"Apa dekat-dekat? Sudah kubilang jangan dekati aku, kan!" Cahaya menyalak galak seperti anjing chihuahua.

"Eh, kau sadar?" Pertanyaan polos itu membuat telinga si penyendiri naik.

"Kalian pikir aku tuli?" Cahaya membalik badannya, tak lupa memasang raut wajah yang menyaingi pH hujan asam.

Sesi istirahat pagi itu rencananya ingin ia habiskan dengan bermain di balik gedung kelas dengan mainannya. Alangkah damai hidup Cahaya apabila ia tidak perlu bertemu sepasang anak kembar yang mengikutinya ke mana-mana. Di sini ia sekarang, berhadapan dengan dua penguntit yang bahkan tidak ada usaha menutupi langkah mereka. Suara sepatu mereka yang menggesek daun-daun kering begitu kentara.

"Cahaya, jangan galak-galak begitu, dong." Angin membujuknya. Di dekapannya ada sepasang benda silinder yang tembus pandang.

"Gak peduli, aku masih benci kalian." Cahaya menjawab mutlak, tidak dapat diganggu gugat.

Anak itu sekilas melihat bibir Angin yang manyun, tetapi ia tak cukup peduli untuk menanggapinya. Ia hendak kembali ke dunianya sendiri kalau saja Petir tidak menyulut sumbu pendeknya.

"Oi, anak planet luar."

"Kau panggil aku apa?!"

"Anak planet luar. Habisnya kau selalu main sendiri. Diajak main tak mau, diajak belajar juga tak mau." Wajah si bocah bermata merah bukannya marah atau mengejek, hanya datar. Tetapi, justru itu yang membuat darah lawan bicaranya serasa direbus.

"Tsk—" Cahaya menggigit bibir. Bagaimanapun juga, apa yang Petir katakan benar.

"Selain itu, kau juga main pakai mainan aneh-aneh itu. Yang lain mana paham."

Telinganya kembali naik. Kali ini, Cahaya tak bisa meringkuk begitu saja di tempat persembunyiannya. "Kau … mengatai mainanku sekali lagi … minta dihajar."

"Cahaya." Angin menyela.

"Hah?"

Anak itu berjongkok, menyejajarkan dirinya dengan si bocah penyendiri. Dari tangannya, dilempar sebuah gelas plastik bekas yang dihiasi dengan bentuk petir, sementara yang ia pegang berbentuk angin tornado. Yang menyambungkan dua gelas itu adalah sebuah benang panjang.

"Aku dan Petir juga punya mainan aneh. Malahan, Petir punya banyak di rumah! Tapi, yang ini yang paling keren." Angin tersenyum lima jari. Suara yang ia buat terdengar menggema dari ujung botol yang tergeletak di lantai. "Di rumah yang lama, Petir juga suka kumpul tutup botol bekas untuk roda mobil."

"Oi, kenapa jadi cerita tentang aku," bantah Petir yang dijadikan bahan pembicaraan tanpa izin.

"Habisnya, yang suka mainan aneh-aneh, kan, kau!" Angin, seperti biasa, membalas tanpa ragu.

Hah, Petir yang serius itu juga suka mainan aneh. Tidak disangka. Sesekali, Cahaya bisa melihat anak itu menyusun lego sewaktu di kelas. Di matanya, yang seperti itu masih termasuk normal. Mainan aneh macam apa yang diklaim suka dimainkan anak itu?

"Habis itu, Petir juga suka nonton Ada Da sama sinetron."

"Yang itu gak usah diceritakan!"

Pipi Cahaya menggembung. Tawanya nyaris lepas kalau saja ia tidak tahan batin. Ia belum berniat mengakui kalau mendengar sisi konyol Petir berhasil menggelitik perutnya. Anak itu sepenuhnya berjongkok menghadap mereka, menyimak cerita si kembar lebih lanjut.

"Dan mainan ini …," bisikan Angin seakan ditelan oleh telepon gelas, "adalah hadiah buat seseorang."

Mata Cahaya membola. Pandangannya kemudian beralih ke pasangan gelas bergambar petir merah di hadapannya.

"Aku dan Petir membuatnya bagus-bagus. Lihat, bahkan ada hiasannya juga. Tapi, kami belum sempat memberikannya …."

Petir membuang muka tanpa berniat menyambung cerita. Detik kemudian, ia menyadari bahwa gelas yang tergeletak di lantai telah berpindah ke sepasang tangan kecil.

