: : :
Tidak pernah terlintas di imajinasi terliarku kalau Ino berkata sedemikian rupa. Atau cuman akal-akalan nya saja.
Sejurus kalimatnya nyaris membuat ku begadang hingga subuh.
"Hinata tau kalau kau menyukainya"
Ino beranggapan bahwa jurus 'tarik ulur' sukses menarik atensi Hinata. Persetan metode apapun itu! Semenjak kejadian di sungai aku merasa tidak ada ruang buatku di hati Hinata.
Otak gadis itu sudah terkontaminasi Sasuke Uchiha.
Dari pertama saja aku sudah salah langkah dan Hinata salah hati. Kami tidak mungkin bertemu di tengah-tengah nya. Untuk ikut porosnya saja tidak.
Walau sudah jatuh cinta ke sana kemari, tidak ada satu pun yang dapat menyingkirkan rasa membuncah ini setiap kali Hinata hadir.
Ungkapan cinta adalah percobaan bunuh diri saja.
Bukankah kisah cinta dalam pertemanan adalah hal yang lumrah?
Maka dari itu tetaplah bertahan seperti ini. Aku akan baik-baik saja.
Aku ingin sekali terbebas dari kisah kasih tak sampai. Aku bukan pecundang hanya saja pesimis.
"Shika-kun, bisa gosok punggungku tidak?"
"Tch, memangnya aku istrimu!?," semprot ku ke Sai.
Kami sedang berendam di onsen. Sai merasa tidak enak karena bersenang-senang tanpa ku, Hinata dan Ino. Daripada terancam putus ya kan?
"Kenapa tidak pilih pemandian privat? Kau bisa enak berduaan dengan Ino," ucapku asal sambil mengusap rambut.
"Dan kau bisa leluasa berdekatan dengan Hinata?," goda Sai balik.
"Shika-kun, Ino itu cewek yang merepotkan bukan? Walaupun begitu sejauh ini dia sudah membantu kita dalam banyak hal. Dia juga sampai ikutan pusing begitu Hinata curhat habis-habisan padanya..." tambahnya.
Pandanganku berhenti saat Sai melengkungkan bibirnya. Seolah tahu aku bakal kena pancingannya.
"Kau tahu, pengetahuanku cukup terbatas pada persoalan berbau perempuan," ucapku berusaha tidak termakan omongannya.
"Bisakah kau bantu meringankan pacarku? Paling tidak ikuti saja perintahnya, oke. Kami cuman mau melihatmu bahagia"
Bahagia? Memangnya selama ini aku tidak? Kenapa orang-orang melihatku sebagai makhluk paling menderita?
Oh, ya. Aku tau Ino masih bersalah karena menolakku saja kan? Dia tidak murni ingin menolongku? Ino pasti sudah muak dan mau menendang ku sehingga bisa bermesraan dengan Sai. Ck, mendoukusai!
Sebenarnya aku ini dianggap apa sih?
"Sai, kau..."
"Aiih! Hinata punyamu lembut sekali. Astaga, aku tidak bisa berhenti menyentuhnya~~"
"I-ino-chan, h-hentikan"
"Aku iri sekali ukurannya ternyata lebih besar. Aku pegang lagi ya"
Sebelum aku mulai pertikaian dengan Sai, hidungku bocor duluan dan ambruk di tempat.
"Woi, Shikamaru!"
: : :
"Handuk handmade"
"Jangan minta aneh-aneh ya Ino sayang," Sai memohon pada Ino untuk tidak menguras isi dompetnya.
Salahkan saja Ino dengan ambigu jahanamnya. Akibatnya aku jadi bahan tertawaan satu kolam pemandian. Ini akibatnya kalau bilik pemandian setipis alis Gaara.
Demi handuk Hinata sialan! Kupikir sesuatu yang '4646'. Bikin geger saja.
Kami baru saja selesai berendam sembari menunggu Hinata. Sementara aku pasrah jadi sasaran empuk dua bigos ini.
Ino menggodaku sambil menguncir rambutku "Memangnya kau berpikiran apa sih Shikamaru sampai mimisan begitu?"
