1999
Pagi yang cerah di musim panas itu, Nathan tiba-tiba saja dikejutkan oleh sesuatu yang didengarnya. Disampaikan oleh ayah sang pemuda. Pun berhasil membuat sereal sarapan pagi itu tak tersentuh bagai terlupa. Nathan yang tak lagi dapat berkata-kata. "Maaf, tapi apa yang Ayah katakan tadi?"
Pria paruh baya itu menghela napas. Menyesap kopi paginya sejenak. "Ada tawaran gadis lajang dari teman Ayah. Siapa tahu..."
Hening sejenak, Nathan yang kini memandang serealnya tanpa selera. "Ini perjodohan, ya?"
Matthew—sang ayah—segera menggeleng, pria itu berdeham sebelum kembali bersuara. Pun sang kepala keluarga yang terkekeh melihat wajah serius Nathan. "Bukan. Kau hanya ditawari sama teman Ayah, konotasinya juga bercanda antar kawan. Kau boleh menganggapnya candaan, kok. Kenapa kau jadi kaku begini?"
"Tapi barusan Ayah juga tampak serius, kupikir betulan," Pemuda itu yang tersenyum, kembali menikmati sereal jagung dengan susu segar nan nikmat. Menikmati segala yang terjadi tersaji dengan rasa syukur. Bagaimanapun, ini akhir minggu, waktunya untuk beristirahat dan menikmati hidup dari segala pekerjaan nan hampir menguras seluruh jiwa.
"Ya, cuma sekadar menawarkan saja. Kan siapa tahu, siapa tahu..."
"Tapi Ayah, aku itu masih dua puluh sembilan—"
"—dan kami sudah memilikimu hampir lima tahun sebelumnya."
Seorang wanita paruh baya nan cantik hadir di antara mereka, membawa piring berisikan roti panggang. Ikut bergabung ke dalam ruang semesta kecil milik suami dan putranya. "Jadi, kapan menyusul?"
"Ibuuu~" Nathan menghela napas, kembali hilang seluruh selera. Memandang sang malaikat nan melahirkannya ke dunia. Rambut merah panjang ibu nan beberapa helai di antaranya telah memutih, pun sang ayah yang serupa. Keduanya telah menunjukkan dengan jelas bahwa mereka telah tua dan terasa fana. Ayah yang buyutnya berasal dari Eropa—wajah sang pemuda dapat dikatakan menjiplak dari beliau; pun sang ibu nan berasal dari Jepang—wajah Asia nan menghiasi fitur-fitur Nathan pula.
Dirinya yang telah ikut bertumbuh—dari mulai tinggi hingga segala macam isi dalam hati dan kepala.
Kawan-kawan sepermainan pun sejawat tak kalah tampak dewasa; pekerjaan yang makin membaik, menemukan segala cinta, membangun keluarga kecil mereka sendiri, dan bahkan menghadirkan manusia-manusia mungil nan membuat para orang tua diberkahi rasa gemas dan seluruh bahagia dunia.
Sementara Nathan, masih di sini dan sendiri. Agaknya masih menjadi beban orang tua dalam urusan kehidupan—bukan biaya. Masih tinggal bersama kedua orang tua, walau sudah bisa memiliki rumah sendiri; masih bermanja-manja dan terkadang dimanjakan, padahal sudah dapat mengerjakannya seluruh hal tanpa bantuan mereka sama sekali.
Memang, fase hidup seseorang berbeda. Akan tetapi, pemuda itu sangat mengerti pula keresahan dari ibunya.
"Sasuke dan Flore saja sudah mempunyai Sarada-chan yang lucu, kamu kapan? Ibu iri dengan Mikoto yang sudah punya banyak cucu. Dari Itachi, terus dari Sasuke. Lah, Ibu? Kekasih saja kamu tidak ada, 'kan?"
Sasuke ialah sahabat Nathan sejak kecil. Keluarga Jepang asli—Uchiha—yang tinggal tepat di samping kediamannya. Mereka tumbuh dan hampir selalu bersama-sama, tetapi pada dua tahun lalu, seluruh keluarga Uchiha pulang kembali ke negara asal mereka setelah puluhan tahun hidup di negeri orang. Termasuk Sasuke. Namun, sebelum keluarga Uchiha benar-benar pindah—Sasuke telah menikahi seorang gadis Prancis-Irlandia yang dahulu satu SMA dengan mereka, Flore. Atau dari surel dan surat dalam paket dari mereka bulan lalu, Flore kini lebih senang dipanggil Sakura. Dan dari paket itu pula, Sarada diperkenalkan. Anak pertama mereka—bayi perempuan manis yang walau jauh, telah Kushina sanjung dan anggap sebagai cucu sendiri.
Dan masih. Ayahnya berusaha menyunggingkan senyum, mengelus lengan sang istri—tampak mengerti pula perasaan Nathan. Agak bersalah pula karena beliau lah yang terlebih dahulu memancing tema ini, walau sekadar bercanda. "Sayang, sudah. Mungkin memang belum waktunya bagi Naruto kita, oke?"
Naruto, atau Uzumaki Naruto—sang pemuda menghela napas, nama Jepangnya dari ibu nan paling wanita paruh baya itu sukai ketika memanggilnya. Uzumaki sendiri ialah nama keluarga besar sang ibu yang masih dengan bangga wanita paruh baya itu sandang.
"Ayah, Naruto mau," Nathan menghela napas. "Dikenalkan dengan anak teman Ayah itu. Siapa tahu saja."
"Tidak usah kalau terpaksa, putri Hiashi adalah gadis yang baik dan manis. Jangan mempermainkannya." Ibunya nan ketus, membuat Nathan meringis.
"Namun, aku juga serius, Ibu. Aku juga telah memikirkan setidaknya untuk mengenal lebih mendalam seorang gadis." Bohong. Sebenarnya, memutuskan hal agak konyol itu baru terpikirkan oleh Nathan beberapa detik yang lalu. Namun, kepalang tanggung, sang pemuda memberanikan diri untuk menatap kedua orang tuanya. Nathan yang kebetulan pula mengenal nama nan disebut oleh sang ibu. Hyuuga Hiashi, Nathan sebatas tahu bahwa beliau merupakan rekan ayahnya saat berada di negeri matahari terbit itu. Dahulu saat masih lajang, Matthew memang bekerja pada salah satu perusahaan internasional di Jepang, sang ayah nan bahkan mendapatkan jodoh juga di sana, ibunya. "Jadi, putrinya Paman Hyuuga, ya? Apakah harus mengambil cuti dan pergi ke Jepang untuk menemuinya?"
Ayahnya berdeham, sementara ibu yang mulai agak melirik. "Tidak, yang Ayah tahu putrinya saat ini berada di Pennsylvania. Jika kau serius, mungkin kau bisa berkenalan dengannya terlebih dahulu. Nanti Ayah akan minta alamat dan nomor teleponnya dari Hiashi. Berikan juga Ayah alamat surelmu, siapa tahu gadis itu yang menyapamu terlebih dulu."
Nathan mengangguk pelan, semoga saja, siapa tahu saja.
•••
Madness (c) faihyuu
Naruto (c) Kishimoto Masashi
Rated T
Warning(s): AU, Miss Typo(s), OOC (sebisa mungkin untuk dibuat IC), beberapa bahasa tidak baku, dsb.
Penulis tidak mendapat keuntungan materiil apa pun dari cerita ini selain kepuasan batin. Diperuntukkan sebagai hadiah ulang tahun Nanadaime Hokage yang sudah sangat terlambat.
•••
Tak sampai dua hari kemudian, sebuah nomor telepon, alamat surel dan alamat sebuah apartemen diberikan oleh ayahnya. Tertulis di sana—Hyuuga Hinata.
Dan di sinilah Naruto—mulai saat ini Nathan akan memperkenalkan dirinya begitu—berdiam diri di hadapan komputer yang terpasang dalam kamar sang pemuda. Sesekali memandang secarik kertas yang berisikan alamat surel tadi, menimbang-nimbang pesan apa nan harus dikirimnya. Untuk mengetik satu kata "halo" saja, rasanya benar-benar membuat sekarat sang pemuda.
Gila.
Naruto menutup wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Pemuda itu bahkan tak tahu rupa dari gadis yang akan didekatinya ini! Namun dirinya tingkah dan malu begini. Bak anak muda yang pertama kali akan berkencan.
Pemuda itu menghela napas, menenangkan diri. Dalam batinnya mulai merangkai kata demi kata; nama, usia, dan alasan mengapa mengirimkannya surel—
—tetapi tanpa tedeng aling-aling, fokus Naruto teralih. Belum sempat jemarinya berdansa di atas papan ketik, sebuah notifikasi muncul pada surel miliknya. Membuat pemuda itu bertanya-tanya, siapakah pengirimnya? Ada rasa curiga pula surel itu berasal dari rekan kerjanya, seluruh gelora rasa nan berubah menjadi senyum kecut. Curiga kembali dipaksa untuk lembur. Menjadi manajer eksekutif memang terdengar keren dengan gaji yang tak kalah menarik, tetapi beban dan segala tugasnya pun sama luar biasa. Memikirkan ratusan bahkan hampir seribu pekerja dan calon pekerja, sebagai manajer sumber daya manusia.
Namun, segera senyum masam itu luntur. Bibir Naruto yang terbuka lebar kala melihat siapa pengirim surel untuknya.
Hyuuga Hinata.
Sekali lagi, Hyuuga Hinata!
[ Halo, Nathan Wave!
Aku Hyuuga Hinata, mungkin ayahku telah mengirimkan alamat surel dan apartemenku. Namun, aku merasa harus tetap menyapamu terlebih dahulu. Bagaimanapun, ini merupakan keinginan orang tuaku satu-satunya pula. Sebelum berlanjut, maaf jika surel ini kiranya menganggu waktumu. Kau bisa membacanya saat senggang saja.
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, aku tahu—ini memang terkesan agak memalukan? Alasan mengapa bisa aku sampai mengirimkan surel ini padamu karena aku yang tengah mencari jodoh. Akan tetapi, setidaknya aku ingin memperkenalkan diriku sendiri dengan benar kali ini. Tanpa perantara, walau melalui surel. Ini akan sangat panjang mungkin.
Namaku Hyuuga Hinata. Panggil saja Hinata. Lahir di Wakkanai, Hokkaido pada 27 Desember 1972. Usiaku Desember nanti ialah 28 tahun. Sejak usiaku 21 tahun, aku telah tinggal di Philadelphia untuk melanjutkan magister di universitas Pennsylvania dan kini bekerja sebagai staf internasional di sana. Dapat dikatakan, aku ini poliglot. Ada lima bahasa yang kupahami; Inggris, Jepang, Cina (Mandarin), Spanyol, dan sedikit bahasa Korea. Karena kebisaanku itu, aku memiliki pekerjaan sampingan lain tiap akhir minggu—menjadi guru bahasa Jepang yang mengajar di Pecinan.
Aku memiliki banyak hobi; mengeringkan bunga, membaca buku, menulis haiku, merajut, menjahit, menyulam, dan memasak. Selama tinggal di sini, aku jadi suka menonton film pula. Hobi-hobiku terbaca sangat feminin, tetapi memang—sejak kecil, anak-anak perempuan keluarga Hyuuga dididik begitu. Namun, aku memiliki adik perempuannya yang agak tomboi. Walaupun begitu, dia sudah menikah terlebih dahulu dua bulan lalu. Alasan yang kuat mengapa ayahku sangat khawatir akan diriku sampai menawari untuk dijodohkan begini, apalagi sudah hampir tujuh tahun pula aku tinggal di sini. Hanya pulang setahun sekali kala libur musim panas. Maaf, jika sudah agak melantur.
Mungkin kita bisa membahas hal lain saat ini, kurasa makanan atau minuman favorit. Aku suka gulungan kayu manis dan zenzai. Dahulu, saat kecil, aku paling tidak suka makanan asin. Namun ketika dewasa, setidaknya aku telah menolerirnya. Bagaimana dengan Wave sendiri? Apa yang kausuka dan tidak suka? Kuharap kau bisa membalas surel ini kala sedang tidak sibuk.
Terima kasih.
—H.H ]
Naruto mengerjapkan mata, pemuda itu hampir tak percaya dengan apa nan telah dibacanya. Gadis itulah yang memperkenalkan diri terlebih dahulu, mengirimkan pesan—jauh lebih berani darinya. Sang pemuda yang merasa tertampar keras pada wajahnya.
Pada detik itu pula, Naruto membulatkan tekad. Pemuda itu segera membalas surel dari sang dara. Dengan hal-hal yang hampir serupa—memperkenalkan dirinya.
