Satu per satu kartu dibuka dan disusun sedemikian rupa di atas ranjang. Kid hanya melirik, ia sama sekali tidak tampak tertarik. Tapi rambut pirang panjang yang tergerai sedikit basah karena keringat di atas punggung telanjang Hawkins sangat menarik. Mengingatkannya pada seseorang, tapi yang ada di sini lurus. Hanya sedikit ikal dibagian ujungnya.

"Nol persen."

Kid terkekeh. "Memangnya apa yang kau ramal?"

"Nol persen kemungkinnya untuk kita terus seperti ini."

"Jadi itu yang dikatakan kartu-kartumu?"

Hawkins mengibaskan tangannya, kartu-kartu di atas ranjang menjadi berantakan.

"Bukan. Perasaanku yang mengatakannya."

Sentimentil. Kid menghindari itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membawa urusan ranjang jatuh ke perasaan. Mudah saja menghentikan percakapan ini, ia hanya perlu menarik rambut belakang Hawkins. Pemuda pirang yang tengkurap di atas paha Kid akan mendongak, saat itu juga Kid menjejalkan lidahnya.

Lenguhan atau apapun itu dari mulut pemuda ini tidak akan ia biarkan lolos. Sedikit saja ia memberi jeda akan ada banyak omong kosong yang keluar.

"Mustahil menghubungkan tubuh tanpa perasaan. Karena kita manusia."

Hawkins berhasil melepaskan diri. Kecemasan Kid meningkat, omong kosong itu akhirnya terlepas juga dari mulut. Di lain waktu Kid akan menyumpal si sumber omong kosong itu dengan sesuatu yang lain. Entah benda yang menegang di antara selangkangannya atau cairan kental setelahnya.

"Sejak awal, untuk apa kau datang kemari?"

"Bisa kau berhenti dengan omong kosong itu?"

Hawkins mengangkat kedua telapak tangannya. Ia menyerah, pada Kid dan pada bulan-bulan terakhir yang sudah mereka lalui. Ia meramalkan setiap masa depan atas tindakannya atau situasi yang dialaminya. Setiap saat ia mencoba untuk melihat apa yang akan terjadi di masa depan antara dirinya dan Kid, jawabannya tidak ada. Mereka tidak pernah kemana-mana dan tidak akan beranjak kemanapun.

Kid ikut bangkit dari ranjang. Ia tidak mau tetap berada di tempat sementara tubuhnya sudah selesai dengan hasrat biologis. Berapa kalipun menolak sentimentil, ia adalah moody person. Merepotkan.

"Jangan datang lagi."

Hawkins dan Kid bersisihan, saling menutupi tubuh telanjang dan aib-aib antara keduanya. Si pirang menghadap ke cermin saat menata rambut panjangnya, sedikit kusut dan tampak tidak menyenangkan. Entah mana yang lebih menyedihkan untuk dilihat dari bayangan di cermin itu. Antara beberapa ruam yang ditinggalkan Kid ataukah rambut kusutnya yang seperti jetami makanan kuda.

"Kau mendengarku Kid? Jangan datang lagi."

Mantel merah menyala adalah hal terakhir yang tersemat di tubuh Kid. "Kubilang hentikan omong kosongmu Hawkins."

Kid mudah tersulut emosi. Ia sudah mengepalkan tangannya, mungkin akan menonjok Hawkins beberapa saat lagi untuk membungkam mulut itu. Walau itu tidak lebih dari sekedar cara untuk melarikan diri.

Mata Hawkins seperti ikan mati. Ia seperti begitu patah hati, Kid tidak akan tega untuk memukul. Ia memberikan kecupan. Mungkin yang terakhir untuk membungkam bibir itu.

"Aku pergi."

Mantel hitam Kid adalah yang terakhir dilihat Hawkins. Perasaannya pergi bersama aroma pemuda itu. Dari ambang pintu ia melambai, yang diberi salam membuang muka.

Hawkins tersenyum. Kid berhenti berjalan, ia menghela napas panjang dan berbalik. Membungkuk dengan hormat, mengucapkan kalimat yang tidak terduga. Senyumannya hampir berubah jadi tawa. Setelah ini semuanya akan berakhir. Masa depan mereka berdua untuk bersama tidak pernah digambarkan. Tidak ada.

Drake muncul, menatap heran pada Kid lalu berbalik pada Hawkins.

"Apa yang dia lakukan?"

Hawkins mengangkat bahu, menyambut kekasihnya dengan manja sambil berkata," terima kasih untuk selama ini katanya."

Drake membuka mulut, ingin bertanya tapi kemudian Hawkins yang menahan mulut itu untuk berucap omong kosong.

END