"Kak Taufan napa sih?! Kesambet apa gimana?"

Gempa menatap adik kembarnya, Blaze, dengan pandangan lelah. Kalau dia tahu jawabannya, sudah pasti dia kasih tahu. Lah, tahu aja nggak, mau jawab apa coba?

"OH! JANGAN JANGAN KESURUPAN KAK LILIN—"

GUBRAK!

PRANG!

KRAK!

GROMPYANG!

NGOK NGOK!

MIAWW!

Jangan ditanya kondisi Blaze.

"Adek bangsat."

Dalam hati Halilintar berdoa memohon ampun kepada Allah SWT karena sudah menimbun dosa akibat memaki, tapi tangannya udah gatel duluan pengen nabok. Heran juga dia, dikit dikit kena sasaran adik adiknya yang bandel ini. Padahal diem doang lho.

Keempat anak kembar lainnya memandang Blaze dengan tatapan yang berbeda-beda, namun ada satu kesamaan. Tatapan prihatin. Solar selaku adik bungsu yang paling tampan dan kece—ekhem, ini pikiran dia ya—memandang heran salah satu kakaknya yang gak pernah kapok menjahili sang kakak sulung, meskipun respon si kakak tertua semuanya brutal brutal.

"Nyari mati mulu heran." —Solar 2022, menggeleng-gelengkan kepalanya menyedihkan.

Omong omong soal jahil, Solar jadi keingat lagi sama kakak keduanya, Taufan. Sosok nomer pertama yang suka menjadikan Halilintar target permanen dan sering mendapat respon penuh kasih sayang—ditabok—Halilintar. Juga menjadi sosok yang bikin mereka overthinking.

Ya gimana gak heran? Sosok Taufan yang biasanya jahil, ceria, suka cari ribut dan masalah ke saudara-saudaranya dan teman temannya, apalagi Halilintar, sekarang jadi sosok yang ... uh ... pendiem abis. Dingin banget. Thorn aja sampe nangis karena takut lihat kakaknya pagi tadi.

Kasian Thorn. Sini puk puk.

Pokoknya menurut Thorn, kakak kesayangannya itu jadi dingin banget, lebih dingin daripada Kak Halilintar malah. Air aja kalo ditatap mungkin bisa langsung membeku.

Air beneran ya, bukan salah satu saudara mereka si Ice. Lagian suka heran, ortunya ngidam apa deh sampai namain mereka dengan nama elemental, duh.

Mereka semua akhirnya mencoba mengingat kesalahan-kesalahan yang mungkin tanpa sengaja mereka lakukan sampai Taufan jadi begini.

.

.

.

AADT (Ada Apa Dengan Taufan?!)

Disclaimer: Boboiboy sepenuhnya milik Monsta. Saya hanya meminjam karakter mereka untuk menulis panpik gaje ini, lup lup Monsta muach. /g.

Genre: Family and Humor.

Warning: Bahasa semi baku. Terdapat beberapa kata makian yang tidak pantas untuk anak kecil. Typo, dan humor gatot! Alias gagal total!

(Jangan kebanyakan berharap sama author gagal ini, dijatuhin itu sakit. Tapi saya yakin kalian kebal, buktinya aja doi kalian gak tahu kalian hidup apa nggak masih gapapa—)

Anyways, Happy Reading y'all ~

.

.

.

Jam menunjukkan pukul 04.59 pagi. Dan semenit setelahnya, jam tersebut berbunyi dengan nyaringnya. Mengingatkan si pemilik kamar kalau matahari sudah terbit dan kalau tidak segera bangun rezekinya nanti disedot ayam Blaze—

PLAK!

Lagi lagi jam tersebut menjadi korban gamparan tangan seonggok setan berwujud manusia di dalam kamar itu.

Monyet! Digampar mulu heran!

Kira kira begitulah ya isi hati si jam weker kalo bisa ngomong. Untung aja nggak, kalo bisa, mungkin akan ada bau amis khas kencing mendiami seprai dan kasur.

"Nghhh ..."

Gak usah mikir aneh aneh ya, ini bukan rate anu.

Terlihat sesosok pemuda bergelung tak nyaman di kasur, terbangun dengan ekspresi kesal yang menghiasi wajah tampan—dan juga gemoy—dari seorang Taufan. Dia menatap jam wekernya yang lagi lagi berakhir di lantai tanpa rasa bersalah sedikitpun, untung saja wekernya tidak rusak jadi uang jajannya masih aman.

