Chapter 20 : Darkest Valley

.

.

.

.

.

Kosong.

Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan pandangan mata onyx kelam itu. Masih dalam kamarnya yang gelap dan dingin, pria itu menatap dinding kamarnya dengan tatapan kosong. Beberapa saat yang lalu ia menghubungi Naruto dengan susah payah karena sahabat berisiknya itu tak kunjung mengangkat telfonnya.

Ketika akhirnya Naruto mengangkat telfonnya, Sasuke langsung membombardir sahabatnya dengan berbagai pertanyaan. Dari nada suaranya, terlihat jelas bahwa Naruto agak ragu saat menjelaskan kejadian gila yang menimpa Sakura. Ia hanya menjelaskan secara singkat dan Sasuke yakin, banyak hal yang disembunyikan anak itu.

Perasaan bersalah, sedih, takut, cemas, kecewa, semuanya berkecamuk dalam hati Sasuke yang hampir hancur. Tapi akhir-akhir ini ia sudah terbiasa dengan luapan perasaan menyiksa sehingga ia tidak bisa lagi menunjukkan ekspresi. Wajahnya sangat datar meski hatinya hampir hancur. Satu masalah lagi muncul, maka dipastikan hatinya hancur berkeping-keping.

Tiba-tiba saja pintu kamar Sasuke dibuka dengan cepat.

Fugaku.

"Sasuke, dua minggu lagi adalah tes masuk fakultas bisnis Universitas Tokyo. Pastikan kau mempersiapkannya dengan baik." ucap Fugaku dengan suara yang tenang tanpa ada emosi apapun yang tersirat.

Di atas tempat tidurnya, Sasuke tidak bergerak sama sekali. Bahkan tidak menoleh atau memberikan respon fisik atas perkataan Fugaku. Ia seperti manekin kaku, tanpa nyawa.

"Sasuke." panggil Fugaku dengan suara yang sama.

Melihat Sasuke yang tidak menggubrisnya sedikitpun, ia menghela nafas panjang. Kini mata pria paruh baya itu tertuju pada meja belajar putra bungsunya. Terdapat tumpukkan berkas kuliah kedokteran yang tersusun rapih. Ia mengambil tumpukkan berkas itu dan merobek serta membuangnya.

Kali ini Sasuke menoleh, masih dengan wajah datarnya yang terlihat pucat dengan kantung mata hitam yang mulai terlihat jelas.

"Lupakan semua ini. Jika aku tidak membuangnya, kau akan terus berharap. Hentikan Sasuke. Dengan ini, berhentilah mengusahakan sesuatu yang sia-sia." Dengan begitu, Fugaku keluar dari kamar putra kecilnya yang tiba-tiba saja sudah dewasa.

Sasuke masih menatap berkas yang susah payah ia siapkan dan sekarang sudah menjadi sampah.

Setiap suara robekan kertas tadi rasanya sangat menyakitkan. Seperti hatinya ikut dirobek dan hidupnya dihancurkan menjadi pecahan kecil yang tidak berguna lagi.

Sasuke menunduk, mengepalkan tangannya erat-erat.

Sial.

Hatinya benar-benar sudah hancur. Untuk apa hidup jika tidak ada gunanya lagi?

Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam diri pria itu.

Lelah, ia sudah sangat lelah. Ini adalah batas kemampuannya dalam menahan rasa sakit.

Beberapa bulan terakhir ini rasanya seperti neraka. Ia benar-benar ada di lembah terkelam selama 18 tahun hidupnya. Satu-satunya yang membuat Sasuke bertahan selama beberapa bulan terakhir ini adalah… dia.

Sasuke mengumpulkan sisa kewarasannya dan bangkit dari tempat tidur dengan lemah.

Ia sudah memutuskannya.

Tapi sebelum itu, ia harus melihat Sakura.

Matanya yang sudah redup itu memandang ke arah jendela kamarnya.

"Aku harus bertemu Sakura. Whatever it takes."

.

.

.