"Karena terlalu berpikir 'keras' mungkin?," celetuk Sai tanpa dosa.
"Oh, berpikir sampai otak jeniusnya panas ya"
"Tch, urusai! Apa isi otak kalian cuman 'begituan' doang!?"
"Begituan apanya? Kami tidak bilang apapun"
Sebelum babak silat lidah berlangsung sengit, Hinata menyusul kami. Ino berdehem dan saling lempar pandang dengan Sai.
"Baiklah, aku dan Sai pamit duluan ya"
"Eh, Ino-chan?"
"Hinata, kamu tidak usah takut. Lagipula Shikamaru lebih seram dari orang gila itu kok," ledek Ino. Aku memutar bola mata bosan.
Ada sebab akibat, kenapa si jelita ini agak was-was untuk keluar malam. Belakangan ini ada pria stres melakukan eksebisionis yang telah meresahkan warga. Khususnya kaum perempuan.
Entah, hingga sekarang si maniak itu belum tertangkap juga. Artinya dia masih berkeliaran dan cari mangsa.
Tentunya siasat Ino bukan semata-mata menjadikanku body guard buat Hinata.
"Ayo, ini sudah larut"
Sebenarnya aku setengah hati untuk mengantar Hinata. Aku yang sudah mengambil ancang-ancang mundur dalam percintaan, pastinya menghindari momen seperti ini.
Sepanjang jalan kami hanya membunuh waktu dalam diam. Sangat kental akan kecanggungan, diiringi bunyi jangkrik.
Langkah kaki Hinata yang tidak sebesar diriku membuatnya sering tertinggal. Setidaknya dia masih di bawah pengawasan ku.
Lampu di rumah Hinata banyak yang sudah dipadamkan. Walaupun bukan dari keluarga yang ketat, tapi tetap saja ada aturan jam tidurnya.
"Shikamaru-kun..."
Alisku terangkat, menunggu Hinata menuntaskan kalimatnya. Jujur aku agak penasaran. Bagaimana ia menggigit bibir dalamnya, mata mutiaranya yang bergolak lincah, pipinya yang memerah membuat batinku resah.
Aku kaget ketika dia membungkukkan badan.
"A-ah, gomen. Tidak jadi. Terima kasih sudah mengantarku!"
Secepat kilat gadis berambut indigo itu masuk ke rumah.
: : :
Sekalipun aku tidak mau membayangkan apa yang Sasuke alami.
Tidak tahu bagaimana pastinya, orang tua Sasuke mengalami kecelakaan maut. Mobil yang ditumpangi tergelincir menabrak kontainer. Tragedi yang merenggut nyawa tersebut menyisakan luka yang amat mendalam bagi kedua anaknya terutama si bungsu.
Kami sebagai teman Sasuke ikut berduka. Para tetangga bahkan tidak menyangka bahwa orang sebaik mereka dipanggil Tuhan duluan.
Berita kematian yang menyangkut atlit muda Sasuke jadi santapan awak media. Sasuke lebih banyak menjauh dari spotlight dan selaku abang, Itachi lah yang memberikan pernyataan. Meski tampak tegar, Itachi sama terpuruknya dengan adiknya.
Sialnya, aku tak bisa hadir di upacara kematian. Tidak sempat mendampingi Sasuke untuk penghormatan terakhir mendiang orang tuanya. Kurang bila hanya diwakili Ino, Sai dan Hinata.
Tugas kuliah dan kerja part time menahanku ke Desa Konoha lebih awal. Dua hari setelahnya aku baru bisa berbelasungkawa secara langsung di kediaman Uchiha.
Kukira aku sudah kelewat telat, namun ternyata masih banyak tamu dan karangan bunga yang dialamatkan untuk keluarga Uchiha.
Sai dan Ino memang tidak pernah absen di kondisi apapun. Aku menghampiri mereka yang masih berbalut pakaian gelap.
