"Mari lihat siapa yang nilainya paling tinggi, Leona-kun!"
Leona mengeluarkan "haaa" panjang dan keras saat ia mendengar suara itu lagi. "Hentikan semua omong kosong ini, Rook! Lagi-lagi kau menempeliku."
Rook mengangkat kedua tangannya. Ekspresinya seperti orang tanpa salah. "Oh lala, aku bahkan tidak berdiri di dekatmu, apalagi menyentuhmu dan menempelimu."
"BERISIK!" Emosi Leona sudah di ujung tanduk. Ia merasa seperti bisa meledak kapan saja. "Kenapa pula aku harus sekelas dengan orang aneh ini? Semakin mengacaukan hari-hariku yang sudah kacau." Leona seakan tidak peduli lagi kalau orang yang diajak bicara ini adalah perempuan. Kalau ia tidak suka dan merasa orang itu menyebalkan, maka ia akan terang-terangan mengungkapkannya.
"Oh, ayolah! Bukankah ini kesempatan yang bagus untuk lebih mengenal satu sama lain?" Tiba-tiba Rook sudah ada di sampingnya. Wajah gadis itu secerah matahari di siang hari; sangat panas dan menyilaukan. Matanya (lebih tepatnya pupilnya) juga membesar dan Leona tidak tahu itu kenapa.
Leona mendengus keras. "Enak saja. Aku tidak sudi mengenalmu lebih jauh."
"Heee?! Jangan begitu, Leona-kun! Tunggu! Jangan kau mulai mengerjakan lebih dulu!"
"YA TUHAN, BERISIK SEKALI!"
.
.
.
"Love Knot"
Chapter 10
.
.
.
Sesuai perjanjian, Leona mengizinkan Rook untuk menyentuh telinga dan ekornya apabila ia ingin. Mumpung hari ini Sabtu dan Leona akan selalu dilarang ke istana oleh Yang Mulia Raja setiap weekend, Rook memanfaatkannya untuk menguasai sang suami. Kini, singa tak berdaya itu hanya bisa tiduran di karpet ruang tengah sambil memainkan ponselnya, sementara Rook menyisir bulu ekornya dengan hati yang berbunga-bunga.
Hanya saja, Rook masih memikirkan apa yang terjadi seminggu lalu di pesta pertunangan Vil. Hingga hari ini mungkin Rook sudah terlihat seperti melupakannya, tapi nyatanya tidak. Ia hanya berusaha agar tidak menampakkannya di depan Leona, supaya pria itu tidak menceramahinya lagi atau mengalihkannya dengan hal lain. Seperti "perjanjian telinga dan ekor" ini misalnya. Rook yakin betul alasan Leona mengizinkannya untuk menyentuh sesuka hati adalah agar dirinya melupakan apa yang terjadi. Padahal tidak semudah itu.
Sambil terus menyisir, Rook sesekali melirik Leona yang tampak masih sibuk dengan apa-pun-kegiatannya. Rook yakin Leona sudah merasa risi dilirik terus, tapi karena ia tetap diam, maka Rook menyimpulkan kalau suaminya (mencoba) tidak mempermasalahkannya.
Namun sepertinya itu tidak berlangsung lama karena Leona akhirnya buka suara, "Ada yang mau kau katakan padaku?"
"Tajam seperti biasa." Rook menaruh sisir di sampingnya, dan mulai memainkan bulu ekor di tangannya dengan senang. "Sebenarnya aku ingin bicara serius padamu, tapi kau harus berjanji dulu."
"… Apa?"
Rook menatap Leona dengan satu matanya karena yang satunya tertutup oleh bulu-bulu coklat. "Jangan buat peralihan—lagi. Aku senang kau mengizinkanku untuk bermain dengan telinga dan ekormu sepuasku, tapi aku harap kau tidak melakukannya lagi."
Leona membuang nafas panjang. Ia seperti sudah tahu ini akan ke mana. "Ya, ya. Langsung katakan saja apa yang ada di kepalamu."
Rook kembali fokus pada bulu di tangannya saat berkata, "Ini soal yang minggu lalu, di pesta pertunangan Vil. Aku tahu kau sudah tidak ingin mendengarnya, tapi ini membebaniku terus. Jadi kuharap kau mau—setidaknya—mendengarkan."
Tidak ada balasan dari Leona, dan Rook menganggapnya sebagai setuju. "Kau bilang kalau perkataanmu di pesta itu benar. Aku tidak salah dengan apa yang mulutku keluarkan, walaupun aku sedang setengah mabuk. Ya, anggap saja itu memang benar. Namun, Leona-kun, aku sadar betul kalau aku tidak seharusnya mengucapkan itu, terlebih di tempat umum."
