CONTENT WARNING:
» NSFW
» Soft smut (sedikit eksplisit)
» In bahasa (baku)

Selamat membaca!


My Bastard Boyfriend

Hinata sedang melihat-lihat berbagai macam novel fiksi ketika Naruto datang menemuinya. Pemuda itu tiba-tiba berdiri di sebelahnya sembari bersandar pada rak buku selagi ia sibuk membuka halaman acak, membacanya sebentar, sebelum akhirnya mengembalikannya lagi sebab ia ingin memilih novel fiksi lain yang lebih menarik untuk ia bawa sebagai pengisi waktu luang selama sesi istirahat siang.

Hinata menoleh sebentar, tersenyum. Tak ada yang aneh. Hal biasa yang sering Naruto lakukan yaitu datang hanya untuk menemaninya. Namun, itu sudah sekian menit berlalu. Sebelum pria itu berpindah dan merengkuhnya dari belakang. Ketika kemudian pandangan matanya secara perlahan menjadi kabur. Tak lagi bisa fokus. Sudah sampai mana bacaannya, darimana ia harus membaca kalimat selanjutnya, hingga sepasang irisnya juga makin gelisah manakala kekasihnya tersebut membawa satu tangannya merayap masuk di balik baju seragam sekolahnya.

"Naruto-kun." Hinata tercekat. "Kita sedang di perpustakaan. Banyak anak-anak."

"Aku tahu." Di belakangnya Naruto berbisik di dekat telinga. Diam-diam menyeringai sementara Hinata bahkan hampir melenguh jika tak menggigit bibir manakala ia menekan lembut dadanya seraya menambahkan, "Bukankah sudah kukatakan untuk pindah ke ruang kesehatan?"

"Ruang kesehatanhh—bukan untuk area baca."

"Hum?" Naruto bergumam selagi meletakkan dagunya di sebelah bahu. Sepasang netra birunya berseri-seri di balik seringai, menatap licik. Kontras sekali dengan rona di wajah Hinata yang memerah sempurna.

"Memangnya sekarang kamu masih bisa baca? Coba aku mau dengar satu kalimat," katanya lagi. Tapi, itu sungguh pertanyaan retoris. Jelas, sebab pada waktu yang sama, Naruto membawa satu tangannya yang lain menyelinap di bawah rok. Mengusap kulit pahanya ringan, merangkak lambat, sebelum menjentikkan jemarinya final tepat di sana. Di pangkal pahanya yang masih terbalut celana dalam berenda. Sontak saja Hinata nyaris memekik, satu tangannya yang semula memegangi buku pun ikut tergerak mencengkeram rak kayu di depannya.

"Kok tidak jawab?" Naruto kembali menggoda. "Mana sayang, aku mau dengar."

Apa? Sebenarnya apa yang Naruto ingin dengar? Dengan tangan yang memijat lembut payudaranya, jari-jemari yang menyentuh miliknya, menekan halus, mendorong pelan, hingga bergerak intens naik dan turun seolah putus asa sebab tak menemukan celah untuk memasukinya karena masih terhalang oleh celana dalam. Pemuda ini, benar-benar sengaja sekali menggodanya.

Jadi, apa yang sebenarnya Naruto ingin dengar? Kekasihnya itu jelas tak cukup bodoh untuk tahu mengapa ia memilih tetap bungkam. Karena jika ia membuka mulut sekali saja, ia tak tahu apakah masih bisa menahan desahan yang sudah mati-matian ia tahan. Mengerikannya lagi, semua orang akan bisa mendengarnya, bukan? Dan, jika itu benar-benar terjadi, habis sudah karirnya sebagai siswa teladan di sekolah. Astaga, tapi apa itu penting sekarang? Ketika ia bahkan tak bisa menolak dan justru memejamkan kedua matanya rapat, mengeratkan genggamannya pada buku serta cengkeramannya pada rak kayu, lalu meredam erangannya dalam kerongkongan.

Ini memalukan, sungguh. Sangat, malah. Tapi, Hinata tak mau menjadi naif. Bohong sekali jika ia bilang tak menyukainya. Pahanya yang menegang, juga gelenyar yang merambat turun dengan deras ke tulang belakang, dan ia makin putus asa manakala Naruto menggeser ibu jarinya untuk menggoda daging kecilnya di antara lipatan-tidak peduli ia masih terhalang oleh kain tipis yang melindungi, tapi percayalah, ia sudah mengerang dalam benak berkali-kali.

Ini terlalu berlebihan. Naruto sudah menggodanya terlalu banyak.

"Nata, kakimu, jangan terlalu rapat. Aku tak bisa bergerak."

