Act 2: Chapter 1
Saat ini aku dan Ibuku menunggu kedatangan seseorang yang sangat penting.
Seseorang itu tak pernah aku sangka kalau akan menjadi adik tiriku.
Kesan pertamaku saat ibuku mengatakan kalau aku akan punya adik tiri.
hmmm...
'gugup'
Kakiku terasa bergetar karena tak bisa menahan rasa gugup, aku penasaran seperti apa orangnya kira-kira hingga
"H...Hello"
Itulah kalimat pertama yang ia katakan padaku dan ibuku saat kami melihatnya keluar dengan pengalawan beberapa personil militer..
.
.
'kyuuu... dia sangat cantik'
Aku menahan diri untuk tidak memeluknya saat ini juga, siapa juga yang bisa tahan kalau melihat gadis manis secantik dan seimut dia!?
Oh! gawat! Aku bisa-bisa bersikap seperti penjahat mesum di televisi!
"Fufu... Rose-chan, mulai sekarang akur dengan dia ya"
Ucap ibuku dengan wajah tersenyum, kami sekarang menuju ke rumah dengan ibuku menjadi supir di mobil keluarga kami.
Asia Argento, itulah namanya, dari yang kudengar katanya dia itu seorang saint di Vatikan. Tak ku sangka kalau orang seperti dia akan menjadi bagian di keluarga kami
Aku yang semakin penasaran sedikit mengintip kearahnya yang duduk dalam diam di kursi belakang.
"..."
Dia tampak gelisah
Kyuuu... sikap malu-malunya saat tatapan kami bertemu sangat imut.
Aku sekali lagi menahan cengiran di wajahku ketika melihatnya tertunduk memerah saat menyadari aku menatapnya.
Perjalanan menuju rumah tak terasa sama sekali, yah aku sejak tadi terus menatapnya dan dia semakin terlihat gelisah seolah-olah merasa risih aku pandangi terus.
"Akhirnya sampai, Rose-chan, bantu ibu menurunkan barang-barangnya"
"Hm"
"Oh, Asia-chan, jangan paksakan dirimu, kamu boleh langsung istirahat kok" Ibuku langsung menghentikan Asia yang sepertinya mau membantu menurunkan barang-barangnya.
"T...tapi"
"Fufu... jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri"
Asia hanya mengangguk dengan wajah memerah, dia benar-benar pemalu, oh imut nya.
"Kami pulang"
Ucap Ibuku saat kami masuk ke rumah dan Asia entah kenapa memilih mengekori Ibuku, apa mungkin dia takut karena aku pandangi terus?
Ah, yang pasti hari ini pasti bakal menyenangkan!
Atau setidaknya itulah disisi Rossweisse yang terlihat sangat menyukai adik tirinya, cukup malang, Asia sendiri berusaha menahan diri dari berteriak keras karena tatapan mata Rossweisse semakin membuatnya merasa risih.
Di lain tempat, Ryuuzaki Naruto sendiri entah bagaimana bisa nyasar di kota tempat kelahirannya sendiri.
'Ok, sekarang aku harus apa?'
Pikirnya saat melihat distrik yang sama sekali ia tak tahu dimana ini.
oke, singkat cerita, aku saat ini disuruh ibuku untuk kedua kalinya belanja sesuatu di hari libur Golden Week tahun ini, karena beberapa alasan yang tak ingin AKU CERITAKAN, kemarin aku gagal belanja bahan makanan yang Ibuku suruh. Alhasil aku dipaksa untuk belanja di hari ini, yah walau sebenarnya aku ga bisa berkomentar apapun mengenai itu.
Nah, sekarang ceritanya bagaimana bisa aku turun di stasiun ini yang jelas bukan pemberhentian ku, aku pun tak tahu lagi harus berkata apa.
'hah... menyusahkan'
Pikirku sambil menendang kerikil kecil, berjalan melewati beberapa gang dan sampai di persimpangan jalan besar, aku hanya bisa mendesah karena jelas ini buang-buang waktu liburanku yang berharga.
'hm? Motohama? ngapain dia?'
Saat aku melihat sosok remaja yang terbilang cukup khas di mataku, aku tak bisa berhenti berpikir atau berimajinasi kalau dia mungkin ke toko buku, palingan beli majalah porno, ya kan?