Surel dan balasannya yang tak disangka oleh pemuda itu akan menjadi pemantik hubungan mereka.
•
[ Malam, Naruto.
Aku tidak tahu kau akan membaca ini kapan, tapi semoga saja memang sedang luang. Aku hanya ingin mengabari, dua minggu lagi kurasa aku akan datang ke tempatmu. Ada undangan pertemuan di mantan universitasmu—Stanford, selama sepuluh hari. Dekat dengan kawasan rumahmu juga, 'kan? Kalau kau ada waktu luang—mungkin saja kita bisa bertemu. Namun jika tidak, jangan dipaksakan.
—H. H ]
Hampir dua bulan lebih sejak saling berkirim surel nan pertama—hampir tiap minggunya, mereka selalu saling menghubungi. Setidaknya minimal seminggu lima kali. Naruto yang bahkan telah memberitahu sang dara nan tak pernah ditemui itu tentang nama lainnya, Uzumaki. Meminta Hinata untuk memanggilnya begitu, jika mereka bertemu—jika pula takdir merestui.
Pemuda itu baru saja pulang dari tempat mencari nafkah, tetapi sejak mengenal seorang Hyuuga Hinata—pasti ada waktu yang Naruto sisihkan untuk menatap layar komputer (lagi). Rajin mengecek surel pribadi, berharap setidaknya ada satu dari sang dara.
Telepon? Tak pernah, walau keduanya telah memiliki nomor pribadi kamar mereka masing-masing. Entah mengapa, masih ada rasa malu nan membara di batin Naruto. Hinata yang tak memang tak pula menelepon, membuat pemuda itu berpikir bahwa berkirim surel saja sudah cukup. Mereka yang bahkan tak tahu suara masing-masing. Apalagi wajah—karena hingga detik ini, tak ada satu pun nan membahas bahkan mengirimkan foto.
Namun saat ini, Naruto tak menyangka bahwa hari itu akan terjadi jua.
Dirinya yang akan bertemu dengan si Hyuuga!
Naruto segera membuka jadwal kerjanya di kalender, melihat tanggal tertentu dan berusaha mengingat sesuatu sejenak—sebelum akhirnya menjawab surel dari Hinata.
[ Hai, Hinata!
Wah, kebetulan sekali! Dua minggu lagi jadwalku senggang, dan aku akan memastikan kita akan bertemu. Kapan pun kau siap, aku juga siap. Aku benar-benar tak sabar. ^^
Tolong, sebelum kau akan berangkat ke sini, kabari aku jika bisa, ya! Seperti kau akan menginap di mana, dan lain-lainnya.
Yap, dan sampai jumpa, Hinata! Pokoknya aku benar-benar menunggu kabar darimu!
— U.U N ]
Naruto tersenyum, lelah yang dirasakannya akibat mencari pundi-pundi kehidupan bagaikan ludes begitu saja. Pemuda itu melepas dasinya asal—melemparkan diri ke atas kasur; wajah yang entah mengapa terasa memanas sendiri ditutupinya dengan bantal.
Gila.
Pokoknya gila.
Tak pernah Naruto pikirkan bahwa mengiyakan tawaran bercanda ayahnya akan berlanjut lama dan tampak serius seperti ini. Sang pemuda tersenyum sendiri. Memandang langit-langit kamarnya dengan perasaan bersemi yang tak terlalu dimengerti.
Pintu terbuka, menampakkan Matthew sang ayah yang menatapnya aneh dari balik pintu si muda Uzumaki. Namun ketika pandangan biru yang serupa dengannya itu teralih pada komputer nan masih menyala, pria paruh baya itu segera mengerti. Senyumnya yang meledek Naruto—membuat pemuda itu hampir mati.
"Owalah, ternyata sedang habis berbalas surel dengan anak Hiashi. Pantas jadi senyam-senyum sendiri."
"Ayah, tolong ketuk pintunya dulu. Privasi!"
Uzumaki Naruto yang lupa menutup pintu dengan rapat, bahkan mengunci.
•••
"Pertama-tama, semua perempuan itu cantik. Karena kalau tidak cantik, berarti tampan. Itu untuk laki-laki."
Suara Flore—Sakura dari seberang sana tampak menahan tawa. Naruto memitar bola mata. Mereka yang kini tengah terhubung dalam sambungan telepon antar negara. Sang pemuda yang kini merasa salah tempat karena malah meminta saran pada pasangan Uchiha.
Pertemuan Naruto juga Hinata akan berlangsung beberapa hari lagi. Jika dari surel terakhir yang dikirimkan sang dara, bahkan si Hyuuga telah berada satu wilayah dengannya. Dan tiba-tiba saja, Naruto merasa diliputi oleh keraguan yang menari dengan rasa malu.
Sekali lagi, mereka hanya saling mengenal dari sebatas berbalas surel.
"Kau harus rapi, setidaknya. Buatlah impresi yang bagus di pertemuan pertama," Suara bayi menangis menjadi latar belakang. Sakura yang entah mengapa—Naruto tahu itu sengaja—memanggil Sasuke di seberang sana. "Sayang, tolong cek popok Sarada-chan! Aku masih menelpon Si Jomlo!"
"Iya deh," Naruto menggerutu. Panggilan baginya itu juga membuat sang pemuda agak sebal. "Yang sudah sayang-sayangan mah beda. Segala mengatai orang jomlo lagi."
"Apa katamu, tapi betulan—kau setidaknya harus terlihat keren! Setidaknya kau itu sudah jadi eksekutif di kantor, jangan kalah dengan pegawai biasa yang bahkan kuingat jauh lebih rapi dibanding denganmu."
"Memangnya aku selama ini seberentakan apa, sih? Setidaknya dasiku masih terpasang, 'kan?" Naruto mencibir, mengingat bagaimana gaya pakaian kantornya selama ini. Masih dapat dikatakan rapi; kemeja terkancing dengan baik, mengenakan blazer, walau terkadang dasi yang dipasangkan oleh sang ibu tiap pagi terasa agak longgar kala menjelang senja. Oh—mungkin juga dengan rambutnya yang jika tidak disisir ke belakang dengan rapi, telah menusuk mata.
"Ya, ya, pokoknya yang berkelas!" Dari seberang sana, terdengar kembali suara Sasuke memanggil istrinya. Terdengar sedikit kepanikan di sana. "Sebentar, Naruto. Biarkan Sasuke-kun yang memberi saran juga. Sarada-chan ternyata buang air besar, aku ingin mengganti popoknya dulu."
Suara Sakura hilang, tetapi tak sampai dua puluh detik—sebuah suara yang tak kalah dikenalinya kembali menyapa. "Dobe."
Uchiha Sasuke.
"Datang-datang mencari ribut saja," Entah yang keberapa kali, Naruto mencibir.
"Aku dan Sakura pernah pergi ke pantai," Namun, Sasuke tak membalas cibiran sang Uzumaki—malah mengatakan hal yang sedikit membuat Naruto tertarik. "Namun, kami lebih suka pergi ke hutan yang tenang."
"Kalian kencan di hutan? Ayolah, pantai masuk akal—tapi di hutan? Apa maksudmu itu taman? Tapi kenapa kau bilang hutan, sih? Apa jangan-jangan kau dari dulu sudah mesu—"
"—sudah tolol, pikiran sampah." Sang pria Uchiha dengan cepat memotong, terdengar pula agak geram. "Kami suka ketenangan. Menjelajahi alam dan menikmati pemandangan. Tapi percuma jika aku menjelaskannya pada orang tolol sepertimu."
"Ya, maaf-maaf, habis kau tidak langsung menjelaskan sih," Naruto mengerutkan kening. "Jadi, kau menyarankanku untuk pergi ke hutan?"
"Tidak juga, selera kita jelas berbeda." Terdengar dingin, khas Sasuke sekali.
"Terus, mengapa kau mengatakan itu padaku?" Naruto mengerutkan keningnya.
"Tuh, kan. Susah bicara dengan orang bodoh." Wajah menyesalkan Sasuke yang terbayang dalam benak. Membuat Naruto mendecih sebal. Namun, pria Uchiha itu tetap melanjutkan. "Maksudku, kau harus bisa mencari tempat maupun suasana yang membuat kalian berdua sama-sama nyaman."
"—dan berkesan." Terdengar pula suara Sakura dari sana, mungkin suami wanita itu menghidupkan pengeras suara. "Ingat, kesan itu penting. Soalnya akan membekas dalam memori kalian."
"Tempat yang nyaman bagi kami dan berkesan?" Pemuda Uzumaki itu menggumam. "Oh, aku paham maksudnya. Namun, aku benar-benar bingung—di mana?"
"Ya, carilah jawabanmu sendiri. Mengapa kami harus repot-repot memikirkannya juga?"
Dan jawaban terkesan kurang ajar dari Uchiha Sasuke menjadi penutup pembicaraan mereka. Naruto menghela napas, menyugar rambut dengan jemarinya. Memang merasa sedikit tercerahkan pemuda itu ketika mendapat sedikit saran dari pasangan Uchiha.
Namun, kini sebuah tanya kembali menari dalam benak:
Di mana tempat yang nyaman bagi mereka (nan sepertinya berbeda) dan berkesan pula?
•••
Nathan Wave—Uzumaki Naruto tak pernah sebingung ini dalam hidupnya.
Pemuda itu ketika masih sekolah bahkan diklaim sebagai siswa yang paling cuek ketika membahas penampilan. Hanya saja kini, sejak memasuki dunia kerja, setidaknya Naruto tahu aturan berpakaian yang menunjukkan rasa profesionalitas. Memiliki ketahanan untuk tetap mengenakan kemeja dan blazer rapi, walau terkadang dasi yang telah longgar ke sana-kemari.
Akan tetapi, pada hari Minggu pagi yang tampak menyenangkan ini. Dengan pemandangan luar kuning, merah, dan jingga yang mendominasi. Pun burung-burung yang senantiasa bernyanyi.
Naruto hanya dapat termenung sendiri.
Di depan lemari kayu yang terbuka—menampilkan puluhan bahkan ratusan pakaian nan pemuda itu miliki, Uzumaki Naruto yang tak tahu harus mengenakan apa.
"Naruto?" Diiringi juga oleh sebuah ketukan pada pintu.
Naruto segera menoleh. "Ya, Bu? Aku tidak kunci pintunya, kok. Masuk saja."
Dan sesosok wanita paruh baya cantik yang sangat pemuda itu sayangi terlihat, memandangnya agak lama. Mungkin bertanya-tanya pula, mengapa dirinya masih mengenakan kaus oblong putih dan celana olahraga—padahal telah berkali-kali izin pun meminta restu untuk bertemu seorang dara. Sebelum pada akhirnya, tubir itu dengan manis mengurva. "Apa kau kebingungan untuk mengenakan baju apa?"
Naruto menghela napas. "Ya..."
Kushina mendekat dan maniknya tampak memilih-milih pula baju dalam lemari. Ibunya itu juga sedikit membereskan isi lemari pemuda yang memang sedikit tak rapi. "Ini pertama kalinya sejak kau bisa mandi dan pakai baju sendiri, kau bingung mengenakan baju apa. Biasanya 'kan selalu semaumu saja, ke sekolah bahkan tak pernah berpakaian rapi—sampai dikatai tetangga anak berandal. Sungguh ajaib, tapi entah Ibu juga rasanya senang."
Sebuah sweter hitam dengan motif segi empat berwarna jingga. Pun dengan segera sang ibu juga memberikan celana hitam senada. Tak luput jaket hitam yang tergantung asal di sebelah lemarinya pula. "Ibu rasa kau akan tampan dan keren jika pakai ini. Pasti Hinata juga berpikir hal yang sama!"
Seketika pipi Naruto memenas, pemuda itu berdeham. "A-aku 'kan hanya bingung, kenapa Ibu sebegininya sih?"
Namun, Kushina tak membalas. Senyumnya yang mengandung kejahilan makin melebar. "Dia gadis yang manis, yakin tidak ingin Ibu beritahu ciri-cirinya agar kau siap?"
"Ibuuu~"
Digodai ayahnya, Naruto masih berani. Namun dengan ibunya yang memang sumber segala kejahilannya pula selama ini—pemuda itu tak kuasa. "Jangan menggodaku seperti itu."
"Kau tahu?" Wanita paruh baya bermahkota merah itu duduk di sampingnya. "Ibu mengira awalnya kau hanya terpaksa. Maka dari itu, Ibu sempat tidak percaya. Maafkan juga, jika selama ini Ibu terdengar menyebalkan. Tapi, Ibu benar-benar ingin melihat dirimu menikah Naruto. Ibu ingin setidaknya sempat melihat anakmu sebelum meninggal."
