Chapter 21 : A Knight in Distress

.

.

.

.

.

"HENTIKANN!"

"SASUKE KUMOHON HENTIKAN!" Jerit Sakura sekuat tenaga hingga suaranya yang melengking terdengar pecah.

Waktu seakan berhenti.

Momen itu membeku.

Mata Sakura terbelalak melihat pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya.

Uchiha Sasuke berdiri tepat di atas tembok atap rumah sakit. Siap untuk melompat kapan saja.

Sasuke tampak terkejut dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat Sakura dengan baju rumah sakit yang basah karena hujan. Nafasnya terengah-engah tidak beraturan. Wajahnya diselimuti teror. Gadis itu sedang menatap lurus ke mata onyx nya yang sudah redup sejak lama.

Pria itu benar-benar tidak menyangka ada orang yang mengetahui keberadaannya. Terkejut dan masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat, Sasuke kehilangan keseimbangan. Kakinya tergelincir.

"SASUKE!"

Secepat kilat, Sakura berlari menuju Sasuke yang kehilangan keseimbangan dan menarik tangannya sekuat tenaga. Ia bahkan mengabaikan perasaan lemas di kakinya yang sedaritadi berlari kencang tanpa alas.

BRUKK!

Sasuke yang masih terkejut kini terjatuh ke lantai semen yang dingin dan keras.

Ia memandang Sakura yang ada tepat dibawahnya, berusaha menahan tubuh kurusnya agar tidak langsung mengenai lantai yang basah itu.

Momen itu berlangsung cukup lama sebelum akhirnya Sasuke memindahkan tubuhnya dan memposisikan diri dalam keadaan duduk di depan Sakura. Gadis itu juga memposisikan tubuhnya agar duduk berhadapan. Keduanya saling menatap tanpa ada sepatah kata pun yang keluar.

Air hujan membasahi keduanya, udara yang dingin menusuk sama sekali tidak digubris.

Sasuke tertunduk dan tidak bisa mengatakan apa-apa.

Sakura memandangi pria di hadapannya dengan tatapan iba. Bekas luka saat berkelahi dengan Zabuza masih terlihat jelas. Kantung mata hitam juga sangat jelas. Tubuhnya semakin kurus. Ia terlihat kacau.

"Sasuke…" Sakura berusaha mengontrol dirinya agar tidak terbawa emosi. Ia menggigit bibir bawahnya dengan keras. "Kau pikir aku bisa melanjutkan hidup kalau kau bunuh diri?!" ucapnya tertahan. Suaranya bergetar.

"Kau egois, Sasuke." lanjutnya.

Meski dibawah guyuran hujan yang semakin lama semakin deras, tapi itu semua terlihat jelas, Haruno Sakura menangis. Ia sudah membuang segala gengsi dan harga dirinya. Ia akui ia cukup angkuh. Bahkan saat ia hampir mati karena Ino, ia masih mempertahankan keangkuhannya. Tapi tidak untuk sekarang. Semuanya seperti pergi begitu saja.

Kata-kata Sakura rasanya lebih tajam dari udara dingin yang menusuk tulang malam ini. Kata-kata itu tertancap tepat sasaran ke hati Sasuke. Sangat dalam.

Perlahan, tetes demi tetes air mata ikut membasahi pipi pria yang tertunduk lemas itu.

Ternyata, ia hampir saja mengambil keputusan yang salah.

Ternyata, ia hampir saja menambah penderitaan Sakura.

Ternyata, ia egois.

Semua pikiran itu berkecamuk dan ia tidak bisa menahannya lagi.

Ia membayangkan reaksi keluarganya jika ia benar-benar mati. Ibunya pasti akan menangis sejadi-jadinya, Itachi pasti shock berat, ayahnya? Entahlah.

Sasuke menundukkan kepalanya lebih dalam lagi. Ia tidak ingin Sakura melihatnya sekacau ini.

Menyedihkan. Ia sangat menyedihkan.

Bepikir untuk mengakhiri penderitaannya sendiri dengan menambah penderitaan orang lain. Apa namanya kalau bukan egois?

Perlahan namun pasti, tangisan Sasuke mulai terdengar semakin jelas. Ketika seorang Uchiha Sasuke menangis, maka rasa sakit yang ia alami tidak main-main. Ia bahkan menangis hingga sekujur tubuhnya gemetar tidak karuan.

Di mata Sakura, pria dihadapannya ini bukan menyedihkan. Ia hanyalah korban dari kerasnya keadaan. Ia mengasihani Sasuke dan tanpa sadar, tubuhnya bergerak tanpa diperintah.

