Chic—

"T-TUNGGU! AKU BISA JELASKAN, NAR!"

Spill.

"AKU GAK MAKSUD NELANTARIN LU LAGI, SUER! AKU BARU KELARIN SATU NOVEL DALAM TIGA BULAN!"

... novel?

"IYA! JUMLAH KATANYA LEBIH DARI 250 RIBU! MAAP-MAAP AJA KALAU AKU GA BISA LUANGIN WAKTU BUAT UPDATE! MABOK AING, NAR! MABOK!"

... permintaan maaf diterima.

"Oh, darn, thank God!"

Bukan berarti aku akan melepaskanmu begitu saja, penulis kampret. KEMARI KAU!

"AMPUN, TUAN PUTRI ... !"

-o-o-o-

The Prince and Princess of Nonsense

Kebetulan? Atau—

-o-o-o-

"Ketua ... apa ini tak terlalu kejam?" Seorang anggota UKM Teater bertanya.

"Kejam?" Kankurou—sang ketua—membeo tidak paham.

"Tokoh utamanya!" Anggota lain menanggapi, terlihat risau. "Kau membuatnya menyaksikan tanah airnya kacau dan runtuh di depan matanya. Kau juga menambahkan dia melihat orang tuanya gugur, di tangan kawan dekat mereka! Apa ini tidak dibuat terlalu berlebihan?"

Aku tertawa keras mendengar tanggapan itu.

Akhir tahun nanti, UKM Teater akan mengikuti perlombaan. Tema yang diangkat adalah kisah nyata pahlawan dunia. Ingat soal permintaan Kankurou? Ini yang sang Pangeran Kerajaan Bumi minta dariku. Bantuan dalam menyusun naskah kisah hidup avatar terakhir, alias: aku.

Berlebihan? Mereka menganggap naskah yang Kankurou susun dibuat terlalu berlebihan?

"Apa yang kalian harapkan?" tanyaku. "Ini dunia nyata, bukan negeri dongeng."

(Lebih tepatnya, ini fanfiksi yang NYATA diketik oleh si penulis sinting. Ini belum seberapa! Kalian tak tahu sebrengsek apa dia!

"Aw, makasih."

Sekali lagi kuucapkan, aku tidak sedang memujimu, sialan!)

"I-itu Avatar, kan!?"

"Sebentar, ini—INI KISAH RUNTUHNYA KUTUB SELATAN!?"

Berpasang-pasang mata terbelalak menatapku. Setelah beberapa menit fokus pada salinan draf susunan naskah yang Kankurou buat, akhirnya mereka sadar akan kehadiranku juga.

"Kenapa kalian kaget begitu?" Kankurou menyengir. "Kalian sendiri yang khawatir takut mengangkat kisah yang sama dengan peserta lain, kan? Dengan begini, dijamin aman."

Aku tertawa geli. Tentu saja aman. Aku tak pernah mengangkat detail kejadian pada media. Terutama detail kisah di malam penyerangan.

Yang ini bukan karena aku tak ada niatan untuk mengangkatnya. Tetapi, memang tak ada yang berani bertanya.

Aku berani bertaruh, mereka tidak siap mengetahui kebenarannya. Masih memilih mengimani dalam hati, bahwa Kutub Selatan rata oleh bencana alam mahadahsyat.

Menolak kenyataan bahwa salah satu pahlawan yang mereka elu-elukan membentuk perkumpulan berbahaya yang berhasil membantai satu populasi manusia. Tanpa merasa bersalah, bahkan kepada anak buahnya yang gugur.

Menolak, kalau tak semua pahlawan menjadi pahlawan karena keinginan mereka. Enggan menerima kenyataan bahwa dunia ini tak mutlak hitam dan putih.

Beberapa oknum bahkan masih aktif menyuarakan tuntutan agar aku melakukan sesuatu untuk dunia ini. Setidaknya beberapa tahun setelah lulus kuliah nanti. Dalam rangka memenuhi tanggung jawab sebagai avatar, mereka bilang.