Dia diam selama beberapa saat untuk mengumpulkan puing puing nyawanya yang berkeliaran bak Ms. K yang suka hahahihi terbang kesana kemari nakutin warga, dan setelah cukup sadar, dia segera beranjak dari kasurnya untuk bersiap siap—

GUBRAK!

Mampus lu monyet!

Kira kira begitulah isi hati jam weker pt. 2 yang mungkin masih baper digampar tadi.

"JAM WEKER ANJ—"

Suara pintu terbuka menyita perhatian Taufan. Kamarnya yang semula gelap kini sedikit terang dari cahaya lampu lorong yang masuk. Thorn yang kebetulan bangun dimintai tolong sama Kak Gempa untuk membangunkan saudara-saudaranya yang lain, dan begitu sampai di lorong, dia mendengar keributan dari kamar Kak Taufan.

Karena rasa khawatir, dia membuka pintu untuk mengecek keadaan kakaknya.

Hening.

Taufan menaikkan sebelah alisnya ketika adiknya itu hanya diam.

"Hiksrot—"

Lho?

Lalu suara menggelegar keluar, asalnya dari Thorn.

Thorn nangis.

.

.

.

Setelah beberapa menit lamanya, barulah tangisan Thorn mereda. Dan itu membuat saudara-saudara lainnya turut merasa lega. Rupanya acara nangis Thorn tadi sangat ampuh membangunkan semuanya—dan juga menambah rasa panik karena tangisan Thorn yang agak besar. Takut bangunin tetangga juga, kan gak enak.

Thorn akhirnya cerita kenapa dia menangis tadi. Dan respon yang dia dapatkan bermacam macam. Ada yang sweatdrop, cengo, sampai facepalm.

Ternyata oh ternyata, dia nangis karena tadi Taufan ketutupan selimutnya yang berwarna putih, menyisakan sedikit kepalanya yang terlihat. Dan karena gelapnya kamar Taufan, mata birunya jadi menyala terang, menatap Thorn tajam hingga rasanya dia bisa merasakan seluruh organnya teriak ketakutan.

Oh, sebenarnya ada satu hal lagi yang enggan Thorn ceritakan. Thorn nyaris ngompol, tapi dia nggak mau karena udah gede. Jadi dia nangis aja, daripada malu karena ngompol. Kan malu maluin gitu, udah umur 17 masih ngompol juga, bisa bisa besoknya dia dibelikan pampers biar tidak ngompol lagi.

Solar selaku Thornylovers—Solar menyukai segala hal yang imut, dan Thorn dengan mata bulatnya membuat Solar berjanji untuk tidak membuat kakak kesayangannya menangis—menatap tajam si pelaku utama, Taufan, karena sudah menakuti Thorn. Dan Gempa sudah siap menceramahi Taufan.

Taufan melengos dan pergi begitu saja.

Tentu semuanya melongo melihat ini.

Dan disinilah awal mula keanehan Taufan. Anak yang biasanya tidak bisa diam itu sekarang jadi luar biasa pendiam, tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Makan pun tidak selera, padahal biasanya dia orang yang doyan makan, kadang bisa sampai lima porsi, udah kayak anak pungut yang gak pernah makan enak.

Dan sekarang? Makan cuma setengah porsi, itupun tidak mau dihabiskan kalau saja tidak diancam Halilintar, karena orang tuanya mendidik mereka untuk tidak membuang buang makanan dan menghargai apa yang mereka punya.

Ini kingkong napa si?!

Karena keanehan Taufan ini, akhirnya semua memutuskan untuk mengamati Taufan, mencari tahu penyebab anak itu menjelma menjadi sosok si kakak sulung.

Dibalik diamnya Halilintar, sesungguhnya dia sangat peduli dengan keadaan adik-adiknya. Membuat dia berpikir, apakah selama ini dia terlalu keras pada mereka? Bisa saja, setelah ini dia akan mencoba sedikit lunak—

"OH! JANGAN JANGAN KESURUPAN KAK LILIN—"

CTAK!

OMAE WA MOU SHINDEIRU!

Habis putus urat sabar, terbitlah laser merah imajiner dari mata Halilintar.