"Mainanku juga hadiah."

Ketiga anak itu berbalas tatap. Satu tatapan sama dari tiga sosok berbeda, masing-masing menyorotkan sendu yang selalu mereka simpan dalam kalbu masing-masing.

"Hadiah dari kakakku. Kak Solar suka sains, aku juga suka. Ayah dan bunda gak bisa pakai uang sembarangan, makanya kami jarang punya mainan. Tapi, Kak Solar membelikanku mainan dengan uang tabungannya." Cahaya menunduk, matanya menyipit. "Aku gak rela kalau ada yang merusaknya."

Mata Angin memantulkan binar. Ia berdiri tanpa melepas genggaman pada gelasnya. "Aku janji akan jaga tangan dari mainanmu. Karena itu, boleh aku jadi temanmu?"

"Kalian ini aneh …." Cahaya menimbang-nimbang sambil menutup matanya. Beberapa detik kemudian, ia kembali dengan sebuah jawaban, "Tapi, ya, sudahlah. Kalau kalian memaksa … ayo berteman."

Wajah Angin berubah cerah, seperti langit biru di musim panas. Ia melompat ke udara, memamerkan diri kepada kembarannya yang tak sedikitpun berniat mengubah raut wajahnya.

"Lihat itu, Petir? Kita bisa berteman pakai cara damai!"

"Hooh, kukira harus adu jotos dulu baru dia mau nurut."

"Kalian merencanakan apa sebelumnya?!"


Surga Khayal

"I don't want to grow up so great and dazzling if it's only for a short moment with you.

I'd rather be something small if it means to be able to live with you forever."

Boboiboy © Animonsta Studios

Terinspirasi dari manga "My Girl" karangan Sahara Mizu.

A BoBoiBoy fanfiction by akaori.


Lonceng di pintu berdenting ketika seorang pelanggan berjaket hijau melangkahkan diri ke sebuah bangunan berbau manis. Dinding dan lantai yang dihias dengan lukisan pastel dan awan-awan menyambutnya, disusul oleh sambutan ceria dari para pramuniaga.

"Selamat datang di Baby Bakery! Ada yang bisa saya bantu?"

"Aku mau beli cheesecake. Umm, yang populer di kalangan remaja yang mana, ya?"

"Oh, kalau itu banyak, Kak! Kami punya berbagai rasa. Ada yang stroberi, green tea, lemon, pisang, cokelat—"

"Uwaaah, banyak sekali!"

Mata Duri nyaris keluar melihat daftar menu yang kalau digelar bisa mencapai ujung kaki sampai ujung kepalanya. Ia baru tahu kalau cheesecake saja bisa punya begitu banyak rasa. Tempat ini sungguh ajaib.

Baby Bakery namanya, toko kudapan manis yang pernah beberapa kali Solar ceritakan padanya. Katanya, rasa kue buatan mereka sangat lezat sampai bisa mengantar dirimu ke langit setelah memakannya. Beberapa kali mereka pernah berbicara tentang mengunjungi tempat itu bersama. Sayang, mereka belum sempat memenuhi keinginan itu.

Duri sudah memutuskan bahwa ia akan membawakan oleh-oleh berupa makanan kesukaan Solar. Maka dari itu, Baby Bakery menjadi tempat tujuannya. Tempatnya lumayan ramai, di sini banyak anak sekolah seumuran Solar sedang menikmati berbagai kue dan manisan yang aroma manisnya merebak ke seluruh toko.

Bukan hanya dekorasinya yang penuh warna-warna lembut yang menangkap perhatian Duri, tetapi juga penampilan stafnya. Seorang kasir yang tengah menawarkan menu kepada si pelanggan baru mengenakan pakaian maid berwarna pastel. Rambutnya pirang diikat dua, seperti virtual singer terkenal itu. Kalau tidak salah, ini yang mereka sebut sebagai cosplay.

"Um, anu … aku mau beli oleh-oleh untuk pacarku—" Kata-kata Duri dipotong.

"Untuk pacar? Astaga, Kakak manis banget! Untuk pacar, kami punya rekomendasi menu yang blablablabla—" Mata bulat pelayan pirang berkilat-kilat begitu ia mendengar kata 'pacar'.

Ini gak membantu sama sekali! Duri mengutuk di dalam hati. Bukannya tercerahkan, ia malah semakin bingung akan nama-nama menu yang diambil dari bahasa-bahasa asing. Sebelum ia sempat meledak, Duri mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mengayunkannya.

