenda terpal, bangunan tidak kokoh berdiri sepanjang jalan kecil guna dijadikan tempat tinggal. Nyaris semuanya terlihat tidak layak, juga dua anak bermain dengan barang bekas menggiring iba menyelimuti hati Kyungsoo. Ia berencana meminta rumah sakit ayahnya memiliki kegiatan santunan ke tempat ini, setidaknya setiap jumat.
Kyungsoo memberhentikan seorang wanita berpakaian lusuh yang berjalan berpapasan, beliau terlihat berumur tapi masih nampak kuat, sambil menenteng kantung besar berisi sayur layu. "Permisi, Bu, apa kau kenal Kim Jongin? Dia masih siswa SMA angkatan akhir, alamatnya tertulis di sekitar sini."
"Kim Jongin? Maaf aku tidak tahu, nak." Jawabnya menggeleng polos lalu melanjutkan langkahnya.
Kyungsoo telah berusaha bertanya pada beberapa orang yang ia temui, sebagian besar telah berusia sekitar di atas 65 tahun, dan tak satupun dari mereka mengenal Jongin. Sebelum memutuskan kembali pada paman Lee, ia membagi sebungkus kecil vitamin yang selalu di bawanya dalam tas pada anak-anak disitu.
Bio dari Kim ssaem tidak membantu sedikitpun. Kyungsoo mempertanyakan keaslian informasi tersebut, namun juga tak bisa sembarangan menuduh si guru. Masih ada hari esok untuk bertanya hal ini.
Hendak kembali masuk mobil, atensi Kyungsoo berpendar sekali lagi menatap kawasan itu. Tidak ada yang dapat ia lihat selain bagunan nyaris rubuh, gereja tua, taman kanak-kanan seadanya yang bersifat komunal di kelola oleh warga sendiri, juga orang-orang yang tidak mengenal Jongin, dan bangunan tua tampak seperti gudang besar bekas di ujung desa.
Sepertinya sekolah harus memastikan ulang mengenai kebenaran bio tiap siswa.
.
.
"Kurasa bio milik Kim Jongin palsu, Pak."
Esok hari tepat bel tanda jam istirahat berakhir, Kyungsoo sepertinya bertekad mencegat Kim ssaem yang menyusuri koridor itu. Beliau hendak masuk ke kelas di sebelah kelas Kyungsoo memenuhi jadwal mengajar, namun ucapan siswi di hadapannya begitu mengejutkannya.
"Kenapa bisa begitu?"
"Aku pergi ke desa di pinggir Gangnam sesuai alamat di bio dan tidak ada yang mengenal Jongin. Oh ya, nomor telepon wali juga tidak terdaftar." Menjelaskan dalam satu tarikan napas, Kyungsoo menunggu si guru yang tampaknya terkelu. Ia sungguh merasa bersalah mengajak Kim ssaem bicara di waktu yang kurang tepat, tetapi ia juga tidak tahan.
"Aduh, bagaimana ini ya." Akhirnya terdengar jawaban dalam intonasi menyesal. "Kim Jongin.., bocah itu.., sebagai wali kelas sudah lama aku hendak mengeluarkannya karna terlalu banyak membolos, kalau saja belakangan ini dia tidak jadi lebih rajin. Tetapi malah dia yang mengundurkan diri. Soal bio itu aku tidak tahu apa-apa, Kyungsoo. Jongin menulisnya seperti siswa kebanyakan pada formulir pendaftaran saat tahun pertama masuk sekolah. Kami hanya fokus pada nilai yang dia peroleh saat sekolah menengah, sehingga bisa menerimanya sekolah disini, tidak pada alamat atau nomor telepon wali."
Kyungsoo bungkam. Atau ia tak sanggup berkata lagi karena terlalu pening.
"Maaf Kyungsoo, aku tak bisa banyak membantu."
Menepuk pelan bahu Kyungsoo pertanda simpati, Kim ssaem melanjutkan tujuannya guna mengajar di satu kelas.
Pikiran kosong mengitari Kyungsoo setidaknya untuk beberapa detik. Ia baru menyadari betapa sangat bodoh telah bertindak akan hal-hal yang ia anggap bisa di lakukan dengan mudah. Terlepas dari mencari keberadaan seseorang bermodal alamat dan nomor telepon nampaknya tak berlaku bagi seorang Kim Jongin.
.
.
Kyungsoo harus menerima sisa semesternya dengan ketidak hadiran sosok asing yang mulai akrab dengannya di sekolah. Itu bisa saja ia lewati dengan mudah, walau sekilas memorinya berputar selayaknya kaset klasik. Aksi pertolongan di atap gedung, berebut buku di perpustakaan, makan bersama di kantin, bergurau di taman sekolah, dan peristiwa menggelikan di halte itu…
…tetap membawa Kyungsoo pada hasil akhir yang memuaskan saat hari kelulusan tiba. Seperti saat ini begitu upacara resmi selesai, pengumuman menyatakan bahwa ia menduduki peringkat kedua lulusan terbaik dari seluruh angkatan siswa, semua orang mengucapkan selamat.
Tetap saja walau hanya di posisi ke dua, itu suatu keajaiban bagi Kyungsoo sebagai siswi pindahan, yang mengharuskannya beradaptasi dan merangkai mood serta jadwal belajar yang baru dari awal.
Semua siswa merayakan hari kelulusan di lapangan outdoor itu, anak laki-laki saling bertukar seragam, yang perempuan memberi hadiah kecil, ucapan selamat juga tradisi kelulusan SMA Korea kebanyakan.
Di tengah obrolan soal Minseok yang bersikeras tentang mimpinya menjadi seorang makeup artist, tiba-tiba sosok lelaki jangkung mendatangi Kyungsoo. Tampilan serba hitam mulai dari topi dan masker mulut di wajahnya yang tidak begitu terlihat jelas. Ia hampir menganggapnya orang aneh, kalau saja tidak mendapati kamera di tangan juga kartu identitas yang mengalung di leher, tertulis Graduation Photography atas nama sekolah.
Kyungsoo segera berpose dengan gaya sederhana saat si lelaki bersiap pada kameranya, ia menyungging senyum terbaik.
Cekrek!
Si lelaki bergegas pergi begitu saja setelah mengambil gambar Kyungsoo—memaklumi mungkin dia terburu-buru melanjutkan pekerjaan sebagai photographer, namun tetap meninggalkan kesan kebingungan ambigu yang seakan dejavu, saat punggung tegapnya berjalan menjauh menghilang di tengah kerumunan.
TBC
Ada respons positif pada akhirnya dan sesuai janji wey tetap post. Terlepas dari ffn yg super sepi sekarang. Makasih ya yg kemarin sempet review dan udh nunggu wey, makasih karena udh suka sama ceritakuu, tunggu chapter selanjutnya ya (:
xoxo