Ice yang malas melihat acara mari-membanting-setan kurang ajar memutuskan untuk mengesot menjauh ke tempat aman agar tidak kena remah remah amukan si kakak sulung.

BROOTT!

"Ahh~"

Memang paling enak kentut sambil nungging, tekanannya lebih berasa ya, Ice?

.

.

.

Acara mari-mengawasi-Taufan akhirnya dimulai!

Taufan sendiri udah merasa was was dan merinding, tapi dia bodo amat dan lanjut jalan pake skateboardnya. Mulanya didorong pelan, lagi santai lah.

Eh tiba tiba kakak sama adek-adeknya ngikutin dari belakang pake gerobak. Mana matanya kayak menyatu sama teropong yang entah mereka beli dimana. Udah gitu bajunya item item semua.

GIMANA GAK MERINDING COBA.

Taufan mah pura pura bego aja, walaupun kebegoannya udah murni dari lahir.

Maaf ya Fan, kamu enak buat dinistain.

Semakin kuat dia mendorong skateboardnya, semakin cepat pula mereka mengintil dia. Akhirnya dia dorong lagi lebih keras biar jalannya lebih cepet, tapi ternyata mereka tidak mau kalah karena dia bisa mendengar decitan roda dari gerobaknya lebih nyaring dari sebelumnya.

Batin Taufan berteriak panik.

KOK JADI DIKEJER SI ANJROT?!

Bukan apa, itu gerobak bukannya ada rem kayak motor atau mobil, kalo sampe ketabrak, melayang sudah nyawanya.

Iya kalo masuk surga, kalo nyeruduk ke neraka gimana?

Dengan kekuatan kameha-meha dan sedikit jampi jampi ayat kursi, berharap mereka bisa segera sadar dari reognya, Taufan tancap gas dengan skateboardnya untuk menjauh.

Di sisi lain, seorang satpam sedang mengaduk kopinya dengan khidmat, pinggulnya bergoyang-goyang mengikuti beat musik sambil menyanyikan chorus dari lagu yang sedang disetel lumayan keras.

Anti-ti-ti-ti fragile fragile~

Anti-ti-ti-ti fragile!

Oalah bapaknya penyuka plastik toh.

Eh maksudnya k-popers garis keras. Iya. Serius. Saya suka kpop juga. Jangan serang saya.

Seulas senyum lebar terpatri di wajah pria yang sudah agak berumur itu, membawa cangkir kopinya pada kursi plastik di luar pos, lantas meminum kopinya dengan tenang.

"... aaaaaaaaAAAAAAAAAAAaaaaa ..."

Angin kencang menerpa wajah si satpam, membuatnya menyemburkan kopi yang dia minum karena terkejut.

Toleh kanan, toleh kiri.

Tidak ada siapa siapa.

Dengan perasaan was was, dia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau teriakan tadi memang nyata atau hanya khayalan, bagaikan halumu kepada bias yang tidak akan pernah tergapai—

Iya iya, maap.

Merasa keadaan kembali tenang, dia kembali menyeruput kopinya yang belum mendapat kesempatan untuk ditelan dengan nikmat.

"... aaaAAAAAAAAAAAAAAaaaaaa!"

Disembur lagi kopinya untuk kedua kalinya.

Merasa kesal, si satpam bangkit, bersiap untuk mencaci maki orang yang mengganggunya sedari tadi.

"BAPAKKKKK! AWASSSS! GEROBAKNYA GABISA DIAMMMMMMMMMMMM!"

Gajadi. Keselamatan lebih penting, ingat ya guys.

Dengan santai, satpam tersebut mundur satu langkah, dengan hati yang lapang memberikan jalan pada mereka untuk lewat. Lalu melambaikan tangannya ketika mereka bergerak menjauh dengan kecepatan tinggi.

"Hati-hati ya, anak-anak!"

Sinting.

Batin Taufan tak berhenti menyumpahi saudara-saudaranya yang saat ini ngebut dengan gerobak mereka. Kalo sampai dia koma, akan dia gentayangin mereka sampai mampus.

Nggak tahu aja si Upan, paniknya sodara-sodara dia begimana. Ckckck.

Setiap pejalan kaki yang lewat diteriaki supaya tidak celaka. Bukan, bukan Taufan yang teriak memperingatkan, tapi mereka. Walaupun ingin rasanya dia berteriak dan nangis bombay, dia masih kekeuh pengen diem.