Sakura berlutut dengan satu kaki di depan Sasuke. Perlahan, ia menelungkupkan tangan di wajah pria itu dan pelan-pelan mengangkatnya, memposisikan mata mereka dengan sejajar.

"Kalau ada masalah… jangan menanggung rasa sakitnya sendiri." Sakura berusaha menstabilkan suaranya, "Semakin kau berusaha menanggungnya sendiri, rasa sakit itu akan semakin besar. Jika kau jatuh ke dalam lembah yang kelam, satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan menyambut tangan orang yang terulur untuk menolongmu. Kau tidak harus menanggung segalanya sendiri. Aku mau membantumu dan aku pasti akan membantumu. Itulah gunanya teman kan?" ucapnya sambil berusaha menatap mata onyx yang sayu itu lekat-lekat.

Sasuke menutup matanya. Tidak sanggup menatap mata emerald indah yang menatap lurus ke arahnya.

Tangannya menyentuh tangan Sakura yang masih memegang wajahnya. Ia menyandarkan pipinya ke tangan lembut itu. Tangan itu dingin, tapi entah kenapa sentuhan itu terasa nyaman.

Sasuke menggenggam tangan Sakura dan kembali menangis disana. Sial, ia ingin segera berhenti menangis tapi ia merasa sangat rapuh sekarang.

Semakin lama, debaran hati Sakura semakin keras. Ia tidak berdebar karena ketakutan atau kelelahan, ini adalah sesuatu yang lain. Melihat Sasuke yang menangis membuat Sakura ingin memeluknya. Sangat ingin.

Tanpa pikir panjang, Sakura menarik tubuh Sasuke yang gemetar ke dalam pelukannya. Membiarkan pria itu menangis dalam pelukan erat yang ia berikan. Ia bisa merasakan tubuh Sasuke yang dingin dan gemetar. Ia bisa merasakan nafas pria itu yang tidak beraturan. Ia bisa merasakan tangisnya yang sesengukan. Ia bahkan bisa merasakan air mata Sasuke yang hangat.

"Maaf." kata Sasuke lemah di sela-sela tangisnya.

Hati Sakura terasa sakit mendengar suara lirih itu. Membayangkan Sasuke benar-benar lompat dari atap rumah sakit membuat hatinya serasa diremas. Sangat menyakitkan dan menakutkan.

"Sasuke… jangan berpikir untuk meninggalkanku lagi." ucap Sakura sebelum memeluk Sasuke lebih erat lagi. Jari-jarinya mengelus punggung pria itu dengan lembut. Seakan jika ia tidak memeluk seerat itu, si Uchiha bungsu akan pergi entah kemana.

Ternyata, dibawah sinar bulan, hujan yang mengalir deras seperti air mata, dan udara dingin yang menusuk tulang, seorang ksatria dalam kesusahan malah diselamatkan oleh putri yang sebelumnya ia lindungi. Rupanya, putri itu telah jatuh hati dan bersumpah untuk mendampingi si ksatria…

… seumur hidupnya.

.

.

.

.

.

Sakura kedinginan.

Padalah saat di atap tadi, ia seakan mati rasa. Dingin, sakit, pusing, lemas, semuanya tidak terasa. Sekarang semuanya terasa sangat menusuk. Tapi ia sudah bertekad untuk tetap disini sampai Sasuke siuman. Atau, setidaknya sampai orang tua Sasuke tiba.

Sasuke hilang kesadaran saat menangis dalam pelukan Sakura. Kemungkinan besar si Uchiha bungsu itu kelelahan. Kondisi tubuhnya sangat lemah. Beruntung dokter Yakushi dan beberapa perawat datang ke atap. Katanya, beberapa orang melihat seorang pasien berambut pink berlari ke arah lift dan keluar di lantai tertinggi, lalu berlari ke tangga darurat menuju atap. Sangat mencurigakan. Karena itu, dokter Yakushi membawa beberapa perawat ke atap dan menemukan sepasang manusia yang saling berpelukan ditengah hujan deras. Sangat ironis.

Sakura yakin, setelah kejadian ini dokter Yakushi pasti akan memaksanya untuk menghubungi kedua orang tuanya. Ia sudah pasrah.

Wajah Sasuke sangat pucat, tapi lebih damai dari sebelumnya. Seakan tekanan yang besar sudah sebagian diangkat dari pundaknya. Wajah Sasuke sangat damai sehingga Sakura rasanya ingin lebih lama lagi menatap wajah itu. Entah sejak kapan ia menyukai wajah itu.

"SASUKE!"

