Disclaimer : Masashi Kishimoto, Ichie Ishibumi, and Others.
Rating : T-M
Genre : Fantasy, Adventure, maybe Romance
•
~•~
•
Uzumaki Naruto, begitulah mereka menamaiku sewaktu dilahirkan, untuk yang kedua kalinya. Yah, aku tidak bercanda, mungkin bisa dibilang aku satu-satunya manusia yang dilahirkan dua kali dari rahim dua orang wanita yang juga berbeda. Yap, oleh karna sebuah kejadian, aku meninggal muda, lalu dilahirkan kembali sebagai seorang bayi yang memiliki nama sama.
Terdengar aneh, lahir kembali namun dengan nama yang sama. Tapi, apabila ada orang yang mengalami yang sama, kurasa perihal nama takkan jadi sesuatu yang terlalu aneh. Maksudku, ayolah, Karna suatu hal, kau meninggal, lalu dalam kedipan berikutnya, kau sudah berada di ruangan asing dengan tubuh penuh cairan aneh. Seorang wanita paruh baya dengan entengnya menggendongku sambil mengucapkan kata-kata yang tak kupahami, dan ketika aku menyadari situasi, aku mendapati terjebak dalam tubuh tak berdaya seorang bayi.
Seorang putra pertama dari pasangan Minato Namikaze, dan Uzumaki Kushina. Itulah nama kedua orang tuaku di kehidupan ku yang sekarang. Sementara di kehidupan pertamaku, aku tak pernah tau siapa orang tuaku, lantaran aku memang seorang anak panti sedari lahir. Tapi lupakan tentang masa laluku itu, selain tidak menarik, aku juga membencinya. Nama mereka terdengar mengandung unsur Jepang, tapi percayalah, tak pernah didunia nyata aku mendengar nama seperti mereka. Bahkan namaku sendiri pun, sepertinya aku seorang yang punya diduniaku dahulu.
Kembali pada kedua orangtuaku, yang notabene adalah sepasang suami istri muda yang bahkan, lebih muda dibandingkan usiaku yang sebenarnya. Namikaze Minato, pria yang dilahirkan dari bangsawan lokal dari sebuah tempat yang bernama Konoha. Ya, merasa asing dengan istilah kebangsawanan serta nama lokasi tadi, tapi jangan terkejut, saat ini aku tidak lagi hidup di Bumi. Bukan, melainkan sebuah dunia magis yang penghuninya panggil dengan nama 'Magiki'. Tempat dimana, manusia hidup berdampingan dengan berbagai ras, monster, pedang, mahkluk mitologi, dan tentu saja, sihir.
Yap, bahkan hingga sekarang, aku tak pernah berhenti terkagum-kagum tatkala memandang dunia dari luar jendela rumah, atau ketika Minato dan Kushina memperaktikan sihir-sihir atau kemampuan tempur mereka. Singkatnya, Magiki adalah tanah fantasi yang selalu diidamkan pecinta cerita fiksi.
Sekali lagi, kembali pada pria yang kini mengisi posisi sebagai seorang ayah bagiku. Selain seorang bangsawan seperti yang ku katakan, dia juga seorang yang bertugas melindungi wilayah ini dari berbagai hal. Mulai dari bandit, pencuri, hingga ancaman yang hanya bisa muncul di Magiki seperti monster, dan lainnya.
Kadangkala aku mengamati dirinya sedang berlatih, latihan yang cukup aneh tapi intens dan ajaib di satu sisi. Kuakui, ayah pirangku itu punya tubuh dan kekuatan fisik yang luar biasa. Bentuk tubuhnya ia dapatkan bukan dengan cara latihan beban konvensional, melainkan metode ekstrem yang aku yakin, mustahil dilakukan manusia biasa. Maksudku, push up dengan sebuah benda logam sebesar piano di punggungnya, berlari mengitari desa dengan rompi aneh yang apabila dijatuhkan ke tanah, mengahasilkan getaran dan suara debuman layaknya beton roboh, dan yang paling luar biasa, kemampuannya bermain senjata tajam, serta senjata lempar. Bisa kusimpulkan, dia memang manusia super, itupun bila dia masih dapat dikategorikan sebagai 'manusia'.
