Pada suatu waktu, sebuah kisah pembuktian kesungguhan rasa dalam relung jiwa bermula. Sebuah linimasa akan berjalan sesuai alurnya.
Interaksi nyata yang tidak terhindarkan ini akan terjadi antara dua tokoh utama dalam cerita, membentuk alur kejadian dengan makna terselip dalam setiap bingkai kejadiannya.
...
Temukan aku dan tataplah tepat pada mata,
... kuyakin kau takkan berpaling bahkan untuk satu kedipan saja.
...
...
Seperti saat ini, di dalam kelas yang sepi seusai sepuluh jam pelajaran untuk hari Kamis ini. Setelah guru mata pelajaran terakhir melepas teman-teman sekelas Anya, setelah kelas berangsur kosong, dan sungguhan kosong hanya dalam hitungan menit, menyisakan ia dan satu orang lain di sana.
Hah, tugas pengganti lagi. Meresahkan.
Anya mengambil pusing. Kembali duduk di bangku, melirik pada pemuda yang duduknya berpindah tepat pada bangku di seberangnya, mengamatinya melalui ekor mata. Mengamati setiap gerak-geriknya, tidak terlewat satu bingkaipun, tidak luput meski sepersekian detik dari tempat duduknya. Dua, tiga detik, lebih lama dari itu.
Dia ber-puh pelan. Memilih membuang atensi, kembali sempurna menatap pada buku catatan Fisika yang penuh coretan pena di atasnya; catatan pembahasan soal fisika kuant, eh, kuang, eh, apa, sih— Kuan … tum?
Susah … susah sekali. Anya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung.
Apalah itu, pokoknya salinan dengan tulisan tangannya ini hampir tidak bisa terbaca, sukar dimengerti, bahkan untuk sekadar dipahami oleh Anya sendiri selaku oknum pencatatnya. Anya tidak suka dengan materi ini, protesnya, dengan cara seperti biasa: dibatin.
Matanya dengan kantuk sisa tadi pagi mulai menekuri tulisan tangannya sendiri, salinan catatan dari papan tulis dan pendiktean gurunya …
Hmmm, biar Anya baca-baca lagi bagian ini. Fisika kuantum sama dengan ilmu fisika modern, bukan yang ketinggalan dan mengejar zaman, bukan fisika klasik atau Fisika Neptunian, eh, Newtonian yang punya nama Pak Newton di namanya agar mudah dibedakan dengan mudah meskipun konten materinya tidak mudah untuk masuk ke kepala Anya yang sudah pusing sekali ini. Dia membaca catatan di dalam hati, masih belum menyerah untuk memahami, walau ditambah-tambahi olehnya sendiri.
Anya ber-puh pelan, kali kedua. Ayolah, setidak suka apapun Anya dengan semua materi di kelas, dia tetap butuh untuk meningkatkan nilai dan prestasinya. Atau minimal, mempertahankan nilainya yang sudah di ambang kehancuran demi misi ayahnya. Tentu saja agar tidak lebih hancur dari yang sudah-sudah.
Cantik.
Tidak acuh dengan yang barusan, Anya membalik halaman. Masih dengan dibatin, ia melanjutkan, Di lain sisi, fisika kuantum diperkenalkan oleh salah satu ilmuwan terkemuka di dunia, Albert Einstein, yang membuka cakrawala ilmu baru bagi banyak orang di sebutir dunia ini tentang semesta. Ini serupa dengan Isaac Newton yang beres dan sukses mengubah pandangan orang-orang terkait hukum jagat raya pada zamannya yang, ah, entah kapan itu. Anya lupa!
Berhenti di sana, Anya menjeda. Karena bingung, juga karena ada hal lain yang menarik perhatian, tunggu, mungkin lebih tepatnya tanda tanya imajiner pada salah satu sisi kepalanya. Seseorang yang tadinya ada di seberang sana, tiba-tiba memotong jarak yang terbentang antara mereka.
…
…~oOo~…
SPYxFAMILY © TATSUYA ENDO
Saya tidak mengambil keuntungan material apapun atas penulisan dan publikasi karya. Murni demi perkiprahan kapal kesayangan Damian dan Anyanyanyanya.
