Summary...

Hari perceraian itu pastilah datang. Namun, cinta justru datang di saat yang tidak tepat.

Di samping itu Fugaku berniat merencanakan sesuatu yang sangat jahat untuk menghentikan perceraian Sasuke dan Hinata. Akan tetapi, Hinata yang mengetahui rencana itu berusaha menggagalkannya.

"Apa cintaku padamu adalah sebuah dosa?"

Hinata hanya terisak menangis menatap wajah Sasuke yang semakin pucat. Di sisi lain, tangannya yang menutupi bekas tusukan telah dipenuhi oleh darah pria itu.

"Kalau Tuhan mempertemukan, bisakah kita saling jatuh cinta lagi?"


Disclaimer : Masashi kishimoto

Baby breath by R-daisy

M for safe

Warning : AU, OOC, Crackpair, Gaje, Typos, terkadang tidak sesuai EYD, slight Sasusaku etc.

DLDR!


Malam kemarin adalah malam yang begitu tegang bagi Sasuke. Bersyukur, kini ia telah berbaikan kembali dengan Sakura. Yah, walaupun Sasuke sedikit canggung karena perdamaian mereka semalam melibatkan kedua mertuanya. Mereka juga memohon padanya agar Sasuke tidak berpikiran untuk menceraikan Sakura.

Sasuke lantas menatap layar ponselnya. Semalam juga ia telah mengirimkan pesan pada Hinata atas pembatalan sepihak makan malam mereka. Padahal Sasuke sangat menantikan hal tersebut. Wanita itu sampai sekarang belum juga membalas pesannya. Ia kemudian bangkit dari kursinya dan menatap pemandangan di luar jendela, hingga telinga menangkap suara pintu yang bergeser. Dari bayang jendela, Suigetsu yang ditebak datang dengan wajah serius yang beda dari biasanya.

"Bos, 'orang itu' sepertinya tengah melakukan pergerakan yang mencurigakan." lapor Suigetsu.

Sasuke sontak berbalik kala orang itu tersebut bergerak, kata 'orang itu' adalah mengarah pada sekretaris ayahnya. Dengan memasang wajah yang tak jauh beda dengan bawahannya, ia terduduk kembali pada singgasana panasnya. Ia tampak terpikir sejenak seraya mengetuk meja dengan ujung jarinya. Lalu ingatan terbang menuju dimana ia bertemu dengan pria itu beberapa hari yang lalu.

Yang anehnya, pria itu malah menanyakan hubungannya dengannya Sakura.

"Kalau begitu terus awasi dia. Lapor setiap kegiatan yang ia lakukan apapun itu."

"Siap,Bos!"

Setelah melihat Suigetsu yang pergi bak elang memangsa targetnya, satu pesan muncul di layar ponsel pintarnya. Itu pesan dari salah satu dokter yang merawat ibunya. Tanpa menunda Sasuke membacanya.

[Selamat siang, Uchiha-san, ada suatu kabar baik dari kondisi Mikoto-san. Bisakah anda datang seepatnya?"]


Hinata menatap wajah Mikoto dengan pandangan sendu. Tangannya kemudian bergerak pada tubuh Mikoto yang begitu ringkih. Menyentuhnya begitu hati-hati seolah itu barang antik. Sepercik kenangan pun muncul tanpa diundang. Sebuah kenangan tentang Mikoto yang hampir dilupakan. Itu hari dimana pertama kali dalam hidupnya mengalami mesntruasi.

FLASHBACK ON FLASHBACK

"Ck, apa kau begitu bodoh?" ujar Mikoto yang menatapnya tajam. Kepalanya celinguk ke kanan dan ke kiri memastikan tak ada orang di sekeliling mereka, setelah tahu hanya mereka berdua Mikoto balik lagi kepada gadis kecil di depannya.

"Apa kau tak malu membuat semua orang melihat darah di rok putihmu?"

Hinata kecil yang tak tahu apa-apa itu hanya mengangguk pesan seraya menahan sakit di perutnya. Di tambah dengan nadanya yang seperti orang marah itu membuat nyali Hinata semakin mengecil.

Semenjak tinggal di rumah yang baru, tak ada satu orang mempedulikannya kecuali Itachi dan Kakek. Semua orang di rumah ini memandangnya seperti hama yang mengganggu. Rumah besar ini begitu seram dan dingin sama dengan tempat pantinya tinggal dulu.

"A-Apa aku akan mati, Nyonya?" tanyanya yang mengumpulkan semua keberaniannya yang tersisa.

"Hush, Jangan mudah bicara mati!" Seru Mikoto yang kemudian memegang pergelangan tangan Hinata, "Lebih baik, kau ikuti aku!"