Lain lagi dengan ibuku, Uzumaki Kushina. Dia mungkin terlihat seperti ibu-ibu rumah tangga pada umumnya, yang kebetulan memiliki wajah dan tubuh luar biasa cantik, beserta surai merah yang bercahaya. Namun kadangkala, aku cukup beruntung untuk melihat tindakannya yang tak kalah mencengangkan. Maksudku, pernah suatu ketika, Kushina merasakan bosan dengan tatanan taman belakang rumah, lalu dengan entengnya, mencabut sebuah pohon, setinggi 2 meter hanya dengan sekali hentakan. Belum lagi aura aneh yang layaknya kepulan asap merah terang yang menyeruak dari tubuhnya tiap kali kesal akan sesuatu. Tampa menunjukkannya seperti Minato, aku yakin Kushina juga seorang mahkluk berkekuatan super.
"Ayo Naruto, buka mulutmu... Ang..."
Aku tercekat ketika mendapati sesendok makanan lunak sudah sampai didepan hidungku. Pelakunya tak lain adalah Kushina, ibuku yang tengah menyuapiku dengan ekspresi riang. Aku mengenali baik campuran makanan lunak itu, mirip ayam, beras, sedikit aroma daun dan bawang putih. Jujur saja, aku bukan penggemar bubur, tapi makanan ini cukup menggugah selera lambung bayiku ini.
"Nom, nom, egaga..." Sumpah, yang hendak ku katakan adalah 'enak'. Huft, berbicara dengan lidah bayi ini benar-benar melelahkan dan sulit. Jadi kuputuskan saja untuk fokus mengunyah makanan dimulutku.
"Aiyah Naruto, bisakah sekali-kali kau bertingkah lebih 'bayi'?." Apa dia bilang?
"Maksudku, makanmu terlalu bersih, kau tak pernah menangis, bahkan ketika buang air. Bukannya benci, hanya saja anak tetangga terlihat berbeda denganmu."
Hei! Patutnya kau bersyukur mendapati putramu adalah seorang pria dewasa yang cukup tau bagaimana bersikap dan tidak merepotkan orang tuanya. Percayalah, kau akan menyesali ucapanmu ketika matamu menghitam Karna kurang tidur akibat menggadangi anakmu yang rewel. Dasar pasangan muda!
Kembali lagi, dia melanjutkan kegiatannya dengan riang. Sejujurnya, hatiku merasa senang tiap melihat ekspresi riang Kushina tiap kali berurusan denganku. Perasaan yang tak pernah dialami yatim piatu sepertiku. Mungkin, aku memang harus menganggapnya 'ibu'.
Menikmati hari-hariku dengan cara ini sepertinya tidak terlalu buruk. Hingga disaat aku bisa menggunakan kedua kaki dan tanganku untuk melakukan hal lain, seperti mempelajari dunia ini tentunya. Dan, acara makanmu ini tak mengambil waktu lebih dari 15 menit.
"Hey sayang, hay nak!."
Pintu terbuka dengan agak keras, memunculkan seorang pria tampan bermata biru dengan tubuh tegapnya dibasahi keringat. Sepertinya Minato aka ayahku ini selesai dari latihan rutinnya. Ia lantas mendekati kami berdua yang tengah memperhatikannya.
"Ya ampun sayang, setidaknya bersihkan dulu tubuhmu sebelum kesini." Ujar Kushina dengan ekspresi heran. Aku cukup mengerti perasaan Kushina, maksudku, ada bayi disini sobat, jangan kau masuk selayaknya anjing basah. Tak ada yang tau kuman macam apa yang melekat di kulitmu yang basah itu.
"Ahahah... Maafkan aku, hanya saja aku merasa sangat merindukan jagoan kecilku ini. Hay nak, masakan ibumu lezat bukan?." Ia menjulurkan telunjuknya didepan mukaku. Haruskah aku mengikuti alurnya?
Huft, sepertinya tak ada cara lain aye?
"Aww, jauhkan tanganmu dari Naruto." Tiba-tiba Kushina menggunakan tangannya untuk menghentikan jemariku yang hendak meraih telunjuk Minato. Ya ampun, kau terlalu kaku Kushina.