Keras kepala juga kamu ya, Fan.

Taufan terus mencoba menghindar dari gerobak ngamuk ketika di depannya, dia mendapati jalan turunan.

Mampus.

Tidak sempat berteriak, skateboard Taufan membawa pemiliknya menuruni jalan dengan kecepatan yang, aduh, gak mau bayangin deh. Author aja sampai menggigil ngeri kalo beneran kejadian. Namun kesialan Taufan tentunya tidak berhenti disitu.

Di depannya ada pertigaan, dan juga sungai.

Di belakangnya, gerobak ngamuk berubah kesetanan. Ingat, jalan turunan lho. Tentunya bukan cuma Taufan yang ngebut, tapi gerobak itu lebih ngebut lagi.

Ya gusti gua mesti gimanaaaaaaa?!

Di detik detik dimana dia hampir kecebur, entah bagaimana otaknya cukup berfungsi untuk memerintahkan kakinya untuk membelokkan laju skateboardnya, sehingga skateboard tersebut berbelok ke kanan, tidak jadi nyusruk ke sungai. Apa kabar image dan wajah tampannya nanti kalo beneran nyebur?

Kok jadi kayak Solar sih?! Gagaga, gua gamau disamain sama pertamax oplosan.

Namun berkat pikiran itu, dia jadi teringat saudara-saudaranya yang mengendarai gerobak tadi. Matanya melotot, menoleh ke belakang untuk memperingatkan.

CBYAAARRRR!

Nggak, itu beneran suara nyebur kok. Bukan suara bom, sumpah.

Setelahnya suara teriakan dan sumpah serapah menghiasi hari cerah yang indah.

Di pinggir jalan, seorang ibu sedang berjalan santai dengan anaknya untuk menikmati hari. Sampai akhirnya mereka menyaksikan pemandangan tadi live dengan mata kepala mereka sendiri. Mata bulat sang anak mengerjap bingung.

"Ma, itu mereka kenapa?"

Sementara yang dipanggil dengan sigap menutup mata anaknya, lalu berbalik arah.

"Gapapa nak, cuma temen-temennya orang gila bugil yang suka lewat daerah ini."

"Ohh gitu ya ma. Tapi gak ditolong merekanya?"

"Gak usah, nanti kamu ketularan gila."

.

.

.

Halilintar mengeringkan rambutnya dengan rasa frustasi dan kesal. Sangat sangat kesal, niatnya ingin membuntuti adek pertamanya untuk mencari tahu kenapa dia seperti ketempelan hantu itu malah berakhir aib bagi dirinya dan yang lain. Heol, bahkan sempat-sempatnya Gempa menabok sebuah bongkah keemasan yang kebetulan lewat ke arahnya ketika sang adik menampar air. Katanya sih gak sengaja.

Mengingatnya membuat Halilintar merinding lagi.

Melempar handuknya ke kursi dengan sembarang, Halilintar duduk di kasur, merenungi dan mencoba mengingat kesalahan yang mungkin tak sengaja dia lakukan pada Taufan, namun dia tak menemukan jawabannya. Padahal anak itu kemarin dia banting karena dijahili pun gapapa, responnya cuma cengenges gak jelas, menunjukkan cabe yang nyempil di gigi dengan pedenya.

Hembusan napas kasar keluar dari celah bibir Halilintar, bersamaan dengan ketukan pada pintunya.

BRAK BRAK!

Ngetuknya bar-bar ya.

Merasa kesal, Halilintar pun menyahut dengan suara keras, "Woi! Nyari mati?!"

Dan pintu akhirnya terbuka, memperlihatkan seorang pelaku yang sedang cengenges gugup karena ditatap tajam Halilintar, seolah kakaknya itu akan melahap kepalanya bulat bulat detik ini juga.

"Gabisa ngetuknya normal dikit?!"

"Abisnya kangen kak Upan huwaaa!"

"Blaze, uang jajanmu kakak potong kalo pintunya sampai roboh."

Blaze bergidik, lantas menurut ucapan Kak Gempa sebelum dirinya mati muda nanti.

Ice yang memperhatikan mereka dalam diam lagi lagi aja menggelengkan kepalanya, menyeret kakinya yang lemas ke arah kasur kakaknya sebelum merubuhkan diri disana. Tidak sampai sedetik, suara ngorok yang begitu merdu menggema ke seluruh ruangan kamar milik kakak sulung.

