"Abang, di mana ibu?"

Kaizo ingat, saat kecil Fang begitu cerewet. Kali pertama mereka bermalam di markas Tempur-A, Fang tidur lelap seperti bayi, berkebalikan dengan Kaizo yang bahkan tidak bisa memejamkan mata. Keesokan hari, Fang tidak berhenti mengoceh dan bertanya sampai kuping kaizo sakit.

"Di mana ibu? Di mana ayah?"

"Abang, kapan kita akan pulang?"

Awalnya, Kaizo menjawab dengan sabar. Ia berusaha menjelaskan, meski sulit karena Fang masih begitu kecil untuk bisa memahami apa yang terjadi.

"Kita tidak akan pulang untuk sementara. Ibu dan ayah akan segera menyusul ke sini. Pang yang sabar, ya?"

Pertanyaan Fang masih seringkali berulang, dan Kaizo juga hanya bisa memberi jawaban yang sama. Ia tidak punya jawaban yang lebih baik, dan harapannya juga semakin menipis dengan kabar-kabar angin yang dicuri-dengarnya dari para prajurit. Tidak ada yang memberi kabar apapun secara langsung padanya. Tidakkah mereka mengerti rasa frustasinya?

"Abang, ayo pulang. Pang tidak suka di sini. Orang-orangnya seram."

"Pang mau ibu. Pang mau ibu!"

Kaizo akhirnya kehabisan kesabaran. Ia gusar setengah mati karena tidak mendapat kepastian apa-apa mengenai orang tuanya meski terus mendesak, dan rengekan Fang kecil menghancurkan sisa pertahanan Kaizo. Sebuah tamparan dilayangkan hari itu, dan tubuh mungil Fang terhempas sampai menabrak ranjang tingkat tempat mereka tidur.

Tangisan Fang berhenti. Matanya yang berair membulat. Untuk pertama kalinya, Kaizo melihat adiknya menatapnya dalam sorot ketakutan. Fang yang biasanya menatap Kaizo dengan sorot kagum dan penuh sayang, Fang yang selalu bermanja-manja dan bahkan tidak segan mengusili Kaizo karena tahu sang kakak tak akan pernah menyakitinya, kini beringsut mundur dengan tubuh gemetar saat Kaizo berjongkok di depannya.

"Kita tidak akan pulang," Kaizo berujar. Suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi, tapi ia hanya letih, sungguh. "Ibu dan ayah tidak akan kemari. Mereka sudah pergi. Hanya ada kau dan aku sekarang. Mengerti?"

Fang tidak menyahut. Adiknya itu menangis tanpa suara, tubuh kecilnya bergetar.

Kaizo menghela napas. Ia duduk bersila, menarik Fang ke dalam pelukannya. Kaizo bisa merasakan ketegangan dari Fang yang didekapnya, tapi ia tidak menarik diri. Sekali lagi, sekali ini saja.

Kaizo tidak melepaskan pelukan, sampai-sampai bajunya basah oleh air mata Fang. Ia tetap duduk di sana sepanjang malam, sampai adiknya tertidur karena lelah menangis. Kaizo tidak pernah punya kesempatan untuk minta maaf atas apa yang dilakukannya, tapi hari itu, sesuatu di antara mereka retak.

"Kaizo, jaga diri dan adikmu baik-baik."

Kaizo membaringkan Fang di ranjang dan menyelimutinya. Wajah Fang sembab oleh air mata, dan anehnya Kaizo tidak merasa begitu menyesal. Sebuah komet lewat di luar jendela, begitu dekat sampai Kaizo merasa jika menjulurkan tangan keluar, ia akan bisa menyentuhnya. Tangannya mungkin akan terbakar, tapi itu akan sepadan. Tidak ada rasa sakit yang datang dengan sia-sia. Kaizo akan belajar, begitu juga dengan Fang.

Hanya ada kau dan aku sekarang.

Suatu hari nanti Fang juga akan belajar dari rasa sakitnya. Kaizo akan membuatnya mengerti. Itu tugasnya. Itu janji yang harus ditebusnya pada sang ibu.