"Tenang saja, aku sudah mencuci tanganku kok. Lagian, membiasakan Naruto dengan hal-hal hal selain ibunya itu bagus tau." Aku ingin mengangguk mengiyakan, hanya saja kepalaku terlalu berat, sampai leher mungilku tak sanggup melakukannya.
"Hey, Naruto masih kecil tau, jangan lakukan hal aneh kepadanya. Memangnya kau mau anak kita sakit hum?!."
"Huft, yasudahlah. Kalau begitu, aku akan mandi." Minato segera menuju kamar mandi rumah dengan terhuyung. Ekspresi lesu bercampur lelahnya membuatku sedikit kasihan. Haish Kushina, kau terlalu kaku pada suamimu yang malang itu.
•
~•~
•
Tak terasa, aku sudah 5 tahun tinggal di dunia ini, membuatku mulai beradaptasi dengan seberapa magis dan ajaibnya Magiki. Baik ibuku yang sering mencabuti pohon, batu raksasa, hingga menyembuhkan kakinya sendiri yang keseleo dengan sihir penyembuhan, atau bahkan ayahku yang bisa melakukan Teleportation, mengangkat mahluk sebesar sapi atau apalah yang aneh yang terjadi disini.
Tapi lupakan itu, fokus kembali kualihkan pada buku yang bertengger manis diatas pangkuan. Membaca dengan seksama informasi yang tertera didalamnya, tentang beberapa metode melatih kemampuan sihir, serta beberapa sihir yang biasa dipraktekkan seorang pemula.
Sejujurnya, aku bukan tipikal orang yang menyenangi buku, baik fiksi, science, atau yang lainnya. Hanya saja, sulit bagiku untuk menolak berbagi macam jawaban atas rasa penasaranku terhadap sesuatu yang disebut sihir ini. Sebagai langkah awal, mungkin beberapa buku semacam ini, yang berjejer banyak di lemari rumah adalah hal yang tepat diteliti.
Membahas sihir, di Magiki, terdapat eksistensi energi yang disebut Mana, sebuah energi yang memungkinkan penggunanya memanifestasikan kekuatan itu dalam berbagai macam cara. Manipulasi elemen, pelipat gandaan daya tahan tubuh, menyembuhkan berbagai cidera, dan berbagai macam keajaiban yang bisa diwujudkan apabila mampu menggunakan Mana dengan baik.
Dalam sejarah Magiki, Mana merupakan anugrah yang diwahyukan para dewa kepada semua mahkluk yang hidup disini. Manusia ataupun bukan, sehat ataupun sakit, berakal atau bahkan tidak, semua hidup dengan Mana yang mengalir deras didalam darahnya, berdampingan dengan energi fisik yang menjadi penggerak dasar kehidupan.
Aku kurang tertarik dengan embel-embel apalagi sejarah yang menyertai eksistensi Mana didunia ini, jadi langsung saja aku loncat ke tahap selanjutnya.
"Dasar pengendalian Mana... Baiklah,."
Aku kembali membalik halaman demi mengakses informasi yang buku ini sediakan.
Jadi menurut buku ini, langkah paling awal untuk mulai melatih Mana adalah, memanipulasi energi tersebut, menggerakkannya secara internal didalam tubuh. Menurut informasi yang tertera, akan muncul sensasi 'unik' apabila memperaktikan latihan ini.
"Baiklah... Pusatkan pikiran, konsentrasi, bayangkan air bernama mana yang mengalir sungai-sungai yang menjalar di seluruh tubuh."
Pelan namun pasti, aku mulai merasakan sensasi hangat di sekujur tubuhnya. Awal yang bagus fikirnya, kemudian ia berusaha melanjutkan langkah awal itu, dengan membayangkan bahwa energi asing itu bergerak, menyusuri setiap jengkal pembuluh darah.
"Inikah??..."
Kubuka mataku, mendapati kulit tangannya yang sedikit berpendar, dibarengi luapan asap biru tipis yang muncul layaknya kabut.
"Baiklah, kukira cukup untuk ini."
Tiba-tiba sensasi letih hebat menerpaku. Rupanya, latihan dasar seperti ini terlalu membebankan untuk tubuh ringkih anak 5 tahun yang jiwaku huni. Tapi masih cukup optimis, mengingat bahkan hanya dengan sekali coba, aku berhasil melakukannya. Entah karna memang tubuh ini sudah memiliki bakat, profisiensi terhadap Mana, atau memang karena aku yang merupakan seorang pria dewasa? Entahlah.
