"Kau mencari ramuan cinta?"

Pemuda lugu di depannya mengangkat kepala dengan takjub dan mengangguk.

"Kau bertemu orang yang tepat!"

Lelaki berbaju putih dengan topi tinggi yang senada itu meraih tas besarnya dan mulai mengaduk-aduk isinya. Bunyi botol kaca yang saling bertubrukan menggema di dalam kedai.

"Eh?" gumam petani muda yang berbaju rompi biru. "Bakul jamu ada yang laki juga, rupanya?"

.

.

.

.

.

Disclaimer:

BoBoiBoy (c) Monsta

Balada Tjinta di Tanah Djawa (c) Roux Marlet

Penulis tidak mendapatkan keuntungan material apa pun dari cerita ini.

Parodi dari L'elisir d'amore (The Elixir of Love) karya Gaetano Donizetti.

Warning: Alternate Universe, latar waktu Indonesia di zaman penjajahan Belanda, tokoh berusia dewasa.

[main pairing TauYa, slight HaliYa]

.

.

.

.

.

Bab 3: Bakul Jamu Legendaris

.

"Bakul jamu? Sembarangan!" tukas lelaki asing serbaputih itu. Topi tingginya sampai goyang dumang karena si empunya marah-marah mendadak. "Aku ini lulusan STOVIA, tahu?!"

"STOVIA?" ulang dua petani muda di hadapannya, yang saling berpandangan bingung.

"Artinya, Tuan ini dokter, kah?" tanya yang seorang, yang berbaju rompi cokelat.

"Ya, betul." Pria serbaputih itu menyahut sambil menarik keluar sebuah botol dari dalam tasnya dengan penuh gaya. "Bukan sulap, bukan sihir! Ramuan cinta ajaib Dokter Solar bisa sembuhkan sakit cinta apa pun!"

Pemuda berompi biru terperangah melihat botol kaca berbentuk hati. "Ramuan cinta ajaib!" pekiknya gembira.

"Eh. Taufan, kukira—"

"Berapa harganya, Dokter?" sambar Taufan sambil berdiri seketika, mengabaikan kawannya.

"Oh, oh, tunggu dulu. Biar kuperiksa kau dulu, apakah kau memang perlu ramuan ini."

Dokter bernama Solar itu meletakkan botolnya ke atas meja lalu mengeluarkan stetoskop dari balik jas putihnya.

"Bisakah aku langsung beli ramuannya saja?" desak Taufan tak sabar.

Dokter Solar meraih bahu Taufan dan membimbingnya kembali duduk. "Jangan begitu. Tenang saja. Periksanya gratis, ramuannya saja yang bayar."

Taufan mendongak dan mendapati dokter itu sedang mengamati wajahnya dengan serius dan sedikit prihatin, tapi sambil tersenyum kecil.

"Iwan, tolong ambilkan uangku di pondok, ya?" pinta Taufan akhirnya.

Iwan melongo. "Bukannya semua upahmu selalu kaukirim ke pamanmu?"

"Aku punya sedikit simpanan darurat, kusimpan di dalam bantal. Ini saatnya kupakai."

Iwan menatap kawannya lekat-lekat. "Taufan, kamu serius?"

"Aku serius." Tak ada keraguan di mata si pemuda.

Yang ragu-ragu justru Iwan, tapi ia lalu berdiri. "Aku pergi dulu."

"Silakan, silakan," sahut Dokter Solar ramah, macam dia yang punya kedai saja. Kemudian, dia berbalik menghadapi pasiennya dan mulai memeriksa. Taufan membiarkan dokter itu menempelkan stetoskop ke dadanya lalu memeriksa tenggorokannya dan terakhir mengamati matanya yang pasti bengkak habis menangis.

"Hmm, hmm … kurasa, kau ini mengidap jomblo kronis."

Taufan melongo, seperti mendengar istilah dari planet lain saja. "Sakit apa itu, Dokter?"

"Dari bahasa Sunda, jomlo, artinya 'tidak laku'."

Taufan terbatuk keras mendengar diagnosis itu.