.

.

.

"pages turned, bridges burned"

fanfiction by Fanlady

Warning : headcanon, sedikit merujuk pada adegan di chapter bonus komik seri Galaksi volume 7, mengandung adegan kekerasan.

untuk misorai (utangku udah lunas, ya 3). untuk #KaizoDay. Selamat ulang tahun, kapten bawang!

.

.

.

Kaizo menggeser pintu terbuka, dan suara tawa segera saja digantikan sunyi senyap. Lima remaja menoleh serentak ke arahnya, ekspresi terkejut dan takut mereka yang nyaris serupa hampir membuat Kaizo tertawa. Hampir.

"Fang, temui aku di ruang kendali. Sekarang."

Fang segera berdiri tegak. Wajahnya memucat, meski ekspresinya dipaksakan tegar.

"Siap, Kapten!"

Kaizo menutup pintu kembali, tapi ia tidak langsung beranjak. Suara percakapan di balik pintu langsung terdengar ribut.

"Mampus, Fang! Kau habis berbuat apa? Kapten Kaizo pasti akan menghukummu!"

"Aku tidak melakukan apa-apa, sumpah!"

"Mungkin Kapten Kaizo memanggilnya karena ada yang harus dibicarakan. Tidak mungkin Fang dihukum tanpa sebab, 'kan?"

"Hei, Yaya, kau tidak tahu si kapten gila itu seperti apa? Kalau sedang badmood, pelampiasannya ya sudah pasti Fang! Dia sudah jadi samsak tinju berjalannya Kapten Kaizo."

"Yah, kudengar belakangan Kapten Kaizo sedang gusar karena sesuatu. Sepertinya ada misi yang tidak berjalan lancar."

Kaizo mendengar berbagai argumen yang saling dilemparkan teman-teman Fang, kemudian berlalu pergi. BoBoiBoy benar, memang ada yang membuatnya gusar. Namun, menjadikan Fang samsak tinju berjalan? Apa itu kesan yang diberikan Kaizo pada teman-teman Fang? Yah, bisa lebih buruk lagi, 'kan? Lagipula, untuk apa ia peduli dengan ocehan para remaja tanggung itu? Mereka tidak tahu apa-apa.

Kaizo melangkah ke ruang kendali, tempat Fang akan menghadapnya nanti. Semoga saja anak itu tidak berlama-lama, Kaizo sedang terburu-buru.

Pesawat angkasanya sudah siap lepas landas. Koordinat dimasukkan, dan Kaizo menunggu. Resah, mungkin satu kata itu yang tepat menggambarkan perasaannya sekarang. Siapa yang tahu, Sang Kapten Pemberontak Legenda juga bisa merasa gelisah dan ... takut? Sudah lama sekali sejak kata takut bahkan terlintas di benaknya.

Suara ketukan sepatu mendekat, dan Kaizo melirik sedikit ke belakang.

"Duduklah," kata Kaizo sebelum Fang sempat membuka suara. "Pasang sabuk pengaman. Kita akan langsung berangkat."

Fang membuka mulut, tampaknya hendak bertanya. Namun pilihannya berakhir dengan hanya diam dan menurut.

Fang mengambil kursi co-pilot tanpa disuruh. Kaizo sudah dengar tentang ujian kelulusan izin menerbangkan pesawat angkasa yang dilewati Fang dengan nilai hampir sempurna. Lahap memberinya hadiah helm konyol, atas nama Kaizo, meski ia sama sekali tidka tahu-menahu tentang ujian itu sampai kira-kira dua minggu lalu, mungkin?

"Aku sudah masukkan koordinatnya," kata Kaizo. "Jalankan."

"Siap, kapten!"

Kaizo menghibur diri dengan mengawasi super ketat setiap gerakan Fang, memberi kritik di sana-sini. Ia butuh pengalihan pikiran, oke? Mereka belum terbang lebih dari lima menit, tapi Fang tampak sudah hampir pingsan karena tegang. Apa hanya segini kemampuannya?

"Kita akan ke Planet Aalto," kata Kaizo. Ia bersandar di punggung kursinya dan memejamkan mata. "Kau tahu?"