.

.

"Jadi maksudmu, kemungkinan besar Uzumaki Karin yang menyuruhnya?" Tanya Tenten dengan ekspresi campuran antara bingung dan marah.

"Ya, menurut Juugo, Anko adalah salah satu pengikut setia Karin dan membantu perempuan itu dalam menjalankan aksinya. Juugo sempat memperingatiku, tapi aku benar-benar lupa soal Anko sampai Sakura menyebut namanya." Kata Naruto yang dipenuhi rasa bersalah.

Keduanya kini sedang duduk di sisi ranjang rumah sakit. Sakura masih belum sadar, namun dokter sudah memeriksa organ vitalnya dan sepertinya ia baik-baik saja. Naruto dan Tenten sibuk membicarakan kejadian tadi.

"Apa harus lapor polisi?" tanya Tenten sambil memandangi Sakura yang tampak seperti tertidur pulas.

"Entahlah. Kau tahu, keluarga Karin sangat kaya dan kuat. Ia berkali-kali lolos dari hukum, bahkan setelah menusuk mata temannya hingga buta."

Tenten terdiam. Seberapa kuat keluarga Uzumaki?

"Keluarga Haruno bukan orang sembarangan. Jika kita bisa mengumpulkan cukup bukti, aku yakin—"

"Ugh…"

"Sakura!" pekik Tenten tertahan saat melihat Sakura mulai menunjukan tanda-tanda siuman.

"Ugh… ini di rumah sakit?" ucap Sakura lemah. Perlahan mata emerald nya terbuka dan menyisir seluruh ruangan.

"Ya. Apa ada yang sakit? Bagaimana kepalamu? Kau baik-baik saja? Mau minum?" hujam Tenten dengan pertanyaan beruntun.

"Kepalaku… sedikit pusing…" ucap Sakura masih lemah. Suaranya terdengar lirih dan lemah. Sebenarnya ia masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.

Gadis yang baru saja lolos dari maut itu berusaha menggunakan kepalanya untuk beprikir.

Kenapa bisa berakhir di rumah sakit?

Seharusnya ia sedang minum matcha di cafe bersama… Anko…. Lalu….

"Ugh…" Tiba-tiba kepalanya sakit saat mencoba mengingat apa yang terjadi.

"Kau baik-baik saja? Aku akan panggilkan dokter." Kata Naruto cepat. Ia segera keluar untuk menginformasikan pada perawat bahwa Sakura sudah siuman.

"Ten… yang sebenarnya terjadi?" ujar Sakura sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.

Dengan berat hati, Tenten menjelaskan semuanya sesingkat dan sesederhana mungkin. Ia tidak ingin menambah penderitaan sepupunya itu. Tenten kira Sakura akan histeris atau heboh sendiri, tapi ia hanya diam. Reaksi ini sungguh diluar dugaan.

"Maaf." ucap Sakura lirih.

Tenten menggenggam tangan sepupunya tersebut, "yang terpenting adalah kau baik-baik saja."

"Tch. Aku selalu diselamatkan orang lain… aku hanya menjadi beban… aku—"

"Sakura! Jangan pernah katakan itu. Hal buruk bisa terjadi pada siapapun." Tenten hanya bisa menggenggam erat tangan Sakura yang mulai bergetar.

Tidak lama kemudian, Naruto masuk dengan seorang dokter laki-laki.

"Haruno Sakura-san, bagaimana keadaanmu?" tanya dokter muda itu dengan tenang.

"Hanya sedikit pusing." jawab Sakura dengan suara rendah. Pikirannya masih kacau dan ia kecewa pada dirinya sendiri.

Dokter muda itu memeriksa Sakura dengan gerakan yang lugas. Setelah selesai, ia berbalik dan tersenyum, "semuanya tampak normal. Efek samping obat bius memang akan membuatmu merasa pusing, mual, lemas, atau kepala yang berdenyut. Efek itu akan segera hilang. Jika keadaanmu membaik dan stabil, maka besok kau sudah bisa pulang."