Kemudian menaruhnya pelan-pelan di atas etalase kue. "To-tolong, bungkuskan cheesecake semua rasa yang ada, masing-masing satu …."

"Wah! Mau borong, ya, Kak! Oke, tunggu sebentar, ya!"

"Haah …."

Solar tidak cerita cheesecake rasa apa yang jadi kesukaannya sehingga Duri menjadi tak tahu yang mana yang harus ia pilih. Kalau sudah begitu, lebih baik borong saja semua sekalian, pikir Duri. Harga tidak penting saat ini, yang penting adalah ia bisa membawakan oleh-oleh untuk sang kekasih yang begitu ia rindukan.

Duri tidak boleh mundur lagi. Apapun akan ia lakukan jika itu demi mengembalikan senyum di wajah Solar.

"Oh, iya. Saya lupa tanya. Kakak mau topping apa untuk cheesecake-nya? Kami ada keju, buah-buahan, biskuit—"

"AAAAAAAAHHHH!"

Ya, apapun itu. Termasuk memilih menu kue yang bejibun jumlahnya sekalipun.


Sejak minggu lalu, telah diumumkan bahwa pada Jumat minggu ini tidak ada pembelajaran tambahan karena para guru akan mengadakan rapat. Mungkin tujuannya untuk membahas kisi-kisi soal ujian. Memanfaatkan kesempatan itu, Solar mengarahkan langkahnya ke sebuah gedung PAUD tempat adiknya bersekolah.

Dulu, menjemput Cahaya sewaktu istirahat berlangsung adalah hal yang menjadi rutinitas bagi sepasang saudara itu. Salahkan ujian yang sebentar lagi tiba, membuat Solar tak bisa menjemput Cahaya seperti biasa. Adiknya memang bisa pulang sendiri karena jarak rumah dengan sekolah dekat, tetapi Solar menikmati waktu pulang di mana ia menyusuri jalanan bersemak-senak tinggi bersama adiknya.

Hari ini seharusnya menjadi hari yang santai, tetapi isi perut Solar berkata lain. Di dalamnya hanya ada air. Sejak pagi ia tak nafsu makan, membuat tubuhnya linglung. Untuk sesaat ia berhenti melangkah, meluruskan pandangannya yang sempat oleng.

Remaja itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya sembari menutup hidung dari aroma tanah basah yang pekat. Di hadapannya adalah sebuah gedung PAUD kecil yang sudah dihadiri oleh beberapa orang tua yang hendak menjemput putra-putri mereka. Di luar gedung, beberapa pedagang kaki lima juga sudah bertengger di posisi masing-masing untuk menjajakan dagangan mereka kepada jiwa-jiwa kelaparan para pelajar PAUD.

Solar masuk melalui gerbang besi yang terbuka, menyunggingkan senyum kepada para ibu yang tengah berbagi cerita. Ia tak boleh fokus kepada rasa mual di ujung kerongkongannya, bisa-bisa ia muntah di depan ibu-anak yang tidak berdosa. Mau ditaruh mana mukanya?

Solar berencana berjalan sampai ke kelas Cahaya, tetapi tampaknya itu tak perlu. Sebab ia bisa menangkap sosok adiknya di depan pintu kelas yang paling dekat dengan gerbang keluar. Hanya saja, ia tak sendirian di sana. Dua anak laki-laki menghadang jalannya sambil mengayun-ayunkan bola di tangan mereka.

"Anak-anak itu ngapain?"

.

.

.

"Kembalikan! Itu punyaku!"

"Bweee! Mainan jelek begini kau sebut harta karun? Cemen!"

Cahaya nyaris meledak saat itu juga. Pipinya merah, matanya gatal.

Selepas istirahat tadi, Ia duduk terpisah dari Angin dan Petir. Otomatis, sampai jam pulang tiba, ia tidak bertukar sapa dengan si kembar. Mereka baru saja berkenalan; tidak ada alasan bagi Cahaya untuk ditemani pulang. Lagipula, jam pulang si kembar juga berbeda dari Cahaya.

Siang itu tampaknya menjadi siang yang apes baginya. Ketika hendak berjalan pulang, ia dihadang oleh dua anak berseragam berantakan. Hal ini tidak akan terjadi kalau saja ia tidak gegabah menjatuhkan bola planet mainannya dari dalam tas.

Sekarang, kedua anak itu saling melempar bola planet Cahaya. Setiap kali ia berpindah tangan, jantungnya melonjak parah; bagaimana kalau sampai mainannya melambung dan terbuang ke jalan raya?