Energi berpendar ini tak kunjung padam, namun aku merasakan sensasi yang aneh. Letihku tadi berangsur mulai sirna, dinantikan sensasi penuh energi yang menerpa tubuhku tiba-tiba. Aku meraih buku lain yang tak kalah tebalnya, dan entah ide dari mana...
Pap!
Buku besar bersampul material keras itu terlipat akibat remasan tanganku. Luar biasa! Bahkan belum genap semenit, aku sudah memiliki kekuatan baru sekarang. Tapi energi tadi tak berlangsung lama, itu sirna bersama dengan asap berpendar yang tadi meluap dari tubuhku. Sekedar memastikan, aku mencoba melipat buku itu lagi dan...
"Keras!."
Mustahil! Benda itu terlalu keras untuk tangan anak-anak-ku... Memang benar, energi tadi sungguh gila.
Aku menyudahi bacaan tersebut, menutup sampul buku yang cukup tebal ini. Dengan perlahan, kutinggalkan ranjang ku, lalu melangkah menuju pintu keluar.
Sekarang adalah musim panas, jadi suhu udara terasa cukup hangat dan lembab. Beruntunglah, dunia ini tidak memiliki iklim yang berbeda dengan negaraku di dunia yang dahulu, sehingga adaptasi terhadap lingkungan baru cukup sekedar pembiasaan terhadap kondisi magis didunia ini, tak termasuk kondisi alamnya.
Kushina maupun Minato sudah mulai membiarkanku menelusuri rumah, termasuk pekarangan sekitar. Jadi, itulah yang selalu kulakukan sebelum menemukan buku menarik tadi. Mungkin setelah ini, aku hanya akan melakukan kegiatan ini bila sudah selesai berlatih.
"Naruto? Sedang apa kau nak?." Minato memanggilku dari samping kemudian menghampiri dan berjongkok di depanku, menyamakan tinggi kami yang terpaut jauh. Mata safirnya memandangiku dengan ekspresi senang sekaligus lembut. Kontras dengan tubuhnya yang kekar, sedikit dinodai keringat akibat berjalan-jalan disekitar kota, menjalankan tugasnya sebagai penanggung jawab keamanan wilayah ini.
"Aku hanya ingin mencari angin." Jawabku sekenanya.
Minato memiringkan kepalanya.
"Mencari angin? Tumben sekali."
"Mau bagaimana lagi, mataku lelah membaca buku. Aku ingin berkeliling sedikit." Jawabku sekenanya.
"Begitu ya... Ah!, Apa kau mau ikut dengan ayah? Kebetulan didekat sini ada anak-anak sekitar yang sedang bermain. Kau belum pernah melakukannya bukan?." Tawarnya.
Benar juga, aku benar-benar merasa kurang dalam poin itu. Terlalu fokus dengan segala tentang sihir sampai membuatku lupa dengan tanggung jawabku sebagai seorang anak. Bermain dan berteman. Sepertinya Minato sedikit khawatir dengan anaknya. Mungkinkah, masalah kepribadian semacam introvert sudah ditemukan dan jadi masalah ditempat ini?
"Ide bagus ayah. Ayo!." Jawabku semangat.
Dia lantas mengangkat tubuhku dengan sebuah 'Hup!', lalu mendudukanku diatas pundaknya yang kokoh. Rambut Mina- ayahku ini punya aroma yang bagus. Bukan harum bunga yang khas dengan wanita, tapi aroma maskulin yang membuat siapapun nyaman menghirupnya.
Beberapa saat berjalan, kami tiba didekat sebuah tanah lapang dengan sebuah pohon besar ditengahnya. Sekeliling tanah lapang itu, terpasangi oleh pagar kayu sederhana, sementara didalamnya ada berbagai mainan anak-anak sederhana seperti ayunan, jungkat-jungkit dan tempat untuk bergelantungan yang aku tak tahu namanya.
Beberapa anak kecil bermain dengan riang disana. Entah mencoba mainan-mainan itu, atau bercanda, berkejaran dengan teman sebayanya.