"Kalian pikir ini berlebihan?" Aku mendengkus. "Suck it up. Ini faktanya. Avatar yang kalian elu-elukan sebagai penyelamat dari Naga Gelap Menyeramkan tak muncul tiba-tiba dari langit. Dia punya latar belakang dan inilah yang terjadi."

Jika Kankurou memang berniat mengangkat sebagian kisah hidupku, aku tak akan menutupi apa-apa. Statusku sebagai avatar memaksaku mengorbankan banyak hal. Dunia harus tahu dan membuka mata mereka lebar-lebar.

Aku bisa menerima peran dan memikul tanggung jawab yang Semesta berikan, ya. Tetapi, itu tak terjadi begitu saja. Bukan tanpa harga dan tidak juga secara sukarela. Juga, tak membuatku bahagia.

Sure as hell, I never asked to be an Avatar.

"Ini ... ini yang terjadi?" lirih seseorang.

Aku mengangguk singkat.

"Pantas saja—"

Oh, heck. Apakah itu suara sesenggukan yang kudengar? Baru sampai penyerangan kutub saja sudah begini. Aku tidak mau menetap untuk melihat respons mereka saat sampai pada bagian aku menyelamatkan dunia dengan cara melepas nyawa sendiri. Sebaiknya aku pergi sekarang juga.

(Aku tak perlu dikasihani, sialan. Kalian sedikit terlambat.)

"Kau sangat kuat, Avatar Naruto."

Langkahku terhenti di hitungan ke-7. Aku mengatur napas baik-baik. Kutolehkan kepalaku sejenak, membalas tatapan orang yang berbicara.

"Putri," ralatku. Kuulang penuh penekanan, "Putri Naruto."

Kuabaikan respons salah tingkahnya, lanjut berujar padanya, "Aku sudah pernah menyerahkan nyawaku demi keselamatan dunia ini. Aku bukan Avatar lagi. Once is enough."

Kankurou memberikan tatapan penuh simpatik. Walau kuyakin, dia tak mengerti sepenuhnya.

(Tak ada yang benar-benar mengerti apa yang sudah kualami.)

"Dan, aku tahu aku kuat. Aku tak mungkin bisa menjalani semua itu kalau aku tidak kuat."

Aku mengalihkan pandanganku ke depan lagi. Lanjut melangkahkan kaki.

"Tapi, aku cuma seorang anak. Sama seperti kalian. I never asked to be strong like this. I just wanna be happy and safe. Preferebly with my parents. My very DEAD parents."

Aku berjalan semi-otomatis. Tak begitu memperhatikan lingkungan maupun orang-orang yang kulewati. Berhenti di taman depan gedung Departemen Teknik Sipil, duduk di salah satu kursi kosong sambil menatap kaki tanpa minat.

Setelah beberapa waktu, leherku terasa pegal. Tetapi, aku tak berani mengangkat kepala. Ini sudah masuk jam-jam akhir mata kuliah. Semakin banyak mahasiswa yang berlalu-lalang. Ada yang berlari, berkerumun dengan teman-temannya, tertawa. Bebas melakukan kegiatan mereka.

Tak seperti rakyat Kutub Selatan yang hanya tinggal nama. Banyak nyawa yang tak bisa mengecap bagaimana rasanya bercanda tawa lagi. Dan semua itu mereka lepaskan hanya demi menyelamatkanku.

Menyelamatkan dunia ini.

Aku bahkan tidak bisa mengingat nama mereka. Pun wajah para prajurit yang gugur di depanku. Apakah aku masih pantas dipanggil putri jika begini? Pantaskah menerima sanjungan sebagai pahlawan, sementara semua ini bisa kulakukan di atas darah mereka?

"Hic me odisse." Segera setelah desisan ini keluar dari mulutku, sepasang sepatu yang tak asing berhenti tak jauh di depanku.

"Taman di SAN Konoha memang lebih terawat." Pemilik sepatu tertawa hambar. "Harap maklum, kating yang bertanggung jawab atas pemeliharaan taman di bulan ini sedang demo menuntut sesuatu dari himpunan kami."