.
Dedikasi untuk kapal dan acara #DamiAnyaJournal22 sekaligus penyebaran antusiasme Bulan Nominasi Indonesian Fanfiction Awards 2022!
– "ELEVEN no COUNTDOWN" –
INDONESIAN KARA
.
Rating: T (K-12 to K-15). Genre: General, Romance, Mystery. Language: Indonesian.
Notes: Aged-up!AU. TELAT BANGET, TAPI YASUDAH MARI KITA LANJUTKAN LAGI! /heh
.
-Indonesia; 27 Oktober 2022-
~…OoO…~
…
Derit pendek dari kursi yang ditarik menarik perhatiannya, pemuda yang tadi sempat dia lirik itu duduk di sebelahnya, menyamankan diri seolah duduk di atas bangku miliknya.
Mau apa? Anya tidak langsung bertanya. Menoleh sebentar, tidak banyak atensi yang dia berikan untuk orang setengah random yang tiba-tiba duduk menyejajarinya dengan maksud terselubung. Dia mendengus pelan, lanjut membalik halaman yang penuh dengan rumus-rumus rumit. Sulit. Sesulit Anya mengabaikan pemuda yang sebenarnya satu-dua tahun lebih tua darinya.
(Pemuda itu, Damian, berpura-pura tidak tahu. Pura-pura sibuk menatap catatan tangan Anya, yang sebenarnya lebih banyak sketsa-sketsa mininya dibanding catatan rumusnya sendiri.)
Mata hijaunya kembali berotasi, berhenti dengan lirikan dari sudut mata. Menatap Damian diam-diam, kembali fokus pada catatan, lantas beralih lagi pada sosok yang sama. Dalam keheningan kelas, dia melirik seolah balik mengawasi Anak Kedua—begitu panggilannya untuk Damian—yang diam-diam menaruh atensi padanya pada saat yang sama tanpa Anya sadari.
Mata yang menatap tidak biasa itu, mengapa terus menatap padaku?
Entah karena Damian punya sisi narsisistik yang terlalu kuat, atau memang lirikan Anya barusan sangat kentara, putra kedua Keluarga Desmond itu mengatakan tujuannya menggeser duduknya menjadi tepat di sebelah Anya, spontan, "Jangan berpikiran kalau aku ada maksud tertentu. Aku hanya melihat tontonan menarik untuk mengusir kebosananku."
Anya mengerucutkan bibir. "Anak Kedua kurang kerjaan. Apa bagusnya melihat Anya kebingungan?"
"Tidak ada." Damian menjawab cepat. "Senang saja melihatmu kebingungan. Tidak paham ini dan itu."
Rupanya, kalimat Damian tidak berhenti cukup di sana. Anya mendengar kalimat lain datang memasuki pendengaran, membuatnya batal bersungut-sungut setelah siap dengan semua protes untuk dilayangkan pada si lawan bicara. Ada kalimat lain yang "menyentil" kemampuan spesialnya, yang jika tidak salah berbunyi, Mungkin juga menawarkan bantuan, meski hanya satu kalimat penyemangat.
Suara Anak Kedua—Damian, jelas sekali, dari pikiran …
Ctik!
"Hei, fokus." Dia mengingatkan, kembali bersidekap setelah menyadarkan Anya dengan satu jentikan jari. Cukup keras. "Pelajari lagi sebelum mengerjakan tugas remedialmu yang menggunung itu."
Kerlap-kerlip imajiner mengelilingi kepala Anya, menyadari bahwa sama seperti yang satu sebelum ini, si Anak Kedua membatin kelanjutan kalimat barusan dengan kalimat lain yang tidak terucapkan, lalu, biarkan aku mempelajarimu.
Tunggu, apa? Mempelajari Anya? "Untuk apa? Anya tidak suka dan tidak akan paham." Dia menolak. Telak. Memalingkan wajah dari buku, dan entah apa yang lewat di dalam pikiran, Anya justru menghadap ke arah Damian. Terang-terangan menunjukkan kekesalan.