"Terima kasih."

"Baiklah, aku akan datang lagi besok pagi untuk kontrol rutin. Untuk sekarang, kau harus istirahat yang cukup ya, Haruno-san." dengan begitu, dokter muda itu keluar dari kamar perawatan Sakura.

"Apa Sasuke tahu tentang ini?" tanya Sakura sembari menatap Naruto.

Naruto yang awalnya ragu akhirnya membuka mulutnya, "aku terpaksa memberitahunya. Tadi ia menghubungiku dan menanyakan kabarmu. Tenang saja, kukatakan padanya bahwa kau sudah baik-baik saja." kata Naruto sembari memegangi tangannya yang sudah diperban.

Mata Sakura kembali sendu, "kalian pulanglah."

"Tidak! Aku akan disini sampai—"

"Ten, aku tidak ingin orang tuaku tahu tentang ini. Mereka pasti akan heboh sendiri dan masalah ini akan jadi sangat besar. Aku tidak punya tenaga untuk menghadapinya. Pulanglah, aku akan bilang bahwa aku menginap di rumahmu. Orang tuaku tidak akan curiga." ucap Sakura pelan.

"Naruto, kau juga pulang. Aku tahu sedaritadi kau berusaha mengabaikan telfon dari ibumu kan. Pulanglah, atau kau akan diamuk ibumu." Lanjut gadis itu.

Keduanya terdiam.

"Aku juga ingin istirahat. Kalian tidak perlu khawatir." Sakura berusaha meyakinkan keduanya untuk pulang. Saat ini, ia ingin sendiri. Banyak hal yang ingin ia pikirkan dan itu membutuhkan ketenangan.

Tenten bangkit dari tempat duduknya, ia paling mengerti Sakura, "jangan pernah matikan ponselmu, langsung telfon aku jika terjadi sesuatu. Besok pagi aku akan kesini lagi."

Sakura tersenyum. Entah apa yang akan terjadi jika ia tidak pernah mengenal Tenten. Perempuan itu adalah sahabat terbaiknya.

"Sakura-chan, umhh… pokoknya jangan lengah ya. Dan oh ya, kabari Sasuke juga. Setidaknya jika mendengar kabar langsung darimu, Sasuke pasti akan merasa lebih baik." kata Naruto sembari bangkit dari kursinya.

"Naruto, maaf kau jadi terluka." Ucap Sakura cepat sebelum Naruto pergi. Lebam dan perban di tangan itu… pasti karena usaha untuk menyelamatkannya.

"Tidak perlu khawatir. Ini bukan apa-apa. Jaa!"

Setelah Naruto dan Tenten pergi, kamar ini terasa sepi. Hanya suara gerimis halus yang mulai menyeruak. Sakura menatap jendela kamar rumah sakitnya, langit malam terlihat sangat sendu, seperti seseorang yang menangis.

Baru saja Sakura mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan pada Sasuke, tiba-tiba dokter muda yang tadi memeriksanya masuk.

"Permisi, Haruno-san. Sebenarnya, kasusmu ini unik. Kau datang dengan keadaan pingsan karena obat bius. Teman laki-lakimu juga dipenuhi luka. Kami dari pihak rumah sakit sebenarnya sangat concern dengan hal ini. Apakah kau bisa menghubungi orang tuamu?" tanya dokter itu. Sebenarnya sudah sejak tadi ia ingin membicarakan hal ini, tapi karena masih muda dan penuh kebimbangan, ia baru bisa menyampaikan ini sekarang.

Sakura terkejut.

Tidak, tidak. Orang tuanya tidak boleh tahu.

"Dokter, orang tuaku sedang berada di Kanada hingga minggu depan. Aku tidak ingin menyusahkan kakakku dan adikku yang masih kecil. Aku tahu ini agak mengkhawatirkan, tapi ini hanyalah masalah pertemanan biasa. Percayalah ini bukan hal yang serius." dusta gadis itu. Sakura bersyukur dilahirkan sebagai anak yang jenius. Di saat-saat seperti ini, otaknya bisa bekerja dengan lancar dan ia bisa terlihat sangat tenang.

