Disclaimer: Haikyuu ©Furudate Haruichi

Ditulis di malam 31 Oktober. Selamat membaca.

.

.

.

Larilah engkau lari.

Jangan berhenti, atau mati.

.

.

In Utero

.

.

"O~ Sa~ Mu~"

Derap langkahku bergema di sepanjang lorong. Putih, semua putih. Tak ada apa pun sejauh mata memandang, hanya lorong panjang yang tak kunjung kutemui ujungnya. Entah sudah berapa lama berlari, kakiku mati rasa, berat bagai digelayuti beban beratus-ratus kilogram, sementara keparat itu terus mengejarku seraya mengayun-ayunkan sebilah pisau. Tenaga menipis karena kelelahan, pandangan buram seperti dirayapi ratusan semut hitam. Sontak aku menggeleng cepat, menguat-nguatkan diri. Aku tidak boleh pingsan, atau aku akan tertangkap terbunuh dan mati.

Di depan sana, tampak sebuah pintu kecil. Keberadaannya nyaris tak terlihat karena sama putihnya dengan dinding. Lekas-lekas aku menghampirinya sebab pintu itu harapan terakhirku. Kubuka pintu, ada sebuah ceruk sempit di baliknya. Aku masuk, meringkuk di dalam, lantas kututup pintu rapat-rapat. Berharap pengejarku tidak menemukanku. Aku bersembunyi sembari berusaha meredakan degup jantungku yang rusuh seperti genderang perang. Dug, dug, dug. Sekujur tubuhku turut berdentum-dentum, gemetar hebat dan dibanjiri keringat dingin. Kututup mulut dan hidung dengan tangan karena napasku keras dan tersengal-sengal. Rasanya menyakitkan, pengap di dada, tetapi segala jenis suara harus diminimalisir.

"Samu~ di mana kau? Kemarilah, aku tidak akan menyakitimu~"

Dengar itu? Ia berbicara demikian, sementara tangannya masih menggenggam erat sebilah pisau seakan bernafsu ingin segera menusukkannya ke benda terdekat. Aku merapatkan tubuh, bersumpah akan menjadi patung sampai keparat itu pergi.

Tolong, pergilah.

Satu jam kemudian, suaranya tak lagi terdengar. Barangkali ia sudah pergi. Keheningan yang ganjil menggantung di udara. Karena ceruk tempatku bersembunyi semakin minim oksigen, aku tak mampu lagi menahan pengap di dada. Perlahan-lahan, aku membuka pintu.

Dan maniak itu tersenyum lebar tepat di depan wajahku.

Aku yang terperanjat berusaha menutup pintu, tetapi ia lebih gesit. Disentaknya pintu itu hingga terbuka lebar-lebar, lalu ia melompat masuk dan menutup pintu. Aku terjepit di sudut dinding, tubuhnya mengurung tubuhku.

"Gotcha, Samu~"

Tubuhku dingin. Berakhirlah sudah.

"Samu, mau kuberitahu pedoman hidup paling ampuh?" Tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan, "Hidup ini adalah kompetisi. Yang kuat akan bertahan, yang lemah akan takluk dan mati!"

"Omong kosong!" Aku mencoba melawan, menahan pergelangan tangannya. Suaraku gemetar sebab aku tahu betul, sekeras apa pun mencoba, aku tidak akan menang melawannya. "Tidak cukupkah semua yang kau punya?! Semua milikku mau kau rebut juga?"

Ketidakadilan adalah saat aku berbagi darah dan daging yang sama dengannya, tetapi aku bertangan kosong dan ia punya pisau yang sangat berguna sebagai alat untuk bertahan hidup.

—atau mungkin untuk menyerangmu.

"Kau tidak punya keinginan untuk berjuang, Samu. Tidak punya hasrat untuk hidup. Kau tidak pantas diberi kehidupan! Kenapa tidak mati saja!"

Kutarik ucapanku kembali. Aku tidak berbagi darah dan daging yang sama dengannya. Manusia satu ini tak lain adalah jelmaan Iblis! "Siapakah kau ini untuk menentukan apakah aku pantas hidup atau ti—ergghhh—"

Aku merintih-rintih kesakitan saat bilah logam dingin menembus perutku. Saudara kembarku mengiris-iris riang gembira bagaikan anak kecil menggoreskan krayon di atas kertas. Merah basah membuncah, bau anyir tajam mengalir. Perutku tercacah, bersimbah darah, sementara senyumnya kian merekah.

"—sakit, Tsumu… sakit…"

"Ini namanya seni bertahan hidup, Samu."

.

.

"Salah satu janin Ibu meninggal. Sampai yang bertahan memungkinkan untuk dilahirkan, kami akan melakukan pemantauan berkala terhadap kondisi Ibu dan janin supaya tidak terjadi komplikasi yang membahayakan."

.

.

Merah, semuanya merah. Ruangan serba putih telah dipenuhi corak merah cipratan darah—darah dari tubuhku yang kini pucat dan layu. Di atasku duduk tegak laki-laki yang wajahnya sama persis denganku. Matanya berkilat tajam menatapku tergolek tak berdaya. Lantas ia membungkuk dan mendekatkan wajahnya pada leherku. Aku bergidik merasakan embusan napasnya menggelitik kulit, lantas ia berbisik tepat di telingaku, "Yang kuat yang akan menang. Selamat tinggal, Samu."

Lalu, aku mati. Tak bisa bergerak, tak bisa bicara, tak bisa merasakan apa-apa. Tapi aku tahu, saudara kembarku masih berada di sisiku sampai berhari-hari dan berminggu-minggu kemudian.

.

.

Delapan minggu lamanya si jabang bayi bertahan sambil merengkuh jasad kembarannya yang gugur di dalam rahim Ibu.

Hari itu, tepat tengah malam, si bayi lahir dengan selamat. Setelah melalui serangkaian prosedur, kini si bayi berdua saja dengan Ibunya, menyusu untuk kali pertama. Sang Ibu sejenak memejamkan mata karena kelelahan, bibirnya menyenandungkan tembang lirih yang bergema di lorong-lorong sepi. Hatinya lega karena persalinannya berjalan lancar dan anak pertamanya terlahir sehat.

Ketika membuka mata kembali, wanita itu terperanjat. Sebab makhluk kecil dalam pelukannya kini tersenyum lebar. Bukan senyum menggemaskan seorang bayi, melainkan senyum ganjil sesosok makhluk yang sama sekali tak ia kenal. Kelopak matanya terbuka lebar, ada sepasang kelereng hitam berkilat tajam di baliknya. Sayup-sayup, terdengar bisikan di telinga, parau dan nakal.

"Ibu, akulah yang membunuh saudara kembarku."

.

.

END

.

.