Seketika Naruto menelan saliva. Karena—sempat memang benar adanya. Garis bawahi kata sempat, tetapi kini keadaan menjadi sangat berbeda. Naruto yang justru malah menantikan Hinata. Sejak surel pertama sang dara.
Mendengar bagian ujaran terakhir dari ibunya, membuat pemuda itu tampak tak nyaman. Naruto paling tidak kuasa mendengar kala ibu ataupun ayahnya berkata seperti tadi. "Ibu, Ibu jangan seperti itu. Ibu pasti masih bisa melihatku menikah, bahkan sampai cucu Ibu juga dewasa nanti. Aku terus berdoa agar Ibu dan Ayah berumur panjang."
Naruto memeluk ibunya manja. Mencium aroma bak mawar yang disukai sang ibu dari sana. Kushina yang membalasnya sama. Kehangatan yang menjalari hati keduanya.
"Sebenarnya," Kembali menelan saliva, dalam pelukan Kushina—Naruto memilih mengaku. "—sebelum itu, aku bersumpah. Keadaannya telah sangat berbeda."
"Hmm?"
"Aku pernah terpaksa menerima ini," Pelukan Kushina mengendur. Naruto tahu, pemuda itu harus menyelesaikan segalanya dengan secepat mungkin. "Tapi aku bersumpah, keadaan berubah setelah aku mendapatkan surel dan nomor teleponnya. Aku yang menjadi benar-benar gila sejak aku menerima surel pertama darinya. Aku ingin bertemu dengannya, aku yang malah memikirkannya sepanjang waktu."
Ibunya telah melepaskan pelukan. Memandangnya dalam-dalam. Sebelum kurva yang tulus itu hadir—sangat tulus. "Ibu tahu, dan Ibu percaya padamu. Anakku satu-satunya ini takkan menyakiti hati wanita—karena Ibunya juga wanita 'kan?"
Kecupan hangat di dahinya membuat Naruto tenang. Pun ketika sesosok pria paruh baya yang menyuarakan sebuah protes datang dari arah pintu kamar, ayahnya nan merasa ditinggalkan karena tak ikut pelukan keluarga.
Dalam hati, Naruto membuat janji pada dirinya sendiri. Pemuda itu akan membuat keluarga kecil yang sama hangatnya atau bahkan lebih baik daripada nan dirasakan selama ini.
•
Pada sebuah ruang tunggu hotel yang berada di lantai utama, Naruto membaca surat kabar nan tersedia. Menunggu seseorang yang diketahui tinggal pada lantai tiga. Setelah hampir dua bulan ini hanya bertukar identitas dan segala cerita dari surel saja.
"Maaf, apakah Anda Nathan Wave?"
Naruto segera menoleh, mendapati seorang gadis bermahkota nila panjang yang memandangnya agak malu.
Pemuda itu tersenyum, ibunya memang benar. Putri dari Hyuuga Hiashi ini memang manis. Matanya ungu pucat keperakan yang tampak besar seperti rembulan. Suara sang dara tampak lebih lembut pada aslinya. Pipinya yang tampak memerah, entah karena apa. Tercium pula aroma khas lavendel—bercampur dengan setitik vanili. Hinata yang tampak manis dengan terusan tebal sebetis bewarna ungu pucat. Syal putih tipis yang melingkar di leher membuat sang dara itu terlihat modis. Tangan si nila yang senantiasa menggenggam tali dari tas gantung hitamnya nan agak besar, menggambarkan jika gadis tampak gugup pula. "Ya, Hyuuga Hinata 'kan?"
Gadis itu agaknya terkejut, mendengar Naruto membalas dengan bahasa Jepang yang memang menjadi bahasa kedua sang pemuda selama ini. "E-eh?"
"Santai saja, jangan terlalu kaku begitu. Dan kau bisa langsung memanggilku Naruto saja kok, seperti di surel." Naruto berdiri, melipat surat kabar dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Pemuda itu menyodorkan tangannya untuk saling berjabat dengan milik sang gadis. Namun, tak pula Hinata menerima pesan aksi darinya. "Uh—"
"—oh, maafkan aku," Dengan segera si nila membalas jabatan tangannya. "Hinata."
"Jadiii?" Keduanya yang mulai beranjak meninggalkan ruang tunggu.
"U-uh? Jadi?"
Hyuuga Hinata aneh. Terlalu kikuk lebih tepatnya. Sang Uzumaki tertawa kecil. "Kita akan jalan-jalan, sesuai janjiku di surel 'kan? Jadi, selamat datang di California, tepatnya di Stanford!"
"Oh," Seperti baru tersadar, Hyuuga Hinata berhenti dan membungkuk singkat. Wajahnya makin memerah, tersembunyi di balik poni tebal dan anak-anak rambut. Aneh—tetapi menggemaskan. "Maafkan aku, a-aku hampir melupakannya."
"Kau aneh, ya?" Naruto yang tak bisa menahan geli seketika tersadar apa nan baru saja terucap. Pemuda itu berdeham. "Eh—maaf, maksudku, uhm. Ya, abaikan saja."
"T-tidak apa-apa, uhm. Omong-omong, soal perjalanan yang Naruto-san akan mulai—kita akan di mana?"
"-san?" Naruto terdiam sejenak, sebelum akhirnya tertawa kecil. "Astaga..."
"Eh?" Hinata menoleh, wajah khawatir gadis itu terlihat menggemaskan. "A-ada yang salah? Aku terbiasa untuk memanggil dengan sufiks kalau sedang berbicara bahasa Jepang. Maafkan aku—"
"—tidak-tidak, hanya saja rasanya aneh jika dipanggil dengan sufiks 'san' begitu. Kedengarannya aku sudah tua."
"M-maaf, jika berbicara bahasa Jepang begini—aku memang sering menggunakan sufiks. Uhm," Gadis itu kini memainkan jemarinya. Tampak ragu-ragu melantukan kata selanjutnya. Namun ketika terucapkan, Naruto lah yang menjadi tidak waras. "N-Naruto-kun?"
Mereka berdua mulai membuka pintu; segera disambut oleh segala ramai. Musisi jalanan yang melantunkan lagu di tengah seluruh riuh langkah kaki dan aktivitas manusia. Tak luput pula transportasi pribadi maupun umum melewati mereka.
Naruto berdeham. "Kun? Terdengar seperti memanggil anak kecil, sih."
"S-sekali lagi, maafkan aku—"
"—tapi kuterima, kedengarannya menarik." Dan seringai yang tak dapat pemuda itu tahan. "Onegaishimasu, ya, Hinata."
Senyum tipis dan anggukan malu-malu didapatkannya, sebelum kembali hening menyapa. Telinga keduanya yang disisipi oleh suara dari suasana musim gugur nan ramai ini.
"Aneh, ya?" Pemuda itu tahu, Hinata masih dapat mendengarkan segala lantunan kata demi kata dari bibirnya dengan baik. Melihat reaksi sang gadis nan meliriknya agak terkejut. Namun dengan langkah mereka yang tetap berirama menuju suatu tempat. Tepatnya mengikuti kaki yang jauh lebih kecil dari milik Naruto itu melangkah.
Hinata yang diam saja, sejujurnya agak mengejutkan sang pemuda—tampak berbeda dari segala surel mereka. Biasanya, Hinata lah yang selalu memulai percakapan; bercerita apa saja, bahkan seremeh menanyai kabar Naruto.
"Maksudku, ini pertama kalinya kita bertemu setelah hanya berkenalan dari surel, 'kan?"
"Lebih ke arah—canggung," Gadis itu menatap keramaian, sebelum menatap pemuda Uzumaki sekilas lagi. "Omong-omong, kita akan ke mana?"
"Sudah hampir masuk jam makan siang," Naruto melirik jam tangannya. "Kalau kita mencari tempat makan bagaimana? Apa kau sudah makan?"
"Belum, kok." Gadis itu menggeleng—poni tebalnya yang bergoyang mampu membuat Naruto merasa gemas.
"Aku tahu tempat makan yang enak," Naruto mendekati sebuah halte, diikuti pula sang dara Hyuuga tanpa banyak kata. "Kalau berjalan kaki akan membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit lebih, dan jika mengenakan bus paling lambat hanya empat menit. Tapi, kita harus menunggu bus—"
Pemuda itu melirik papan jadwal bus yang tersedia. "—lima menit lagi. Jadi, kau mau kelelahan atau menunggu?"
"Kelelahan, tentu saja," Hinata sedikit mengangkat alisnya. Kembali Naruto merasa gemas—poni tebal Hinata hanya sampai di atas alis sang dara. Gaya hime dengan anak-anak rambut yang lebih pendek membingkai sisi wajahnya. Banyak orang yang memiliki gaya rambut serupa, tetapi entah mengapa bagi Naruto—Hinata tampak memang terlahir untuk memiliki gaya rambut itu. Cocok ialah kata yang terkesan meremehkan, mungkin lebih tepatnya Hinata tampak luar biasa. "Jika kita menunggu bus, akan tetap memakan waktu hampir sepuluh menit juga 'kan?"
"Yap, dan kau tidak keberatan?" Naruto hanya tak ingin gadis itu kelelahan. Sang pemuda telah berniat membawa gadis itu menjelajahi kota kelahirannya—memang kecil, tetapi ada banyak hal nan kiranya berkesan ketika dilalui dengan jalan kaki. "Sejujurnya, perjalanan kita hari ini juga akan menjadi perjalanan yang melelahkan sih."
"Tidak, aku justru lebih suka jalan kaki. Aku selalu berjalan kaki menuju kampus, dan segalanya." Mereka berdua yang mulai beranjak pula dari halte. Lurus mengikuti jalan panjang di hadapan mereka. Naruto tersenyum mendengar gadis itu nan sepertinya tanpa sadar bersenandung mengikuti penyanyi jalanan. There Is a Light That Never Goes Out oleh The Smiths yang telah dirilis belasan tahun lalu—nan kebetulan juga merupakan lagu favorit sang Uzumaki. Hinata yang tampak sangat menikmati. "And if a double-decker bus crashes into us~"
"To die by your side is such a heavenly way to die~"
Naruto melanjutkan—entah semesta berkonspirasi apa, tetapi lirik yang tengah dilantunkan pemuda itu memang merupakan favoritnya. Atau seseram sebuah kebetulan karena sebuah bus tingkat untuk para wisatawan lewat pada jalanan di samping mereka. Hinata menoleh ke arahnya dengan wajah merona merah. Naruto yang tak dapat menahan tawa. "Apa? Aku juga suka The Smiths."
"K-kau punya selera musik yang bagus." Hinata tersenyum—kali ini, tampak sangat tertarik. "Walau The Smiths sering kali meromantisasi depresi, tapi karya mereka sungguh indah. Oh, dan selain itu, kau suka musik yang seperti apa?"
Kena, kau! Naruto kembali tak dapat menahan seringai, pemuda itu agak memalingkan wajah. Rupanya, mereka hanya perlu memiliki bahan obrolan yang baik. Dalam hati, pemuda itu berterima kasih kepada penyanyi jalanan yang telah mereka lewati. Mengingat bahwa keduanya belum pernah membahas tentang selera musik karena surel mereka kebanyakan berisikan kegiatan mereka sehari-hari sembari sesekali menanyakan kabar.
"Aku penikmat segalanya. Aku tak punya jenis musik kesukaan tertentu. Tapi, akhir-akhir ini aku malah sering mendengarkan lagu-lagu Jepang. City-pop. Plastic Love menjadi lagu yang paling sering kuputar akhir-akhir ini." Naruto memandang langit sejenak, biru—cuaca cerah musim gugur memang yang terbaik. Pun tak terasa jika waktu telah berlalu, langkah mereka yang semakin jauh, tujuan keduanya nan akan mendekat.
"Takeuchi Mariya-san? Aku juga sangat menyukai city-pop. Dan ya, mungkin kita sama." Hinata sedikit memainkan daun yang gugur di bawah kakinya—menendangnya tepat ke bawah pohon mapel nan memerah. "Aku tak punya spesifikasi jenis musik tertentu, aku menikmati segalanya. Namun, kurasa akhir-akhir ini aku sedang diracuni oleh lagu dari Matsubara Miki-san."
"Biar kutebak. Stay with me~" Naruto tergelak, Hinata yang tampak rileks melanjutkannya.
"Mayonaka no doa o tataki~"
"Kaeranaide to naita ano kisetsu ga ima me no mae~" Pemuda itu mengingat-ingat bagaimana alunan nada iringan lagu Mayonaka no Door atau dikenal sebagai Stay with Me. "Stay with me~"
Hinata yang ikut tersenyum geli. "Kau tahu? Suaramu bagus, Naruto-kun."