"Y-ya, Kapten," sahut Fang. "Aku pernah mendengar namanya, tapi belum pernah ke sana."

"Hm."

Kaizo memutar kembali semua informasi di kepalanya. Bertahun-tahun mengarungi semesta, berpindah dari satu planet ke planet lain, mengorek setiap kepingan —bahkan remah sekalipun— informasi. Segalanya hanya untuk saat ini. Penantian ini ... apakah akan sepadan?

"Maaf, kapten." Suara Fang menyusup samar di tengah ribut-ribut pertengkaran batinnya, dan Kaizo membuka mata. "Bolehkah ... aku bertanya, misi apa yang akan kita jalani di Planet Aalto nanti?"

Kaizo menatap Fang, yang seketika kehilangan keberanian dan memalingkan pandangannya.

"Ma-maaf. Aku tidak akan bertanya lagi."

"Tidak ada misi." Kaizo menegakkan punggungnya dan menatap lurus ke depan. Mereka bergerak cepat, dan lintasan bintang di luar hanya berupa garis samar bercahaya. "Kita akan bertemu seseorang."

"Oh, oke."

Fang tidak lagi bertanya, meski Kaizo hampir bisa mendengar benaknya berdebat dengan berbagai macam asumsi. Siapa yang akan mereka temui? Kenapa begitu mendadak? Kenapa Kaizo hanya mengajak fang seorang?

"Kita akan bertemu ibu."

Fang terkejut sekali sampai tangannya tak sengaja menggeser tuas di panel kendali. Seluruh lampu padam, dan alarm darurat menjerit dengan suara memekakkan. Guncangan keras membuat Fang terjungkal dari kursi, dan Kaizo dengan segera mengambil alih kendali. Perisai pesawat kembali dinyalakan tepat waktu, sebelum sebuah meteor seukuran Bulan menghantam dan membunuh mereka berdua.

Lampu kembali menyala, dan alarm berhenti berbunyi. Kaizo berdiri menjulang di depan Fang, murka.

"Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?" Suaranya lambat dan tenang, tapi Fang bergetar ketakutan seolah disambit pisau.

"Maaf—maafkan aku ..." cicitnya.

"Aku akan meminta Komandan Koko Ci untuk mencabut surat izinmu," tukas Kaizo. "Kau tidak pantas mengemudikan pesawat angkasa. Kau akan membunuh semua krumu kalau dibiarkan."

"Aku ... aku tidak—"

"Duduk," perintah Kaizo. "Jangan bicara, jangan lakukan apa-apa sampai kita tiba di tujuan. Aku bahkan tidak mau mendengarmu bernapas."

Fang mengangguk kaku dan bergerak kembali ke kursinya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, padahal Kaizo berharap diberikan alasan untuk melampiaskan emosinya. Sayang sekali.

.

.

.

Planet Aalto adalah sebuah planet yang indah. Ukurannya jauh lebih kecil dari Bumi, hanya dua-pertiga ukuran Bulan. Dilihat dari luar angkasa, planet ini berwana biru gelap dengan gradasi warna hijau, karena seluurh permukaan planet diisi oleh air. Tidak ada daratan, hanya lautan biru yang terbentang tanpa batas.

Masyarakatnya dikenal dengan sebutan 'Aaltonian', dan mereka adalah para pecinta damai. Tidak pernah ikut berperang, tidak pernah peduli dengan konflik luar. Planet Aalto terkenal sebagai wilayah 'netral'. Tidak ada yang boleh menciptakan konflik secara terbuka di sana. Karena itulah, planet ini banyak dijadikan tempat beristirahat, tempat 'berlibur' bagi para pejuang yang sibuk dengan perang tanpa henti di luar angkasa.

Para Aaltonian tinggal di gedung-gedung bergaya kuno yang dibangun di atas air. Transportasi utama adalah kapal, kecil maupun besar, selalu berlayar hilir-mudik mengantar para penduduk lokal maupun asing.

