.

Interstellar Nation Army Become a Merchenary

Chapter 16.1

Kota Pertama (Bagian 3)

.

.

.

Duduk di kursi yang besar dan nyaman sambil memandangi set teh yang terlihat indah di hadapanku, aku tidak bisa tidak memikirkan orang-orang miskin itu. Aku harus mengakui bahwa dunia fantasi pedang dan sihir ini agak membuatku—kecewa.

"Sir Osbern." Pina, yang duduk di sebelahku, sedikit menyodok sikunya ke arahku.

"Kita tetap pada rencana awal jadi kamu tidak perlu terburu-buru."

"Bukan, bukan itu maksud saya—" kata Pina sambil mengisyaratkan bahwa dia tidak bermaksud untuk menyinggungku. "—sejak kita memasuki kota, sikap Sir Osbern menjadi agak dingin. Sa-saya tidak tau apa yang Sir Osbern khawatirkan, tapi jika anda bersedia menceritakannya maka saya bersedia untuk mendengarnya."

Pina dengan serius memanatap ke arahku, meski di saat yang sama dia sesekali, menghindari tatapanku secara langsung. Apakah aku membuatnya khawatir lagi?

"Tidak, aku tidak marah. Aku hanya teringat hal yang tidak kusuka, hanya itu."

Aku memberi instruksi kepada Pina untuk tidak lagi melanjutkan pembicaraan. Pina yang melihat itu hanya bisa tertunduk dan kemudian menundukan wajahnya ke bawah.

Ini tidak seperti aku tidak menghargai perasaannya, hanya saja ini bukan waktu yang tepat untuk mengikut campuri pikiran orang lain. Sebab jika seseorang memaksakan diri untuk masuk ke dalam persoalan orang lain tanpa memahami perasaannya, maka ada kemungkinan bahwa pihak lain akan marah kepada kita dan ujung-ujungnya akan menimbulkan masalah baru yang tidak kita inginkan.

Setelah menunggu selama beberapa menit, Zhave akhirnya datang ke ruang tamu setelah berganti pakaian.

"Ah, maafkan saya karena telah membuat kalian menunggu terlalu lama." Kata Zhave dengan suara lembut saat memasuki ruangan, wajahnya tampak dengan tulus meminta maaf.

"Tidak, tidak masalah. Kami memang sedang tidak terburu-buru saat ini." Ucapku sebagai balasan.

Ketika sedang berbicara dengan orang lain, ada saat di mana kita perlu menunjukan rasa empati dan rasa pengertian kepada orang lain agar mereka lebih mudah terbuka kepada kita. Ini terkadang digunakan pada seseorang untuk memperoleh kepercayaan dari orang yang ingin kita aja berbicara.

"Ayo, silahkan duduk. Nanti capek kalo kita berdiri terus."

Setelah semua orang duduk di kursi mereka masing-masing, Zhave dan aku mulai membicarakan berbagai. Kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak terlalu penting untuk kami bahas.

Selama pembicaraan itu, sesekali kedua mata Zhave menatap ke arah Pina. Aku tidak tau apa arti dari tatapan itu, tapi yang pasti itu bukan tatapan bilahi seorang pria kepada lawan jenis mereka. Entah apa yang sedang dia pikirkan, akan lebih baik bagiku jika bisa memastikannya sekarang selagi ada kesempatan.

"Bukankah, menurutmu Pina luar biasa cantik?" Kedua sudut bibirku sedikit terangkat, Pina yang tidak dapat memprediksinya secara refleks langsung menyikuku dengan kedua pipi yang sedikit memerah.

Zhave sedikit melebar kedua matanya, tapi dengan segera dia mampu menenangkan dirinya dan kemudian membalasku dengan candaan.

"Yah, dia sangat cantik. Jika dia bukan kekasih anda, saya mungkin akan menjadikan sebagai selirku."

"Maaf, terima kasih. Saya tidak tertarik menjadi wanita simpananmu, Tuan Zhave." Tanpa memberi aba-aba, Pina langsung memotong dengan wajar yang tidak senang.

"Jangan begitu, Nano Pina. Sudah menjadi rahasia umum bahwa laki-laki diperbolehkan untuk memiliki lebih dari satu istri. Lagipula, saya adalah orang yang sangat penyayang kepada keluarga saya. Jika anda bersedia, maka saya siap menanggung semua bebanmu dan berjanji untuk menafkahimu dan calon anak kita nanti."

"Oke, candaan sudah cukup. Tidakkah anda lihat bahwa Pina seakan seperti ingin meledak kapan saja? Tentu kita tidak ingin ada yang hal buruk terjadi di dalam rumah anda."