"Okay kita sampai, sekarang..." Minato, ekhem! Maksudku ayah mengangkatku sekali lagi, lalu menurunkanku. "Berkenalanlah dengan mereka, ayah akan menunggu disini."
Oh tidak tidak tidak, aku kurang suka perasaan ketika diawasi pria lain saat melakukan sesuatu.
"Tak perlu, ayah lanjut saja patrolinya. Aku akan baik-baik saja."
"Eh? Benarkah? Kau yakin nak?." Tanyanya ragu.
"Tenang saja, serahkan padaku."
"Baiklah kalau begitu, nanti jika sudah selesai, jangan kemana-mana dulu, tunggu ayah disini. Paham?."
Aku menyahut dengan kedipan mata sebelah dan sebuah jempol yang terangkat. Dia terkekeh lalu mengusap rambutku pelan, berbalik kemudian berjalan. Tentu saja, setiap beberapa langkah, dia akan menatap balik lalu memberikan cengiran dan melambai, beberapa kali. Jujur saja, menurutku Minato adalah contoh orang tua baik yang sangat sayang kepada keluarganya.
Kembali kepada para anak-anak yang sedang bermain, tampak satu orang yang duduk menyendiri dibawah pohon. Anak laki-laki dengan rambut hitam dicukur mangkuk, mata bulat lucu yang tampak lesu. Pakaian hijaunya lusuh, dengan beberapa robekan serta jaritan kasar disana. Dia seolah terpisah dari suasana riang tempat ini.
Tentu, aku merasa lebih tertarik untuk mendekati bocah penyendiri ini, dibandingkan mengaggu kesenangan anak lainnya. Ketika jarak kami tak lagi terpaut jauh, dia mengalihkan tatapannya kearahku.
"Yo! Sedang apa?."
"Uhm... Hanya diam saja..." Dia tampak ragu-ragu denganku.
"Oh ya! Namaku Naruto, Namikaze Naruto. Siapa namamu?"
"Namaku Lee, Roku Lee."
Aku memutuskan duduk disebelahnya, berteduh dibawah pohon ini. Hanya beralaskan rumput. Beruntung, celanaku berbahan cukup tebal, sehingga sensasi tajam rumput-rumput kecil ini tak mengganggu sama sekali.
"Kenapa kau tidak bergabung? Bukankah itu terlihat menyenangkan?."
"Umm.. Mereka tak mau bermain denganku, mereka bilang aku jelek dan kotor."
Waw... Korban diskriminasi huh? Tapi kalau boleh jujur, cukup beralasan bagi mereka untuk memanggilnya begitu. Tampa bermaksud menghina, dia memang tampak agak kotor, pakaiannya pun yang awalnya kukira tua semata, ternyata memang rusak dan, kurang layak.
"Uhnm... Apa kau membersihkan badanmu? Maksudku, 2 kali sehari... Bukannya menghinamu kok, hanya saja, memang ada noda disini, kulitmu bisa gatal nanti."
Aku menunjuk lengan kanannya yang kebetulan dinodai sedikit tanah. Dia sontak menggunakan tangannya yang lain untuk mengusap kotoran itu, membersihkannya dengan terburu-buru.
"Tentu saja, aku mandi setiap hari. Hanya saja, sebelum kemari, aku habis membantu kakak penjaga di ladang."
"Kakak penjaga? Saudaramu?" Dia menggeleng pelan.
"Bukan, dia penjaga panti asuhan. Aku tinggal disana." Ah terungkap sudah.
"Hey! Pirang yang disana! Menjauh dari mangkok kotor itu, nanti kau ketularan aneh." Hardik salah satu dari mereka. Lee yang mendengar itu sontak tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
Haish, bisakah kalian membiarkanku membuat pertemanan? Dasar bocah-bocah jahat!
"Memangnya apa yang salah darinya? Kau bilang dia kotor? Dia pekerja keras yang datang bermain setelah membantu di ladang tauk!" Balasku dalam sekali nafas.
"Itu wajar dia cuman anak panti! Pergi sana! Main sama yang lain saja!"
Hey! Itu keterlaluan, bocah ini ingin ku kencingi mulutnya.
"Mulutmu kotor sekali! Aku tak mau mendengar itu keluar dari bocah manja yang jahat!"