Halilintar yang melihatnya cuma bisa facepalm.

Kedamaian itu tidak bertahan lama ketika suara dengungan dari nyamuk berbisik nyaring di telinga mereka, lalu mendaratkan diri di atas pipi Ice, siap menghisap darah milik sang pemuda tampan yang sedang terlelap.

Plak!

"ADOI! SAKIT THORN!"

Thorn, si pelaku penabokan sadis pipi Ice hanya cengenges polos sambil memperlihatkan telapak tangannya, dimana si nyamuk telah berubah nasibnya menjadi nyamuk geprek. Tinggal disambelin aja itu.

"Hehe, maaf kak. Abis gemes sama nyamuknya, kegatelan banget."

Halilintar kembali facepalm pt. 2.

Merasa situasi semakin tidak kondusif dan melenceng dari niat awal kedatangan mereka kemari, Gempa berdehem untuk mendapatkan perhatian mereka semua, sayangnya suara mereka jauh lebih besar daripada deheman Gempa, tidak cukup peka untuk menyadari aura gelap yang menguar dari tubuh Gempa.

Ah, tidak semua kok. Solar yang malang, kebetulan berdiri di sebelah kakaknya itu bergidik ketika merasakan aura aura berbahaya dari sang kakak. Akhirnya, demi keselamatan seluruh umat manusia yang ada di rumah ini, Solar memberanikan diri untuk menepuk pundak sang kakak untuk menenangkannya.

Lantas dihadiahi tatapan singa milik Gempa.

HIIIII!

Menelan ingus—ekhem, maksudnya, menelan salivanya gugup, Solar buka mulut.

"T-tenang kak, nanti yang ada gak kelar kelar mau bahas kak Upan."

Pintar, seperti yang diharapkan. Gempa menghela napas, merasa ucapan Solar ada benarnya. Terpaksa dia menelan amarahnya bulat-bulat.

"Kalian semua,"

Suara Gempa lantas menarik perhatian seluruh setan—maaf kepeleset, maksudnya manusia yang ada di kamar ini. Melihat raut wajah Gempa membuat kepekaan mereka meningkat, semuanya berlomba lomba duduk di tengah-tengah kamar sembari menunggu Gempa melanjutkan kalimatnya.

Gempa yang melihatnya merasa bangga, lantas mendudukkan dirinya juga. Menyisakan Solar yang mendadak lemas, merasa lega karena berhasil meredakan emosi Gempa dan menyelamatkan dirinya sendiri dari maut.

Setelah semuanya duduk, raut mereka berubah serius. Tanpa perlu diucapkan, mereka tahu apa yang akan dibicarakan disini.

"Kalian semua pasti tahu kan kalo Kak Upan aneh banget hari ini?"

Lantas dijawab dengan sebuah anggukan yang sangat kompak.

Gempa pun melanjutkan, "akupun merasa begitu. Jujur, daritadi aku sibuk mengamati Kak Upan, bener-bener gak kayak biasa. Sengaja aku buatkan makanan kesukaan Kak Upan, aku tinggal di meja makan supaya Kak Upan bisa makan dengan tenang karena aku gamau merusak moodnya. Biasanya dia selalu semangat dan langsung mencariku."

"Tapi boro boro dicari, dimakan juga nggak. Malah dikasih ke Ice. Eh, malah diabisin sama dia." Helaan napas keluar, lalu menatap tajam Ice yang gelagapan karena ditatap seperti itu.

"I-itu karena aku juga gamau Taufan makin emosi kalo aku gak nurut, makanya aku makan! A-aku gak boong!"

Ucapannya dibalas dengusan oleh si kakak. Ice menghela napas lega, seenggaknya dia selamat.

"Thorn pun begitu. Biasanya Kak Upan mau manja-manjain aku. Aku ajak main, ajak ngobrol, pasti Kak Upan selalu setuju dengan senyuman dia. Tapi tadi Thorn nggak diacuhkan, yang ada malah dipelototin—"

Setelah cerita begitu, Thorn nangis lagi.

Solar yang paling tidak tahan melihat kakak kesayangannya itu menangis lantas beringsut mendekat, menepuk kepala sang kakak yang tertutup topi.

"Nanti Solar temenin kakak deh, jangan nangis ya?"