'Ku ikutin sajalah'
Aku pun membuntutinya, cukup terkesan akan penampilannya yang harus aku akui dia bisa memiliki beberapa nilai plus sebagai normie ketimbang aku yang...
'lagian dia mau kemana sih?'
Saat aku melihatnya berhenti di sebuah kuil shinto, sedikit rasa tertarik mulai membuatku penasaran apa yang sebenarnya ia cari disini.
'oh...'
Dia mulai membersihkan kuil itu, dari jauh aku terus melihatnya dengan rajin membersihkan kuil sendirian, lagian kemana semua para miko-nya?
Tak ku sadari sepuluh menit aku memperhatikan dia membersihkan kuil ini, mulai dari menyapu dedaunan, menyiram tanaman, hingga menyusun ulang patung-patung Shinto, aku sedikit menghormatinya setelah melihat sisi dia yang tak aku tahu itu.
Semua orang pasti memiliki sisi rahasia yang tak akan pernah ia bicarakan.
Itulah yang aku pelajari dari ayahku sejak aku kecil.
Dan hal yang membuatku mengatakan itu di dalam hatiku, adalah saat dimana aku melihat sisi lain dari Motohama yang tak pernah aku lihat selama aku mengenalnya di sekolah itu.
Saat aku di paksa untuk berbelanja karena gagal belanja akibat beberapa masalah, entah kebetulan atau tidak aku justru melihat Motohama yang berjalan sendirian ke kuil ini. Cukup mengejutkanku ketika melihatnya dengan suka rela membantu Miko yang sepertinya kesulitan membersihkan kuil tua ini sendirian.
Mulanya ku kira dia mau nolong karna miko-nya cantik, ternyata aku salah. Dari ekspresi wajahnya saat berdoa di depan kuil, aku tahu kalau dia memiliki niatan baik buat nolongin Miko itu.
'Lagian kenapa pula aku malah ngikutin orang yang terkenal ga bener di sekolahku?'
Pikirku lagi sambil menatapnya yang sepertinya selesai berdoa.
"A...Ano... t..terima kasih telah membantu!"
Miko yang sepertinya baru kelas 2 SMP itu berterima kasih ke Motohama dengan cara gugup. Yah, wajar saja kalau dia bakalan begitu.
Dari kejauhan aku melihat semuanya dengan jelas dan aku pun bisa dengan sangat gamblang mengatakan ini.
'Ok, mana nomor polisi?'
Tanganku langsung terogoh ke saku celanaku saat melihat Motohama membuat gadis SMP memerah.
Ini jelas pedofilia!
"Pff... Jangan menunduk gitu, ingat apa yang pernah ku ajarkan padamu?"
"Fue?"
Gadis SMP itu nampak gelisah akan sesuatu, hmm... memangnya Motohama bilang apa sama dia?
Jangan bilang kalau ini benar-benar tindakan kriminal!?
Aku yang panik karena tak bisa mendengar dengan jelas apa yang Motohama katakan ke gadis itu, sontak hal berikutnya yang terjadi nyaris membuatku hampir melempar kepala Motohama dengan baru yang kebetulan ada di kakiku.
"Hehe... anak baik" Motohama mengelus kepala gadis SMP itu setelah dia mengingat apa yang ia ajarkan ke Miko muda itu, yah ada kalanya bersikap seperti seorang panutan untuk mereka yang jauh lebih muda adalah hal benar hanya saja...
"Kalau begitu, sampai nanti"
"Ehm...hn... T..terima kasih, datang lagi ya!"
Miko SMP itu melambaikan tangan ke Motohama yang berjalan berlawanan arah dari kuil.
Hingga seseorang dengan wajah penuh ancaman dan intimidasi mulai menampakkan dirinya dari balik pohon.
"Motohama, brengseknya kau jadi manusia!"
"Eh?"
Dalam waktu singkat kerah bajunya di tarik cukup kuat, wajah remaja yang sangat ia kenali itu langsung terpampang jelas di depan mukanya ketika wajah keduanya saling berpapasan.
"Ryuuzaki, apa-apaan woi!"
"Apa-apaan kepalamu! Kau tadi ngapain sama bocah SMP, hah! Kau mau di penjara sepuluh tahun! Cepat jelaskan atau ku hajar wajah mesum mu!"
"Ha? Kau bicara apa?"
"Hooo... masih berani ngelak? yosh! Ke kantor polisi sekarang juga"
Melihat bagaimana teman seangkatannya itu tak mau mendengarkan omongannya, kedutan di dahi Motohama pun mulai terlihat.