Tidak ada senda gurau di tengah percakapan kami. Kecuali untuk mencemooh resleting celanaku yang terbuka. Selebihnya hanya kronologi kecelakaan yang dijabarkan Ino. Sai juga mewanti-wanti untuk tidak bicara sembarangan pada Sasuke.
Mataku sekilas menyorot ke perkumpulan orang tua. Nampaknya ibu kesusahan untuk meladeni ayahku yang mabuk. Dalam suasana berkabung, Si Tua Bangka itu tidak kapok soal toleransinya yang rendah pada minuman keras. Beberapa lelaki membantu ayah untuk bersandar di niwa.
Sungguh memalukan.
"Apa kalian lihat Sasuke kemana?"
Sejak tadi sosok topik pembicaraan kita belum muncul. Aku hanya melihat Itachi yang menyambut tamu dengan sisa tenaga dan emosi yang suram.
"Kalian coba cari Sasuke. Sedari tadi tunangannya itu mencarinya," dagu Ino menunjuk ke arah perempuan berambut gulali di samping Itachi.
Kami langsung menanggapi usulan Ino. Sai tidak bisa berkilah kalau pacarnya sudah buka suara meski dia ada janji main shogi bersama para orang tua.
Setahuku Sasuke bukan tipikal orang yang gampang mengekspresikan diri di depan umum. Tidak heran, jika mungkin dia butuh waktu sendiri untuk meluapkan kesedihannya.
Mencari Sasuke ternyata tidaklah sulit. Seperti dugaanku, Sasuke sedang menangis. Biarpun macho, siapa pun akan rapuh di saat orang yang disayangi meninggalkan kita.
Laki-laki dengan banyak kemenangan di tangannya kini terisak parah. Itu fenomena baru untukku menyaksikan Sasuke yang inferior.
"Shikamaru-kun, err... sebaiknya kau balik saja duluan"
"Memangnya kenapa?"
Kuso. Rasanya timing nya tidak tepat.
Bungsu Uchiha bersimpuh di atas tanah membiarkan setelan hitamnya beradu debu.
Kendati aku dan Sai bukanlah orang yang pertama menemukannya. Hinata lebih dulu di sana atau selama ini bersama Sasuke di belakang gang.
Posisi Sasuke masih sama. Dia memeluk Hinata yang sekarang lebih tinggi darinya. Kepala cerdasnya merangsek ke perut gadis itu. Suara tangis Sasuke mendominasi. Sesekali tangan Hinata mengusap lembut punggung Sasuke yang terguncang dan membisikkan sesuatu. Mungkin kalimat penenang.
Langkah kami tak sengaja terseret dan menimbulkan bunyi yang mengganggu mereka.
Dua orang nampak membeku di tempat, sementara kami kian mendekat. Mereka terkejut bukan main, tapi Sasuke masih bisa bersembunyi di balik wajahnya yang penuh bekas air mata.
Ya, ampun kenapa kami kelihatan sedang menangkap pasangan gelap.
Mereka berdua pun bangkit sebelum Sai angkat bicara.
"Sasuke, banyak orang yang mencarimu. Tolong temuilah mereka," Sai mengambil alih, karena dia tahu hatiku sedang terbakar sampai kehabisan kata-kata.
"Ah, suman..." ujar Sasuke bernada rendah.
Sasuke berjalan melewati kami seolah tak terjadi apapun, meski aku yakin dia merasakan situasi yang tegang.
Hinata yang tadi di sisi Sasuke termenung dan seketika mengirimi ku dengan sebuah tatapan bersalah.
Sai menahan bahuku seakan memberi peringatan untuk tidak marah.
Marah? Memangnya buat apa? Dan mengapa aku merasa dicurangi? Sakitnya tak terkira.
"S-shikamaru-kun, a-aku..."
"Duluan saja. Temani Sasuke, kurasa dia perlu bantuanmu," tukasku menjatuhkan pandangan ke tanah yang ku pijak.
Jadi semuanya makin jelas dan aku cukup tau diri untuk menjaga batasan agar bersikap sewajarnya.
Aku cemburu tapi dia bukan milikku.
: : :
False Memories
- Bersambung -
: : :