"Mmh.."

Mendengar lenguhan itu, Naruto lantas mendengkus. Menyeringai puas. Ia bisa merasakan jemarinya perlahan menghangat. Sial. Ini candu. Ia menyukainya. Sangat. Dari kain tipis yang semula kering, kini berubah hangat, lembab, dan basah. Oh! Fuck. Naruto turut menggeram pelan. Kedua matanya terpejam, membawanya pada khayalan terkotor pada sang gadis di dalam kepala. Saat bagaimana ia lekas bergerak turun, menghirup sebanyak-banyaknya aroma sang dara yang membikin candu luar biasa. Menggodanya dengan ibu jari, mengecupinya penuh afeksi, sebelum akhirnya menidurinya dengan lidahnya sampai ia datang berkali-kali. Fuck. Fuck. Fuck.

Maka kemudian masih dari balik bahu, Naruto berbisik parau, "Aku sudah membuatmu basah, Hinata."

"Kau ini sudah gila, ya?!"

Hinata sontak mengerjap, terkesiap bukan main. Cepat-cepat ia menunduk dalam. Sekalipun tak mau berpaling. Itu jelas bukan suara Naruto. Ya Tuhan, ia terlalu larut oleh kupu-kupu di dalam perut yang nyaris membuatnya kelimpungan sampai tak sadar seseorang telah mendatanginya tepat di sebelah mereka. Tapi, apa-apaan ini? Naruto bahkan tak melakukan apapun. Tangannya masih di bawah rok, masih di balik baju, hanya mungkin tangan yang tadinya menekan dada kini bergerak turun mengusap perutnya, melingkarkan lengan, memeluknya ringan.

Kenapa? Mereka sudah tertangkap basah, bukan? Astaga, mati sudah. Rasanya ingin menghilang saja. Kenapa di saat seperti ini ia baru mau mengakui kalau pemuda itu memanglah bedebah kecil yang kurang ajar.

"Ya, aku memang sudah gila," balas Naruto dengan kurva lebar. "Salahkan gadisku yang terlalu manis ini. Dia bahkan hanya membaca buku, tapi aku selalu dibuatnya tergila-gila."

Hinata kemudian berpaling melawan arah. Yang benar saja. Mengapa malah berkata seperti itu?

Naruto yang menyadari hal tersebut lantas mengikis jarak, berbisik pelan, "Jangan khawatir, sayang. Hanya Sasuke."

Sasuke?

Tunggu.

SASUKE-KUN ?

"Sinting," sahut Sasuke. "Setidaknya kalau mesum itu tahu tempat, bodoh!"

"Berisik."

"Ngh.." Hinata tak sengaja kelepasan melenguh. Sejenak ia seolah teralihkan dari ulah tangan Naruto yang masih menggoda miliknya sebelum ibu jari di sana menarik celana dalamnya lalu memasukinya secara tiba-tiba.

Wajahnya seketika memanas. Malu sekali rasanya. Namun, sebelum ia bisa melihat bagaimana reaksi Sasuke di sampingnya, pemuda itu telah lebih cepat berbalik membelakanginya seraya mengumpat, "Brengsek!"

"Kenapa, iri ya?"

"Fuck." Sasuke tak habis pikir. "Hentikan, Naruto. Aku sedang membantumu kalau kau tidak tahu. Petugas jaga atau siapapun itu bisa saja menemukanmu, bodoh!"

"Membantuku? Bagus, tetaplah di sana, itu sangat membantu. Hinata sudah dekat."

"Bajingan."

Naruto benar, Hinata sudah dekat. Dekat sekali. Tidak bisa, ia tidak bisa menahannya lagi. Buku yang sedari tadi masih terbuka di halaman yang sama, kini seakan tak berdaya tatkala Hinata menjatuhkan sepenuhnya genggaman tangannya pada buku tersebut demi bersandar pada rak dan bertumpu pada barisan buku fiksi lainnya. Naruto menyentaknya dengan ibu jari saat tahu ia akan datang. Menggoda klitorisnya, memainkannya sementara jarinya yang lain keluar masuk lebih cepat.

Pendingin ruangan jelas masih menyala, tapi ia seolah bisa merasakan keringat tipis berpeluh di pelipisnya. Kakinya gemetar, napasnya menderu tak beraturan. Ini seratus kali lipat membuatnya malu, tapi ia sungguh tak sanggup menahannya lagi.

"Mmh.. Naruto-kun, aku—"

"Kau dengar itu, Sasuke?"