"Kembalikan!" seru Cahaya, suaranya serak saking kerasnya. Tangannya berusaha meraih bola yang tak berhenti dioper.

"Manja! Ambil sendiri kalau mau!" Salah satu dari mereka, yang berhidung besar, menjulurkan lidahnya kepada sosok yang lebih kecil.

"Oi, bisa kembalikan? Itu bukan barang kalian."

Ketiganya menoleh pada sumber suara yang tiba dari belakang. Sepasang anak yang berwajah serupa dengan warna mata berbeda menatap tajam mereka. Barusan yang berbicara adalah Petir yang selangkah lebih maju dari saudaranya.

"Itu gak baik! Cahaya salah apa sampai kalian beginikan?" Angin menambahi, bibirnya melengkung tajam ke bawah.

"Dih, gak jadi seru," cibir si perebut mainan.

Udara di antara mereka terasa memanas ketika dua sosok bertopi kuning dan biru maju, menjadi tameng yang menutupi Cahaya. Untuk beberapa detik yang hanya diisi adu tatap, anak itu tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Teman si hidung besar, yang berambut cepak, mengerjapkan matanya. Ia memindai dua wajah yang serupa, lantas tersenyum sembari mengangkat telunjuknya ke arah mereka.

"Oh, bentar. Ini si anak kembar itu, kan." Anak itu terkekeh. "Mau sok jadi pahlawan, ya?"

"Hah? Mengembalikan mainan ke orang kalian sebut pahlawan? Standar kalian rendah sekali." Petir menggulirkan mata.

"Berisik! Jadi bener kalau kalian demen sama anak aneh kayak kalian!" Mulut berisik itu kembali menyerang.

"Anak aneh?" Angin tak langsung menangkap apa yang ia maksud.

"Oh, karena itu, ya?" Sementara itu, si hidung besar tampaknya langsung menangkap apa yang dimaksud oleh anak sekongkolannya. "Kalian, kan, anak yang papa-mamanya gak jelas itu."

Kedua anak itu maju selangkah untuk membuat wajah mengejek.

.

"Mama kalian merawat kalian sendirian gara-gara gak punya ayah, kan?"

.

Petir mengerjap, kepalanya langsung menoleh kepada saudaranya. Benar apa yang ia duga; Angin berdiri membatu.

"Nenekku bilang, jadi orang tua itu susah. Kalian gak sadar sudah bikin mama kalian susah? Mana mungkin dia bahagia sama anak-anak sok pahlawan kayak kalian. Banyak gaya!"

Mereka tertawa begitu lepasnya. Petir tidak cukup peduli akan perubahan reaksi mereka, yang ada di benaknya sekarang adalah Angin, yang tadinya mengangkat tinggi kepalanya, kini menatap ke lantai. Tangannya menggenggam ujung seragamnya, sedikit bergetar.

Sebelum ia sempat mengambil langkah untuk menembaki duo pengganggu itu dengan blok legonya, dari belakang mereka datang sosok muda berseragam SMA yang berwajah tak ramah. Matanya tampak menyala dari balik kacamata jingga yang ia kenakan. Alisnya yang menukik tajam makin mendukung hawa tidak enak yang menguar dari dirinya.

"Oi, bocah." Rasa mual yang ditahannya membuat Solar gagal mempertahankan wajah kalemnya. Yang anak-anak itu lihat adalah wajah seorang pembunuh berdarah dingin yang siap menyabet mereka dengan tasnya kapan saja. "Cepat pergi dari sini kalau tidak mau kutendang bokong kalian satu-satu.

"Geeeh! Dasar orang dewasa, mainnya keroyokan!"

"Cabut!"

Keroyokan apanya? Perasaan, Solar datang hanya sendiri. Dua bocah pencari masalah melarikan diri dari hadapan mereka, menjatuhkan bola planet yang tadi mereka rebut. Solar meraihnya sebelum bola itu memantul ke tanah.

"Kakaaaak!" Cahaya menghambur ke arah Solar selagi sang kakak berlutut.

"Hei, Cahaya." Solar mengulum senyum seraya menepuk kepala adiknya. Kepalanya lantas menoleh pada kedua sosok yang seumuran dengannya. "Ini teman-temanmu?"

"Ah, iya. Mereka …." Cahaya berpindah posisi jadi bersembunyi di balik punggung Solar. Dengan wajah setengah tertutup bahu, ia berbisik dengan suara yang teredam di punggung kakaknya, "Teman baruku."