Sontak teriakan itu membuat Sakura terkejut dan menoleh ke arah pintu masuk. Ia melihat Uchiha Mikoto berlari masuk ke dalam ruangan menuju ranjang tempat Sasuke tertidur.

Ia terlihat panik, matanya terbelalak dan bergetar. Perlahan, ia menyentuh pipi anak bungsunya yang terbaring tak sadarkan diri. Sejak beberapa hari lalu, ia tidak pernah melihat Sasuke sedekat ini, apalagi menyentuhnya. Si bungsu itu mengurung diri di kamar dan selalu menghindarinya. Sekarang, kita ia bisa melihat anaknya dengan jelas, ia terkejut. Pucat, banyak bekas luka, wajahnya terlihat lelah, ia juga semakin kurus.

Uchiha Mikoto menangis.

"Sasuke… Maafkan ibu ya…" ucapnya seraya menggenggam tangan dingin sang putra. Setelah mendengar kabar bahwa Sasuke ada di rumah sakit, Mikoto terkejut bukan main. Bagaimana bisa Sasuke ada di rumah sakit? Bukankah anak itu seharusnya ada di kamarnya? Setelah mendesak pihak rumah sakit untuk menceritakan kenapa Sasuke bisa berakhir disana, akhirnya Mikoto tahu bahwa Sasuke pingsan. Tidak jelaskan lebih lanjut penyebabnya, tapi detik itu juga, Fugaku dan Mikoto menembus cuaca buruk malam itu dan bergegas pergi ke rumah sakit.

Tidak berselang lama, Fugaku datang dengan gerak tubuh yang tenang. Matanya melihat Sakura, lalu buru-buru menoleh ke arah Mikoto dan Sasuke. Sorot mata kelam itu berubah menjadi sedih.

Ia bergegas menghampiri Mikoto dan Sasuke. Matanya menatap Sasuke lekat-lekat. Sejurus kemudian ia menunduk dan mengurut pangkal hidungnya dan perasaan bersalah menyeruak dalam dadanya. Harus ia akui, melihat darah dagingnya tergolek tidak sadarkan diri dengan keadaan yang mengenaskan ini menghancurkan hatinya sebagai seorang ayah.

Fugaku merangkul Mikoto dan menarik istrinya itu ke dalam pelukan. Bahu Mikoto bergetar karena menangis.

"Fugaku, apakah selama ini kita sudah menjadi orang tua yang baik untuk Itachi dan Sasuke?" tanyanya di sela-sela tangisan.

Fugaku tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan itu sangat menyakitkan karena ia tahu apa jawabannya. Pria paruh baya itu menghela nafas panjang. Tidak sanggup menjawab pertanyaan yang tepat sasaran itu.

"Apakah kita gagal sebagai orang tua?" Mikoto kembali bertanya dengan suara parau.

Saat itu juga, setetes air mata jatuh dari mata hitam Fugaku. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dirinya menangis.

"Maaf." Hanya itu kata yang bisa ia pikirkan.

Melihat anak bungsunya yang tidak berdaya membuat hatinya hancur. Apakah selama ini ia terlalu keras? Atau… egois? Ditambah lagi istrinya yang baik hati itu menangis sejadi-jadinya. Melihat wanita yang ia cintai itu menangis semakin membuat dadanya nyeri.

Sakura sadar bahwa ini sangat canggung. Kedua orang tua Sasuke menangis didepannya dan ia terperangkap disini. Perlahan, Sakura berusaha untuk meninggalkan ruangan dengan tenang, berharap keduanya tidak menyadari itu, tapi—

"Sakura." suara dingin Fugaku memanggilnya.

Sakura membeku. Sejak dulu ia selalu menganggap Fugaku sebagai orang yang dingin dan tegas. Sangat berbeda dengan ayahnya,

"Apa kau tahu kronologi kenapa Sasuke bisa berakhir disini?" tanyanya tanpa basa basi.

Sebenarnya, Sakura tidak ingin menjelaskan semuanya. Bibi Mikoto pasti akan histeris, pikirnya. Tapi, dipikir-pikir, mereka berhak mengetahuinya. Setidaknya, jika sudah mengetahui niat Sasuke untuk bunuh diri, mereka tidak akan memperlakukan Sasuke dengan buruk. Mereka akan membiarkan Sasuke memilih jalan hidupnya sendiri.

Dengan berhati-hati, Sakura menceritakan semuanya. Dan benar saja, Mikoto terkesiap dan kembali menangis saat tahu bahwa Sasuke hendak melompat dari atap rumah sakit. Setelah selesai menceritakan kronologinya, Sakura memberanikan diri. Ia berdiri dengan tegap lalu membungkuk sangat dalam, memohon dengan tulus.