Kaizo masih belum membuka percakapan lagi dengan Fang sejak insiden di pesawat angkasa. Mereka kini duduk bersisian di kapal bersama beberapa penumpang lain, berlayar mengarungi samudera Aalto.

Fang tidak bertanya apa-apa tentang tujuan mereka. Padahal Kaizo sudah mengira akan mendapat banyak pertanyaan. Namun Fang sepertinya sudah banyak belajar.

Jangan bicara sebelum diizinkan. Diam adalah emas. Simpan semua omong kosongmu sendiri jika tidak ingin tersangkut masalah.

"Kita sudah sampai."

Perahu berlabuh di dermaga, dan Kaizo berdiri lebih dulu. Fang menyusulnya tanpa berkata-kata, dan mereka berjalan berdampingan di tengah hiruk-pikuk kota.

Begitu banyak makhluk asing, saling berkomunikasi dengan berbagai bahasa. Kaizo berhenti beberapa kali untuk bertanya, menggunakan bahasa berbeda pada setiap alien asing yang ditemuinya. Fang terus mengekor, sekalipun tidak membuka suara. Dan akhirnya, kaki-kaki mereka berhenti di tempat tujuan.

Kaizo mendongak, menatap bangunan yang menjulang tinggi di depan mereka. Pilar-pilar kokoh menopang bagian depan yang terbuka. Dindingnya dicat putih, tapi warna biru air dan langit toska dipantulkan dalam gradasi indah di sana. Kaizo berjalan lebih dulu, berusaha untuk tidak goyah.

"Tunggu, Kapten."

Kaizo menoleh, dan menyadari Fang masih bergeming di tempatnya. "Ada apa?"

Fang mendongak, dan Kaizo melihat keresahan yang sama seperti yang berkecamuk di hatinya tergambar di wajah sang kadet.

"Benarkah ... kita akan bertemu ibu?"

"Ya," sahut Kaizo lugas. "Cepatlah. Kita tidak punya banyak waktu."

Kaizo menunggu, tapi Fang tidak bergerak.

"Ibu ... masih hidup?"

"... Ya."

Kedua pasang mata mereka saling bersirobok, sebelum Fang menundukkan kepala. Kedua tangannya terkepal, gemetar.

"Kenapa ... Kapten tidak pernah bilang apa-apa padaku?"

"Karena tidak ada yang perlu kukatakan sampai saat ini," kata Kaizo. "Cepatlah," ia kemudian berdecak tak sabar. "Simpan pertanyaanmu untuk nanti."

Kaizo menaiki undakan, dan mendengar Fang mengikuti langkahnya di belakang. Mereka masuk melalui pintu yang dilengkapi sensor senjata. Setelah melalui beberapa pemeriksaan, keduanya diizinkan masuk. Kaizo berjalan ke meja bundar besar di tengah ruangan yang ramai dipenuhi orang, dan menghampiri penjaga yang sedang kosong.

"Ruangan 21109," ujarnya. "Janji temu dibuat atas nama Kaizo."

"Tolong tunggu sebentar."

Kaizo mengangguk kecil. Ia menghindari tatapan Fang yang kini terus tertuju ke arahnya. Kaizo tidak ingin menjawab pertanyaan omong kosong apapun sekarang. Ia bahkan sudah hampir kesulitan menahan kakinya untuk tetap berdiri tegak.

"Silakan pakai ini." Dua kartu pengenal diulurkan, dan Kaizo menyerahkan salah satunya pada Fang. "Silakan naik ke lantai 211. Nikmati kunjungan anda."

Kaizo mengedik ke arah Fang, dan mereka berjalan cepat tanpa suara. Elevator yang mereka naiki terbuat dari air, entah bagaimana. Ikan kecil berwarna-warni berenang di lantai dan dinding selagi mereka bergerak naik.

Kaizo merasa akan muntah. Ia tidak pernah setegang ini sejak mengikuti ujian kadet di Tempur-A. Kaizo hampir berubah pikiran dan berbalik pergi. Ia akan memaksa Fang melupakan semua ini pernah terjadi. Ia akan memaksa dirinya sendiri melupakan ini. Karena ... ini tidak mungkin terjadi.