"Terima kasih," Jantung Naruto benar-benar berdebar kala melihat binar kagum pada manik kecubung pucat sang dara. Tampak terkesima. Dan tak pernah pemuda itu merasa sebegitu dipuja seperti Hinata memandangnya. Membuat Naruto gugup dan agak pusing—pemuda mengalihkan pandangan ke arah depan, berdeham sejenak sebelum melanjutkan kata. "B-bukannya sombong, walau agak cempreng begini, aku seorang vokalis, loh! Ya, memang cuma vokalis band jurusan pas masih di kampus. Band yang tak terkenal dan tidak pernah menciptakan atau merilis sebuah lagu sih. Tapi, ya, setidaknya ada jiwa vokalis."
"Oh, pantas. Kenapa tidak jadi penyanyi saja? Suaramu unik loh."
Masih berlanjut ternyata, dan Naruto tak siap dengan Hinata yang masih menatapnya di samping. Pemuda itu mengusahakan sebuah senyum. Sebuah jawaban tiba-tiba terlintas di kepala, Naruto tak berniat untuk mengatakannya. Namun, tak disadari oleh sang pemuda bahwa bibirnya telah bergerak sendiri. "Kalau aku jadi penyanyi, nanti kita tidak bisa bertemu dong."
"Kenapa begitu?" Hinata yang kembali menaikkan alisnya, tatapan nan kini bertanya-tanya. Gila, Naruto pikir animasi Jepang hanya sekadar hal fana. Namun, Hinata seakan-akan berkata bahwa anime itu nyata!
Dan sial, pemuda itu merutuk akan kata-kata yang sering keluar tanpa benar-benar dipikirkan dampaknya. Akan tetapi, tanggung. Naruto yang memilih untuk mengatakan segalanya. "Kalau aku terkenal, nanti kita tidak akan sebebas dan sesantai ini. Akan ada paparazi yang memburu foto dan berita tentang kita. Semua orang akan berspekulasi pada satu hubungan—walau memang iya karena ada."
Hinata berhenti melangkah, Naruto yang terlalu malu untuk melihatnya. Berjalan agak pelan di depan, kembali berdeham. "Kenapa berhenti?"
"U-uh, i-itu—" Langkah sang dara yang kembali terdengar. "I-itu juga kalau N-Naruto-kun berhasil terkenal. Jika tidak? Dan—"
"—dan?" Sang pemuda yang tanpa sadar melirik—wajah Hinata nan kini bak permen apel.
"—k-kalau dirumorkannya b-bersamamu, aku tidak masalah."
Uzumaki Naruto yang kehilangan kata-kata.
•
"Aku tahu, mungkin di tempatmu juga memiliki Pecinan yang besar. Tapi, aku persembahkan padamu—restoran Jepang favorit orang tuaku."
Setelah canggung beberapa menit lalu; mereka yang hanya berjalan tanpa mengucapkan kata. Naruto yang antara menyesal dan tidak karena telah semacam rayuan tadi, sama sekali tak menyangka bahwa Hinata akan membalasnya pula. Pemuda Uzumaki yang sedari tadi masih memikirkan segala ujaran dan balasan Hinata pada setiap langkah mereka.
"Oh, walau tempatku dekat dengan Pecinan. Sejujurnya, aku jarang makan di luar." Suara Hinata terdengar tenang dan semakin jernih. Membuat Naruto yakin, bahwa mungkin saja kecanggungan mereka tadi sudah menghilang.
Garis bawahi kata mungkin.
Mereka berdua membuka pintu, disambut oleh sambutan selamat datang oleh salah satu pelayan laki-laki. "Selamat datang! Untuk dua orang?"
"Ya, dua orang. Meja model Jepang." Naruto melirik Hinata—gadis itu tampak memperhatikan sekitar, tetapi apa yang dikatakan sang pelayan kepada rekannya membuat mereka berdua mengalihkan pandangan dan membeku.
"Meja bergaya Jepang, pasutri." ujar pelayan itu dalam bahasa Jepang sembari menunjukkan dua jarinya pada sang rekan. Sebelum pada akhirnya kembali menyapa mereka dengan bahasa Inggris. "Silakan, rekan saya akan membawa Anda sekalian ke meja bergaya Jepang."
Fuufu.
Naruto membeku, pun Hinata. Mereka berdua jelas tahu apa artinya. Mungkin penjaga itu mengira tak satu pun dari mereka mengerti—Naruto yang jelas terlihat seperti orang luar Asia dan Hinata nan mungkin dianggap berasal dari China maupun Korea.
"Duluan, Hinata." Pemuda itu mempersilakan sang gadis dengan gestur untuk mengikuti salah satu pelayan—menggunakan bahasa Inggris. Dan gadis itu tak menolak, hanya mengangguk.
"Mada," Naruto menepuk pundak pelayan laki-laki tadi ketika melihat Hinata telah menjauh darinya.
"Eh?" Pelayan itu terkejut mendengar bahwa sang pemuda dapat berbahasa Jepang dengan baik, bahkan melanjutkan kata-katanya dengan mantap.
"Belum, kami belum menikah. Tapi, akan."
.
"Aku tahu mengapa restoran ini menjadi favorit keluargamu," Hinata membuka buku menu dan tersenyum. Naruto yang baru saja duduk dan melipat kakinya menunjukkan seringai senang—walau dalam hati masih agak berkecamuk, tetapi bersyukur bahwa sepertinya gadis itu agak teralihkan. "Aku tak menyangka bahwa mereka punya ikan sanma sebagai menu khusus musiman."
Dalam surel, Naruto juga membahas hal-hal yang disukai. Salah satunya kecintaan keluarga kecil Uzumaki selain pada ramen dan zenzai—ikan sanma. Ikan yang pemuda itu langsung sukai kala berkunjung pertama kali ke tanah kelahiran ibunya.
"Iya, 'kan? Ibu dan Ayahku saja kaget juga pertama kali tahu. Restoran ini memang baru lima tahun berdiri, tetapi kata Ibu—rasanya seperti sudah puluhan tahun karena memiliki rasa yang autentik." Naruto ikut membuka buku menu yang tersedia. Dengan cepat telah menentukan segala pilihannya. Set sanma A yang berisikan nasi, ikan sanma, dan sup miso. "Sudah tahu apa yang ingin kau pesan?"
"Uhm," Gadis di hadapannya mengangguk, menutup buku menu dan meletakkan kembali di ujung meja. "Sepertinya kau juga sudah."
"Yap, dan aku yakin kau pasti tahu, aku akan memesan apa." Naruto tersenyum, pemuda itu kemudian memanggil pelayan terdekat dengan meja mereka.
Sesosok pelayan perempuan mendekati mereka dengan buku catatan kecil.
"Kami sudah mau pesan, satu set sanma A, dan tambahan ocha. Dan kau, Hinata?"
"Sama, satu set sanma A dengan matcha." Hinata tersenyum. "Jadi—dua set sanma A, satu ocha, dan satu matcha."
"Baiklah," Dengan cepat pelayan itu menuliskan segala, sebelum akhirnya pamit undur diri. "Silakan ditunggu."
Dan kembali keheningan menyapa. Namun, hening sama sekali tak berkorelasi dengan Naruto. Pemuda itu mengetukkan jarinya ke meja, sembari menopang dagu menatap Hinata. Dalam hati, Naruto kembali mengangumi betapa manisnya sang dara Hyuuga. Pun dengan bagaimana tingkat kesopanan gadis itu, tahan seiza hingga saat ini. "Jadi, kau pesan ikan sanma juga?"
"Ya, tentu saja, bukan?" Hinata tersenyum manis. "Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sudah berapa lama aku tak makan ikan sanma, ya? Mungkin lima? Enam? Entahlah, yang pasti sebentar lagi akan ada di depan mataku."
"Sejak orang tuaku tahu ada restoran ini, sepertinya tiap kali aku punya waktu luang di musim gugur—kami akan makan di sini. Biasanya yang mengatur reservasi Ibuku, kami para laki-laki hanya bisa menurut saja." Naruto berusaha kembali memikirkan kata demi kata, sebelum akhirnya mengingat sesuatu. "Oh—dan tadi katamu, kau jarang makan di luar? Jadi, kau bahkan jarang mencicipi restoran yang ada di Pecinan?"
"Ya, bisa dibilang seperti itu. Mungkin karena jiwa anak rantauku yang ada sejak kuliah masih tersimpan hingga saat ini. Jadi, aku berusaha untuk menghemat pengeluaran dengan lebih sering memasak di rumah. Karena tentu, jika uangku kala itu habis—aku berpikir bahwa hidupku juga sama habisnya." Hinata meletakkan telapak tangan di atas meja pula, saling menggenggam buku-buku jemarinya. "Tapi, tak apa—bukan hal yang buruk, 'kan? Aku menjadi lebih banyak menabung, walau pengeluaranku sekarang sudah lebih besar daripada dulu sih."
"Tentu, kau bahkan terdengar lebih baik mengatur keuangan daripada aku. Aku juga ditabung sih. Tapi terkadang jika melihat komputer baru, ya—agak khilaf." Naruto terkekeh. "Jadi, kau tidak pernah makan di salah satu restoran Jepang yang ada di sana?"
"Tidak juga. Adakalanya jika aku benar-benar ingin dan rindu bagaimana suasana Jepang juga agak malas untuk memasak, aku akan pergi ke salah satu restoran di sana. Namun, ya, jarang. Justru aku lebih sering mengunjungi restoran China." Senyum Hinata yang kini geli, membuat tanya dalam benak si Uzumaki.
"Loh? Kenapa bisa? Kau lebih sering mengunjungi restoran China, apa karena lebih suka makanannya—atau ada sesuatu?" Naruto mengerutkan dahi.
"Karena—sebenarnya, aku punya teman yang memiliki restoran China di sana. Dia lah yang sering mengajakku untuk makan gratis di restoran keluarganya. Temanku yang kini menjadi kakak ipar."
"Pantas saja," Naruto kembali tersenyum, sebelum kembali keningnya mengerut. "Eh—tunggu, apa? Kakak iparmu?"
Hinata yang tak dapat menahan tawa. Gadis itu mengangguk. "Ya, namanya Tenten. Hyuuga Tenten. Dia istri kakak sepupuku, Neji. Mereka telah menikah dua tahun lalu, sudah punya anak kembar pula. Sebelumnya Tenten merupakan teman satu fakultasku, apartemen kami bersebelahan. Tapi, punya Tenten lebih besar karena memang tinggal bersama dengan keluarganya yang kini menjadi warga negara Amerika."
"Neji?" Naruto menjentikkan jari. "Yang sudah profesor itu, 'kan? Anak adik kembar Ayahmu? Dan Tenten, kenapa bisa tiba-tiba bersama Neji?"
"Aku bahkan hingga saat ini masih mempertanyakannya juga, Naruto-kun." Hinata mengangkat bahu. "Kak Neji ke sini hanya sebagai delegasi universitasnya untuk melakukan kunjungan kerjasama dengan universitasku selama hampir setengah tahun lebih. Dan memang, Kak Neji kala itu tinggal bersamaku. Selama tinggal di sini, tentu saja—Tenten dan Kak Neji pernah bertemu. Kami sering kali diundang makan di restorannya maupun di apartemen mereka. Dan tiba-tiba saja—boom, di akhir tahun mereka mengadakan lamaran.
"Tapi aku juga tak terlalu terkejut, sih. Karena selama ini, Kak Neji bukan orang yang suka mengumbar-umbar dan Tenten lebih suka memberikan kode saja. Sekali waktu, Tenten pernah bilang dengan nada bercanda kalau Neji tampan dan dia bertanya kesediaanku jika aku menjadi kakak iparnya. Dan, ya, kenyataannya sekarang memang begitu."
"Berarti, Neji sekarang tetap tinggal di Amerika, 'kan?" Naruto tersenyum. Hinata mengangguk pelan. "Ya, setidaknya kau tidak benar-benar sendirian di sini. Kau dikelilingi orang yang baik. Menurutku kau hebat dan sangat mandiri, bisa tinggal jauh dari keluarga—bahkan berpisah benua. Belum lagi, tetap berprestasi dan memiliki karier yang cemerlang. Aku saja berpuluh-puluh tahun masih tinggal dan diasuh oleh orang tua."
Wajah Hinata memerah, gadis itu menggeleng. "T-tidak juga, kumohon jangan terlalu memuji seperti itu. Seluruh orang menurutku hebat dengan jalan kisah hidup masing-masing. Naruto-kun juga tak kalah keren dan dikelilingi banyak orang baik. Ah, iya, bagaimana dengan Naruto-kun sendiri?"