"… Ya, itu benar."
"Kan? Kau sendiri mengakuinya."
"Tapi aku tetap tidak menyangkal perkataanmu."
"Iya, aku tahu." Rook mengusap-usap bulu ekor Leona ke pipinya. Rasanya sedikit geli, tapi aroma sabun yang menempel di setiap helainya membutnya nyaman. "Itulah kenapa, setidaknya, izinkan aku untuk mengucapkan maaf. Aku minta maaf karena sudah membuat keributan," Matanya bertemu dengan milik Leona yang ternyata sudah melihat ke arahnya sejak tadi, "dan karena mabuk di siang hari."
"Hah. Yang terakhir itu paling relate."
Rook menatapnya bingung. "Maksudnya?"
"Kau tahu tidak? Gara-gara aku kira kau ini orangnya gampang mabuk dan tidak peduli untuk minum di siang hari," Tangannya terulur, mengitar ke seluruh ruangan, "aku sampai menyingkirkan semua alkohol yang ada di setiap sudut mansion ini."
"Heh?! Di setiap sudutnya ada alkohol?! Apakah alkohol mahal?!"
"Itu hiperbola." Rook mengeluarkan "oh" pendek dari mulutnya. Leona bangun dan duduk mendekat ke sebelah Rook, menundukkan kepalanya sedikit supaya gadis itu bisa leluasa bermain dengan telinganya. "Ada lagi yang masih ingin disampaikan, Nyonya?"
Bibir Rook maju sedikit, kurang senang dengan bagaimana Leona menyebutnya barusan. "… Soal teman."
"Teman?"
Rook mengangguk. "Saat masih di NRC dulu … bukannya kau tidak pernah menganggapku teman? Kita … semacam rival, kan?"
"…" Itu benar. Tentu saja dulunya mereka tidak "dekat" dan seringkali bertanding kemampuan di setiap pelajaran. "Apa salah kalau sekarang kita berteman? Toh kau dan aku akan sering bertemu sampai kontrak habis."
Rook terkekeh, suaranya kurang enak didengar. "Lagi-lagi demi kontrak, ya."
"Memangnya ada alasan lain?"
"Jelas tidak ada." Helaan nafas Rook entah mengapa membuat Leona merasa kurang nyaman. Rook menghentikan aktivitasnya memainkan telinga Leona, kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa di belakang. "Aaaah, sepertinya perjalanan ini akan masih sangat, sangat panjang."
Leona ikut menyandarkan diri. "Perjalanan apa?"
Rook tidak membalas dan hanya menggelengkan kepala. Ia menyalakan televisi dengan sihir, mulai fokus mencari-cari acara yang diharapkan bisa mengalihkan pikirannya, setidaknya untuk beberapa saat.
Mungkin Rook tahu kalau Leona sedang memperhatikannya. Namun yang Rook tidak tahu adalah bagaimana Leona yang sedang mencari kilauan di wajah sang pemburu yang mendadak hilang. Terlebih, saat mereka saling tatap tadi, pupil Rook tidak membesar seperti yang Leona ingat.
.
.
.
Leona merasakan pundaknya yang tiba-tiba berat. Rupanya Rook tertidur dan kepalanya bersandar di pundaknya. "Kalau bikin ngantuk, buat apa nonton yang begini?" Langsung Leona mematikan televisi yang masih menayangkan sebuah acara komedi yang memang tidak ada lucunya sama sekali.
Aroma buah-buahan yang sama seperti yang ia ingat menyentuh penciumannya. Leona memanfaatkan kesempatan kali ini untuk menghirupnya lagi. Dan sekali lagi, Leona melanggar kesepakatan mereka untuk tidak menyentuh tanpa izin.
"Mmh …." Leona tidak menjauhkan diri meski mendengar Rook mengerang. Aroma menyegarkan dari rambut pirang itu seakan jadi candu yang membuatnya lupa akan realita.
"Sepertinya kau juga tidak sadar dengan yang minggu lalu, ya." Leona kembali diingatkan pada saat ia mencium aroma ini untuk pertama kalinya. Rook juga tidak bangun dan tidak pernah mengungkitnya hingga saat ini. Itu berarti ia tidak sadar, kan?
"Nnh, geli!" Namun tiba-tiba Rook bergerak dan menjauhkan wajah Leona dari kepalanya. Gadis itu sudah membuka mata, menatap Leona dengan bingung. "… Huh? Leona-kun?"
"… Bisa kau lepaskan tanganmu dari mukaku?"
Rook menarik tangannya kembali. Mukanya merah. "… A-aku ketiduran, ya?"