Elevator berhenti, dan ikan-ikan kuning cerah berenang menepi selagi pintu terbuka. Kaizo bergeming, hampir-hampir tidak bisa memaksa kakinya melangkah.

"Kapten?"

Kaizo tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang, tapi Fang menatapnya dengan begitu aneh. Ia menarik napas dan melangkah keluar dengan punggung tegap. Ia Kapten Kaizo, Sang Pemberontak Legenda. Tidak ada teror yang belum pernah dilaluinya. Rasa takut sudah lama menyerah berusaha menguasainya. Ia tidak mengenal gentar, maupun takut. Tidak akan pernah.

Mereka berhenti di depan ruangan dengan angka 09. Kaizo tidak yakin apa ia harus mengetuk. Ia menoleh pada Fang, hanya untuk mendapat sedikit pegangan. Menggelikan. Setelah bertahun-tahun ... apakah ikatan itu bahkan masih ada?

Kaizo terlalu lama ragu, dan Fang tampaknya lebih dulu kehabisan kesabaran kali ini. Tangannya bergerak mendorong pintu hingga terbuka, dan mereka sama-sama membeku.

Dari bawah, langit Aalto tidak begitu mengesankan dibandingkan samudera tanpa batasnya. Namun di ketinggian ini, Kaizo bisa lebih mengapresiasi keindahannya. Hampir seluruh dinding dilapisi kaca, yang memberi pemandangan menakjubkan langit dengan berbagai gradasi warna. Hijau toska dan biru yang paling mendominasi, tapi setitik merah muda dan oranye bisa dilihat di cakrawala.

Namun, bukan itu yang menjadi fokus Kaizo maupun Fang. Melainkan sosok wanita yang duduk sendirian, bersandar di bantal berlapis air yang sesekali beriak dalam gerakan napasnya. Wanita itu menoleh, dan wajahnya terperangah.

"Kaizo."

Kaizo hampir berlari pergi. Sekuat apapun ia meyakinkan diri sudah siap menghadapi momen ini, tetap saja, Kaizo ternyata tidak pernah siap.

"Ibu!"

Fang berlari, dan Kaizo terlambat untuk mencegah. Tidak, tidak. Ia belum memastikan apakah wanita itu benar-benar orang yang mereka cari, kenapa Fang ...

"Fang."

Wanita yang dipanggilnya 'ibu' mendekap Fang erat sekali, mencium rambut dan wajahnya berkali-kali dengan penuh sayang.

Fang menangis keras sekali. Kaizo tidak pernah lagi melihatnya menangis seperti itu, tidak sejak tamparan yang membungkam Fang kecil yang begitu ketakutan. Kaizo kembali melihat sosok kecil adiknya, yang dulu selalu merengek ingin bertemu ibu.

"Pang mau ibu! Pang mau ibu!"

Sekarang, Fang mendapatkan kembali ibunya. Dan Kaizo ... akhirnya tak perlu lagi memegang janjinya.

.

.

.

"Kau sudah besar sekali."

Kaizo berjengit saat tangan kurus itu mengusap rambutnya. Ia menolak memandang wajah tirus wanita di depannya. Kaizo ingat ibunya dulu memiliki rambut panjang yang selalu digelung cantik, dengan senyum manis, dan tatapan mata yang lembut. Namun yang ada di hadapannya hanya seorang wanita ringkih dengan rambut yang dipotong pendek dan kasar. Matanya tidak tampak hidup, dan senyumnya bahkan terlihat menakutkan di bibir yang pecah-pecah dan pucat.

"Anak-anak ibu sudah dewasa rupanya."

Namun, suaranya masih sama. Kaizo memaksa kepalanya mendongak, dan melihat tatapan lembut yang masih belum berubah.

Tidak. Kaizo tidak boleh goyah. Ia tidak boleh meruntuhkan pertahanannya, terutama kewaspadaannya. Wanita itu belum tentu adalah ibunya. Kaizo menghabiskan bertahun-tahun meyakinkan diri bahwa ibunya sudah mati. Ia tidak punya keluarga lagi.