"Aku? Apanya?" Naruto sedikit memiringkan kepala.
"Uhm, kau pernah bercerita tentang pasangan Uchiha. Uchiha Sasuke-san dan Uchiha Flore-san?"
"Ah, ya. Kami tumbuh bersama-sama, terutama aku dan Sasuke. Sasuke, dia—seperti yang kuceritakan, orang Jepang asli. Rambutnya hitam ke atas seperti ayam, matanya juga tak kalah gelap, pendiam—tapi sekali ngomong, nyelekitnya tidak main-main. Kami bertetangga dan kami selalu bersama dari TK hingga kuliah. Semua orang bahkan sampai berpikir kami kembar. Yang tentu saja—tidak. Aku jauh lebih tampan darinya." Naruto sedikit tertawa. Pemuda itu kemudian ikut meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja, mengetuk-ngetuk kayu dengan halus dengan berirama. "Dan Flore, teman SMAku. Kami sejak itu selalu bertiga dan tak kusangka akan bertahan sampai saat ini. Ya, aku sangat bersyukur tentunya. Kami selalu bertiga sebelum Sasuke dan Flore pacaran, bukannya aku ingin menjauh—tapi, kau paham lah. Aku tak ingin menjadi nyamuk. Namun, kami masih sering jalan-jalan dan ngumpul bertiga, kok!"
"Entah mengapa, aku merasa pertemanan kalian manis." Hinata ikut tersenyum—tulus. "Dan aku juga ingat, di surel kau bilang mereka sudah punya anak."
"Yap, keduanya menikah dua tahun lalu—sama seperti sepupumu. Dan Flore—atau sekarang sejak tinggal di Jepang ingin dipanggil Sakura, dua bulan lalu telah melahirkan putri pertama mereka. Namanya Sarada." Naruto menjelaskan. Mata Hinata tampak kembali berbinar. Membuat sebuah pertanyaan nakal hadir dalam benak Naruto—jika dirinya dan Hinata menikah, mereka akan punya berapa anak?
Stres.
Naruto berdeham. Mengalihkan perhatiannya ke arah lain—berusaha melupakan hal yang baru saja dipikirkan. Namun, pemuda itu malah membayangkan sesuatu yang jauh lebih tidak waras lagi.
Jika mereka memiliki bayi nanti, dirinya akan membantu menggantikan popok dan Hinata akan menyusui—
Tahan sampai sana, Uzumaki! Naruto memaki dirinya sendiri.
"Permisi..."
Oh, dan lagi-lagi, Uzumaki Naruto harus bersyukur pada konspirasi dari takdir semesta. Makanan mereka tiba tepat waktu, dua set makan siang ala musim gugur—begitu juga dengan teh pesanan keduanya. Ketika pelayan yang mengantarkan makanan mereka berlalu dari sana, Hinata menggumamkan sesuatu—dari suaranya jelas sangat ceria pun bahagia. "Wah, aromanya enak!"
"Percayalah, rasanya juga demikian," Naruto terkekeh pelan. Keduanya yang mulai mengambil sumpit, menikmati makan siang mereka dengan riang.
"Selamat makan!" Keduanya serentak mengucapkan hal yang sama.
Pemuda itu kembali melirik sang dara. Hinata yang makan dengan tenang, tetapi memiliki tempo nan agak cepat. Sesekali pula gadis itu berhenti untuk memuji. "Aku tidak tahu harus bilang apa lagi, tetapi—terima kasih banyak, Naruto-kun."
"Hehehe, sama-sama!"
Dan percakapan mereka terus berlanjut; membicarakan bagaimana kawan-kawan dan sanak saudara keduanya yang telah mendewasa. Diakhiri dengan perebutan untuk membayar makanan mereka, nan dimenangkan keduanya. Tak ada kata traktir, saling membayar diri masing-masing diri mereka. Agak membuat rasa ganjal bercokol di hati sang pemuda. Namun, si dara yang terus-menerus mengatakan bahwa tak mengapa.
•
Di balik tubuhnya yang kelihatan mungil dengan pakaian agak kebesaran, Hinata ternyata memiliki nafsu makan nan lumayan—tinggi.
Dan ini sejujurnya mengejutkan si Uzumaki.
Gadis itu tampak begitu tertarik dengan kedai kopi nan menjual kue dan pastri. Pun sang pemuda yang tiba-tiba saja terasa terdorong untuk mengunjungi truk es krim di pinggir jalan nan mereka lewati sebelum kemari. Naruto coba menawari untuk membayar segala, sekaligus memang mencobai. Hinata tetap menolak—mereka kembali membeli untuk diri mereka sendiri.
Namun, melihat bagaimana seluruh camilan sore—atau mungkin dapat dikatakan juga sebagai penutup makan siang mereka tadi—yang jumlahnya tak dapat dikatakan normal dihabiskan gadis itu tanpa ragu. Walau begitu, tetapi entah mengapa Hinata tetap terlihat anggun. Membuat Naruto agak terkagum.
Keduanya yang kini tengah menikmati langit nan merona di taman kota Stanford; menjadi salah satu jiwa dari ratusan jiwa lain, menjadi pendengar dari dersik sekaligus memainkan mahkota juga berbagai sahutan, dan mengistirahatkan kaki. Rangkaian petualangan mereka yang hampir berakhir untuk hari ini, menjelajahi seluruh daya tarik kota dengan bus dan jalan kaki. Mereka yang mengunjungi berbagai museum di kota, tanpa tujuan jelas hampir memutari Stanford dengan bus tanpa berhenti, dan terakhir keduanya memutuskan untuk mengunjungi pusat belanja—pun jelas, akhir pekan memang sangat ramai. Namun, Naruto memang suka melihat banyaknya manusia dan Hinata dalam hening tampak juga menikmati. Di atas segalanya, terhimpun rasa puas yang penuh dalam hati.
"Jadi, habis ini kita akan kembali, ya?" Hinata bertanya memecah keheningan mereka, gadis itu tak menoleh—memang, sedari tadi keduanya memandang panorama di seberang sana. Ada sekumpulan anak tengah bermain yang diawasi pula oleh beberapa orang dewasa di pinggirnya; bola untuk para anak laki-laki dan boneka bagi anak perempuan. Pemandangan yang manis dan entah mengapa menghangatkan—membuat keduanya diterpa rasa bahagia pula.
"Kalau dari rencana kita sih, iya." Naruto tersenyum ketika melihat salah satu anak laki-laki berhasil merebut bola dari lawannya dengan sangat baik. "Tapi, kalau ada tempat yang ingin kau kunjungi lagi—aku akan tetap menemanimu, kok."
"Tidak, terima kasih. Kurasa hari ini sudah cukup. Besok kau juga kerja, 'kan? Istirahat saja. Maaf kalau hari ini aku malah mengganggu hari istirahatmu." Keduanya yang kini sama-sama menggumamkan kesenangan sejenak karena melihat anak nan tadi merebut bola berhasil membuat sebuah gol.
"Mengganggu apanya? Aku juga sudah setuju. Sejujurnya ini lebih baik daripada mendekam seharian di rumah." Naruto menikmati es krimnya.
"Mmm, sekali lagi terima kasih, ya."
Hinata yang kembali menikmati gulungan kayu manis terakhirnya—dan Naruto meliriknya sesekali. Sang pemuda yang merentangkan senyum kembali.
"Kau benar-benar menyukai gulungan kayu manis, ya?"
Gadis itu menoleh, senyum aneh terkembang, pipinya tampak memerah—hampir serupa dengan lembayung di atas sana. "M-maaf..."
Naruto kembali menjilati sekilas es krim cokelat miliknya yang hampir mencair—mereka nan aneh karena menikmati makanan dingin di tengah musim gugur berangin seperti ini. Walau sebenarnya, jauh lebih patut dipertanyakan pula mengapa truk es krim yang identik dengan musim panas lalu masih bertahan, bahkan ramai digandrungi. "Kenapa kau minta maaf?"
Sang Hyuuga masih menatapnya, sebelum gadis itu melakukan sesuatu yang sangat gila.
Sangat gila, hingga Naruto tahu bagaimana rasa ketika seluruh darah di tubuh terasa mendidih—bahkan tak yakin jika hanya dengan es krim akan membantunya.
Hinata yang mendekat—terlalu dekat, mengelap bibirnya dengan jemari kecil dan lentik sang dara. Namun, Naruto juga tak menyadari bahwa terdapat lelehan es krim bercokol di sana. "Apa kau tidak menyadarinya? Ini lumayan banyak, loh. Sebentar—"
Gila, gila, gila.
Naruto merasa kewarasannya hilang, dan Hinata yang kembali mengelap tubirnya dengan tisu kepunyaan sang dara.
"Es krimnya sudah sangat mencair, tidak mau dihabiskan lebih dulu?" Atau bahkan Hinata mengelap pula sejenak jemarinya yang kini dilelehi oleh es krim.
"Y-ya," Pemuda itu bahkan tak berani menatap manik kecubung pucat keperakan itu. Menahan segala debaran di dada, memilih untuk menghabiskan satu kerucut es krim yang telah mencair dalam satu kali waktu. Mengucapkan terima kasih yang tak terlalu jelas karena juga tengah menikmati rasa dingin dan mengunyah kerucut nan manis. "T-teima kasih..."
Manis, manis, manis.
Sama seperti Hinata yang kini tersenyum lebih manis. Menggeleng sejenak, sebelum kembali menikmati satu suapan gulungan kayu manis terakhirnya. "Pelan-pelan."
"Ya..." Dengan sekali telan, Naruto mulai mengusap bibirnya kasar dengan punggung tangan. Lengket. Namun, pemuda itu tak terlalu peduli.
"Kau bisa ambil tisuku, kok." Hinata yang telah menyelesaikan pastrinya itu menyodorkan satu pak tisu yang berukuran sangat kecil—tak kurang dari segenggam. Naruto harus menahan diri mengapa gadis ini tampak begitu sangat bercahaya bak sesosok malaikat—dan narasi terakhir entah mengapa terdengar cheesy bagi sang pemuda itu sendiri, tetapi begitulah kenyataannya. "Pasti lengket juga, ya? Apakah ada keran umum atau toilet di sekitar sini? Atau kau mau pakai air minumku?"
Sang dara yang memang pula membeli sebotol air mineral.
Naruto berdeham, menyesali mengapa pemuda itu tak membeli air mineral jua karena kini tenggorokannya terasa agak aneh. Sang Uzumaki menggeleng—menolak halus tawaran Hinata. Ada keran umum di taman ini, tetapi jaraknya memang agak lumayan membuat malas. Namun, pemuda itu memilih untuk melawan rasa malasnya daripada menghabiskan air mineral sang gadis. Berpikir bahwa dengan berjalan dan melihat-lihat pemandangan lain, setidaknya perasaan aneh yang muncul dalam hati ini terkendali. "Ada keran air minum di sini, agak jauh jauh memang. Tapi, tidak apa-apa. Sayang jika pakai air minummu."
"Ah, tapi tidak apa-apa. Aku bisa minum sedikit kok—"
"—dan kau perlu banyak minum. Makan pastri begitu pasti agak mengganjal." Naruto berdiri, pemuda itu mengusahakan sebuah senyum. "Tunggu di sini sebentar, ya. Tidak ada akan kutinggalkan, kok! Dan kalau ada yang menawarimu permen, jangan mau, ya!"
"Memangnya aku anak kecil?" Hinata sedikit mengerutkan tubir, Naruto tertawa kecil—merasa setidaknya pilihan yang terbaik adalah untuk menjauhi sang dara saat ini. Naruto yang tidak pernah merasa hal seperti ini sebelumnya, sama sekali tidak tahu harus berbuat apa.
.
Pemuda itu berjalan dan berjalan. Menyusuri taman kota yang masih ramai; para orang tua nan menjaga maupun bermain bersama anak-anak mereka, kolam taman yang tampak bercahaya dengan barisan bebek nan berenang, para orang yang hanya sekadar bersantai—terduduk di rumput maupun nan memang telah siap untuk berpiknik.
Naruto akhirnya tiba pada tujuan sementara senja kala itu—mencuci tangan; membasuh keseluruhan wajah, dan sedikit meminum air. Membiarkan angin musim gugur mengeringkan seluruhnya.
Dalam memori kembali terbayang bagaimana sang dara nan mendekat; menyentuh tubirnya dengan jemari kecil lentik dan hangat—
—gila.
Sang Uzumaki kembali membasuh wajahnya, tak peduli jika pakaian dan rambut pemuda itu telah ikut basah pula. Pemuda itu kepanasan, Naruto merasa kepalanya akan meledak.