"Hee, begitu." Solar menyunggingkan senyum hangat kepada keduanya. "Terima kasih sudah berteman sama adikku, ya. Dia memang agak susah diajak ngomong. Namaku Solar."

"O-oh, bukan apa-apa! Aku Angin, ini saudaraku, Petir!" Angin terkekeh. Saudaranya menunduk singkat ketika namanya disebut.

Solar menjabat tangan kecil mereka satu-persatu. Sedikit aneh rasanya, berbicara dengan anak seumuran Cahaya, sebab adiknya jarang berbicara dengan teman sekelasnya.

"Kalian pulang jam berapa?" tanya Solar.

"Jam satu. Ayah istirahat kerja jam segitu. Kalau bukan Ayah, biasanya, kami dijemput Nenek, tapi Nenek juga kerja hari ini." Petir gantian membalas setelah adiknya mewakilinya dalam perkenalan barusan.

Solar menimbang-nimbang lama waktu hingga jam itu tiba. Masih lumayan lama. Ia tidak tega meninggalkan si kembar begitu saja setelah membela Cahaya dari dua anak bandel.

"Masih lama. Sebagai rasa terima kasihku, kalian mau ikut ke rumah Cahaya? Kami punya restoran keluarga yang menunya dijamin enak," tawar Solar.

"Ohh! Kami boleh makan apa saja?!"

"Yang sopan, dong." Petir langsung menyikut pinggang adiknya. "Gak usah, Kak. Kami mau menunggu di sini saja."

Suara berikutnya datang dari sosok yang tidak disangka akan angkat bicara, "I-ikut! Kalian harus ikut! Kalau gak, aku jadi berhutang sama kalian." Cahaya masih menunduk, pipinya menggembung dengan semburat merah yang menghiasnya.

"Ah~" Terjunlah saliva imajiner di sudut bibir Angin. Ia lanjut menggaet lengan Petir dan menarik-nariknya. "Ayo, Petir. Sekali-kali tidak apa-apa, kan~"

Itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab tawaran dari Solar. Remaja itu berdiri, bersiap untuk beranjak dari sana. "Biar kuminta izin dulu pada Bu Guru, ya. Kalian ambil tas kalian."

"Aye-aye! Ayo, Petir!"

Petir tampak ogah-ogahan ketika ia diseret paksa setelah diajak ke rumah Cahaya. Ditambah lagi reaksi Angin yang tidak ada malu-malunya, membuat anak bertopi kuning itu jadi tak enak terus-terusan menolak. Siang itu, Cahaya dan Solar pulang dengan ditemani dua sosok teman baru.

Di setiap perjalanan mereka pulang, Solar dan Cahaya hanya akan bertanya-jawab secara singkat. Sisanya, mereka hanya menikmati jalan kaki ke rumah dalam keheningan. Sesekali, Cahaya akan memamerkan bakatnya meniti balok kayu yang tergeletak di jalan, menghasilkan tawa dari sang kakak yang mengawasinya.

Siang itu berbeda. Tiap langkah mereka diiringi ocehan ringan dari anak bertopi biru yang diputar 90° ke kiri. Solar yang berjalan di belakang mereka bisa melihat bagaimana Cahaya yang jarang bicara (terpaksa) aktif menjawab pertanyaannya yang tak habis-habis. Lucu juga melihatnya.

Di sisi lain, si kembar satunya tak begitu aktif menanggapi obrolan mereka. Hanya sepatah "ya" dan "tidak" yang keluar dari mulutnya.

Solar mengawasi mereka dari sudut mata, mulutnya terbuka, "Omong-omong, apa itu benar kalau keluarga kalian hanya ada kalian dan Mama?"

Angin menghentikan langkahnya, otomatis membuat dua anak lainnya juga berhenti. Ia berbalik menatap Solar dengan alis yang mengkerut. "Uhh, kami dirawat sendirian di luar negeri. Tapi sekarang Papa belum pulang, jadi kami dirawat Kakak."

"Papa? Kakak? Kalian punya kakak?"

"Oh, iya!" Angin menepuk tangan. "Kak Solar baik, jadi kuceritakan tentang Papa, ya!"

Alis Solar terangkat.

.

"Aslinya," kelereng biru Angin menatap langsung manik kelabu Solar di balik kacamatanya, "mama yang melahirkan kami adalah Papa."

.

Hening. Sedetik kemudian kelopak mata Solar terbuka sempurna.