"Lihatlah dirimu." Jari-jari kurus itu bergetar saat membelai sisi wajah Kaizo, mengusap bekas luka kecil di sana. "Kau sudah mengalami banyak hal, anak ibu yang pemberani."

Kaizo hampir bisa mendengar sesuatu dalam dirinya retak. Ia bangkit, menepis kasar tangan di wajahnya. Matanya beralih menatap Fang.

"Fang, kita pergi."

"Apa?" Fang terperangah. "Tapi kita baru saja sampai. Dan ibu—"

"Kita akan kembali lagi nanti," tukas Kaizo tak sabar. "Ayo."

"Pergilah, dengarkan abangmu." Wanita itu mengecup kening Fang penuh sayang. "Ibu tidak akan ke mana-mana."

Fang tampak tidak rela untuk pergi, tapi ia tetap menurut. Fang menggumamkan janji tanpa arti untuk kembali secepatnya, lalu bergegas mengikuti langkah Kaizo keluar. Namun, sebelum mereka mencapai pintu, sebuah suara menahan.

"Kaizo." Kaizo menoleh dengan terpaksa. Matanya bersitatap dengan wanita itu, yang mengulas senyum kecil. "Terima kasih karena sudah memegang janjimu."

Kaizo tidak mengatakan apapun dan segera berlalu pergi. Langkahnya gusar, dan ia benci dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya.

"Kita akan kembali ke TAPOPS," kata Kaizo. "Jangan katakan pada siapapun mengenai hal ini. Kau mengerti?"

Fang mengangguk. "Kapan kita akan kembali kemari?"

"Kita tidak akan kembali."

Kaizo masuk ke dalam elevator, tapi Fang tidak mengikutinya. Ia mengernyit, dan kembali melangkah ke luar.

"Apa yang kau lakukan? Ayo, cepat. Jangan sampai ada yang curiga kalau kita pergi terlalu lama."

"Aku tidak mau pergi," kata Fang. Dagunya terangkat, dengan mata tertuju lurus pada Kaizo tanpa gentar. "Aku akan tetap di sini."

"Kau mau membantahku?" Kaizo mendelik tajam. "Kau tahu apa akibatnya kalau membantah? Kau sudah lupa siapa aku?!"

"Aku tidak mau pergi!" Fang tetap bersikeras. "Aku akan tetap di sini bersama ibu!"

Kaizo hampir lupa pedangnya ditahan oleh penjaga keamanan di bawah. Ia bahkan tidak bisa menggunakan kuasa energinya. Semua kuasa yang berpotensi merusak akan tersegel di sini.

"Prebet Pang." Kaizo berucap penuh penekanan. "Dengarkan perintahku. Ikut denganku, sekarang!"

"TIDAK!"

"BERANINYA KAU BERTERIAK PADAKU!" Kaizo meraung murka.

Tangannya terangkat sebelum ia sempat menahan diri, dan Fang tersungkur, setengah kepalanya terbenam dalam dinding air. Beruntung sekali, jika saja menghantam dinding beton, kepalanya mungkin sudah hancur sekarang.

Alarm berbunyi nyaring, dan dalam sekejap Kaizo dikepung oleh petugas keamanan. Ia menyadari kesalahannya sedikit terlambat, tapi tak bisa melawan saat kedua tangannya diborgol dan ia diseret pergi. Kaizo sempat menoleh, melihat Fang dibantu bangkit dengan terhuyung-huyung. Matanya kemudian menangkap sosok wanita yang keluar dari kamar setelah mendengar keributan di luar. Sorot terkejut dan kecewa yang dilihatnya membuat Kaizo tidak tahan menatap berlama-lama, dan segera berpaling.

"Terima kasih karena sudah memegang janjimu."

Sekarang ibunya tahu. Kaizo tidak pernah menepati janjinya.

.

.

.

Kaizo tidak percaya ia diperlakukan seperti anak nakal yang berbuat onar di sekolah. Mereka menghubungi TAPOPS untuk melaporkan ulahnya, dan ia dipaksa menandatangani surat untuk tak pernah menginjakkan kaki di Aalto lagi. Yang benar saja! Hanya satu tamparan kecil, dan ia didepak keluar dengan begitu memalukan.