Sasuke menggertakkan gigi. Bahkan tanpa melihat pun ia tahu Naruto sedang menyeringai. Bangsat, memang. Ia memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan Hinata yang tiba-tiba muncul secara senonoh di dalam kepalanya. Sialan. Ia bisa gila juga jika seperti ini. Hingga persis satu detik setelah ia mengumpat sekali lagi, Sasuke tersentak oleh suara dari sebuah buku yang terjatuh tepat di balik punggungnya. Hinata sudah datang, ia tahu itu.

Segera setelah Naruto mendapatkan kehangatannya, pemuda itu lekas memutar tubuh sang gadis dan membawa ke dalam pelukannya. Membiarkannya bersandar, takut gadisnya tersebut jatuh sebab tak mampu menyangga tubuh sendiri karena ulahnya. Ia tersenyum lembut, mengusap surai gadisnya dengan sayang. Kemudian mendengarnya masih mengatur napas, ia mendengus kecil saat Hinata tiba-tiba berkata lirih, "Ini sangat memalukan."

"Jelas." Sasuke menyahut cepat. "Aku akan mewakilimu untuk menghajarnya nanti."

"Memangnya berani?" tantang Naruto.

Sasuke yang tampak makin geram pun lekas berbalik. "Kau mau kuhajar di sini?"

Naruto kemudian malah tertawa lebar. Presensinya yang tiba-tiba membikin gaduh pun terang saja mengundang atensi dari banyak pasang mata. Dasar bedebah satu itu, apa ia tidak ingat kalau mereka sedang berada di perpustakaan sekolah?


"Harusnya dulu kau tidak menolakku, Hinata." Sasuke akhirnya membuka suara selagi pemuda itu mendaratkan diri setelah mendapatkan nampan makan siangnya.

"Sekarang kau menyesal 'kan karena lebih memilih si bodoh itu? Aku tahu," katanya lagi.

"Enak saja!" tukas Naruto sewot. Sambil melongokkan kepala demi melihat Sasuke—sebab terhalang oleh Hinata di sebelah—supaya ia bisa memelototinya.

Tapi Sasuke tak mau peduli, ia malah melanjutkan, "Aku bisa mencari tempat lebih baik daripada perpustakaan. Mana masih jam sekolah. Kalau itu memang gila, sih."

"Brengsek." Naruto tergelak. "Kukira kau akan bilang bisa menjaganya dengan lebih baik, ternyata sama saja."

"Jangan samakan aku denganmu. Setidaknya aku tidak akan membuatnya malu. Tidak ceroboh sepertimu."

"Aku tidak membuatnya malu. Tadi itu juga tidak memalukan kok."

"Kalau itu kau sih, benar. Karena kau memang tidak punya malu. Tapi, Hinata? Lagian kau tidak ingat—"

"Tidak." Naruto sengaja menukas cepat, tak mau kalah.

"Aku belum sele—"

BRAK!

Hinata yang sedari tadi hanya di antara mereka dan berusaha melahap makan siangnya dalam diam di pun merasa geram. Merasa gemas sendiri sebelum akhirnya mengepalkan sebelah tangannya, lalu memukul meja begitu saja.

"Kalian berdua bisa diam, tidak?!"

Naruto dan Sasuke pun seketika bungkam. Karena masih tak ada yang mau menjawab, Hinata kemudian berkata mengancam sambil beranjak berdiri, "Kalau tidak bisa, biar aku saja yang pergi—"

"Bisa, sayang, bisa," jawab Naruto buru-buru seraya menarik tangan kanan Hinata supaya kembali duduk.

"Iya, bisa." Sasuke pun melakukan hal yang sama, cepat-cepat menarik tangan kiri Hinata agar gadis itu kembali duduk.

"Hinata," panggil Naruto.

"Apa lagi?" Ia bahkan baru saja duduk. Katanya tadi bisa diam?

"I love you."

"Iya."

"I love you."

"Iyaaa."

"I love you, Hinata."

Hinata baru akan memalingkan wajah, namun Sasuke telah lebih dulu menyahut jengkel.

"Berisik," decaknya sebal.

"Kali ini aku setuju dengan Sasuke-kun. Tapi baiklah, I love you, Naruto-kun."

Naruto kemudian tersenyum manis sekali, sebelum dalam seper sekon yang kelewat cepat, pemuda itu tiba-tiba mengikis jarak dan mencuri ciuman singkat di bibirnya.

"Hehe."

Sementara Naruto mengulas senyum kemenangan, Sasuke lantas beranjak bangun dengan membawa nampan makan siangnya seraya berkata menyesal, "Tahu begitu aku tidak ikut kalian makan siang. Sialan." ]

.

.

.

Fin. :)