Aku gatal ingin menangkis. Menjelaskan, kalau bukan itu yang kumaksud. Bukan soal kondisi taman yang mana sama sekali tak kuperhatikan sedikit pun. Tapi, sangkalan ini tertahan di tenggorokan saat aku ditarik ke dalam dekapan erat tanpa permisi.

Seperti biasa, Sasuke bisa mengerti tanpa harus kujelaskan. "Bad day?" bisiknya lembut.

Aku mengeritkan gigi. "More like bad life."

"Tak seburuk itu, kan? Kau bisa bertemu denganku."

Aku mengerjap. Kampret sekali anak ini! "Momen kaya gini sempet-sempetnya ngalus, kau!" Merusak suasana sekali!

"Ada yang salah dengan kata-kataku?" Sasuke tergelak singkat. Lanjutannya berintonasi rendah. Lebih serius. "Itane odisti?"

Jika ada yang gagal paham ... terjemahan desisanku adalah: aku benci di sini. Dan Sasuke baru saja bertanya: apakah aku benar-benar membencinya?

Tidak. Aku tidak benci. Aku hanya sedang merindukan masa lalu yang mustahil kugapai lagi di masa kini. Sedang merasa ... dunia tidak adil padaku.

Sangat-sangat tidak adil.

"Aku rindu orang tuaku, Sasuke." Pengakuan ini datang bersama tetesan air mata.

Sasuke mengeratkan pelukannya. Membiarkanku melepaskan kemelut hati lewat tangisan. Tak berbicara, pun tidak berkomentar apa-apa.

Dia tahu dan mengerti, tak ada yang bisa ia katakan untuk membuat ini menjadi lebih ringan bagiku.

(Kata-kata penghibur tak bisa mengembalikan nyawa kedua orang tuaku.)

Setelah tangisku reda dan aku merasa sangat-sangat haus, Sasuke menyeletuk, "Sementara ini kau boleh pinjam Ayahanda, kalau kau mau."

"Pinjam?" Pfft.

"Aku janji, dia sudah terlatih buang air besar di toilet."

Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengar itu. Wah, anak durjana! "Memangnya Raja Fugaku itu peliharaan!?"

"There it is!" Sasuke menyeka sisa-sisa jejak air mata di pipiku. "The smile and the laugh that I always love."

Ah, sialan. Kalau seperti ini, bagaimana mungkin aku tetap bertahan sedih?

"Dasar bucin," godaku.

Sasuke mengangkat sebelah alis matanya. "Perlu kubawakan cermin?"

Ha, dia mengeluarkan kartu uno reverse!

"Gak butuh. Butuhnya minum."

"Kalau begitu—" Sasuke menarikku berdiri. Tanpa melepaskan genggaman tangannya, dia melangkahkan kaki. "—kita ke danau konservasi kampus."

Bukannya menawariku beli minuman segar, Sasuke malah menawari air danau hijau. Si Bedebah ini!

"Sas, air danau memang bersih dan aman bagi keberlangsungan ekosistem." Kuinjak sepatunya kesal. Sayang sekali, meleset. Si bedebah menghindar dengan mulusnya. "Tapi, kalau kau lupa, aku tidak termasuk di dalamnya!"

Sasuke mengikih. "Jangan cemberut gitu, aku cuma bercanda. Kita sekalian makan dulu di dekat stasiun, deh. Sambil berangkat ke Gelarena. Kalau perlu kubelikan kau minum satu galon penuh."

"Betul, ya?" Kupicingkan mataku pada si Bedebah. "Kau akan beli satu galon untukku?"

"Kau sehaus itu?"

"Enggak. Dua gelas kuminum. Sisanya mau kugunakan untuk membekukanmu."

Sasuke tertawa lepas, genggaman tangannya mengerat. Tawanya sedikit mengantar rasa hangat di dalam dada. Aku tersenyum, balas mengeratkan genggaman tanganku.