"Dengarkan orang bicara, bodoh!"
"Guakn!"
Sebuah tendangan keras berhasil membuat Ryuuzaki terhempas menghantam tanah dengan cara yang
... aneh? humor? menyedihkan?
Pikir Motohama ketika melihat bagaimana Ryuuzaki terhempas berguling-guling dan akhirnya terjungkal dengan gaya absurd langsung ke tanah yang sedikit berdebu.
'Seriusan, diantara kami berdua siapa sih yang paling aneh?'
Pikir Motohama ketika mengingat sekali lagi bagaimana Ryuuzaki Naruto terjungkal hanya karena sebuah tendangan biasa?
(oh, seandainya dia tahu seberapa kuatnya tendangan Motohama, mungkin pendapat itu bisa berubah sedikit?)
"B...bro?"
Sedikit gugup, Motohama berjalan mendekat melihat kondisi temannya yang nampaknya akan mengamuk kearahnya.
'... sumpah, kok aneh sekali hari ini?'
Hembusan angin pelan membawa beberapa dedaunan pohon yang jatuh dari ranting menuju ke entah berantah.
'Cukup bagus?'
Hyoudo Issei, ketua perwakilan angkatan tahun pertama akademi Kuoh. Saat ini dia menjalani tugas ringan yang mencakup sebagai komite pengawasan kegiatan klub yang berjalan atas kemauan siswa/siswi selama libur panjang Golden Week.
"Humf, masih saja menulis sajak gak guna itu ya?"
Mendengar kalimat ketus yang keluar dari mulut seorang gadis SMA seangkatannya membuat kepalanya sedikit sakit. Saat Issei menoleh ke sumber suara yang datang dari sampingnya, seorang gadis dengan rambut putih/silver cukup panjang tampak menatap sajak yang ia buat dengan tatapan ketus seolah tak tertarik sama sekali.
"Kamu tahu..."
Issei masih berusaha mengendalikan emosinya setiap kali gadis ini mengeluarkan kalimat kasar sekaligus menyakitkan disaat yang sama.
Hanya saja setiap kali ia ingin marah, sesuatu di dalam dirinya tak bisa mengekspresikan emosi itu.
Dan gadis itu adalah teman sejak kecilnya, Momo Hanakai.
"... sudahlah, oh, kebetulan kau baru balik, boleh aku minta tolong?"
Nada sopan Issei langsung berubah dengan nada lebih akrab, yah, itu juga karena ia dan Momo sudah lama saling kenal satu sama lain.
"Yah, ga bisa di harapkan lagi... kebetulan aku pagi senggang, biarkan aku membantumu"
Dengan ada agak angkuh serta tangan terlipat di dadanya membuat dahi Issei sedikit berkedut.
'..,...,'
"Oh, kalau gitu makasih, karena menyempatkan waktumu, biarkan aku mengajak yang lain saja"
"eh?"
Melihat jawaban tak terduga Issei, Momo langsung menjatuhkan sikap angkuhnya seketika.
"e...ehh... ke...kenapa kau malah gitu... h..hei ..hei..."
Melihat wajah dingin Issei, yang menurutnya sangat menyeramkan itu spontan membuat Momo ketakutan, ia mulai mendekat ke Issei lalu menarik-narik lengan bajunya bagaikan anak kecil yang menangis ke ibunya.
Melihat wajah Momo yang nyaris jatuh air matanya, Issei mulai merasa bersalah, yah walau terkadang ia sangat kesal dengan sikap Momo yang tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya dengan nada yang sedikit "BERMORAL" bukan artinya ia bisa tetap diam dan mempertahankan rasa kesalnya ketika melihat wajah seorang gadis menangis di depannya.
"Hah... ya...ya... maaf, aku ga bakalan gitu lagi"
Mendesah dalam kekalahan, Issei mulai menenangkan Momo yang panik melihat wajah seram Issei, mengelus kepalanya dengan pelan adalah cara yang paling ampuh untuk menenangkan gadis yang menangis. (Issei tips number one)
"Uuu...be... benarkah?"
"Iya, aku janji"
Momo tetap diam membiarkan Issei mengelus kepalanya, tanpa sadar ia perlahan mendekatkan dirinya hingga jarak keduanya terbilang sangat dekat.
"Hn?"