"Haruno-san, seseorang berusaha membiusmu. Zat itu ditemukan dalam darahmu dan itu termasuk tindakan kriminal." ucap dokter muda itu dengan nada khawatir.

"Ya aku tahu. Tapi sekali lagi, kumohon percayalah ini bukan hal yang serius." kata Sakura dengan nada persuasif. Gadis itu memang dianugerahi bakat untuk mempersuasi orang, ya sedikit manipulatif memang.

"Hah… mau bagaimana lagi. Tapi jika ada sesuatu yang mencurigakan terjadi lagi, Haruno-san, aku akan melaporkannya pada atasanku." ucapnya pasrah.

"Dan oh ya, apa anak dengan rambut hitam itu temanmu juga? Tadi dia menunggu di depan pintu kamar. Dia agak pucat dan memiliki bekas luka. Sebenarnya temanmu itu juga mengkhawatirkan, makanya aku dat—"

"Rambut hitam?" potong Sakura. Matanya memicing.

"Ya, anak laki-laki seumuran denganmu, rambut dan matanya hitam. Saat aku selesai memeriksamu, aku melihatnya di depan ruangan, kukira dia akan masuk, tapi ternyata tidak." jelas dokter muda yang sekarang juga telrihat bingung.

"Dia masih disana?" tanya Sakura cepat sambil memandang ke arah pintu.

"Sekarang sudah tidak. Tadi sekilas aku melihatnya berjalan ke arah tangga darurat." jawabnya.

"Ohh, baiklah. Terima kasih." Tidak salah lagi.

"Baiklah, Haruno-san. Jika ada apa-apa tolong panggil aku lagi, Yakushi Kabuto." ucapnya lalu pergi keluar kamar, meninggalkan Sakura sendirian dengan hati yang mulai cemas.

Sasuke ada disini. Tapi, kenapa ia tidak masuk?

Sakura dengan cepat mengambil ponselnya untuk menghubungi Sasuke.

Tidak diangkat.

Tapi ia tidak menyerah, ia terus menghubungi Sasuke, lagi, lagi, dan lagi. Setiap satu telfon yang tidak diangkat, rasanya jantungnya berpacu satu denyut lebih cepat.

Semakin lama, perasaannya semakin cemas. Jantungnya mulai berdebar, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Sasuke.

'Sasuke kumohon angkatlah…" batinnya memohon dengan putus asa. Ia hampir menangis.

Ia bertekad untuk terus menghubungi Sasuke hingga pria itu mengangkatnya. Ia sangat khawatir. Akhir-akhir ini Sasuke sedang dalam keadaan yang sangat buruk dan mengkhawatirkan. Bagaimana jika hal buruk terjadi padanya?

Entah untuk yang ke berapa puluh kali ia terus-terusan menghubungi Sasuke, kali ini usahanya membuahkan hasil.

Sasuke mengangkat telfonnya.

"Sasuke! Kau dimana? Kau baik-baik saja?" tanyanya cepat. Secercah harapan muncul.

Tidak ada jawaban.

"Sasuke? Kau disana?"

Masih tidak ada jawaban. Sakura melihat layar ponselnya, telfonnya masih tersambung tapi tidak ada jawaban dari seberang sana.

"Sasuke jangan bercanda. Kau dimana?" ucap Sakura panik. Telapak tangan dan kakinya mulai terasa dingin. Jantungnya berdetak tidak karuan.

Tidak ada jawaban. Sakura mencoba mendengarkan baik-baik suara di seberang sana. Tidak ada suara Sasuke, namun ia bisa mendengar suara angin yang berhembus kencang serta suara rintik hujan dengan sangat jelas.

"Sasuke jaw—"

Mati. Telfonnya mati. Sakura mencoba menghubungi Sasuke, tapi sekarang, nomornya berada di luar jangkauan. Gadis itu semakin panik.