Aku tidak tahu kapan aku bisa benar-benar melepas kepergian orang tuaku dan seluruh rakyat Kutub Selatan. Entah kapan pula bisa menerima sepenuhnya bahwa status sebagai avatar merenggut banyak hal dariku. Tapi, di saat tidak sendiri seperti saat ini ... aku akan baik-baik saja.

Aku harus baik-baik saja.

Yeah, this is fine.

.

This is not fine.

"Oh, shit, Tuan Putri!"

Untuk sesaat, kesadaranku mengambang. Rasanya, samar-samar, aku bisa mendengar tawa menyebalkan dari Kurama. Membuat batinku berbisik rindu, ingin sekali bertemu. Terbayang sejenak sensasi hangat dari ikatan bersamanya dan empat Naga Spiritual lain.

Ikatan yang tak lagi dapat digapai. Ikatan yang dingin dan membisu.

"Siapkan mobil! Kita ke rumah sakit sekarang!" suruh Om Mochi. "Seseorang tahan dan tenangkan Pangeran Sasuke!"

Aku menepis ringan tangan Om Mochi dari kepalaku. "Aku tidak apa-apa. Tak perlu ke rumah—"

Protesanku tertahan di tenggorokan. Aku tak salah lihat. Di tangan Om Mochi ada noda darah.

"Itu darahku?" Oh, wait, itu pertanyaan bodoh. Tentu saja itu darahmu, Naruto bego! Kau sedang latihan, tak fokus, dan berakhir kecelakaan! "Ow."

"Maafkan aku, Naru."

Kenapa pula Sasuke minta maaf? Kalaupun ada yang harus dimintai penyesalan, itu adalah bongkahan batu sialan yang menghantam kepalaku!

"Aku tahu konsentrasimu kacau. Seharusnya aku lebih keras kepala dan melarangmu latihan."

Belum sempat aku protes, Om Mochi berdiri menghampiri Sasuke dan menjitak kepalanya. Aku meringis, ikut ngilu membayangkan nyeri.

… walau secara teknis tanpa dibayangkan pun kepalaku sudah sakit sih. Ha ha.

"A-aku tidak membunuh sang Avatar, kan?" lirih tersangka serangan bongkah batu. Melihat wajahnya yang panik dan pucat pasi, aku gatal ingin tertawa.

Sayang sekali, aku terlalu sibuk mempertahankan kesadaran diri.

"Tidak. Tapi aku jadi curiga, melihat seranganmu tadi. Apa kau berniat membunuh tunanganku?"

"Diam! Aku tak butuh drama picisan kalian di sini!" Om Mochi melayangkan tatapan tajam pada seisi Gelarena. "Kita ke IGD sekarang. Setelah Putri Naruto selesai ditangani, terserah kalian mau berdrama seperti apa."

Om Mochi menatapku lagi. Pancaran emosi di matanya membuatku meneguk ludah. "Kau ku-ban dari latihan sampai kau bisa meyakinkanku kalau ini tak akan terulang. Aku akan bilang pada pihak Perserikatan Bending Battle Tonbo untuk tak menunggu kedatanganmu tiga minggu ini," katanya.

Aku menghela napas. Serius? "Tiga minggu apa tidak terlalu lama, Coach?"

"Kalau kau protes, aku akan menghubungi pihak Tonbo untuk mencabut namamu sebagai perwakilan pertandingan musim ini. Dan kita akan kembali ke metode latihan awal kau bergabung."

Kenapa ancamannya sangat mengerikan!? Pelatih Iblis sialan … !

"Oke, oke! Aku mengerti! Aku akan tutup mulutku!"

Singkat cerita, satu pasukan mengantarku ke rumah sakit Tonbo. Untung saja dokter bilang cederaku tidak fatal. Tetapi, aku tidak boleh pulang dulu untuk pemantauan.

Aku tidak terlalu khawatir soal kondisiku. Aku yakin besok malam juga akan dipulangkan. Kalau mereka menolak, aku akan "memohon" agar dipulangkan.