"Berapa umurmu sekarang?" tanya Dokter Solar.

"Dua puluh lima."

"Belum menikah?"

Taufan langsung menangis bombay ditanya begitu. "Pujaan hatiku baru saja dilamar tentara hari ini, Dokter!"

"Oh, malangnya …."

Dokter Solar menepuk-nepuk bahu Taufan penuh simpati.

"Tapi, tapi, Dokter," seloroh Taufan, mendadak menggebu, "gadis pujaan hatiku belum menjawab iya. Dia belum menerima lamaran itu. Aku masih punya kesempatan."

"Apa yang kauperlukan, wahai Anak Muda?" tanya Dokter Solar dengan bijaksana alias sok tua, padahal kalau dilihat-lihat umurnya sendiri mungkin baru awal tiga puluhan.

"Aku perlu ramuan cinta ajaib yang, jika kuminum, akan membuat gadis itu jatuh cinta padaku," tutur Taufan apa adanya.

"Ramuan cinta Dokter Solar jawabannya!" Sang dokter kembali meraih botol berbentuk hati itu. "Diramu dengan alkohol fermentasi yang terbaik dan bahan-bahan berkualitas!"

Taufan terperanjat. "Eh? Yang tanpa alkohol apa ada?"

"Oh, tak bisa minum alkohol?"

"Haram, Dok." Taufan menjawab, padahal siapa tadi yang sempat berdebat soal Ciu Bekonang?

"Oh, maaf, maaf." Dokter Solar kembali mengaduk isi tasnya. "Nah, ini yang alcohol-free!" Botol yang diacungkan berikutnya masih serupa, berbentuk hati, tapi warna cairan di dalamnya lebih terang.

Taufan berbinar-binar penuh damba menatap botol itu. "Berapa takarannya, Dokter?"

"Kau bisa minum beberapa teguk sekaligus dalam satu jam pertama, lalu satu teguk tiap satu jam berikutnya sampai matahari terbenam."

Taufan menyimak aturan pakainya dengan seksama. "Berapa lama sampai efeknya muncul?"

"Dua puluh empat jam." Dokter Solar tersenyum simpul.

Taufan bergerak gelisah di kursinya. "Semoga Yaya belum menjawab saat itu!"

"Ah, itu kawanmu sudah datang."

Rupanya hujan sudah berhenti karena Iwan tidak tampak basah kuyup. Dia menyodorkan sebuah kantong kain yang isinya bergemerincing kepada Taufan.

"Taufan, kamu bisa tidur dengan semua koin itu di bawah kepalamu?!" Iwan geleng-geleng kepala.

"Tiap malam kubayangkan wajah Yaya sebelum tidur …." Taufan berucap, senyum melamunnya kembali hinggap. Iwan sampai speechless.

"Berapa yang harus kubayar, Dokter?" ujar Taufan sambil menuang isi kantong itu ke atas meja. "Ini semua uang yang kupunya. Semoga cukup."

Dokter Solar mengangkat alisnya tinggi-tinggi melihat jumlah koin yang cukup banyak. Dengan cepat disebutnya sebuah harga. Taufan menghitung koinnya pelan-pelan sambil diamati oleh Iwan, memastikan tak ada salah hitung.

Sejurus kemudian, Taufan lega mendapati semua uangnya tepat seharga ramuan itu.

Dokter Solar tersenyum lebar lalu menyodorkan botolnya. "Silakan mulai diminum! Jangan lupa berdoa dulu!"

"Ramuan cinta ajaib …." Taufan seperti bermimpi! Dia terkekeh-kekeh sendiri sementara Dokter Solar memasukkan kembali seluruh uang Taufan ke dalam kantong yang kemudian dimasukkannya ke dalam tas.

"Taufan, sebentar lagi jam istirahat selesai," ujar Iwan mengingatkan.

"Sebentar, Iwan! Aku akan minum ini sedikit dulu." Taufan membuka botolnya, menggumamkan "Bismillah," lalu langsung meneguk isinya. Dahinya berkerut mendapati rasa minuman yang di luar dugaan.

"Rasanya kayak jamu kunyit asam," komentar Taufan setelah menghabiskan sepertiga isi botol.