Sementara si lawan bicara tidak ambil pusing. Menjawab bebas, tetapi tidak sekenanya, "Supaya kau lebih paham, apa lagi?" Sebelum melanjutkan di dalam hati, dan aku bisa mempelajarimu untuk lebih memahamimu.
"Tidak mau." Anya menolak, meletakkan kepala di atas bukunya yang terbuka. Sembilan puluh persen menyerah, sisanya hasrat untuk merebahkan diri. Ia butuh waktu jeda, yang panjang kalau bisa, demi memenuhi keinginannya untuk melupakan tugas remedialnya yang memang menumpuk dengan tenggat waktu di luar nalar.
Tugasnya tetap tidak berkurang meski sudah dijajarkan, malah membentuk barisan panjang yang menyiksa mata dan batin. Bahkan Mama Yor, yang kemarin mengantarkan makan malam Anya ke dalam kamar karena gadis berambut merah muda—semi warna salmon—ini tak kunjung keluar kamar hingga lewat waktu makan malam keluarga, syok melihat jajaran tugas bagai rel kereta panjang itu.
"Mau belajar seperti apapun, sepertinya Anya takkan pernah paham. Materi ini berat, seperti mengantongi bulan."
Baik, pada saat itu, si gadis berkeping hijau cerah ini telah siap menerima segala protesan, amukan, hinaan, hujatan, dan apapun yang akan dengan lantang diserukan oleh Damian—putra bungsu dari Keluarga Desmond yang (menurut Anya) cukup perfeksionis. Terserah, silakan saja. Anya sudah lelah, keluhnya dalam hati, kembali menyembunyikan wajah dengan kepala tertunduk menghadap ke arah meja.
Di luar dugaan, selanjutnya hening. Tidak ada kecaman rutin dari Damian yang isinya lontaran ejekan. Satu menit menunggu, tak ada dan tidak terjadi apapun. Detik jam, hela napas mereka, dan deritan halus dari kursi yang terdorong mundur menjadi pemecah keheningan yang tidak berarti.
Anya berhitung; satu menit, dua menit. Lebih. Lalu, hampir tiga. Ia memutuskan untuk mendongak.
Mendongak hanya untuk menemukan sodoran tiket bermain dari orang yang sejak tadi (tidak) dia tunggu-tunggu ejekannya.
"Sepertinya, ini adalah pekan suntuk bagimu dengan banyak remedial dan koreksi, bukan? Dan ini," jeda Damian, menunjuk pada buku catatan Anya, dan membuat pemiliknya melempar tatapan padanya, "adalah salah satu dari dua mapel terakhirmu yang menerima tugas pengganti, jika aku tidak salah ingat. Jadi …"
Anya masih belum menangkap apa maksudnya. Orang meresahkan ini mau menghinanya, atau apa? Kebetulan sekali tidak cari perkara …
"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan denganku akhir pekan ini." Beberapa lembar tiket Damian letakkan ke atas buku Anya yang masih terbuka, tanpa menunggu untuk diterima. "Ke tempat yang mau kau kunjungi, tiket-tiket ini penentu destinasinya."
… dan kita habiskan satu hari untuk bersenang-senang bersama.
Mata Anya membulat. Hei, dia tidak salah dengar, kan? Ekspresi terkejut, tetapi penuh antusias milik Anya menjadi respons pertama yang dia dapatkan. Gadis itu menatapnya penuh semangat, lantas menjawab, "Mau! Mau jajan-jajan ke mana?"
"Jalan-jalan," koreksi Damian. "kan sudah kubilang, ke manapun kau mau. Kau tidak mendengarkanku baik-baik, dummy?"
Damian memang memasang wajah setengah kesal, namun itu tidak lebih dari sekadar kepura-puraan yang biasa. Dalam hati, ia berbunga-bunga. Taman bunga mekar dengan ceria, memperbarui kesuraman warna di dalam hatinya.
...
...
Apa yang datang setelah kata "suka"?
.
"Apalagi? Kautahu jawabannya tanpa harus bertanya."
…
3 out of (?)