Bukan apa-apa. Aku lebih khawatir pada Sasuke. Anak itu diam saja sejak perjalanan ke rumah sakit.

"Sas, kau oke?" tanyaku setelah kami mendapat privasi berdua.

"Masih tanya?" Sasuke tertawa hambar. Dia menatapku selama beberapa saat, seolah sedang menimang-nimang. Lalu, tangannya meraih tanganku yang bebas infusan. Dia menggenggam erat pergelanganku.

Mataku seketika berkaca-kaca saat dia memejamkan matanya. Memfokuskan diri pada detakan yang dia rasakan pada nadiku. Kuyakin, pasti terbayang lagi detik-detik saat aku berpamitan padanya untuk menyegel kosmik avatar.

"Saat kau sempat tak sadarkan diri, berdarah-darah begitu … aku pikir ini hanyalah mimpi indah yang akan berakhir. Saat aku bangun, kau akan menghilang lagi."

Penulis kampret … ! Apa kau tak salah menulis, heh!? KENAPA KONFLIK BATIN SASUKE BERAT SEKALI!?

Apa kalian tidak sebal dengan dia, wahai pembaca budiman? Kalau memang ingin membuatku mengorbankan diri, ya buatlah aku mati permanen, sialan … ! Kenapa kau malah memberi secuil harapan kecil berbuah keajaiban begini?

Ya, maksudku, aku senang kau memberiku good ending di Avataramen is Now Online; tapi haruskah kau buat Pangeran Sasuke seperti ini!? Langsung buat aku bangun dan segar bugar, kek! Kenapa harus membuat Sasuke berkabung atas kematianku? Belum selesai berkabung, diberi secuil harapan bahwa aku masih hidup?

Baru saja harapan itu terpercik, kau malah menghancurkannya lagi lewat imbauan para Tabib Kutub Utara untuk selalu ingat kemungkinan terburuk. Jangan terlalu berharap aku bisa bangun. Ingat selalu bahwa nyawaku benar-benar di ujung tanduk. Selama berbulan-bulan pula dia mengamini hal tersebut! Lihat efeknya pada Sasuke saat ini!

KENAPA KAU SENANG SEKALI MEMBUAT TOKOH CERITAMU TRAUMA PENULIS KEPARAAAAT!?

Ayolah! Aku sudah sangat menderita. Sasuke juga sama. Doa orang yang menderita itu lebih sakti mandraguna, kan? Tuhan, kami tak akan minta banyak hal. Gantilah penulis kami, tolong! Secepatnya! Sebelum aku jadi gila gara-gara ulahnya!

"Naru, aku—I'm scared, damn it! You—"

Aku tertawa miris. Kurentangkan tanganku. Tanpa perlu kuundang, Sasuke langsung naik ke atas ranjang dan memelukku erat.

"Maaf, Sasuke. Aku tidak akan ceroboh lagi. Aku terlalu sombong atas kemampuan pengendalianku. Sesaat aku lupa kalau olahraga BB cukup berbahaya. Lain kali aku akan izin kalau tidak bisa fokus."

Aku bisa jelas merasakan badan Sasuke gemetaran.

"Aku baik-baik saja, Sasuke. Kau dengar apa kata dokter tadi."

"Kau baik-baik saja." Sasuke mengulang kata-kataku, sepertinya berusaha meyakinkan diri.

Aku mengikih pelan. "Betul, aku baik-baik saja."

Ya, aku baik-baik saja.

Aku akan baik-baik saja. Ada Sasuke bersamaku, kan?

"Om Mochi melarangku latihan, berarti aku banyak nganggur pulang kampus. Jalan-jalan yuk!"

"Hm? Mau jalan-jalan ke mana?"

"Gimana kalau—"

Kami akan baik-baik saja.

.

ASALKAN PENULIS BEDEBAH INI BERHENTI MELEMPAR PLOT SIALAN! ARGH! AKU SANGAT KESAL!


Next: Ohohoho