Dokter Solar bergumam pelan sebelum menyahut penuh percaya diri, "Memang ada bahan kunyit di dalamnya."

"Apa Dokter juga beli jamu kunyit asam di sini?" tanya Iwan.

"Oh, aku bukan pembeli di sini, tapi penjual." Senyum misterius Dokter Solar membuat kedua petani itu bertanya-tanya. Saat itu, Ying keluar dari dapurnya membawa sebuah kantong besar.

"Halo, Ying. Aku bawa semua sesuai pesanan," sapa sang dokter ramah.

Ying menatap lelaki serbaputih itu, lalu mencerocos dalam bahasa Cina. Dokter Solar membalas dalam bahasa yang sama, seperti sedang menjelaskan sesuatu, sambil mengeluarkan beberapa benda yang dibungkus kertas dari dalam tas ajaibnya. Taufan dan Iwan menonton saja dengan takjub. Betul-betul orang terpelajar!

Suara kemeriuk mengisi pendengaran saat Dokter Solar membuka salah satu bungkusannya. Taufan meringis sambil memegangi perutnya yang berbunyi barusan. Dia belum sempat makan siang.

"Terima kasih, Dokter Solar. Aku harus kembali bekerja."

"Sama-sama. Semoga berhasil!" balas sang dokter dengan riang. Kedua petani itu membungkuk hormat pada si dokter dan pemilik kedai, lalu keluar.

Iwan tampak agak pucat saat melangkah kembali ke tanah pertanian. Taufan, yang merasa bahagia bukan kepalang dan badannya mulai menghangat, bertanya padanya,

"Kau kenapa, Iwan?"

Iwan hanya menggeleng, menatap botol di tangan Taufan yang masih terisi dua per tiga. Masa Taufan tadi tidak lihat, sih, isi bungkusan si dokter yang dijualnya kepada Ying? Iwan bisa melihat ada keong dan lintah, lalu entah apa lagi isi bungkusan yang lainnya. Konon, obat-obatan Cina memang diracik tak hanya dari tumbuhan, tapi juga dari hewan.

Iwan tak sanggup mengutarakan kemungkinan bahwa apa pun yang ada dalam ramuan cinta ajaib Dokter Solar di tangan Taufan sekarang juga diramu dari bahan-bahan yang ajaib pula. Akhirnya, dia hanya berujar,

"Menurutmu Dokter Solar juga pribumi? Atau dia orang Belanda? Atau malah Cina, atau Arab? Namanya aneh, tapi mukanya macam orang Jawa, hanya saja kulitnya terang."

"Iwan, Iwan. Tak penting lagi itu." Taufan mengacungkan botolnya seperti piala kemenangan. "Dengan ini, Yaya akan jatuh cinta kepadaku!"

Iwan tak berkomentar apa-apa lagi. Kemudian, Taufan lagi yang memecah keheningan,

"Iwan, kalau tak salah ingat, aku hanya pernah cerita kepadamu kalau aku menyukai Yaya. Kenapa sekarang seolah semua orang tahu, ya?"

Iwan mendelik, merasa dituduh. "Kau itu yang kalau ngomong suka nyeplos keras-keras! Mana mungkin tak ada yang tahu?!"

Taufan mendesah.

"Iwan … apa menurutmu Yaya sendiri tahu aku menyukainya?"

.

.

.

.

.

"Delanggu, Klaten, Jawa Tengah … dua puluh Mei satu-sembilan-satu-lima. Hmm, sudah tujuh tahun rupanya."

Solar sibuk menulis di bukunya, sambil sesekali mengecek kembali pundi-pundi uangnya dan menghitung ulang. Dia duduk di tepi sawah milik pengusaha pribumi pensiunan tentara, alm. Laksamana Tarung. Tanahnya memang masih basah karena hujan siang tadi dan Solar sudah memasang alas terpal di bawah pantatnya biar celana putihnya tetap kinclong. Karena terpal itu cukup lebar, Solar sekalian menggelar beberapa botol ramuannya setelah mengocoknya supaya tercampur kembali.