Tarikan Mikoto yang begitu cepat dan pegangannya yang lembut pada tangan membuat Hinata terpaku. Hatinya tiba-tiba menghangat, setidaknya kali ini dia sedikit beruntung.

Dan ketika mereka sudah tiba di sebuah ruangan, Hinata hanya terdiam mengamati. Ruangan itu begitu besar dan memiliki tempat tidur yang besar serta beberapa lemari dan meja hias yang dipenuhi barang-barang yang Hinata sedikit ketahui. Dan kala Mikoto mencari sesuatu dari lemari, ia jadikan itu tumpuan perhatiannya.

"Untuk sementara kau pakai baju ini dulu dan pakailah pembalut ini, mengerti?" ujar Mikoto yang menyerahkan semua barang itu pada Hinata.

"Pem..balut?" tanya Hinata yang masih bingung.

"Kau tau kan cara memakainya?" tanya Mikoto yang merasakan Hinata sama sekali tak mengerti apa yang dihadapinya, "Biar kupastikan... Kau mengerti kan apa yang kau alami, hm?"

Hinata sontak menggigit bibirnya, ia menekan perutnya yang kembali lagi terasa perih Sementara itu, setelah tahu Hinata hanya terdiam menjawabnya, Mikoto hanya mendesah lelah. Sesaat Ia menjadi kesal.

Panti asuhan itu benar-benar tak layak, bagaimana bisa mereka tak mengajarkan sesuatu penting ini?! Pikir Mikoto yang sontak membawa gadis itu ke kamar mandi pribadi miliknya.

Dengan pelan-pelan Mikoto pun mulai menjelaskan apa yang dialami oleh Hinata layaknya. Ia juga mengajarkan sedikit apa yang harus ia lakukan ketika datang bulannya tiba layaknya seorang ibu. Walaupun Hinata tak mengerti bagaimana merasakan rasa kasih sayang seorang ibu, tapi hal yang dilakukan Mikoto sudah terlihat seperti seorang ibu dimatanya.

Hinata bisa merasakan kehangatan yang keluar dari perhatian Mikoto meskipun itu kecil sekali.

Dan keesokan harinya ia mendapat banyak sekali pembalut. Hinata juga mendapatkan buku tentang perempuan serta beberapa bra untuk dadanya yang tak pantas lagi memakai kaos dalam. Lalu rok putih kesayangan yang kemarin ia cari kini telah sepenuhnya bersih dan wangi.

Ia mengira Mikoto yang memberitahu tentang permasalahan ini pada kakeknya, namun sebenarnya jika Hinata sedikit menelisik penasarannya lebih dalam maka ia akan tahu bahwa Mikoto yang mempersiapkan itu semua untuknya.

FLASHBACK ON FLASHBACK END.

Hinata seketika tersenyum ketika teringat kembali akan kenangan yang kabur tersebut. Walaupun itu hanya sepele namun itu sangat berarti baginya. Jika saja Sasuke tak menceritakan masa itu, Hinata tak akan pernah tahu.

Ia tak menyangka Mikoto pernah melakukan hal itu untuknya. Mengingat kebaikan kecil hal ini, entah kenapa ia merasa berdosa telah melupakannya. Tapi, Hinata berjanji setelah Mikoto bangun nanti ia akan sedikit terbuka padanya.

Sejenak Hinata menatap tangan Mikoto, dan lalu mengambilnya.

"Meskipun kita tak punya kenangan indah yang banyak, tapi aku sangat berharap Mikoto-san kembali sadar."

Kemudian Hinata menggenggam telapak tangan Mikoto dengan sedikit bertenaga. Beberapa wajah Mikoto yang tersimpan di memorinya menguar bagaikan angin yang menerbangkan daun di pepohonan.

Wajah lelah Sasuke juga pun turut hadir di ingatannya. Dan kesedihan ini juga berimbas pada dirinya.

"Jadi, kumohon jangan menyerah."

Sungguh simpatinya ini bukan simpati biasa.

Dan setelah mengatakan hal itu, Hinata pamit untuk pulang. Namun ada satu hal yang terlewatkan olehnya, lima menit setelah kepergiannya jari Mikoto malah bergerak.


Hinata berjalan pelan di lorong rumah sakit. Hari ini ia mengunjungi ibu mertua yang entah kapan akan terbangun. Pesan Sasuke yang ia baca semalam pun belum juga dibalasnya. Ia mengeratkan tali tas yang tersampir di pundaknya seraya menundukkan kepala.