"Hiks, i-iya ..."

Duh, gemoy banget. Ini jadi siapa yang kakak, siapa yang adek sih?

Satu per satu bergantian menceritakan keanehan Taufan yang mereka lihat hari ini. Begitu tidak habis pikirnya mereka, karena Taufan saat ini benar benar seperti orang asing di mata mereka.

"Gak bisa begini! Kalo kita gini gini aja, gak akan pernah ketemu jawabannya. Kita harus samperin kak Upan!" seru Blaze, mengacungkan kedua tangannya di udara setelah membulatkan tekadnya.

Ucapan Blaze dibalas anggukan dan respon setuju dari yang lain. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya ya? Padahal tidak hanya hubungan romansa, namun hubungan pertemanan dan keluarga pun, komunikasi itu nomer satu!

"Ayo, tunggu apalagi? Kita samperin Taufan sekarang."

Halilintar tersenyum tipis, mengajak adik-adiknya untuk bangkit. Dia telah membulatkan keputusannya. Apapun yang terjadi, bagaimanapun respon Taufan nanti, dia dan adik-adiknya akan selalu ada untuk Taufan, bertahan di sisinya dan menjadikan diri mereka sendiri sandaran disaat Taufan membutuhkannya. Dia tidak akan membiarkan Taufan berdiam diri seperti ini selamanya.

Pintu dibuka, diikuti dengan suara derap langkah yang melangkah yakin, seyakin tekad mereka untuk berbaikan dengan Taufan. Pokoknya sekarang ini juga, mereka harus berbaikan—

"K-kak ..."

Langkah mereka terhenti, memandang heran Blaze yang melotot horor ke depan. Jari-jarinya terlihat gemetar tipis ketika tangannya terangkat untuk menunjuk sesuatu, dan pandangan mereka mengikuti arah yang ditunjuk tersebut.

Biru.

Yang mereka lihat adalah sepasang mata biru yang menyala di kegelapan. Mungkin saking asyiknya mereka berdiskusi, mereka sampai lupa kalau hari semakin gelap, lupa pula menyalakan lampu sehingga seluruh ruangan terlihat remang remang, hanya kamar Halilintar sajalah yang terang karena pemuda itu ingat untuk menyalakan lampu.

Mereka sangat yakin itu Taufan, namun Taufan saat ini membungkus dirinya sendiri dengan selimu putih, hanya menyisakan sepasang matanya yang bersinar di kegelapan, menatap kosong dan tajam.

Halilintar lantas muter 180.

"BALIK ARAH, GRAK!"

Semuanya putar balik.

"UGGYYYAAAAAAAAAAAAAAAAA!!"

Bubar sudah. Semuanya lari pontang panting, ngocar ngacir kesana kemari sembari merapal doa, memohon perlindungan Yang Maha Kuasa untuk melindungi mereka dari setan jahat.

Ice yang berhasil masuk ke kamarnya segera menutup pintu dan menguncinya, lalu menyalakan lampu agar perasaan takutnya berkurang. Napasnya ngos-ngosan, mencoba bicara.

"K-kak Blaze ... hah .. hah ... b-besok aja ya ... hah ... kita bicara sama ... Kak Upan—"

Eh.

Ice mengernyit.

Lho? Bukannya Kak Blaze tadi dibelakangku?

Sementara objek yang disebut saat ini nyasar ke kamar Taufan, tak lupa juga untuk mengunci pintu, takut takut kalau kakaknya menerobos masuk. Kakinya gemetar ketika dia berusaha menyeret dirinya sendiri menuju kasur, duduk disana dengan lemas.

Jadi kakaknya beneran lagi ketempelan? Atau sekarang lagi kerasukan?!

Merasa merinding, dia sampai lupa kalau dia belum makan malam. Paniknya teralihkan ketika perutnya berbunyi kencang, mengundang tatapan prihatin dari si pemilik perutnya.

Sepertinya mereka harus absen makan malam hari ini.

Melihat ke sekeliling, matanya menangkap sebuah kotak plastik berisikan buah yang dibalut saus kacang yang terlihat lezat. Liur Blaze langsung menetes, matanya mengerjap gembira.

Akhirnya dia bisa makan sesuatu!