Issei tak mengerti dengan sikap Momo yang tiba-tiba mendekat kearahnya, hanya bisa terdiam bingung.
"Momo?"
"..."
Momo tak menjawabnya, dia mulai menempelkan dahinya ke dada Issei, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, Momo tetap tak bersuara seolah suaranya hilang begitu saja.
"Hah... kau ini..."
Melihat sikap Momo yang begini, Issei hanya bisa mendesah dan kembali mengelus kepalanya dengan pelan.
'Kau tetap tak berubah'
Pikir Momo ketika melihat bagaimana Issei menyikapi dirinya, di mata Issei mungkin, ia hanya sekedar teman masa kecil yang sangat menyebalkan.
Dan jujur, ia mengakui bagaimana dirinya yang selalu menyikapi Issei dengan sikap yang sedikit menjengkelkan, hanya saja
'... apa dia akan memperlakukan ku berbeda kalau aku bisa lebih jujur lagi dengan perasanku?'
Sementara itu...
"Bro, seriusan, kau sepertinya salah paham soal di Kuil itu"
Motohama memegang dahinya ketika teman sekelasnya itu masih memberikan tatapan curiga.
Singkat cerita, keduanya sedikit berargumen soal Miko kelas 2 SMP itu.
Ryuuzaki Naruto, teman sekelasnya itu menuduhnya dengan tuduhan kalau dia itu pedofil, yang jelas itu membuat Motohama kesal.
Dan sekarang keduanya duduk di depan Gerbang Tori pintu masuk Kuil ini. Cukup menarik, karena kuil ini mengambil kebudayaan dari adat orang Kyoto yang terkenal dengan tata Krama dan tata bersikap yang kuno.
"... hah... terserahlah, lagian kalau kau gak godain anak SMP, lantas ngapain disini?"
"ngapain kau nanya lagi? bukannya kau sudah lihat sendiri aku ngapain?"
"... cukup mengejutkan"
Ryuuzaki Naruto sedikit menaikkan alis matanya ketika mendengar jawaban dari Motohama, tak pernah terlintas di benaknya kalau Motohama adalah tipikal orang religius.
"Apa kau sering kesini?" Nada bicaranya pun berubah ke Motohama ketika melihat ekspresi Motohama yang sedikit muram.
"Bisa dibilang gitu"
Jawaban singkatnya tak membantu sama sekali, keduanya sempat diam untuk beberapa saat, Motohama pun berdiri sambil menatap Ryuuzaki yang masih duduk di posisinya.
"Bro, aku ada urusan lagi, sampai jumpa di sekolah"
"Yup"
Motohama pun berjalan menuruni tangga meninggalkan Ryuuzaki sendirian yang hanyut dalam pikirannya.
.
.
.
Melihat tak adanya perkembangan dari apa yang aku pikirkan soal situasi Motohama, aku cuma bisa pasrah dan memilih melanjutkan tugas yang Ibuku berikan sebelum ia mengamuk kearahku untuk kedua kalinya.
Namun sebelum aku meninggalkan Kuil ini, aku sekali lagi memandang kearah kuil yang entah memberikanku perasaan kalau aku merasa sangat familiar dengan tempat ini.
Lebih tepatnya
'Deja Vu?'
'Oh sial! Uda jam segini!'
Panik, aku langsung menuruni tangga dan berlari menuju swalayan tempat dimana tugas ku itu berada!
Tanpa ku sadari saat aku berjalan menjauh dari Kuil itu, sesosok siluet manusia dengan rambut panjang, duduk diatas gerbang Torii dengan kedua kaki bergoyang-goyang mengikuti arah angin.
("Fufufu")
Ia terkikik di balik topeng Rubah Inari, melihat aksi kedua remaja yang tadi sempat berkelahi.
.
.
.
(...)
Entah kenapa aku tiba-tiba merasa merinding seolah-olah ada sesuatu yang menatapku, namun aku berusaha menyingkirkan hal itu dan kembali fokus dengan tugasku
Hingga sesuatu yang ku pikirkan sejak di kuil itu mulai kembali memasuki pikiranku lagi.
'Tunggu dulu...'
'Sejak kapan Kuil Fushimi Inari-taisha ada di Tokyo?'
Itu yang menggangu pikiranku sejak aku pertama kali menginjakkan kakiku disana.
'Ah palingan kuil baru'
Aku sekali lagi mengabaikan hal itu dan kembali fokus dengan belanjaan.