Dalam hati, Hinata sangat menantikan makan malam tersebut. Ia bahkan ke salon untuk mempercantik dirinya. Ia juga sudah membayangkan hal romantis apa yang saja yang akan terjadi. Akan tetapi sayangnya, hal yang diharapkannya malah layu sebelum bermekaran.

Ketika ia sudah lama menunggu di tempat, Sasuke malah membatalkannya begitu saja. Hinata tak menafikkan rasa kekecewaan di hatinya, apalagi pria itu tak memberitahu alasannya. Dan ini bukan seperti dirinya saja.

Jika menilik ke belakang, Hinata tak pernah peduli tentang Sasuke. Tak ada sedikit pun terbersit dihatinya untuk mempedulikan apa saja yang dilakukan pria itu. Mau ia tidur menghadap kiri atau pakai kacamata saat membaca, Hinata tak pernah sedikitpun tertarik.

Akan tetapi, setelah menikah, semua menjadi berubah. Ia selalu penasaran apa yang Sasuke pikirkan. Apapun sepak terjang Sasuke juga selalu diperhatikannya. Melihat Sasuke yang tersenyum saja Hinata juga sudah senang.

Apa ini disebabkan oleh cinta? Entahlah...

Hinata hanya berharap bahwa cinta tak akan menggoyahkan dirinya.

"Hinata."

Kaki Hinata sontak berhenti dengan otomatis. Suara Sakura yang sudah familiar masuk ke telinga, ia pun segera mengangkat kepalanya dan menatap balik wanita itu yang memakai seragam dokternya.

"Bisakah kita berbicara sebentar?"

Hinata lantas menarik napas. Perut Sakura yang sudah kelihatan membuncit itu menarik atensinya. Di sanalah ada masa diam sejenak, ia berpikir sampai akhirnya ia mengangguk -mengiyakan permintaan itu.

Kini ketika kaki sudah berada di suatu ruangan Hinata terdiam mengamati. Lalu papan nama bertuliskan 'Uchiha Sakura' yang tertera di meja menjadi petunjuk bahwa ini ruang praktek miliknya. Dan ketika itu juga Sakura menyuruhnya duduk nyaman di ruangan khusus yang disediakan untuk menerima tamu.

Hinata lantas mulai berpikir, menebak apa yang akan mereka bicarakan nanti seraya memegang erat tali tasnya. Tak lama kemudian Sakura menyuguhkan secangkir teh dan kudapan yang terbuat dari tepung beras.

"Di minum tehnya Hinata."

"Ah, iya terimakasih. "

Mereka berdua terdiam sejenak sampai Sakura membuka pembicaraan.

"Semalam aku meminta Sasuke pulang."

Hinata yang selesai meneguk teh itu sontak membeku. Ia kemudian menurunkan cangkirnya seraya tersenyum untuk menutupi kecanggungannya.

"Jadi... Kalian sudah berbaikan?" Lirih hampa Hinata.

Sakura sontak mengangguk antusias dengan senyum bahagia di bibirnya.

Napas Hinata sedikit tertahan kala ia lagi-lagi memperhatikan Sakura yang mengelus perutnya. Dan anehnya, ia merasa iri hingga tanpa sadar memegang perutnya sendiri.

Akan tetapi, Hinata kemudian sadar diri, ia pun segera mengubur dalam-dalam perasaan ganjil itu hingga menyisakan sedikit rasa bahagia atas kembalinya Sasuke ke pelukan Sakura.

"Syukurlah Sakura-san, aku turut bahagia atas berita ini."

Hinata bukanlah wanita yang serakah. Dan tentunya rasa bahagia ini mengalir dengan tulus di hatinya.

"Terimakasih, Hinata..."

Tak lama Sakura menunjukkan wajah yang serius. Hinata spontan meneguk ludah.

"Tetapi, bukan hanya itu saja Hinata."

"Apa itu?" Tanya Hinata yang sedikit ragu.

Mereka mengambil jeda sejenak.

Sakura sontak menarik napas seolah tengah melepas beban di pundaknya.

"Aku sudah memikirkan keputusan ini dengan matang."

Lagi, Sakura mengambil napas. Hinata pun tanpa sadar menahan napas.

"Sebenarnya aku sudah memikirkan ini jauh sebelum aku memintamu untuk merelakan Sasuke."

Tiba-tiba jantung Hinata berdegup dengan kencang. Sakura seakan ingin melemparkan sesuatu padanya. Namun, ketika Sakura mengambil tangannya dan menggenggam cukup erat, perasaan Hinata semakin tak enak.

"Hinata... "

Tiba-tiba Sakura duduk mendekat di sampingnya. Hinata semakin merasakan ruang bernapasnya menyempit.

"Aku rela... berbagi ruang denganmu. "