"Cukup lelap sampai tidak tahu apa yang terjadi." Matanya berkedip beberapa kali. Rook sungguhan tidak tahu. Leona tertawa melihatnya. "Lucu juga."
"H-huh?!"
"OOOJI-SAAAN!"
Suara decak dari Leona terdengar sangat keras sampai mengagetkan Rook yang bahkan tidak terkejut saat Cheka tiba-tiba muncul di jendela di belakang sofa. Sang calon raja Sunset Savanna sekaligus keponakan pangeran kedua itu meloncat masuk, memancing beberapa penjaga kebun yang baru menyadari keberadaannya.
"Cheka-sama! Anda kenapa di sini?!" Buru-buru mereka mendekat ke jendela, sementara seorang pelayan dari arah dapur menghampiri ketiga Kingscholar.
"Cheka-sama, hari ini hari libur Leona-sama dan dia sedang menghabiskan waktu dengan Rook-sama. Jadi mari ikut say—"
"Justru karena libur makanya aku ke sini." Cheka langsung bersembunyi di balik tubuh Rook. "Aku ingin jalan-jalan dengan Leona Oji-san dan Rook-san. Hanya hari ini dan besok aku bisa bebas di rumah."
Oh, benar juga. Cheka sekarang sedang masuk minggu ujian, jadi ia akan sering menghabiskan waktu di kamar atau perpustakaan untuk belajar. Keberadaannya di sini pasti karena ia sudah muak dengan semua itu dan kabur begitu saja, meninggalkan tutornya yang mungkin sedang kebingungan mencarinya di istana.
"Alasan saja." Leona mendekat, tangannya sudah siap menarik Cheka menjauh, tapi singa muda itu malah ganti menarik Rook dan berhambur ke pelukannya. "Oi! Siapa bilang kau bisa peluk-peluk?!"
Rook, seperti yang sudah bisa diduga, hanya membalas pelukan sang pangeran muda. Wajahnya kembali sumringah. "Awww, jangan begitu. Aku sudah lama tidak melihat Cheka-kun, jadi aku rindu padanya. Ya, kan, Yang Mulia?"
"Un! Aku rindu Rook-san!" Beberapa kecupan ringan mendarat di pipi Rook, yang mana itu membuat Leona semakin geram dan panas. Mukanya sudah menunjukkan rupa seekor singa yang marah karena wilayah kekuasaannya diganggu.
Rook meminta semua orang untuk meninggalkan mereka sendiri. Tentu saja mereka seperti tidak yakin, tapi Rook kemudian berkata, "Tidak apa-apa. Aku akan pastikan Cheka-kun kembali ke istana sebelum malam."
Pasrah, Leona memilih ikut dengan alur yang ada. Ia juga menyuruh mereka untuk bubar, tapi matanya masih tidak lepas dari Cheka dan masih penuh dendam.
Menyadari itu, Rook justru memeluk Cheka makin erat. "Jangan melihat keponakanmu sendiri dengan mata seram begitu, Leona-kun. Kalau dia nangis nanti gimana?"
"Betul itu!" Cheka mengacungkan tangannya ke udara.
"Kau pikir anak sepertinya akan menangis?! Anak setan ini?!"
"Huweee!"
"Tuh! Lihat apa yang kau perbuat!"
"Aaarrrgh!"
.
.
.
"Aku bersumpah ini yang pertama dan terakhir … aku bersumpah di depan nisanku sendiri."
"Sudahlah, nikmati saja es krimmu, nanti meleleh."
Leona menjilat es krimnya lagi dengan tidak bergairah. Kepalanya masih dipenuhi dengan deretan kata-kata berontak yang akan ia lempar pada kakaknya hari Senin nanti. Bisa-bisanya waktu berduanya dengan Rook diganggu oleh sang penerus tahta tanpa martabat ini.
"Leona-kun." Sebuah ponsel disodorkan ke dekat mukanya. Itu milik Rook. "Bisa tolong foto aku dan Cheka-kun di kursi panjang pinggir danau itu?"
Leona menunjukkan tangannya yang masih memegang es krim. "Kau pikir aku tidak sibuk?"
"Ayolah! Hanya satu foto!"
Leona berdecak lidah. "Tadi kau yang menyuruhku menghabiskan es krim. Sekarang malah disuruh jadi tukang foto."
"Ayo, Oji-san! Nanti gantian aku yang foto Oji-san dan Rook-san!"
Telinga berbulu sang pangeran bergerak. Tampaknya ia tertarik dengan tawaran barusan. "… Siapkan langsung ke mode kamera."