Dada Pina sedikit bersinar merah dan terus memancarkan energi panas disekujur tubuhnya, meski masih dalam batas yang bisa ditorelansi tapi jika Pina tak segera dihentikan maka bisa saja tempat ini akan gosong oleh ledakan energi panas yang Pina keluarkan.

"Ya-yah, maaf jika saya udah kelewatan bercandanya, Nona Pina." Ucap Zhave sambil berkeringat dingin.

"Pina, jika kamu terus mengintimidasi seperti itu kita gak akan menerima bayaran kita, kamu tau?"

Aktivitas biokimia yang ada di dalam tubuh Pina mulai berkurang secara drastis. Dan setelah dia mulai agak tenang, dia lalu meminta maaf karena kekasarannya. Setelah semua orang kembali tenang, aku lalu berbicara lagi dengan Zhave dan menanyakan alasan kenapa dia sesekali menatap ke arah Pina.

"Mungkin anda tidak akan mempercayainya, Sir Naruto. Tapi Nona Nana agak mengingatkan saya pada seseorang yang pernah saya lihat di masa lalu."

"Seseorang? Siapa itu?"

"Saya tidak tau siapa, kami juga tidak saling kenal tapi saya pernah melihatnya di sebuah acara besar yang pernah saya hadari belasan tahun yang lalu…"

Zhave terlahir sebagai seseorang yang memiliki dua identitas kewarganegaraan. Semasa kecilnya, dia sering kali berpindah-pindah tempat karena pekerjaan ayahnya yang merupakan seorang pedagang. Tak jarang ayahnya juga akan singgah ke tanah kelahiran ibunya yang berada di sebelah timur dari negara ini.

Ketika dia beranjak remaja, dia dan ayahnya mendapat sebuah undangan dari seseorang yang berpengaruh di negara tersebut. Pada saat itu, dia tidak segaja bertemu dengan seorang gadis yang terlihat sedang menyendiri di sebuah taman yang ada di dalam mansion.

Awalnya Zhave tak bermaksud untuk mendekati gadis itu, namun pikiran itu segera berubah setelah Zhave secara tidak sadar mendekati gadis itu dan segera merebut pisau dari tangannya. Gadis itu berusaha memberontak, namun tidak berhasil. Dia memohon kepada Zhave untuk membiarkannya mati, tapi Zhave dengan keras kepala menolaknya.

Setelah keduanya mulai kehabisan tenaga, mereka tidak lagi memiliki niat untuk meneruskan perkelahian mereka dan kemudian mereka pun terduduk lemas di atas kursi taman.

Dari apa yang bisa aku simpulkan dari cerita Zhave adalah dia dan gadis itu saling jatuh cinta sejak pertemuan itu, keduanya bahkan bermaksud untuk kawin lari dan ingin melarikan diri bersama ke negara lain.

"…kami hampir berhasil lolos dari kejaran mereka, namun pada akhirnya kami berdua pun tertangkap dan kemudian dipisahkan oleh mereka."

Kedua mata Zhave terpejang cukup lama, sesekali dia mengambil napas sejenak dan kemudian berkata.

"…aku disiksa oleh orang-orang suruhan ayahnya selama beberapa hari. Pada saat itu aku hampir berpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri hingga pada akhirnya seseorang yang tidak aku kenal datang dan memerintahkan semua orang yang ada di sana berhenti menyiksaku."

"Semenjak saat itu, aku tidak lagi berhubungan dengan gadis itu. Ayahku juga menyuruhku untuk tidak lagi memikirkannya, beberapa bulan setelahnya, aku mendengar kabar bahwa gadis itu telah dibawa oleh seorang bangsawan yang ada di negara itu…"

Aku menengok ke arah Pina yang terlihat berulang kali sedang menghapus air mata yang keluar dari kedua matanya. Meski ini mungkin menjadi cerita yang cukup menyedihkan bagi sebagian orang, namun itu tidak cukup membuatku berempati padanya.

Setelah jeda yang tidak terlalu lama, aku pun berinisiatif untuk mengubah topik pembicaraan.

"Maaf jika saya berkata kasar, tapi berhubung hari sudah mulai gelap, bagaimana jika kita mengistirahatkan diri sejenak? Bukankah begitu Tuan Zhave?"

"Ah, benar. Maaf karena sudah menyita banyak waktu kalian." Ucap Zhave sambil mengucapkan permintaan maaf kepada kami.

"Tidak masalah. Sesekali ada bagusnya untuk mendengar kisah percintaan orang lain." Jawabku singkat.

"Kalau begitu, Domineff, bisakah kamu mengantarkan kedua tamu kita ke kamar tamu kita?"

"Baik, Tuanku."