"S-sudahlah Naruto... Aku akan pergi sekarang." Lee sudah hampir menangis, matanya berkaca-kaca dan dia menggigit bibirnya rapat.
"Hey sobat. Apa kau tak masalah diperlakukan seperti ini?." Tanyaku. Dia hanya terdiam, memandang kearah lain. Lalu menggeleng pelan.
"Kalau kita hadapi mereka! Kau dan aku." Tanganku sudah gatal ingin menghantam hidung mereka. Persetan dengan kekerasan terhadap anak! Biar begini aku juga anak-anak! Jadi masih ku anggap perkelahian kecil.
"Tapi... Nanti aku akan menyusahkan kakak penjaga, aku gak mau..."
"Heh! Kau tenang saja! Aku anak Minato Namikaze! Tak akan ada yang menyalahkanmu. Siapa yang berani sama ayahku?."
Ugh! Sialan aku terpaksa harus menggunakan 'kartu' ini. Menjual nama ayahku dalam menyatukan pendapat. Tapi biarlah, dalam perang harus ada yang dikorbankan bukan (?). Maafkan anakmu ini Minato, Kushina...
"T-tapi-..."
"Sudah! Lihat mereka datang!"
"Apa kau bilang? Dasar pirang jelek! Kau sama anehnya dengan mangkok bodoh itu! Benar kan teman-teman?!"
"Hahahaha! Benar sekali!"
"Huft! Untuk bocah manja yang cuman berani pada yang lemah kau sombong sekali. Padahal masih sering ngompol dan diceboki!."
"K-kurang ajar! Teman-teman, kita beri dia!"
"Hajar!."
"Botaki rambut tai itu!."
A-apa?! Apa dia bilang? Bedebah kecil ini!
"Maju kalian kotoran jelek!."
"Haaaaaaaa!."
Keempat anak itu menerjang maju dengan senyum menyebalkan-nya masing-masing. Aku pasang kuda-kuda, sementara melirik Lee yang tampak gentar dan ketakutan. Dapat dilihat dari manapun, dia tak punya niat cari masalah. Ini salahku semua, membuatnya terlibat. Tapi, niatku baik lho...
"Terima ini!" Dia mengayunkan tangannya sekuat tenaga. Ayunan itu tampak lambat, memberikanku kesempatan untuk menyelam ke kiri. Tapi aku sadat dia tak sendiri, segera aku mendapati tendangan dari yang lain meluncur mulus mengejar ku.
Buagh!
Bagian samping perutku menjadi korbannya. Kulihat Lee kewalahan menangkis dan menghindari gempuran dua anak lainnya. Boleh jujur, semua ini tak sakit sama sekali. Hanya saja, apabila anak-anak yang belum bisa berfikir tenang yang menerima hal seperti ini, dia akan runtuh dan menangis akibat rasa frustasi karna dihujani tangan dan kaki.
Aku segar mengatur ulang posisiku, bocah yang tadi memukulku tersenyum meremehkan, lalu maju dengan tangannya yang terayun kebelakang, mencari momentum untuk memukul.
"Terbuka sekali kau senyum jelek."
Aku berlari kecil, meloncat sekuat tenaga, melemparkan tubuhku kearahnya.
Dahgh!
Menghentakkan kedua kakiku tepat kedadanya, membuatnya yang tengah meluncur maju jatuh terpental dengan terlentang. Akupun sama, jatuh ketanah. Namun, posisiku jauh lebih baik Karna menggunakan tanganku sebagai sarana mendarat, kemudia segera berguling dan berdiri.
"K-keren Naruto! Ajari ak- adaw!"
Woy! Fokus kelawan mu bodoh!
"Eh?! Beraninya! Hiyaaaa!"
Dia tak kalah gegabah-nya, maju dengan cara yang sama dengan kawannya tadi. Aku mengunci kedua tanganku didepan wajahku, mengatupkan gigiku erat, mengunci daguku rendah, lalu membalas menubrukan tubuhku sekuat tenaga kearahnya.
Duagh!
"Sakit!"
Kepalaku yang terlindungi itu menyeruduk telak hidungnya, dia terhentak sedikit. Ku manfaatkan momen itu, dengan melakukan takedown kepadanya dengan pundaku. Hasilnya, dia jatuh tergeletak, berguling kesakitan memegangi wajahnya.