Normalnya Kuil Fushimi Inari-taisha terletak di Kyoto, dan ini kali pertamanya aku baru tahu kalau ada di pinggiran kota Tokyo juga.
Mungkin sesekali mampir kesitu adalah pilihan yang bagus, kan?
Hari ini pun berlalu tanpa masalah, yah sedikit masalah kecil dimana Ibuku sedikit marah soal aku yang terlambat (atau bisa di bilang belanja terlalu lama) selebihnya tak ada masalah apapun.
Hal itu berbeda dengan apa yang Motohama lakukan sesaat setelah mereka berpisah dari Kuil.
Memilih untuk menghilangkan rasa bosannya, Motohama berjalan kearah lain dimana ia selalu datang di hari liburnya.
"Oh, kau datang lagi?"
"Ya, apa masalah kalau aku kesini?"
Tanya Motohama ke pria yang menjaga toko, toko yang ia datangi adalah sebuah toko Taktikal yang menjual beragam aksesoris hingga sparepart untuk senjata api yang di jual untuk pengguna sipil.
"Biar ku tebak, kau mau latihan lagi, ya kan?"
"..." Motohama hanya mengangguk sebagai jawaban.
Melihat pelanggan biasa yang selalu datang ke tokonya tak lebih dari sekedar anak SMA terkadang membuatnya sedikit heran tentang hobi anak ini.
Motohama tanpa banyak bicara langsung mengisi formulir dan membayar untuk 4 magasin kaliber 5.56mm NATO.
'... hah...'
Motohama sedikit mendesah ketika melihat senjata M4A3 yang selalu ia gunakan, entah kenapa paman penjaga toko selalu tahu apa yang ia akan gunakan setiap kali ia datang kesini.
(dor...dor...dor...)
3 tembakan pertama mengenai tepat di sasaran tanpa meleset sedikitpun, ia kemudian melanjutkan tembakan berikutnya tanpa peduli dengan tatapan pengunjung yang ikut latihan menembak di toko ini.
Beberapa pengunjung tampak terkejut melihat akurasi tembakan Motohama yang tidak melenceng dari target dengan jarak sekitar 75 meter.
'tcih'
Entah apa yang Motohama pikirkan tiba-tiba ia menarik pelatuk dengan sangat cepat seolah-olah ia menembak dengan mode full auto padahal ia menggunakan versi Semi-otomatis dari senjata M4A3.
"Sudah cukup, nak"
Paman itu menepuk bahunya saat itu juga Motohama menghentikan apa yang ia lakukan barusan.
"Kau mau merusak senjata itu, kalau ia ada bagusnya kau lakukan di tempat lain saja"
Saat itu juga ia sadar dari apa yang ia lakukan. Semua tembakan yang ia lepaskan semuanya mengenai sasaran namun bukan sasaran target di tempatnya, melainkan di tempat orang lain juga ia tembak dan semuanya mengenai sasaran tanpa meleset sedikitpun.
"Hah... Sebaiknya kau pulang, tenangkan dirimu"
"...iya"
Jawab singkat Motohama setelah menyadari kalau tatapan pengunjung lain yang menatapnya seperti seorang pembunuh profesional.
Sesaat ia keluar dari toko, Motohama kembali mendesah, ia kemudian berjalan pulang dan tak butuh waktu lama untuknya bisa sampai di rumah.
"Aku pulang"
... Hening adalah balasan dari sambutannya.
"Hi Mom"
Ucap Motohama ketika melihat wajah tak berekspresi dari seorang wanita yang terbaring di kasur, tatapannya yang hampa itu mengatakan semua yang Motohama ingin ketahui.
Malam itu aku tak bisa tertidur dan sejak tadi aku hanyut dalam lamunan ketika tak bisa menghentikan apa yang aku pikirkan soal adik angkat Rossweisse.
Rasa penasaranku masih tak bisa aku tutupi terlebih lagi ini mengenai adik perempuannya yang "katanya" datang dari negeri seberang lautan.
'Apa Rossweisse bakalan baik-baik saja?'
(bzzt)
Ponselku pun bergetar, sesaat aku melihat ponselku, pesan Line dari Rossweisse langsung terpampang jelas di layar ponselku.
("Naru-chan, apa kau sudah tidur?")
"Belum, ada apa?"
("Engga, aku cuma mau tanya, apa boleh kita bicara sebentar?")
