Jujutsu Kaisen milik Gege Akutami sensei saya tidak mengambil keuntungan apapun dari ini.
Kupejamkan mataku lalu secara perlahan membuka sedikit kelopak mata. Meskipun hari berganti dan rembulan yang kulihat selalu tampak berbeda, namun waktu yang aku alami serasa berjalan ditempat. Mungkin karena ingatan itu terlalu melekat dikepala membuat diri ini gila. Kegilaan yang sukar aku pahami.
TWINkle
Aku pernah bertanya pada Ayahku tentang gejala yang aku alami. Namun, ia hanya menatap sinis dan tertawa kegilaan diselingi cemoohan yang menurut pendapatku tak layak diucapkan oleh seorang Kepala Keluarga. Mungkin ia berpikir kalau pertanyaanku adalah gagasan yang kurang masuk akal dan patut dimusnahkan. Toh, sejak awal Ayah tak pernah membanggakan kami.
Kami? Ya. Aku dan saudara kembarku yang kini mengasingkan diri.
Aku ingat hari itu. Hari dimana ia menghilangkan jejak aroma dan juga romansanya. Tanpa mengucapkan seutas kata yang manis, ia melangkah pergi dengan santai. Dingin sekali. Mengapa ia sedingin itu?
Ia mengatakan salam pepisahan yang semu kala kami bertemu, pada saat itu aku bahkan tak tahu kalau itu 'salam perpisahan' Ibu menggila dan memohon ampun pada Ayah untuk sedikit menghargai kerja keras sang buah hati. Sudah kepalang sakit hati, Maki pergi dan kami tak saling bicara.
Aku sebernarnya tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi diantara keluarga kami. Hidup tenang dan santai seperti ini saja bagiku sudah cukup. Tapi, Maki bilang ini bukan cara hidup yang sesungguhnya bukan dunia yang ia idamkan. Bohong kalau aku menikmati gelora kehidupan ini. Dia selalu mengumandangkan hal yang sama ditiap-tiap malam.
Jika aku mengingatnya lebih jauh, aku tak pernah berkomentar atau berusaha menghibur Maki jika Ayah atau anggota keluarga lain yang bermulut besar itu mulai merongrong kerasukan setan. Aku selalu diam dan mendengarkan keluhan Maki, sejatinya reaksiku ini adalah bentuk dari rasa ketidak setujuanku pada pola pikirnya yang rumit.
Tapi, Maki sendiri tidak pernah merasa terusik dengan reaksi semu dariku. Kadang, ia bicara hal aneh seperti ''Andai aku memiliki kemampuan sepertimu'' atau seperti ''kau beruntung'' kadang kalau sedang marah ia akan bicara begini ''seharusnya kita bisa berganti orangtua, aku harap kita hanya anak adopsi''
Setelah aku kelas 2 SMA. Aku bisa melihat jelas mengapa ia seperti itu. Meski aku mulai menghindari dirinya dan berlagak masa bodoh tapi tetap saja aku merindukannya, aku ingin selalu bersama dia seperti hari kemarin namun rasanya itu sangat mustahil. Lagipula, Maki tidak mengidamkan suka cita itu lagi. Dia sudah memiliki impiannya sendiri dan aku tak ada dalam impiannya itu.
Waktu itu, aku pernah hampir menceritakan ini pada Utahime-sensei tapi ia menolak untuk berkomentar karena menurut dia itu bukan kapasitasnya. Menurutku apa yang dikatakannya adalah benar, namun ada setitik rasa dalam hatiku bahwa aku ingin dibela habis-habisan oleh Utahime-sensei dan bilang bahwa Maki melakukan kesalahan besar terhadapku.
Bukannya pembelaan yang aku dapatkan. Disuruhnya aku bercermin dan memikirkan masalahku sendiri. Teman-temanku memiliki pendapat berbeda satu sama lain, tapi Nishimiya yang paling mengerti tentang diriku. Meski komentarnya terasa bias seolah takut kalau aku tersinggung dengan kritikannya.
Besok adalah hari Pertandingan atau bagaimana aku menyebutnya? Pokoknya seperti itu. Aku sudah berada di Tokyo sejak beberapa hari dan sempat bertemu Maki sebentar. Aku lihat ia sedang bersama teman barunya tersebut. Ia terlihat bodoh dan agak aneh, aku merasa ia akan mati cepat seperti sapuan ombak.
Aku lupa namanya siapa, karena antara aku dan dia tidak sempat bertukar nama. Namun aku sempat mendengar Fushiguro menyebut nama gadis itu berulang kali untuk sebuah konfirmasi bahwa gadis itu baik-baik saja. Selebihnya tidak ada yang menarik, kecuali mulut besarnya yang sok tahu tentang hubunganku dengan Maki.