"Maka dari itu, kumohon izinkan Sasuke untuk melakukan apa yang ia sukai. Izinkan ia hidup dengan jalan yang ia pilih sendiri. Sasuke orang yang baik, sangat baik, aku hanya ingin Sasuke bisa menjalani hidup yang ia pilih sendiri dengan bahagia. Aku tidak ingin melihat Sasuke menderita lagi, itu… itu sangat menyakitkan. Oleh karena itu… Tolong izinkan Sasuke kuliah kedokteran dan memilih dengan siapa ia ingin menikah." ucap Sakura dengan lantang sembari menutup matanya. Ia bahkan tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulutnya. Ia sangat berdebar dan gugup. Sejak kapan ia sepeduli itu dengan Sasuke?

Entahlah.

Tapi seluruh perkataannya itu tulus. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Sasuke terhadapnya, pria itu tidak pernah menyatakan apapun. Tapi, ia tidak ingin Sasuke terpaksa menikah dengannya karena keadaan. Ia hanya ingin Sasuke bahagia dengan pilihannya sendiri, meski itu bukan dirinya.

Fugaku dan Mikoto tidak bisa berkata-kata lagi.

Membayangkan anak bungsunya hampir bunuh diri ternyata lebih menyakitkan lagi. Entah apa yang akan terjadi jika tidak ada Haruno Sakura. Setidaknya, detik itu juga mereka sadar akan sesuatu.

"Mikoto, ternyata selama ini kita yang salah. Bukan, aku yang salah."

.

.

.

.

.

Keadaan dalam ruang perawatan Sasuke sangat intens. Atmosfer emosional menyelimuti ruangan VIP tersebut. Waktu menunjukan hampir tengah malam, tapi kelihatannya tidak seorang pun dari dalam ruangan itu yang berniat untuk keluar.

Terlalu larut dalam situasi yang emosional, tidak ada yang sadar bahwa sedaritadi sesosok gadis berambut merah memperhatikan mereka dari luar. Gadis itu segera datang ke rumah sakit setelah intelnya mengatakan bahwa Sasuke dan Sakura ada di rumah sakit tersebut. Menghancurkan Sakura dan menemui Sasuke, sekali dayung dua pulau terlewati, pikirnya.

Gadis itu awalnya terkejut. Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Uchiha Sasuke yang 'sempurna' sekarang terlihat mengerikan. Wajahnya pucat dan penuh luka, tidak tampan lagi. Kemungkinan besar ia tidak akan mewarisi perusahaan Uchiha lagi. Payah.

Gadis berkacamata itu mendecih.

'Sasuke bahkan sudah tidak sepopuler dulu.' pikirnya sinis.

'Cih, kalau begini terus, Uchiha Sasuke tidak ada gunanya lagi. Ia bahkan tidak pantas untuk bersanding denganku. Ia hanya laki-laki biasa yang tidak sempurna. Tidak ada istimewanya.' batin gadis itu kesal.

Ia memandang rendah Sasuke yang sedang menderita dan berada pada titik terendahnya.

'Bahkan si bodoh itu berusaha bunuh diri. Gila, kalau orang-orang mengetahuinya maka reputasiku akan ikut tercoreng. Dasar tolol.' Gadis itu benar-benar kesal. Usahanya untuk mendapatkan kembali hati Uchiha Sasuke gagal total. Terlebih lagi, ia sudah tidak ingin mendapatkan Uchiha bungsu itu. Untuk apa? Di matanya, laki-laki itu sudah tidak 'memenuhi standarnya'. Bahkan pada titik ini Suigetsu lebih baik dari Sasuke.

Uzumaki Karin sadar bahwa berurusan dengan Sasuke tidak ada gunanya lagi.

Tapi, Sasuke harusnya tidak seperti ini. Ia harusnya tetap tampan, populer, dan menjadi pewaris perusahaan keluarga Uchiha.

Semua ini karena Haruno Sakura.

Perasaan kesal semakin membara dalam hatinya.

"Aku akan menghancurkanmu dengan tanganku sendiri, Haruno Sakura."

.

.

.

.

.

TBC

.

.

A/N : Merasa agak nostalgic dari chapter 14? Karena memang itu tujuannya! Uehehehe.

Kira-kira gimana nasib Sasuke ya?

Terus apa Sakura akhirnya bisa jujur sama perasaannya sendiri?

Apa yang Karin rencanain selanjutnya?

Sampai jumpa di chapter 22!