"Gila," Naruto mencengkram dadanya. Tak hanya kepala, bahkan jantungnya mungkin akan meledak terlebih dahulu. "Kayaknya aku sekarat."
Namun, dengan segala hal yang hampir membunuhnya saat ini—hati pemuda itu berteriak untuk tetap bersama dengan si dara Hyuuga bermahkota nila. Tak ingin berpisah. Dan itu terasa tiba-tiba saja.
Atau lebih gila lagi, kini sang pemuda yang telah merindukan si dara—padahal belum ada sepuluh menit mereka berpisah.
Naruto harusnya sudah masuk rumah sakit jiwa.
•
Hinata ada di sana. Masih terduduk di atas rerumputan—tak peduli mungkin akan kotor, dengan senyum manis yang seperti tak pernah lepas dari tubir itu. Memandang keramaian yang nyata. Cahaya mentari musim gugur mungkin tak secerah kala musim panas, tetapi tetap mampu memberikan cahaya lebih indah ketika menimpa sang dara Hyuuga daripada sekadar kaleidoskop.
Naruto menelan saliva, telinganya bagai tuli akan keramaian. Hanya seakan-akan dersik yang terdengar, pun anak-anak rambut mereka nan terbawa oleh semilir yang selalu menyapa. Tak sadar telah menghentikan langkah, menatap gadis itu dari sini dengan lamat-lamat dan klandestin. Dan tak sadar pula akan senyum juga euforia yang telah memenuhi jiwa.
Sang dara Hyuuga bermahkota nila bak malam itu menoleh ke arah Naruto berdiri diam saat ini, manik kecubung bagai rembulan tampak memicing—sebelum pada akhirnya berdiri. Tampak mendekat dan mendekat.
Sang Uzumaki yang kembali menelan segala rasa. Ketika Hinata tiba di hadapannya dengan pandangan penuh tanya.
"Kita jadi pulang sekarang, 'kan?" Gadis itu mengangkat sebelah aslinya.
Tidak, aku tak ingin pulang dan tetap bersamamu. "Ya, kita akan pulang."
Mereka berdua berjalan beriringan, Naruto yang kembali melangkah. Jarak mereka yang terlampau dekat daripada sebelumnya. Tangan pun jemari mereka yang hampir bersentuhan, bahkan hangatnya saja telah terasa. Sang pemuda yang entah keberapa kali kembali mengingat bagaimana halus jemari Hinata menyentuh tubirnya.
Halus, wangi, hangat—oh, Hinata memang seindah namanya.
Punggung tangan mereka bersentuhan ketika segerombolan remaja tanggung ikut keluar dari taman dengan rusuh, sesekali menyenggol orang lain. Dengan segera didasari oleh refleks, Naruto menggenggam tangan kecil milik Hinata. Agak mendengus tak suka melihat sekumpulan remaja tadi.
"Dasar," Pemuda itu berdecak. "Kau tidak apa-apa, Hinata?"
"Tidak apa-apa, uhm—" Nada Hinata yang agak ragu membuat sang Uzumaki segera tersadar akan genggaman tangannya pada si dara.
"Maaf, refleks." Namun, Naruto memang nama lain dari kegilaan. Pemuda itu tetap menggenggamnya, bahkan kini lebih erat. "Tapi sepertinya aku harus tetap menggenggam tanganmu deh, sedang ramai-ramainya. Aku takut kau terbawa arus, kau sangat kecil soalnya."
Modus. Mungkin jika orang tua maupun seluruh kawan baiknya tahu akan hal ini, Naruto akan digoda setengah mati.
Naruto menyiapkan diri untuk sebuah penolakan. Akan tetapi, genggaman tangannya malah terbalas. Sebuah senyum malu-malu dan wajah merah nan manis—lebih manis daripada permen apel menjadi pemandangan paling berharga bagi sang Uzumaki sore itu.
"B-baiklah jika begitu, terima kasih, Naruto-kun."
Naruto tak bisa menolak seluruh kegilaan ini.
Ketika pemuda itu melirik, Hinata rasanya juga memiliki perasaan yang sama. Sama-sama gila. Jadi, apa lagi yang ditunggu oleh mereka?
•••
•••
•••
"Oi, makan!"
Gadis itu menghela napas melihat sesosok pemuda yang tengah bersandar di pintunya nan kini terbuka. "Ayo, makan malam! Hari ini khas Jepang loh, ada ayam katsu dan kari!"
"Ketuk dulu, Kak! Privasi!"
"Siapa suruh pintunya tidak dikunci, bahkan terbuka sedikit?" Kakak laki-lakinya itu masuk, menyeringai ketika melihat sang adik tengah berkutat di hadapan laptop yang menyala. Menampilkan sebuah perangkat lunak pengolah kata. "Cieee, lagi nulis fanfik, ya? Sekarang dari mana idenya? Makanan? Lagu? Atau kau yang berhalusinasi saat dispensasi sekolah? Himawari, jangan ngenes begitu dong~"
"Kak Boruto!" Sementara pemuda yang bernama Boruto itu tertawa. Himawari mendengkus, menyimpan sejenak seluruh pekerjaannya—tak pula memilih opsi untuk menidurkan laptop secara sementara. Gadis itu melirik tumpukan buku di atas meja belajarnya, terdapat sebuah buku harian dan scrapbook yang sama-sama terlihat tua. Beruntung kakaknya itu tak menyadari keberadaan mereka. Himawari berdiri dan kemudian mencubit pinggang sang pemuda. Boruto meringis, tetapi tetap saja ekspresi jahil takkan pernah lepas dari wajahnya. "Rasakan!"
"Ish, ish!" Pemuda itu merangkul adiknya. Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari kamar Himawari. Boruto yang kembali jahil dengan mengusap asal mahkota nila—membuat Himawari kembali menahan segala rasa kesal karena tatanan rambutnya berantakan. "Jangan gitu dong, Hima. Fanfikmu bagus-bagus, maafkan aku, Adik sayang."
"Sudahlah, Kakak menyebalkan!" Keduanya sudah mendekati ruang makan, Himawari berusaha melepaskan rangkulan sang kakak. Sedikit berlari menuju papa mereka yang baru saja aman duduk setelah membantu istrinya meletakkan makanan ke atas meja. Memeluknya dengan manja. "Papa!"
"Kenapa, Sayang? Boruto lagi? Duh, kalian sudah pada besar masih saja begini." Papa mereka menggeleng, menepuk-nepuk punggung putrinya lembut. "Mana tidak bantuin Mama."
"Hehehe, maaf, Papa. Nanti Hima bakal cuci piring deh. Tuh, suruh kak Boruto juga!"
"Aku bantu Mama tadi, ya! Tadi aku bantu goreng katsu, kok. Iya, 'kan, Ma?" Dan kini Boruto yang mendatangi sang mama nan akan duduk di salah satu meja—berhadapan dengan papa.
Mama mereka hanya menghela napas, tersenyum singkat saja. Seperti sudah sangat terbiasa dengan kelakuan dua anaknya. "Iya, terima kasih, Boruto-tampan."
"Sama-sama, Mamaku yang cantik sedunia!" Boruto terkekeh, pun sang papa maupun Himawari yang kini menggoda mama mereka nan memerah wajahnya.
"Mama kenapa merah-merah kayak kepiting rebus? Hahaha." Himawari memilih duduk di samping papa. Mereka yang akan memulai makan malam dengan segala kehangatan nan terpancar malam ini. "Omong-omong, iya deh! Nanti aku yang cuci piring semuanya."
"Terima kasih, Hima." Mamanya kini mengganti senyum malu-malu dengan sebuah kurva penuh kesenangan. "Terima kasih juga buat Papa dan Boruto yang sudah membantu Mama tadi. Yap, sekarang lebih baik kita makan."
"Selamat makan!" Mereka yang mengucapkannya serentak, mulai mengambil masing-masing milik mereka. Saling bercengkrama. Papa dan mama menanyai tentang bagaimana kehidupan mereka dari mahasiswa daring karena pandemi yang akan menjadi luring. Segala persiapan maupun kesiapan lainnya.
Boruto yang kini telah memasuki semester lima jurusan antropologi dan Himawari semester satu jurusan humaniora Asia, mereka sama-sama berhasil mendapatkan UCLA. Kampus ternama yang membuat papa-mama bangga. Walau sebenarnya papa telah bergelar doktor dari universitas yang tak kalah keren (bahkan lebih keren), Universitas Stanford—dan mama telah mengambil gelar yang sama dari universitas nan sama pula kala mengandung mereka berdua.
Sekali waktu, Boruto dan Himawari pernah merasa tertekan karena gelar pula prestisius orang tua mereka—tetapi, papa juga mama ialah manusia paling suportif di dunia. Sejak kecil keduanya membebaskan untuk memilih sesuatu yang disukai dan memang baik bagi Boruto dan Himawari.
"Nanti kita akan mampir ke Stanford juga, menginap di rumah Kakek dan Nenek selama dua hari—satu malam. Kalian pamit dengan mereka, ya. Minta doa restunya juga." Mama menjelaskan sembari membantu Himawari mengambilkan kuah kari yang lumayan jauh dari tempatnya saat ini.
Boruto dan Himawari memang akan diantar oleh papa dan mama mereka dengan mengendarai mobil dari kota mereka mulai tumbuh—Portland, Oregon menuju kota di mana mereka akan menghadapi dunia—Los Angeles, California. Dan tentu, ini akan menjadi sebuah perjalanan darat yang panjang selama berhari-hari. Namun, orang tua mereka tampaknya tak keberatan. Karena papa lah yang pertama kali menyarankan—bahkan kini rela mengambil cuti terpanjang di tahun ini demi putra dan putrinya.
Gadis nila itu menggumamkan terima kasih, sebelum tersenyum lebar penuh tulus—setitik pula ada rasa geli di sana. Himawari dan Boruto lahir di Stanford karena papa sempat memboyong mama untuk tinggal di sana selama awal lima tahun pernikahan mereka. Tinggal di rumah kakek dan nenek. Sebelum papa akhirnya dipindahtugaskan ke Oregon dan membangun rumah penuh kenangan mereka sendiri di sini.
Himawari kembali tersenyum. Pernikahan papa dan mamanya yang agak unik.
"Aku rindu Kakek dan Nenek! Andai kita bisa bertemu Kakek Hiashi juga. Ah, aku juga rindu sama Paman Neji, Bibi Hanabi, Bibi Tenten, Kak Natsu, Kak Ko, dan Kak Sarada—pokoknya semua. Kapan, ya, kita ke Jepang lagi?" Keluarga mereka sebelumnya hampir tiap tahun akan selalu jalan-jalan tiap musim panas dan dingin. Menginap di rumah kakek dan nenek di Stanford, atau pergi ke Jepang mengunjungi sanak saudara mereka yang lain dalam sebuah libur panjang.
Namun, semenjak Boruto resmi menjadi mahasiswa dan segala pandemi kemarin—sangat sulit untuk melakukan kebiasaan itu lagi. Kakak laki-lakinya itu jarang pulang ketika libur tiba.
"Kalau musim panas tahun depan Jepang sudah benar-benar dibuka untuk tujuan wisata, Papa sih mau. Coba tanya Kakakmu itu loh, Hima. Kemarin saja sudah sok tidak pulang pas liburan. Mama 'kan orangnya juga tidak tegaan kalau harus meninggalkan dia sendiri." Papanya agak mencibir sang kakak.
Boruto agak mengerucutkan tubir. "Ya, maaf. Bagaimana, ya, pas awal semester dulu kan sering ada kegiatan antar fakultas. Mau tidak mau harus tetap ada di kampus. Tapi, kalau nanti betulan mau pergi—tentu aku ikut!"
"Ya kalau begitu, semoga saja Papa juga tidak ada kerjaan yang mendesak."
"Kukira sudah fix," Himawari mengikuti jejak sang kakak—mengerucutkan tubir. "Tapi sepertinya, jika libur panjang—aku bakal tetap pulang, sih. Antara ke sini atau ke Stanford. Menghabiskan libur sama Kakek dan Nenek mumpung dekat."
"Ya, 'kan tunggu situasi dan kondisi di sini dan di sana dulu, Himawari sayang." Papanya menggeleng pelan. "Kalau oke mah, kita pasti langsung pergi."
"Omong-omong, Pa," Boruto seperti teringat sesuatu. "Masa di Tok Tik lagu kesukaan Papa trending loh. Yang ada bus-busnya."
Papa mereka mengernyitkan dahi. "Yang bus-bus?"
Seketika senyum Himawari cerah bercampur jahil pula. Mungkin gadis itu sempat sebal dengan kakak laki-lakinya sebelum mereka memulai makan malam, tetapi kini Himawari harus berterima kasih karena telah membawa percakapan ini—secara tiba-tiba pula. "Oh, yang itu. Aku tahu, kok."