Para penjaga keamanan tidak mengindahkan protesnya. Kaizo tidak punya pilihan selain menuruti keinginan mereka, atau namanya akan tercoreng selamanya di seluruh semesta.

Kaizo menuntut untuk diizinkan pulang bersama Fang, tapi mereka melarangnya mendekati Fang sebelum ia meninggalkan planet ini. Sungguh konyol. Ia berhak atas anak buahnya sendiri, apa hak mereka untuk melarang?

Kaizo cukup tahu diri untuk tidak membuat keributan lebih lanjut. Ia menandatangani surat sesuai permintaan, dan bersiap-siap untuk pulang. Sepasukan penjaga akan mengawalnya sampai ke kapal angkasa, dan Kaizo merasa tidak bisa dipermalukan lebih jauh lagi.

Namun, sebuah kunjungan mendadak dikabarkan sebelum kepulangannya. Kaizo begitu yakin Fang yang datang menemuinya. Anak itu akan minta maaf dan memohon agar Kaizo membawanya ikut pulang bersama. Pikiran itu tidak menyiapkan Kaizo untuk skenario terburuk yang bahkan tidka terbersit di benak, yang kemudian justru sudah berdiri di hadapannya.

Wanita itu. Ibunya.

"Bisakah kami ditinggalkan berdua? Dia putraku, aku tahu cara menghadapinya."

Putraku. Satu kata itu menyalakan ribuan alarm peringatan di benak Kaizo. Ia duduk bergeming di kursinya, punggung tegak karena tegang.

"Kaizo," suara lembut memanggil namanya selagi kursi ditarik untuk duduk. "Putra ibu tersayang, Kaizo."

Hentikan, hentikan, hentikan!

Lidah Kaizo kelu. Ia tidak bisa berucap sepatah kata pun, meski matanya tidak bisa berpaling dari sosok sang ibu.

"Benar, 'kan, kau Kaizo, putraku?"

"Aku Kaizo," Kaizo berhasil memaksa suaranya keluar. Tanpa gentar, bagus sekali. "Kapten Kaizo, Pemberontak Legenda."

"Oh, benar. ibu memang pernah mendengar julukan itu. Terdengar ganjil, karena seingat ibu, kau bukan seorang pemberontak."

"Aku bukan anak penurut," balas Kaizo. "Tidak lagi."

"Benar," ibu Kaizo tersenyum sedih. Guratan luka masih membayang di kulit wajahnya. Kaizo tidak ingin membayangkan apa saja yang sudah dialami wanita itu selama bertahun-tahun. "Tapi kau tetap Kaizoku. Bukan kapten. Bukan—"

"Aku bukan Kaizomu!" bentak Kaizo. "Berhenti menganggapku sebagai barang kepunyaanmu!"

"Baiklah, maaf. Ibu tidak bermaksud memaksakan kepemilikan—"

"Kumohon," Kaizo memejamkan mata. Kepalanya berdentum-dentum karena amarah tak terkendali. "Bawa Fang kemari. Aku akan membawanya pulang bersamaku."

"Fang masih ketakutan. Kau hampir membunuhnya tadi."

"Aku hanya memberinya peringatan," tukas Kaizo. "Dia tidak seharusnya membantah kaptennya."

"Kau abangnya," ibu Kaizo berujar dengan nada memperingatkan. "Dia adikmu, keluargamu. Ibu memintamu menjaganya sebagai keluarga. Kau satu-satunya yang Fang punya selama ini."

"Memang benar. Aku yang menjaganya, aku yang membesarkannya, seorang diri. Aku melatihnya agar dia kuat, tidak cengeng. Dia tidak pernah menangis lagi sejak berumur 4 tahun. Aku membuatnya kuat, aku mengorbankan segalanya untuk menjaganya tetap hidup. Dia berutang seluruh hidupnya padaku!"