'hm? Kenapa dia malah bertanya?'
"Tentu"
Untuk sementara pesanku tak di balasnya namun sesaat aku ingin membalas pesanku, Rossweisse tiba-tiba video call yang jelas membuatku sedikit terkejut.
"Rossweisse, ada..."
Mataku langsung terasa di sinari oleh pemandangan yang nyaris membuat jiwaku lepas dari tubuhku.
"N...Naru-chan"
"Serius, kau ngapain?"
Dia tampak memakai piyama tidurnya namun bukan itu yang aku ingin komentari.
"N...nyaaa...~ Lihat, apa aku imut?"
"Kyuuu... ini sangat memalukan"
Sebelum aku sempat berkomentar Rossweisse langsung menutupi wajahnya dan nampaknya ia sangat malu dengan apa yang ia lakukan.
Serius, kalau kau malu ngapain melakukan kosplay seperti kucing?
Itulah retorika yang ingin aku sampaikan ke Rossweisse.
"N... Naru-chan?"
"..." Aku masih terdiam melihatnya yang memiringkan wajah sambil menatapku dengan wajah bingung.
Dang! Jantungku terasa mau berhenti!
"Yosh"
Aku dengan wajah datar, langsung memegang ponselku dan
(Jeep screenshot is saved)
Aku diam-diam mengambil gambar itu yang menurutku sangat buruk untuk kesehatan jantungku.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kau disitu?"
Aku dengan cepat mengalihkan pembicaraan agar ia tak bertanya lebih jauh soal apa dan mengapa ia kosplay begitu di depanku.
"Oh! Kau tahu Naru-chan! Asia-chan sangat imut!"
"Ha?"
Rossweisse dan aku pun menghabiskan malam bercerita banyak soal adik angkatnya, dari apa yang aku dengar, Asia Argento adalah seorang Saint termuda yang pernah Vatikan angkat secara langsung, sepertinya pemerintah Jepang ingin memperkenalkan kebudayaan Jepang dengan seseorang yang berhubungan langsung dengan Vatikan, jadi Asia untuk sementara akan berada di bawah pengawasan Keluarga Rossweisse.
Aku tak mau bertanya lebih jauh soal detil, apa dan mengapa, yang ku tahu, Rossweisse sepertinya sangat menyukai Asia dan itu sebuah kabar yang bagus untukku.
"N...Naru-chan"
"Ya?"
"Fe...festival nanti, apa kau ada rencana?"
'Tanabata ya?'
"Tidak, aku awalnya ingin tidur panjang di rumah, apa kau punya rencana di festival ini?"
"Fueh? Y...Ya begitu"
"Ok, kalau gitu kita jumpa besok"
"Eh!? Serius! Janji ya!"
"Ya"
"Yatta! Naru-chan aku sayang kamu!"
"HM...hm..." Aku hanya mengangguk, laki-laki normal mungkin akan menganggap kalau ini adalah salam yang biasa di lakukan oleh sepasang kekasih, tapi itu tidak berlaku untuk kami berdua yang punya hubungan yang agak... unik?
Sesaat setelah telepon video kami berakhir aku kembali di hanyutkan ke dalam imajinasi ku lagi.
'Perasaanku saja, atau memang Rossweisse belakangan ini yang semakin menjaga jarak denganku?'
Entah kenapa aku tak bisa menghilangkan hal itu sejak kemarin.
Hi, saya ucapkan terima kasih telah membaca fiksi yang saya tulis ini.
Saya sangat minta maaf soal lamanya update yang saya lakukan beberapa waktu belakangan ini, saya usahakan untuk melakukan update seperti biasanya lagi.
Untuk perkembangan di Arc 2 ini saya memutuskan untuk memperlambat hubungan mereka agar lebih santai alurnya, beberapa side karakter pun akan saya ceritakan kisahnya sebagai side story agar mereka lebih hidup di kisah ini ketimbang jadi karakter sampingan saja.
Untuk kalian pembaca super, saya tak tahu lagi harus berkata apa, kalian semua Rock
Huge Thanks untuk Asuka Ryu, (Otonari Tenshi akan di adaptasikan sebentar lagi, banzaii. Gw juga tunggu kelanjutan fanfiksi lu walau jujur gw rasa ada beberapa part yang kurang ... fuah, gitu? anyway thanks for support)
Dan beberapa guest review kalian semua Rock, anyway see ya later