"Yang mana?" Bahkan mamanya yang ikut dalam rangkaian ini. Mungkin sesuatu yang menyenangkan akan terjadi, tambahan ide untuk fanfiksi nan tengah ditulis Himawari.
Pemudi bermahkotakan nila pendek itu berdeham. Berpura-pura tengah bermain sebuah gitar tak kasat mata. "Yang seperti ini—And if a double-decker bus, crashes into us~"
"To die by your side is such a heavenly way to die~" Boruto yang ternyata hafal, melanjutkan sekenanya. "And if a ten-tonne truck kills the both of us~"
Himawari menahan seringai melihat bagaimana papa dan mama tampak terkejut; wajah mereka memerah, ada setitik rasa salah tingkah juga. "To die by your side, well, the pleasure, the privilege is mine~"
"Oh," Papanya tetap berusaha keren—membuat Himawari harus menahan tawa. "The Smiths. There Is a Light That Never Goes Out, lagu kesukaan Mama juga, 'kan?"
"A-ah, iya. Kalau lagunya bisa trending, berarti memang benar bagus 'kan?" Mamanya yang tampak ragu-ragu.
"Vibes lagunya memang sebagus itu, walau agak gelap. Di bagian refrain, aku bisa membayangkan dua orang yang sedang jatuh cinta sedang berjalan beriringan, dengan keramaian dan musik dari musisi jalanan yang bernyanyi lagu itu—terus sebuah bus tingkat lewat.
"Mereka yang jadi menggumam dalam hati tentang konspirasi semesta. Pada akhirnya mereka berdua menikmati senja di taman kota dan bergandengan tangan tak ingin kembali jika harus berpisah satu sama lainnya—duh! Aku harus mencatatnya! Ini ide dan diksi yang bagus! Terima kasih, Kak!" Himawari mengepalkan tangan, dan kembali melirik sejenak pada reaksi papa juga mama.
Mama yang kini memandangnya lamat-lamat agak curiga dengan wajah memerah dan papa nan mengerutkan kening—seakan-akan mengenali cerita itu.
"Aku tidak terlalu tahu telah membantu apa, tapi tolong letakkan nama penaku di catatan ceritamu juga, ya!" Boruto tersenyum. Pemuda itu kemudian tertawa. "Omong-omong, aku punya ide. Kalau ceritanya mereka berawal dari perjodohan iseng dan diterima karena nekat, bagaimana? Tapi jarak mereka lumayan jauh. Aneh sekali tidak sih?"
"Tidak juga," Himawari memandang Boruto aneh, mata kakaknya itu agak berkilat jahil juga. Gadis itu malah takut dirinya yang diisengi sang kakak kalau salah bicara. "Semua bisa terjadi, apalagi kalau—uhm—dalam fanfiksi."
Himawari yang agak ragu mengatakan kalimat terakhir.
"Dan—" Boruto menjentikkan jarinya. Kalau bus tingkat, berarti latar ceritanya sebelum tahun 2000-an, kan? Hmmm, dan selama ini mereka bertukar kabar pakai apa memangnya? Surat? Agak maksa, ya?"
"Jangan salah, Kakak lupa bahwa dulu sudah ada surel?" Himawari menggigit bibir, gadis itu sama sekali tidak berpikir bahwa kakaknya akan melanjutkan hal ini. Dalam bayangannya pemuda itu mungkin hanya berniat menggoda atau mengejek bercanda. Atau mungkin Boruto telah membaca fanfiksinya, tetapi rasanya agak aneh karena jika pun terbaca tadi—tak akan sedetail ini.
"Aku lupa, iya, surel! Lawak juga sih tapi, virtual lewat surel! Saat bertemu langsung, awalnya canggung. Tapi bisa diteruskan sama seperti narasimu tadi saat mereka mendengar lagu The Smiths yang dinyanyikan oleh musisi jalanan. Terus keduanya mulai membicarakan selera musik, ternyata mereka juga sama-sama suka city-pop!"
Kali ini gadis itu memandang Boruto horor, tak dapat lagi berkata-kata. Pemuda itu tampak seperti tahu dengan jelas bagaimana fanfiksi dengan karakter Ramen dan Taiyou yang memang tadi tengah ditulisnya. Kisah yang hampir mirip dengan cerita milik papa dan mamanya untuk pasangan kesukaan mereka berdua dari animasi Jepang berjudul Ramen Ninja.
Kisah papa dan mamanya. Nathan Wave dan Hinata Wave. Atau papa yang lebih ingin dipanggil sebagai Uzumaki Naruto.
"Loh? Mama, Papa—kalian kenapa? Kenapa diam saja? Tenang kok, Himawari pasti menulis fanfiksi paling tinggi rating untuk remaja." Himawari bersumpah melihat kakaknya itu menyeringai sekilas. Dan papa dan mamanya—
—wajah mereka memerah, bahkan hampir meledak!
Apa jangan-jangan—
"Papa tahu, kalian tahu sesuatu 'kan?" Naruto—sang papa, bertanya dengan segala rona di wajahnya.
"Tahu apa, Pa?" Namun bukan Bolt Wave atau Uzumaki Boruto namanya jika tidak jahil. "Oh, ya, Himawari. Aku juga kepikiran, nanti tolong tulis adegan di mana Ramen makan es krim, tapi belepotan, ya. Nah, Taiyou yang membersihkannya karena Ramen tidak sadar. Aduh, andai aku bisa menulis sebaik kamu—onegaishimasu, Himawari!"
"Kalian—pasti ambil sesuatu dari gudang, ya?" Naruto tak bisa menahan diri, pria itu akhirnya tersenyum lebar, tetapi agak aneh. Mungkin karena salah tingkah juga.
"Hehehe, setahun lalu aku menemukan buku yang isinya dua orang lagi bucin gara-gara dijodohkan iseng dan berkomunikasi via surel. Terus saat pertama kali bertemu, di akhir hari—laki-lakinya malah mengajak perempuan itu untuk segera menikah. Tambah konyol ketika itu diucapkan si laki-laki karena si perempuan mengingat hari ulang tahunnya dan memberikan kado sebuah scrapbook kecil yang lucu. Terus mereka berdua benar menikah dan punya dua anak paling lucu sedunia, deh. Sepertinya masuk dengan ide Hima tadi."
Hinata—sang mama, telah menunduk, menahan malu. Sementara papa mereka yang tak dapat menahan gelak tawa. "Kalian menemukannya?"
"Kalau yang Papa maksud catatan harian dan sebuah scrapbook tua yang isinya surel dan potongan lagu—aku sudah membaca itu lama sekali. Sejak aku masih SMA bahkan. Tapi kalau sekarang, kurasa aku melihatnya di kamar Himawari."
Terjawab sudah. Himawari sedikit cemberut kala menyadari bahwa dirinya bukanlah anak pertama yang mengetahui buku harian dan scrapbook tua itu. Sang dara baru menemukannya sekitar tiga hari yang lalu saat tengah membantu papa membereskan gudang. Di dalam lemari bekas milik papa yang katanya lebih tua daripada usia Boruto, terdapat sebuah kotak berukuran sedang nan diingat Himawari berisi dot bayi dan mainan pertama milik anak-anak keluarga kecil Uzumaki. Ketika dibuka, sang gadis malah mendapatkan sesuatu yang lain—sebuah buku harian dan scrapbook. Tertuang segala kisah papa dan mama di sana. Membuat Himawari benar-benar merasakan euforia bak menemukan harta karun paling berharga di dunia.
Namun, pada akhirnya gadis Uzumaki itu tersenyum, kemudian tergelak. "Maaf, Pa, Ma. Izinkan aku untuk membuat fanfiksi dari cerita kalian yang unik ini."
"J-jadi, kalian tadi ingin menggoda kami?" Hinata dengan wajahnya yang masih memerah parah.
"Tidak juga, sebenarnya aku mau menggoda Himawari yang telah menemukan itu—bahkan langsung dijadikan ide fanfiksi. Tapi sekali dayung, dua pulau terlampaui. Himawari kayaknya juga mau menggoda kalian tuh, jadi aku sebagai Kakak yang baik harus membantu, 'kan?"
"Tapi tumben juga kau tidak aneh-aneh saat bercerita tentang kisah kami, Boruto. Biasanya 'kan kau yang suka mengelak tidak jelas." Naruto menatap putranya itu.
Uzumaki Boruto masih tergelak. "Ya, bagaimana, ya. Kalau Papa sama Mama gak aneh dan terkesan gila, kami belum tentu ada di sini 'kan? Hasil virtual surel akhir 90-an. Terima kasih buat Kakek Hiashi, Nenek Kushina, dan bercandaannya Kakek Minato!"
Makan malam mereka hari itu kemudian dilanjutkan oleh kisah langsung dari papa dan mama. Boruto yang terkesan enggan, tetapi tak luput menggoda. Pun Himawari yang dipenuhi oleh ide-ide untuk menulis cerita.
Tidak ada akhir untuk kisah nekat, dadakan, dan penuh gila milik Naruto dan Hinata—karena segalanya yang terjadi barulah menjadi awal dari mereka.
•
Naruto menutup pintu, bergabung dengan Hinata yang masih terduduk di pinggir ranjang mereka. "Himawari sudah selesai mencuci, aku juga telah mengunci semuanya. Kenapa tidak langsung tidur saja?"
"Ah, iya. Hanya lagi memikirkan sesuatu kok."
Pria itu menarik lembut wanitanya ke dalam pelukan—melemparkan diri ke atas ranjang dan mengecup mahkota nila milik Hinata. "Memikirkan apa?"
"Tidak menyangka bahwa Boruto dan Himawari sudah sebesar ini, mereka yang akan meninggalkan kita berdua saja. Aku jadi takut jika aku tidur malam ini, ketika aku terbangun—mereka bahkan telah menikah dan benar-benar telah meninggalkan rumah. Mereka yang sudah memilki keluarga kecil mereka sendiri, atau bahkan kita yang telah punya cucu." Hinata mengelus pelan wajah suaminya. Mengikuti garis-garis pada pipi yang menurut kepada seluruh anak-anak mereka. Berwajah rubah, berkumis kucing—sangat memikat bagi Hinata. "Tidakkah kau juga berpikir demikian?"
"Tentu," Naruto mengambil tangannya, mengecupi buku-buku jemari sang wanita. "Tapi, kalau terus dipikiran—malah jadi tambah khawatir. Aku yakin anak-anak kita sudah dewasa, dan aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka."
"Terkadang aku masih tak menyangka," Hinata menghela napas. "Baru seperti dua hari lalu aku menggendong Boruto yang masih merah, sekarang—bahkan ada Himawari dan mereka berdua sebentar lagi akan sarjana."
"Kalau memiliki Boruto terasa dua hari yang lalu, maka saat bertemu denganku kapan? Lima hari yang lalu? Atau empat?" Naruto tertawa kecil, dengan gemas mengusap rambut Hinata—kembali menciuminya; dari rambut hingga ke wajah. Dengan segala rona kemerahan di pipi—oh, betapa Naruto mencintainya.
"Yap, rasanya baru lima hari yang lalu saat Ayah memintaku untuk cepat-cepat mencari jodoh, lalu tiba-tiba saja beliau memberikanku surel juga nomormu. Kau pasti bosan akan cerita ini, Naruto-kun. Tapi aku benar-benar merasa stres karena mengirim surel perkenalan lebih dulu, sampai sekarang aku berpikir—aku kerasukan apa waktu itu?" Hinata tersenyum, menyamankan diri dalam dekapan sang suami.
"Aku tak akan pernah bosan mendengarnya," Naruto kini menyejajarkan wajah mereka. Mencium singkat ujung tubir Hinata. "Karena kita juga sama. Sama-sama gila, 'kan waktu itu?"
Hinata tertawa kecil. "Ya. Dan rasanya juga, baru empat hari yang lalu akhirnya kita bertemu setelah bertukar banyak surel. Kamu yang menggodaku, juga makan es krim dengan berantakan. Paling membuatku semakin tidak waras, ketika kamu malah melamarku hanya karena aku memberikanmu scrapbook."
"Karena kau terlebih dahulu juga membuatku gila, Hinata. Bayangkan perempuan aneh bertubuh pendek dan berpotongan gaya rambut hime dengan segala kecanggungannya. Berani membalas rayuanku, bahkan berani-beraninya mengelap bibirku! Kau pikir kau siapa?" Naruto tak tahan untuk kembali mengecup ujung tubir istrinya, dan kini mencubit pelan hidung Hinata. "Terus memberiku hadiah scrapbook seperti itu. Kau pikir aku ini robot yang tidak punya perasaan? Mana scrapbooknya gemas begitu lagi. Kau juga 'kan yang secara tidak langsung mengakui perasaanmu padaku?"