Dipandanginya botol-botol itu dengan bangga sambil tersenyum. Tak hanya petani berompi biru yang tadi membeli ramuannya. Beberapa petani lainnya juga sempat membeli, dua-tiga orang saling patungan.

"Permisi, Tuan, ada jamu beras kencur, tak?" Sebuah suara menanyai Solar dari belakang, membuatnya harus memutar tubuh untuk membalas. Dilihatnya yang bertanya adalah lelaki muda berseragam tentara, di belakangnya ada beberapa orang pasukannya. Solar berdiri dan mengebaskan debu dari jasnya dengan penuh gaya, lalu menyahut dengan kepala terangkat,

"Maaf. Saya bukan bakul jamu."

Tentara muda dengan bintang pangkat berkilauan di dadanya itu mengernyit, kemudian menunjuk botol-botol yang berjajar di atas terpal. "Lalu, itu apa?"

"Ini ramuan obat berkualitas tinggi," jawab Solar penuh keyakinan.

"Apa bedanya jamu dengan obat?" tanya si tentara yang belum paham.

"Beda, lah. Jamu itu dibuat dari tumbuh-tumbuhan … atau, dalam kasus tertentu, dari hewan. Dosisnya tak jelas dan cemarannya pun banyak. Sedangkan obat, dibuat dari bahan pilihan, dihitung dengan takaran yang tepat, dijamin aman dan ampuh untuk pengobatan."

Tentara bertopi baret warna merah itu mengerjap. "Baiklah. Maaf sudah mengganggumu."

"Eh? Kalian tak mau coba ramuan ajaib Dokter Solar yang mujarab?" Solar terkejut karena pasukan kecil itu langsung balik badan begitu pemimpin mereka berbalik. Sang pemimpin menoleh lagi dan menyahutinya singkat,

"Maaf. Kami carinya jamu beras kencur."

Solar kembali duduk seiring berlalunya para tentara itu, topi putihnya ikut terkulai lesu. Ramuan ajaibnya kalah saing dengan jamu beras kencur … apa-apaan ini? Apakah dia memang juga perlu menambah komoditas jamu di antara jualannya yang legendaris? Solar mengedarkan pandangannya ke hamparan sawah yang luas dan telah membuat keputusan dalam dua detik.

Dilepasnya lensa tunggal di depan matanya dan dilapnya dengan kain. Solar kembali tersenyum sambil menghitung-hitung dalam kepala. Besok, dalam dua puluh empat jam ke depan, dia sudah tidak akan ada lagi di Delanggu. Solar mendoakan yang terbaik untuk petani lugu yang sedang patah hati.

.

.

.

.

.

"Tadi, saya dengar kabar ada seorang bakul jamu terpelajar, Letnan Kolonel."

"Iya. Kau sudah menyampaikannya padaku. Kukira, orangnya yang barusan itu," balas Halilintar pada ajudannya sambil berjalan di depan barisan menyusuri pinggiran sawah.

"Tapi, dia bilang dia bukan bakul jamu?" seloroh bawahan yang lain.

"Aneh, orang itu," balas yang lain lagi. "Lihat botol-botol yang digelarnya tadi."

"Maaf, saya bukan bakul jamu!" Seorang lain menirukan kalimat itu dengan gaya dibuat-buat.

Para tentara berpangkat rendah itu tertawa terpingkal-pingkal sementara Halilintar mengawasi sekitar. Setahunya, saat datang ke area pertanian tadi, mereka melewati sebuah kedai minum. Ah, itu dia tempatnya. Halilintar mengarahkan kakinya ke sana dan semua mengikutinya. Aroma jamu kunyit asam segera menyergap indera penciuman ketika masuk.

Akhirnya … tanpa sadar, air mata Halilintar merebak. Cepat-cepat dia mengerjap biar tak sampai jatuh air matanya lalu bicara pada gadis Cina di balik meja pesan,

"Ada jamu beras kencur?" Suaranya agak serak karena menahan emosi yang berkecamuk di hati.

Gadis Cina itu terpana sesaat sebelum menjawab, "Ada."