Sebuah tamparan keras melayang telak ke wajahnya. Kaizo membelalak, berusaha mencerna yang baru saja terjadi. Pipinya panas, dan cairan merah lengket mengotori tangan Kaizo yang menyentuhnya. Bekas luka lamanya pasti robek. Siapa sangka, wanita yang kelihatan ringkih ini bisa memukulnya sampai berdarah?

"Fang tidak pernah berutang apa-apa padamu." Suara ibunya bergetar. Untuk pertama kalinya, Kaizo melihat wanita yang dulu begitu dikasihinya ini tampak begitu murka. "Ayahmu, dan bahkan ibu, berkorban nyawa agar kau dan Fang bisa tetap hidup. Kalian tidak berutang apapun pada kami. Pengorbanan itu pantas dilakukan untuk orang terkasih, dan sangat tidak layak jika dihitung sebagai utang yang harus dibayar! Di mana akal sehatmu? Di mana hati nuranimu? Apa kau tidak menganggap Fang sebagai keluargamu lagi?"

"... Tidak," Kaizo menyahut, suaranya tanpa emosi. Darah mengalir ke dagunya, menetes ke lantai air di bawah kaki mereka. "Dia seorang kadet, dia bawahanku. Aku bertanggung jawab atas hidupnya, tapi dia juga harus membayar dengan harga yang sepadan. Tidak boleh ada ikatan emosi di antara kami. Aku, dan juga Fang, adalah seorang prajurit. Ini hidup yang kami pilih. Yang ibu dan ayah paksakan untuk kami pilih."

Wajah ibunya tampak seolah Kaizo baru menghujam jantungnya dengan pedang. Mungkin akan lebih baik begitu. Ini keputusan buruk sejak awal. Kaizo seharusnya tidak pernah membawa Fang ke tempat ini.

"Ibu tidak tahu apa-apa tentang aku, atau Fang." Kaizo berusaha, tapi gagal, mencegah suaranya pecah. "Ibu tidak tahu apa yang sudah kulalui selama ini. Berhenti mendikteku. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bukan Kaizo putra ibu lagi."

Kaizo beranjak. Kedua tangannya masih terjerat borgol air, dengan ikan-ikan kecil berenang ceria mengelilingi pergelangannya. Ia melangkah keluar, meninggalkan ibunya yang masih terpaku.

Kaizo tidak ingat kapan terakhir kali ia menangis. Ia bersikeras, air yang jatuh membasahi pipi dan bercampur dengan darahnya adalah air yang menetes dari langit-langit gedung terkutuk ini. Planet sialan. Kaizo bersumpah untuk tidak pernah kembali.

.

.

.

fin

Author's note :

Man, this came out waaay more dramatic than I intended it to be. I couldn't stop thinking, 'this guy needs therapy', and damn he does! I finish this at 4 am. I don't even know what I'm doing anymore lol

Aku beneran bikin Kaizo punya gangguan mental parah di sini lmao /cry

miso, aku nggak tau apa kamu bakal baca ini, tapi ini janji yang akhirnya kutebus setelah bertahun-tahun! Haha.

Ini jauuuuhh dari headcanon yang pernah kita bicarain, maafkan aku kalau hasilnya mengecewakan :')

Angst-nya jadi drama picisan ala sinetron. Hahaha. Haha. Ha. /menangis di pojokan.

But well, aku berhasil memaksa diri menulis lagi! Hanya demi ultah abang tercinta! Si abang kusiksa batinnya habis-habisan di sini, tapi kurasa ini karakter Kaizo yang lebih akurat daripada versi bobroknya di Galaxy.

Seluruh fic ini sepenuhnya headcanon semata! I couldn't careless about canon lore anymore. Aku udah lama berhenti mengharapkan backstory KaiFang dari canon, karena tau cuma bakal dapat kecewa.

Aku berencana bikin lanjutan lagi, entah kapan, mungkin bentuk rebound(?) karakternya Kaizo? I did him so dirty here lmao.

Yah, terima kasih banyak buat yang sudah membaca sampai akhir! Sampai bertemu tahun depan (hopefully), dengan lebih banyak salty!Kaizo.