"Tapi, kau memiliki perasaan yang sama juga 'kan, Naruto-kun?" Hinata masih geli dengan nada marah yang jelas pura-pura dari suaminya itu. Sang wanita Uzumaki mengelus pelan dahinya. Membuat Naruto menutup mata menikmati elusannya.
"Iya, dan rasanya aku yang jatuh lebih keras," Senyum mengembang di tubir Naruto. "Memang dasar, putrinya Paman Hyuuga ini."
Hinata kembali tertawa, wanita itu mencubit pelan pipi sang pria dengan gemas. "Tidak, aku dari awal sudah jatuh sangat keras padamu."
"Oh, kau memulai ini lagi," Naruto mengecup sekilas hidung istrinya. "Aku lah yang jatuh keras, keras, dan lebih keras padamu. Dasar aneh!"
"Tapi—dari segala yang telah terjadi, aku benar-benar seperti sedang bermimpi saja." Hinata membalas kecupan sang suami. "Karena baru seperti tiga hari yang lalu, kita akhirnya benar-benar menikah."
Naruto tersenyum, entah yang keberapa kali. Memang seperti mimpi, bagaimana seluruh dari bagian sepanjang umur mereka ini dapat terjadi. Pria itu bahkan juga masih mengingat dengan jelas bagaimana awalnya menerima perkenalan dengan putri kawan lama sang ayah karena curhatan hati ibu; mendapat surel pertama dari Hinata juga rasa berdebar menunggu surel berikutnya; dan bertemu calon istrinya itu untuk yang pertama kali. Dan telah berani pula membayangkan banyak hal bersama Hinata—bahkan se-ekstrem membayangkan bayi!
Boruto benar—kisah mereka ini gila, dan sangat mendadak. Aneh. Naruto juga masih bisa merasakan sensasi bagaimana dirinya hampir benar-benar meledak ketika Hinata saat itu menyadari dan mengingat hari ulang tahun sang pria—bahkan memberikan sebuah hadiah manis. Wajah memerah Hinata saat itu juga benar-benar seperti baru saja terjadi. Masih segar dalam ingatan, ibunya—Kushina—menjerit senang dan ayah pemuda itu yang terkejut karena Naruto menginginkan sebuah pernikahan. Masih ingat juga bagaimana, wajah galak Neji kala mereka bertemu dengan dampingan keluarga untuk pertama kali—atau wajah bijaksana dari ayah mertuanya, Hiashi.
Pernikahan mereka diadakan dua kali; di Jepang dan Amerika. Semuanya sangat bermakna. Hinata yang sangat cantik dengan balutan gaun putih nan menghampirinya di gereja juga shiromuku dengan latar kuil dengan bunga sakura. Rasanya, Naruto telah mendapatkan seluruh dunia.
"Aku benar-benar harus berterima kasih kepada Ayah—Ayahmu dan Ayahku," Naruto memainkan mahkota Hinata dengan jemarinya, manik safir itu yang kini memandang dengan tulus. "Mungkin kamu lah salah satu alasan mengapa aku terlahir di dunia—karena kau lah segala-galanya bagiku. Tuhan, terima kasih."
•
•
•
Selesai
•
•
•
•••
Tangan mereka yang masih saling tergenggam. Bus yang sore itu seluruhnya padat, membuat mereka memiliki alasan denial untuk tak saling melepaskan. Berdiri—menahan untuk tak saling melemparkan diri ke sebuah pelukan. Berharap agar waktu berhenti untuk saling lirik melirik. Bak tengah berbicara dari mata ke mata, hati menuju hati.
Bus ramai—akan suara dan juga kepala. Namun keheningan malah mendera di antara Naruto dan Hinata. Hingga bus berhenti di tujuan terakhir mereka di ujung waktu kebersamaan ini pun, tangan mereka masih saling berbagi kehangatan. Berjalan beriringan—dengan segala angin menuju malam yang berembus manis. Keduanya yang sengaja memperlambat langkah.
Namun, angan hanya akan jadi angan kala matahari benar-benar tenggelam—awang-awang yang menggelap. Sebuah bangunan bertingkat yang seakan-akan menjadi penghalang bagi mereka.
Hotel tempat Hinata menginap telah berada di depan mata.
"Jadi, kita sudah sampai." Hinata tersenyum canggung, melirik genggaman tangan mereka. "Terima kasih banyak untuk hari ini, Naruto-kun. Aku sangat senang bisa bertemu langsung denganmu."
"Ya..." Namun, jelas sulit bagi Naruto untuk melepaskan. "Terima kasih juga Hinata. Senang bertemu denganmu."
Dan kembali hening di antara mereka, dengan genggaman tangan yang seperti selamanya.
"N-Naruto-kun—"
"Boleh aku mengantarmu sampai ke dalam?" Naruto sudah memborong segala kegilaan.
Gadis itu mengangguk. "Tentu, mungkin kau bisa menghangatkan diri terlebih dulu. Sekarang sudah agak dingin, tapi apakah tidak apa-apa? Bukannya besok kau akan bekerja?"
"Tidak, dingin seperti ini tidak ada apa-apanya bagiku." Dengan masih saling menggenggam erat—mereka memasuki hotel. Beberapa orang melirik, tetapi tampaknya mereka tak terlalu peduli pula.
"Jadi—" Hinata yang kembali melirik genggaman tangan mereka—sudah lupa nan keberapa kali. Namun, tiba-tiba saja gadis itu tersentak. "—oh, tunggu. Aku hampir lupa. B-bisa lepaskan sebentar? Ada sesuatu yang harus kuambil."
Manik kecubung pucat bercampur perak itu berharap, mana mungkin Naruto menolak. Dengan agak tak rela, pemuda itu melepaskan. "Baiklah..."
Tautan tangan mereka terlepas. Hinata segera membuka tasnya—mengambil sesuatu. Naruto bersumpah dapat melihat rona merah hadir pada pipi pualam itu walau terhalang anak rambut.
Sebuah buku kecil.
Hinata tersenyum—lebih manis dari segala manisan yang pernah Naruto cicipi. "Untukmu. Maaf aku hampir lupa."
"Untukku?" Sang pemuda mengangkat alis.
"Hadiah ulang tahun. Selamat ulang tahun, Naruto-kun. Maaf sedari tadi aku benar-benar lupa, padahal salah satu tujuanku juga memberikanmu ini." Hinata yang benar-benar memikat.
"Aku?" Naruto menunjuk dirinya sendiri. "Kenapa?"
"Kenapa?" Pemuda itu yakin—Hinata tengah mengerutkan dahi. "Kan hari ini kau ulang tahun. Sekarang masih sepuluh Oktober, walau sudah malam."
"Sekarang tanggal sepuluh? Bulan Oktober?"
Kini gadis itu memandangnya aneh. "U-uh, iya?"
Naruto mengerjap. Pemuda itu bahkan tak terlalu mengingat tanggal hari ini, ayah dan ibu Naruto pun tampak tak menyadarinya. "T-terima kasih..."
"Maaf jika isi buku itu amatiran, aku baru saja belajar membuat yang seperti itu." Hinata yang kembali memainkan jemarinya gugup. "Maafkan aku juga karena harusnya kamu sekarang merayakannya dengan beristirahat atau bersama dengan keluarga, tetapi malah menemaniku seharian dan dibuat kelelahan begini. Maaf."
Tak ada seorang pun yang menyangka bahwa gadis itu akan membungkuk dalam—membuat Naruto benar-benar merasa seperti orang bodoh.
"H-hei, jangan. Jangan membungkuk begitu. Ingat, aku juga yang memutuskan waktu 'kan?" Naruto menggenggam lengan gadis itu, membantunya untuk bangkit. Menatap wajah mungil itu. "Aku yang seharusnya sangat berterima kasih. Aku bahkan lupa kalau hari ini ulang tahunku. Ayah dan Ibuku sepertinya tak sadar juga.
"Lagi pula, sudah lama aku tidak mendapatkan hadiah saat ulang tahun. Jadi, terima kasih banyak, Hinata."
Euforia, euforia, dan euforia. Naruto benar-benar makin menggila.
Hinata bahkan mengingat hari ulang tahunnya—lebih baik daripada teman dekat dan rekan kerja sang pemuda. Sekali lagi, padahal, ini baru perjumpaan pertama. Dengan manis pula gadis itu menghadiahinya buku kecil dengan aroma khas yang memang milik Hinata. Lavendel bercampur setitik vanili yang kini sangat disukai sang pemuda. Dan tadi—sang mudi Hyuuga itu juga berkata bahwa dibuat sendiri olehnya.
Oh, betapa Naruto mencintainya.
Sebuah teriakan dari dasar hati nan belum terlalu disadari sang pemuda.
Sang dara Hyuuga itu kembali tersenyum. "Uhm, aku agak tidak percaya kalau seorang Naruto-kun tidak mendapatkan hadiah ulang tahun..."
Naruto tersenyum lebar—matanya ikut menyipit. Pemuda itu kemudian tertawa. "Benar, kok. Sudah beberapa tahun terakhir aku tidak pernah mendapat hadiah selain ucapan dan doa. Orang tuaku juga sama saja, bilangnya karena aku sudah dewasa. Malah tiap ulang tahun, uangku melayang karena pada minta ditraktir."
Gadis itu mengurvakan tubir. "Oh, ya, tolong sampaikan salamku ini pada Paman Minato dan Bibi Kushina. Ayah juga menitipkan hal yang sama. Kami semua berharap mereka selalu baik-baik saja dan dilimpahi kebahagiaan."
"Tentu, pasti akan kusampaikan. Omong-omong, apa ini?" Naruto yang kini tampak tertarik pada buku kecil itu. Sampulnya dibuat dengan menggunakan berbagai macam tempelan kertas warna-warni, koran bekas, majalah, bahkan beberapa stiker lucu berwarna serupa jingga—warna kesukaan si Uzumaki. Pemuda itu baru saja akan membuka untuk mengetahui isi, tetapi Hinata menghentikan pergerakan Naruto dengan menggenggam telapak tangannya. Kembali dan kembali, rona merah menguasai wajah si dara. "Eh? Kenapa?"
Dalam hati, ada setitik rasa senang melihat bagaimana melihat tangan mereka yang kembali bersentuhan. Walau tak berlangsung lama karena Hinata yang lagi dan lagi dengan gugup menggenggam tali tasnya—kali ini tampak sangat kuat, hingga mungkin saja jika gadis itu merupakan orang terkuat di dunia, tali kain nan tebal itu akan seketika putus.
"L-lihatnya k-ketika kau sudah p-pulang saja." Gadis itu yang bahkan jauh memerah daripada sebelumnya. Membuat Naruto makin bertanya-tanya.
"Memang kenapa jika aku melihatnya sekarang?"
Hinata tak segera menjawab, terdiam sejenak—sebelum mencicit pelan. "A-aku malu..."
"Kenapa harus malu? Kurasa ini bagus, ini scrapbook 'kan? Scrapbook ini keren!" Naruto kembali membuka scrapbook itu. Pemuda itu berhasil saat ini karena Hinata tak sigap untuk kembali menghentikannya.
Dan sekarang, sang Uzumaki lah yang tertegun. Scrapbook itu—gila. Apakah Hinata kurang waras karena segala yang dilakukan gadis itu hari ini? Menjadi begitu aneh dan manis secara bersamaan; menjawab segala rayuannya dengan sebuah persetujuan; dengan berani menyentuh bibir Naruto yang ternoda oleh es krim dengan jemari hangatnya; menyetujui tautan tangan mereka—
—dan scrapbook ini.
Hinata menunduk, dan Naruto makin menggulirkan halaman.
Tuhan, bagaimana bisa ada orang semanis ini?
Scrapbook itu berisi berbagai percakapan mereka dalam surel—terutama segala balasan dari Naruto. Visualisasi tempat-tanggal lahir, makanan favorit, dan sebagainya. Beberapa bagian disisipkan lirik lagu yang sesuai atau beberapa kalimat dalam bahasa asing yang tak Naruto ketahui artinya.
Gadis itu—Hyuuga Hinata. Naruto tak tahu harus mengatakan apa. Perasaan pemuda itu yang membuncah hingga ke angkasa.
Pada akhirnya Naruto tak tahan untuk mengucapkan kata paling gila di penghujung pertemuan mereka yang pertama.
"Hinata, ayo kita cepat-cepat menikah."
Gila, gila, gila.
.
.
.
Catatan: Bahkan saya tidak tahu tengah menulis apa.