Baru saja ingin mengambil, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari balik pintu. Blaze berjengit kaget, menatap horor pintu yang tertutup. Ketukannya terdengar keras dengan ritme pelan, seolah-olah bukan dengan tangannya.

Dan yap, Taufan menabok kepalanya sendiri ke pintu, tidak begitu keras, namun sukses membuat jantung Blaze merosot.

Dengan gemetar, dia mengambil rujak buah milik si kakak dan memakannya dengan pelan dan takut.

"M-maaf kak ... B-Blaze abisin dulu ya rujaknya ..."

Malam itu, tidur mereka semua tidak nyenyak.

.

.

.

Taufan mengerjapkan matanya pelan, lalu mengernyit heran ketika mendapati sekelilingnya gelap. Dia juga merasa tubuhnya sakit semua.

Kenapa ini?

Perlahan-lahan dirinya bangkit untuk duduk diikuti lenguhan yang keluar dari mulutnya, lalu mencoba menegakkan punggungnya yang dibalas suara kretak!

"Ahh~ leganya ..."

Merasa tubuhnya lebih baik, dia perlahan berdiri, lalu berjalan pelan mencari saklar lampu untuk dinyalakan. Lalu dia berjalan ke lantai bawah, mengernyit heran ketika lantai 1 tak kalah gelapnya.

Yang lain kemana sih? Masa lampu nggak dinyalain? Apa aku ditinggal?

Menggelengkan kepalanya untuk menghalau pikiran negatif, dia menyalakan satu per satu lampu sebelum melihat ke luar jendela, melihat langit masih gelap. Hendak dia melihat jam dinding ketika adzan Subuh berkumandang.

"Allahuakbar."

Setelah berwudhu dan melaksanakan sholat subuh di ruang kecil yang menjadi tempat mereka beribadah bersama, dia kembali ke lantai atas untuk membangunkan saudara-saudaranya. Dalam hatinya dia merasa heran, setidaknya jam segini Gempa sudah bangun.

Diketuknya kamar Gempa, lalu memanggil, "Gempa? Kamu di dalam? Gak bangun?"

Hening.

Mengernyit lagi, dia mengetuk kembali pintu kamar adiknya. Berkali-kali, namun tak mendapat jawaban apapun. Merasa khawatir, dia buka pintunya.

Kosong.

Hah?! Masa aku beneran ditinggal sih?!

Panik melandanya. Lantas diketuklah satu per satu pintu, mulai dari pelan sampai brutal. Sampai ketika kakinya berhenti depan kamar Halilintar, dia mengetuk—ah nggak. Dia menggebrak pintunya karena hilang kesabaran, bagai Satpol PP yang berambisi memergoki pasangan yang kawin seperti binatang sebelum menikah.

"APA SIH AN—"

Gebrakan itu tentunya membuat semua orang terkejut, tidak fokus, terlihat betapa kurang tidurnya mereka. Halilintar yang kesal karena masih ingin tidur, lantas memaksa dirinya untuk berjalan ke pintu dan memaki orang yang menggedor pintunya.

"APA SIH AN—"

Otak Halilintar error.

Taufan menatap kakaknya kesal.

"Lama banget sih bukanya?! Mana pake dikunci segala, bikin khawatir aj—"

"GYYYYAAAAAAAAAAAAA!!"

Taufan lompat, melotot horor kakaknya yang melompat mundur sejauh satu meter, memelototi dirinya seolah olah dia adalah setan yang hendak mengganggu.

Tidak tahu saja kalo kamu nakutin mereka segitunya, Fan.

"K-k-ka ... ka- ... k-ka ..."

Taufan mengerjap bingung.

Mereka kenapa sih?!

Masih merasa kesal, Taufan melanjutkan, "Kalian tuh kemana aja sih?! Kenapa nginep disini gak ngajak ngajak?! Malah aku ditinggal tidur di lantai, jahat banget. Mana kamarku dikunci lagi, jadi gak bisa ambil sajadah disana, hmph!"

Taufan mengira mereka akan tertawa melihatnya ngambek. Tapi meleset perkiraannya, karena mereka semua justru memelototinya, seolah-olah dia adalah setan disini.

"Kalian kena—"

"TAUFAN / KAK UPANNNNNNNN!"

Lantas semuanya menubruk tubuh Taufan tanpa ampun, rasanya dia lagi sakaratul maut ditubruk dan ditindih tubuh bongsor keempat saudaranya.