"Tunggu, maksudmu?"

Angin mengangguk, seolah bisa menangkap ketidakpercayaan di mata Solar.

"Mama kami laki-laki! Hebat, kan? Dan sebenarnya, 'Kakak' yang kami maksud itu ayah kami. Kami panggil ayah, 'Kak Taufan'."

Detik itu, Solar tak bisa mendengar apa yang anak-anak obrolkan. Terakhir yang ia tangkap adalah Cahaya yang gantian membanjiri si kembar dengan berbagai pernyataan. Sisanya, Solar tenggelam dalam renungan yang hanya ia yang bisa mendengar.

Jadi, ada orang interseks selain dirinya di tempat ini? Orang yang memiliki takdir yang sama sepertinya?

Apa yang ia rasakan? Seperti apa orangnya? Dalam lingkungan seperti apa ia dibesarkan? Bagaimana ia membesarkan anak-anaknya? Solar ingin tahu semua itu.

Kalau ia bertemu dengannya, mungkin sedikit demi sedikit, Solar bisa menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Mungkin juga ia bisa mengikis perasaan berat yang membelenggu hatinya.

"Angin, Petir, apa aku bisa bertemu papa kalian?"

Angin diam sejenak, memandang Solar agak lama. Ia memalingkan wajah sesaat, seperti tengah memperhitungkan sesuatu, kemudian kembali menatap Solar dengan bibir merengut. "Gak bisa dulu, Kak. Papa belum pulang."

Petir yang menangkap jawaban itu mendecak. Ia menggumamkan sesuatu, tetapi itu terlalu pelan untuk ditangkap telinga mereka yang ada di sekelilingnya.

"Oh, begitu, ya. Aku tunggu sampai pulang!"

Rasanya, langkah terasa ringan. Seolah awan mendung di langit tiba-tiba berarak pergi menampilkan jalan setapak yang ia cari-cari. Solar mengantar ketiganya dengan senyum kecil tak terlepas dari wajahnya.

Di jalan, remaja itu menangkap sebuah gerobak es krim yang dikelilingi beberapa anak desa. Langsung saja ia menawarkan, "Ah, kalian mau es krim?"

"Mau!"

"Oi, Angin, jangan semuanya kau minta gratis!"

"Gak apa-apa, Petir. Ini hadiah dariku." Solar menepuk kepala si kembar yang penuh perhitungan.

Mereka memutuskan untuk duduk di bangku yang terletak tak jauh dari gerobak es krim. Ada dua bangku yang masing-masing hanya muat menampung dua orang. Cahaya hendak mengambil posisi di samping kakaknya, tetapi itu terhalang ketika Angin memojokkannya untuk duduk bersama. Otomatis, Solar berbagi bangku dengan Petir.

Es krim vanilla yang ia nikmati terasa begitu lembut. Bisa dibilang ini adalah makanan pertama yang Solar konsumsi sejak pagi. Memang, ketika perutnya terasa tak nyaman, makanan manis seperti inilah yang menjadi satu-satunya obat.

Kalau bisa, Solar ingin makan cheesecake kesukaannya. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali ia menikmati kudapan manis itu. Sayang, harganya tidak murah. Ia beberapa kali berkesempatan untuk menikmatinya berkat traktiran dari Ice. Sekali mencobanya, rasa lembut dessert itu mengabadi di lidahnya.

Saking lahapnya, Solar sudah nyaris menghabiskan es krimnya dan berniat membeli satu corong lagi. Niat itu tertahan ketika ia melihat Petir yang duduk di sampingnya tak begitu tertarik untuk menikmati es krim stroberi yang dipegangnya.

"Petir? Gak suka es krimnya?" tanya Solar.

Petir mendongak. "Kak, kayaknya Kakak gak bisa ketemu Papa."

"Eh, kenapa?"

"Habisnya …."

Angin berembus kencang melewati jalanan sepi. Petir mendapati es krimnya mulai meleleh. Tak ingin menyia-nyiakan makanan, ia menunduk dan mulai melahap kudapan manis yang sempat ia abaikan.

"Papa gak akan pulang lagi. Karena Papa sudah pergi ke tempat yang jauh sekali."

"Apa maksudmu, Petir …."

Petir menatap datar remaja di sampingnya. Bayangan lidah topinya membuat permata merah di wajahnya menjadi tampak kelabu.

.

.

.

"Papa gak akan pulang lagi karena Papa udah pergi ke surga."