"Kami pesan satu lusin, minum di tempat."

Gadis itu terkejut lagi, sepasang matanya yang sipit terbelalak lebar. "Kami? Oh, kau dan pasukanmu."

Menit berikutnya, Halilintar dan para bawahannya duduk menanti porsi beras kencur masing-masing. Gadis Cina itu meracik sendiri semua minuman untuk mereka. Gelas yang pertama diberikannya kepada Halilintar yang jelas-jelas adalah pemimpin.

"Terima kasih," gumam Halilintar sepenuh hati. Dia mengucap syukur di dalam hati, lalu mulai meneguk jamunya.

Betapa rindunya Halilintar akan kampung halamannya dan jamu beras kencur yang biasa diracik ibundanya. Bagi tentara, harusnya tak ada yang namanya istilah homesick. Namun, Halilintar baru saja memberanikan dirinya untuk terjun ke sebuah medan perang yang lain. Dia baru melamar seorang gadis; kehidupannya setelah itu akan berubah selamanya dan mau tak mau dia jadi teringat akan keluarganya di Jepara. Halilintar tahu semua konsekuensi dari keputusan yang diambilnya dan akan bertanggung jawab sepenuhnya, tapi bukan berarti kondisi hatinya selalu bisa diajak kerja sama.

Untuk menenangkan pikiran, biasanya Halilintar akan mencari jamu beras kencur. Bagi para bawahannya, mungkin itu sekadar jamu untuk pegal linu dan membuat badan bugar kembali. Namun, bagi Halilintar, itulah obat yang sesungguhnya. Dia tak butuh ramuan ajaib apa pun itu milik seorang terpelajar yang tidak mau disebut bakul jamu.

.

.

.

.

.

Taufan bangun tidur dengan penuh rasa percaya diri keesokan paginya. Tak henti-hentinya dia tersenyum dan bersenandung sejak selesai salat Subuh, waktu mandi pagi, pakai seragam, dan sarapan. Dia kembali mencangkul dengan giat dan teratur, bahkan lebih bersemangat dari biasanya. Petani lainnya sampai heran, kesurupan apa pemuda itu: kemarin, dunia seolah kiamat baginya.

Hari ini, orang-orang was-was apakah tanda-tanda dunia kiamat memang sudah dekat karena seolah ada makhluk astral yang hinggap di kepala salah satu petani.

Yaya berkeliling ke sawah menjelang hari siang, topi lebar merah jambu menghias kepalanya. Taufan tersenyum penuh damba ketika gadis itu lewat, tapi dengan sengaja berpaling ketika Yaya melihat ke arahnya. Rasanya Yaya mengamatinya cukup lama, tapi Taufan pura-pura sibuk bekerja.

Taufan tidak tahu bahwa, selepas kunjungan ke sawah, Letkol Halilintar kembali bertamu ke rumah Yaya siang itu.

"Ada panggilan dari pusat. Aku harus kembali ke pos di Batavia, besok lusa. Menikahlah denganku besok, Yaya."

.

.

.

.

.

Dunia betulan kiamat! Taufan kejang-kejang ketika mendengar pengumuman siang itu:

Akad pernikahan Halilintar dengan Yaya akan diselenggarakan besok pagi!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Author's Note:

HAYOLOH UPAAAAN :")

.

Fun fact: Dalam cerita aslinya, [L'elisir d'amore], ramuan cinta yang dimaksud adalah bentuk eliksir (elixir) atau sirup yang mengandung alkohol/etanol sebagai pelarut. Di zaman dulu, obat-obat yang sulit larut dengan air, bisa larut dengan etanol, dan belum banyak jenis pelarut obat lainnya di masa itu. (Jadi teringat kasus etilen glikol dan DEG dalam sirup yang sedang heboh di masa ini).

STOVIA = School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta). Cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

.

Tinggal dua bab menuju tamat!

Next chapter: 'Ku Bukan Bangsawan, 'Ku Bukan Priyayi!

Disclaimer tambahan untuk lagu: [Bukan Superstar] - Project Pop

Kritik dan saran sangat diterima!

24.10.2022