"Yosh! Lee kau baik saja?"
Aku menghampiri Lee yang dikeroyok dari dua sisi. Jujur, dia benar-benar kokoh dan gigih, tak sedikitpun dia melepaskan tangkisannya, meskipun dengan telak dihajar bertubi-tubi. Memar-memar mulai tampak jelas ditubuhnya.
Kutendang yang menyerang Lee dari belakang, memberikan kesempatan Lee mengatur ulang posisi dan balik menyerang.
Aku fokus kepada korban tendangaku barusan, dia bersiap menyerangku. Tapi, kali ini aku yang menerjang. Aku memberikan ancang-ancang seolah akan menendang perutnya, dia termakan oleh trik itu dan sedikit membungkuk, menggunakan tangannya untuk memblok.
Buagh!
Sayang sekali sobat!
Bukan tendangan, melainkan sebuah Superman punch yang menyosor dahinya. Dia terduduk meringis sambil memegang kepalanya yang sepertinya pusing.
"Kena kau!"
Sialan korban pertamaku rupanya sudah bangkit dan berhasil menangkapku.
Duagh! Duagh!
Sialan! Perutku, kapan bedebah ini bangkit? Aku dalam masalah, Lee sudah tumbang, sedangkan lawannya kini malah menghampiriku, 3 orang mengeroyokku dengan beringas.
Apa bisa kugunakan sekarang?
Baiklah...
Rasakan alirannya...
Dapat...
Rasakan letih-nya...
Dapat...
Ini dia! Kekuatan ini mengalir liar didalam tubuhku. Pancaran energi berupa asap tembus pandang meluap dari tubuhku. Seketika tenaga dan kekuatanku seolah terisi kembali.
"Lepaskan!"
Aku menggoncang tubuhku sekuat tenaga, membuat bocah yang memegangi ku terlempar kuat, menabrak salah satu dari temannya kemudian jatuh.
Buagh!
Belum sempat menjalani yang lain dia sudah roboh oleh berkat tendangan Lee yang entah menerjang dari mana.
Menang...
Kita menang...
"Ugh, s-sakit! Huaaaaaaaaa! Ibu! Ibu!"
"Ayah! Hueeeeee!..."
Sial.
•
~•~
•
Begitulah, hari ini selesai dengan rapat dadakan yang terjadi dirumah karakter utama kita kali ini. Dia, bersama Lee yang babak belur, duduk berseberangan dengan 4 anak lainnya yang juga tidak kalah babak belurnya. Mereka tampak saling meminta maaf, didampingi Minato, Kushina, orang yang Lee panggil sebagai 'Kakak Pengawas' serta beberapa orang tua anak-anak itu.
"Sekali lagi, aku minta maaf... Aku harap kita bisa berteman."
Naruto meminta maaf diikuti anggukan lesu Lee sambil menyalami mereka semua.
"Kami juga minta maaf, karna sudah mengejek Lee."
"Aku juga, membuatmu kesakitan dan babak belur." Kali ini giliran Lee. Tiba-tiba suasana makin panas.
"Iya, maaf sudah mengeroyokmu dan membuat kalian tampak lebih kotor."
"Maaf juga membuat kalian terlihat payah!."
"Maaf karna memanggil kalian aneh!."
"Maaf sudah menghajar kalian!."
"Maaf sudah memanggilmu rambut tai!."
"E-ekhem! Sepertinya sudah cukup hehehe, aku harap kalian bisa bertahan ya hehe..."
Minato mengakhiri pertemuan singkat itu.
•
~•~
•
"Jadi, kau mempergunakan mana mu untuk menyerang mereka nak?."
Minato- maksudku ayah, mengintrogasi ku yang masih duduk diposisi yang sama, bersama Lee tentunya.
"Eh?! Um..."
Aku perlu memahami situasi dalam menentukan jawabanku kali ini.
"Kau tak perlu menutupinya, ayah tau itu dengan pasti. Ku-ubah pertanyannya, bagaimana caramu menggunakan Manamu ketika melukai mereka?."