Apa yang dia tahu? Mengapa ia berbicara dengan nada seperti itu? Benar-benar gadis yang sok tahu! Beberapa orang terkadang selalu ingin tahu dan hanya berkomentar melalui sudut pandangnya tentang kehidupan orang lain, padahal mereka hanya melihat cangkangnya saja. Mengapa mereka selalu merasa tahu segalanya?
Sempat terbesit dipikiranku untuk bertanya pada Gojo-sensei, mungkin ia punya pendapat lain atau solusi tentang hubunganku dengan Maki. Tapi, dengan sifatnya yang kekanakkan aku khawatir kalau ia hanya akan mencemooh alih-alih memberikan solusi.
Jadi, untuk saat ini aku sedang duduk disini. Membatu diatas anak tangga sembari bertompang tangan. Menyepi ceritanya.
"Kalau hanya memikirkan saja tanpa melakukannya, bukankah akan sia-sia ya?''
Aku sebenarnya agak kaget ketika suara itu tiba-tiba muncul dan berdenging di telingaku. Tunggu dulu, apa baru saja Gojo-sensei membaca pikiranku? Tidak mungkin! Dia mungkin hanya tebak-tebak acak.
Oh, tentu saja suara itu milik Gojo-sensei. Suara sok ramah yang paling aku tak suka jika boleh jujur. Dia selalu berbicara dengan nada seperti itu dan dia melakukannya setiap hari.
Aku tidak terlalu menyadari kapan orang ini datang dan duduk disebelahku. Untuk hari ini dia tidak terasa aura keberadaan sama sekali atau mungkin karena sejak awal aku melamun seperti orang kesusahan makanya tidak menyadari.
"Kupikir kau ada di luar negeri, sensei...''
"Beberapa hari lalu sih, iya. Sekarang aku sudah pulang~''
"Oh." Jawabku malas kemudian hendak beranjak, namun seutas suara membuatku mengurungkan niat.
"Ada seseorang yang pernah bilang begini kepadaku. Apakah dengan perginya orang yang kau cintai dimasa lalu akan membuatmu runtuh? Sementara Tuhan masih mengizinkanmu tetap hidup untuk melanjutkan cinta yang dapat kau bagikan ke orang-orang.''
Aku melongo. Darimana dia mengutip kalimat macam itu? Aneh! Mengapa ia mengatakan sesuatu yang bagus kepada diriku? Itu sungguh mustahil dikatakan oleh seorang Gojo Satoru! Aku yakin seseorang yang dia sebut barusan adalah orang dalam buku romantis atau macam penyair nyentrik! Tapi kenapa pula orang seperti dia mau-maunya membaca buku aneh? Oh, tentu saja karena dia adalah orang aneh.
"Itu bukan dari buku kok, memang ada orang yang bilang begitu kepadaku.'' Sekali lagi ia berkata sok hebat seolah membaca pikiran. Kali ini aku tertarik dan mulai meliriknya dari bahu.
Ia melanjutkan. "...menurutku, eh, aku berpikir kalau orang yang mengatakan itu kepadaku berusaha membuatku agar tetap berdiri dengan benar. Jadi, aku menerimanya.''
"Maksudnya?''
"Mai. Aku tipe orang yang tidak suka diceramahi atau didikte! Aku lebih suka diriku dalam versi apapun, makanya aku akan tersinggung kalau ada orang yang sok sok-an mengomentari soal aku...''
"Hm?''
"Aku juga awalnya tak paham mengapa orang itu mengatakan ini kepadaku dan apa maksudnya. Tapi ia berkata, kalau kau harus melanjutkan hidupmu meski separuh cintamu telah pergi dan menghilang, karena ya... kenangan tidak bisa dihapus. Bukan begitu?"
"Jadi, orang macam apa yang berkata begitu padamu? Sepertinya dia orang yang hebat sekali, eh?"
"Dia orang yang sangat baik! Aku menyayanginya sama seperti kau menyayangi Maki. Tapi, yang terpenting sekarang adalah dirimu. Lebih baik jujur daripada merana karena sudah terlambat. Cinta itu harus dikatakan, meski tidak harus memiliki. Meski pahit dan kadang manis tapi kau bisa menunjukannya dengan caramu sendiri. Terserah dia mau menerima atau tidak. Kalau dia Kakakmu dia tidak akan bertanya."
Aku ingin menangis. Benar-benar ingin menangis. Apakah hubunganku dan Maki akan berakhir dengan kepahitan? Ataukah karena aku terlalu sombong untuk meminta maaf. Ini bukan salahku dan tidak akan pernah menjadi kesalahanku. Semua ini salah Maki bukan?
"Jangan saling menyalahkajn. Kadang kau perlu meminta maaf dan menurunkan egomu. Meminta maaf itu bukan sesuatu yang salah."
"Sensei?"
"Apa? Jangan tanya aku, lakukan saja!"
Sejurus kemudian Gojo-sensei telah pergi. Membuatku sedikit kebingungan darimana ia dapat kemampuan membaca pikiran ini.