Ah, tidak. Kelima saudara. Ice yang mendengar keributan lantas keluar ruangan, kaget melihat yang lain menindih dan memeluk Taufan dengan perasaan haru, lega, dan bahagia.

Tentu saja dia ingin ikut.

"I-Ice?! ICE JANGAN LOMPAT—"

BRUAK!

Terlambat.

.

.

.

"Jadi ... ini semua karena kakak makan rujak?"

Thorn mengerjap polos, dibalas anggukan Taufan sebagai jawaban.

"Iya. Kakak baru tahu ternyata di dalemnya ada buah kecubung. Dan yang kakak tahu, buah kecubung itu bahaya banget, bisa bikin halusinasi. Kayak mabok minum alkohol gitu. Yah, untungnya kakak belum makan banyak, jadi cepet sadar," ujar Taufan, meringis dalam hati.

Iya, dikit kok Fan. Satu setengah porsi doang ya kan?

"Oh iya, omong omong Blaze dimana?" Taufan bertanya, membuat yang lain saling menatap bingung sebelum menatap Ice.

Ice yang menjadi pusat perhatian buru buru menjawab, "aku gatau. Kemarin aku nggak sama Kak Blaze, kayaknya kepisah?"

Terus kemana anak itu?

Taufan mendadak teringat, "oh iya! Tadi pintu kamar kakak kekunci kan? Siapa tahu ada Blaze di dalam. Coba kita bangunin deh—"

Lalu mendadak diam.

Mereka yang sadar lantas menatap khawatir. Taufan kenapa lagi?

"B-Blaze? K-kok kamu ...?"

Mengikuti arah tunjuk Taufan yang ternyata menunjuk ke arah tangga, mereka semua melotot horor Blaze yang sedang menuruni tangga dengan sangat lambat, mulutnya tersenyum lebar, dan matanya berkilat dan bersinar mengerikan.

"BANG—YA TUHAN YA RABBI INI KENAPA LAGIIII?!"

"B-BLAZE?! JANGAN BILANG KAMU MAKAN RUJAK DI KAMAR KAKAK?!"

"HAH?! RUJAKMU GAK ABIS FAN?!"

"L-LUPA KAKAK BUANG—UGYAAAAAAAAA!"

"SHGDDJAHXKABXKSHXISHDOSBDISJ—Hahahaha ... HUWAAAAAAAA!"

GROMPYANG!

"ASTAGHFIRULLAH PANCIKU!"

"KAK BLAZE JAUH JAUH! HUWAAAAAA KAKAK SEREMMMM!"

"K-KAK THORN JANGAN DEKET DEKET BLAZE!"

Yah, hari yang indah, seperti biasanya.

END dengan tidak elitnya.

Authors Note:

Ya Allah, 3737 kata, gabut banget Tuhannnn.

Gatau kenapa nulis ini, saya tahu saya gaje, maaf juga udah roasting, tapi gak nyesal kok hehe—

Ampun, iya. Bercanda. Nyesel kok nyesel. Sumpeh.

Ide ini muncul dari pagi, ketika kerinduan saya kepada Boboiboy memuncak saat dapat kabar kalau Monsta rencananya akan produksi Boboiboy Movie 3 di tahun depan! Doain ya semoga lancar, supaya kita bisa bertemu Boboiboy lebih cepattt. Katanya juga mau dibuat lho animasi Boboiboy Galaxy Season 2. Senang nggak tuh?

Gara gara itu, saya jadi buka buka lagi, nonton lagi animasi Boboiboy, baca penpik di , AO3, dan Wattpad. Agak disayangkan cerita cerita lama sudah banyak dihapus, padahal kangen.

Yang saya harapkan sih, semoga kalian sungguh sungguh menikmati cerita sampah ini. Saya bukannya berniat menjelek-jelekkan karya sendiri, tapi saya hanya merasa kalau saya belum mampu menjadi author yang baik dan bisa memuaskan keinginan kalian. Semoga dengan ini bisa mengobati kerinduan kalian pada Boboiboy yaa. Kalo karakternya OOC, saya minta maaf. Soalnya memang susah menulis dengan karakter yang sudah dibuat (bukan buatan sendiri maksudnya).

Yah, segitu aja dari saya. Semoga hari kalian menyenangkan selalu~

Salam hangat,

Cloverion.