"Sebenarnya, aku membangkitkan Mana milikku pagi tadi. Saat sebelum pergi ke taman itu. Aku kurang mengerti tentang 'cara menggunakan mana' yang ayah maksud, karna memang Mana seperti itulah yang aku bangkitkan, membuat tubuhku lebih kuat."
Minato mencubit dagunya, ia tampak berfikir keras selagi terus menatapku lekat. Kushina-sial! Maksudku ibu juga tak bergeming, tapi, entah kenapa dia tampak menunjukkan ekspresi cer-
"Hahaha! lihat Minato! Naruto-ku menguasai tehnik ku dan bukan milikmu!" Dia membuatku terkejut ketika langsung bangkit dan menunjuk muka Minato dengan ekspresi senang penuh kemenangan.
"Haish, kenapa kau seolah-olah membuat Body Enchantment bukan sihir andalanku saja..." Cibir Minato sambil bersidekap dan melempar pandangan.
"Memang! Tapi jangan lupa, aku masternya termasuk master-mu, SU A MI KU..."
"Huft iya iya, ini kemenanganmu sekarang, tapi percayalah, Naruto juga punya potensi menggunakan jenis sihir lainnya."
Aku menyimak dengan tertarik percakapan keduanya. Jujur saja, ini benar-benar menarik.
"Ayah, Body Enchantment itu apa?"
"Biar ibu jelaskan" Kushi-ibuku menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi bangga. Menarik nafas dalam lalu mulai melanjutkan.
"Body Enchantment adalah jenis sihir yang menggunakan Mana untuk memperkuat sel tubuh. Otot, tulang, darah, rambut, semuanya. Efeknya, kau akan semakin kuat. Dan ibumu ini, sewaktu muda, huhuhu... Terkenal dengan julukan, The Explosive Habanero, petarung tangan kosong terhebat di Magiki!. Ohohohoho!..."
Aw...
"Hahaha, kesampingkan tingkah ibumu nak. Tapi memang benar, mungkin tak semua orang mengenal nama Kushina, tapi ketika mendengar julukan ibumu, setidaknya semua orang pasti tau." Timpal ayah. Huft...
"Begitu ya, lalu, apa yang ayah maksud dengan potensi sihir lain tadi?."
"Um jadi begini, sebelum membahas itu. Perlu kau ketahui nak, ugh mungkin ini terlalu berat, tapi ayah harap kau paham maksud ayah."
Aku mengangguk mantap.
"Ekhem! Jadi ketika pertama kali membangkitkan Mana, orang pada umumnya tak akan langsung mampu memanifestasikan, mempergunakan energi itu untuk sesuatu. Ibarat, air murni yang belum ibumu jadikan sup. Tampa rasa, tampa bau, hanya cairan biasa."
Dia mengambil jeda.
"Jadi kemampuanmu itu adalah hal unik yang hebat nak."
Aku merasa sedikit bangga akan diriku.
"Tapi selain itu nak. Ketika menggunakan Mana, energi itu akan menyisakan jejak yang menandakan kau sudah menggunakannya. Jejak mana itu, dapat digunakan oleh orang dengan kepekaan tinggi untuk mendeteksi, menentukan sihir apa yang digunakan, bahkan bila dia ahli, dapat digunakan untuk memprediksi sihir apa yang akan dikeluarkan penggunanya. Dan ayah, merasakan ada jejak mana lain selain Body Enchantment yang kau lepaskan. Yaitu kemampuan langka, yang salah satu penggunanya adalah aku, ayahmu..."
Cara Minato bercerita jujur membuatku merinding.
"Space Magic!"
•
~•~
•
.
Yo wassup, Sendalku-mana hadir disini untuk menyajikan buah dari inspirasi liar yang selalu menggangu tidur. Seolah memaksa untuk dicurahkan.
Please, jangan expect bakal ada tata bahasa sempurna. Secara baha Indonesia, tata cara bersastraku cuman datang dari pengalaman baca-baca fanfic yang jadi hoby sedari bocil.
Jangan di Flame, kasih kritik yang membangun. Bila ada hal yang mengganjal, jelaskan dalam ulasan. Author kampung ini selalu mengharapkan turut kalian para pembaca dalam meningkatkan skill menulisku.
Dan terakhir, mungkin update nya bakal dikit lama. Hehehe, so stay tune.
Love ...