Rook tersenyum puas dan membuka kamera ponselnya. "Ini. Es krimmu biar aku yang pegang dulu."
Leona menyerahkan es krimnya pada Rook. Ia mundur beberapa langkah, menyesuaikan Rook dan Cheka yang sudah duduk berdekatan dengan senyum lebar masing-masing. Satu foto diambil dengan sempurna—tidak, yang sempurna di mata Leona hanya Rook dan senyum manisnya.
"Lagi, lagi!"
"Tadi katanya cuma satu." Leona langsung menghampiri keduanya dan mengembalikan ponsel Rook. Tadinya Rook seperti akan menolak karena seharusnya ponsel itu diserahkan pada Cheka, sebagai fotografer berikutnya untuk mereka. Namun, secara mengejutkan, justru Leona yang menyerahkan ponselnya. "Tahu, kan, harus tekan yang mana?"
"Tahu, kok. Ponselnya Oji-san mirip sama punyaku soalnya."
"… Sejak kapan kau punya ponsel?"
"Ayo, Oji-san, Rook-san! Duduk yang rapi!"
Dengan sedikit menggeram, Leona duduk di sebelah Rook, menggantikan Cheka yang sekarang sudah mengambil posisi yang sama dengan pamannya tadi. Saat Rook hendak menjaga jarak, Leona justru menariknya mendekat. Tangannya yang besar berada di pundaknya, tidak membiarkan Rook untuk menjauh barang satu senti.
"L-Leona-kun—"
"Ssh, sekali ini saja." Leona menyandarkan kepalanya dengan kepala Rook. Lagi-lagi mencuri kesempatan mencium aroma rambutnya.
"Awww, kalian mesra sekali!" puji Cheka yang melompat-lompat kegirangan. "Chichiue dan Hahaue akan senang kalau aku tunjukkan ini pada mereka!"
"Kalau kau sampai melakukannya, kau dilarang main lagi dengan kami."
Rook sampai lupa untuk memasang senyum ketika suara shutter sudah terdengar dari Cheka. Wajahnya pasti terlihat tegang sekali sekarang. Bahkan mungkin warna merahnya lebih dari cukup mewarnai keseluruhan kulit mukanya.
"Sekali lagi."
"Eh?! Tadi Oji-san tidak mau ambil satu lagi buatku!"
"Diamlah. Satu lagi yang portrait. Cepat."
Cheka memanyunkan bibirnya. "Terserahlah. Yang penting aku bisa curi fotonya buat Chichiue."
"Oi." Cengkeramannya di pundak Rook mengerat. "Jangan lupa senyum," bisiknya. Tampaknya ia sadar kalau Rook tidak senyum di foto pertama.
Menarik nafas terlebih dulu, Rook berhasil menenangkan dirinya sedikit. Ia memberikan senyum terbaik yang bisa ia berikan, kemudian—cekrek—suara shutter berikutnya kembali terdengar.
Cheka berjalan mendekat setelah mengambil foto kedua. "Nih. Kirim ke aku nanti, ya. Pokoknya aku mau sebagai bayaran ambil foto dua kali."
"Ambil foto sepuluh kali dulu baru aku kasih." Leona mengabaikan protesan Cheka dan mengecek foto yang barusan keponakannya itu ambil. Tidak buruk. Rook terlihat agak kaku, tapi ia tetap manis di sana. Leona tersenyum tanpa sadar. Pupilnya sepertinya membesar lagi, pikirnya bangga.
"Hm? Rook-san baik-baik saja? Mukamu merah banget, kayak orang demam."
Saat Leona hendak melihatnya juga, Rook langsung menyodorkan es krimnya dan hampir mengenai hidung sang pangeran. "Hei!"
"Ch-Cheka-kun, kita cari makanan berat, yuk? Aku lapar." Rook bangun dan menarik Cheka menjauh, meninggalkan Leona dengan es krimnya yang benar-benar akan meleleh sampai habis.
Leona menggelengkan kepalanya. Ia melempar mangkuk kertas es krimnya ke tempat sampah terdekat. Sambil mengikuti Rook dan Cheka yang sudah berhenti di depan kedai kebab, Leona mengecek foto di ponselnya lagi. Kedua foto itu langsung ia masukkan ke dalam folder di online drive yang ia beri nama "R.H." Salah satu fotonya yang portrait ia perhatikan sedikit lebih lama, sebelum akhirnya ia jadikan wallpaper. Segera ia masukkan kembali ponselnya ke saku, mencegah siapa pun untuk melihat wallpaper barunya. Hatinya terasa ringan dan ia jadi banyak tersenyum selama satu hari itu.
Not bad.
.
.
.
Next: Chapter 11