"Ayo Sakura, gunakan otak jeniusmu untuk berpikir!" Batinnya semakin cemas. Tanpa sadar tangannya gemetar.

Ia bisa mendengar suara angin yang kencang dan samar-samar terdengar suara hiruk pikuk perkotaan. Suara rintik hujan juga terdengar sangat jelas.

Sasuke juga berada di area rumah sakit belum lama tadi…

Dia pasti ada di daerah outdoor. Tapi apa? Taman? Parkiran? Apa?

Sakura menjambak rambutnya frustasi. Sial, kenapa di saat seperti ini otak jeniusnya tidak berguna?

Ayolah ayolah ayolah berpikir!

Dokter Yakushi bilang ia melihat Sasuke di depan kamarnya lalu ia pergi ke arah tangga darurat.

Sasuke pasti masih belum jauh dari area rumah sakit, atau bahkan masih dalam komplek rumah sakit. Ia yakin. Sangat yakin.

Daerah rumah sakit, outdoor, angin kencang, tangga darurat…

Sial…. Sasuke kau ada dimana sih?

Sasuke… Sasuke… Sasuke…

"Ah!" Sakura terkesiap.

Bagaikan tersambar petir, ia melonjak dari tempat tidurnya, mengabaikan kepalanya yang masih pusing dan mencabut infusnya dengan kasar.

Seketika itu juga, ia berlari keluar kamar sekencang-kencangnya dengan bekas infus yang masih mengeluarkan darah.

.

.

.

.

.

Sasuke's POV

Lagi lagi kosong.

Entah apa yang kupandang sekarang, itu tidak masalah. Semua akan segera berakhir.

Setelah susah payah kabur dari rumah untuk menemui Sakura, aku malah tidak bisa melangkahkan kakiku ke kamar itu.

Perasaan bersalah menyeruak, bagaimana aku bisa berhadapan dengannya?

Saat aku melihat dia terbaring lemah di ranjang rumah sakit karena Karin— salah, karena aku, rasanya seperti menjadi orang paling brengsek di dunia.

Bahkan Naruto juga terluka.

Semuanya salahku.

Tapi setidaknya aku bisa melihat Sakura dan mendengar suaranya sebelum pergi. Meski ponselku mati karena terkena hujan dan aku tidak bisa mendengar suaranya lebih lama, tapi setidaknya itu sudah cukup. Mengetahui bahwa Sakura baik-baik saja sudah cukup.

Kakiku bergetar, tidak, seluruh tubuhku bergetar. Udara dingin menusuk hingga ke tulangku. Air hujan yang membasahi tubuhku membuat beberapa luka di tubuhku kembali terasa perih. Sial Zabuza.

Tapi rasa perih dan dingin yang menusuk itu tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit di dadaku. Sial, sakitnya tidak mau hilang. Nyeri. Sangat nyeri.

Hidupku tidak berguna lagi. Aku tidak akan bisa menjadi anak yang memenuhi ekspektasi Tou-san dan Kaa-san. Aku tidak bisa sebaik Itachi. Aku tidak bisa meneruskan bisnis keluarga Uchiha dengan baik. Bahkan tidak bisa menjadi dokter juga.

Aku menjadi alasan sahabatku terluka.

Dan aku adalah alasan perempuan yang kusayangi mengalami kemalangan yang luar biasa. Ia bisa saja mati. Karena aku.

Kurasa Uchiha Sasuke lahir untuk menjadi beban.

Akan lebih baik, jika beban itu menghilang.

Aku menutup mataku, merasakan semuanya untuk terakhir kalinya.

Tinggal selangkah lagi, maka semua akan berakhir…

Tinggal selangkah lagi, maka aku tidak perlu merasakan penderitaan…

Tinggal selangkah lagi, maka aku akan masuk ke dalam lembah tergelap…

Tinggal selangkah lagi…

.

.

.

.

.

TBC