Beatrixmalf presents
SATU SAMA LAIN DAN KEMIRIPAN LAINNYA
(yes, this is me! Will explain why I came up with a different username later)
Disclaimer: Harry Potter and all the universe within or without belong to J.K. Rowling. I only use it for non-profit purposes.
Note: Timeline dua-tiga tahun setelah Pertempuran Hogwarts. Alternate Reality: Voldemort belum mati, Pelahap Maut masih hidup, beberapa karakter yang terbunuh dalam perang di buku ketujuh Harry Potter seperti Ted Tonks juga belum mati. Orde Phoenix membagi mereka dalam sistem rumah lindung, dan Daphne, Draco, dan Hermione berada di dalam satu rumah lindung sementara Harry, Ginny, dan Pansy ada di rumah lindung lainnya.
"Kau tahu," Daphne Greengrass berkata dengan nada merenung dari balik konter dapur, di hari musim gugur yang cerah yang sangat jarang ditemukan di tengah-tengah kecamuk perang. "Kalian berdua mirip jika dilihat-lihat. Sama-sama tidak memedulikan penampilan. Selalu memakai lengan panjang. Selalu muncul dengan wajah kuyu daripada kita semua. Dan selalu pergi kemana-mana membawa buku—kecuali kalau kita menjalankan misi, tentu saja."
Dua subyek yang dibicarakan Daphne, yang duduk tak jauh di sampingnya, mencoba untuk tidak saling bertatapan, meskipun gadis yang bersurai coklat bisa merasakan pemuda berambut platinum itu mengerlingnya. Ia sendiri juga balas melirik pemuda itu hanya ketika Draco Malfoy mengalihkan pandangannya, kembali ke kaserol yang ia aduk-aduk.
Bekas luka di lengan dan Tanda Kegelapan yang mereka tutupi dengan baju lengan panjang. Jarang tidur di malam hari, bahkan pada malam-malam yang paling damai sekalipun. Hermione dengan buku 'bacaan ringan'-nya. Draco dengan notebook ajaib yang bisa memunculkan paragraf dari buku-buku terpilih yang ingin dibaca lelaki itu.
"Jangan mengada-ngada, Daphne," Hermione akhirnya berkata, sebelum berdiri dan bergabung dengan Daphne di konter untuk membantunya mencuci piring para penyihir yang bersemayam di rumah lindung empat—rumah lindung tempat mereka bernaung. "Bukan hanya aku dan Malfoy yang kehilangan jam tidur dan waktu untuk peduli dengan diri sendiri. Kau juga tidak memedulikan penampilanmu—bila dibandingkan ketika kau di Hogwarts."
Hermione mendengar Draco mendengus.
"Well, tapi kurasa kesamaan kalian memang mencuat. Yang kusebutkan itu hanya sebagian yang belum semuanya."
Hermione tidak berkata apa-apa lagi sesudah itu. Tidak pula Draco, yang memutuskan untuk mengabaikan Daphne sepenuhnya dan kembali dalam karakter diam yang ia tumbuhkan dalam dua tahun mereka berperang melawan komplotan Pangeran Kegelapan.
.
.
.
Namun Daphne memang brengsek, karena sejak saat itu Hermione selalu memerhatikan kesamaan di antara dirinya dan Draco.
Dari hal remeh. Bukan hanya soal pakaian dan penampilan. Atau ketertarikan mereka pada buku dan pengarsipan. Tapi juga kesukaan Draco untuk membuka jendela di rumah lindung pada pagi hari, membersihkan diri seberapapun ia lelah seusai pulang bertempur atau seberapa larut mereka rampung melaksanakan misi, hingga memilih cangkir keramik berwarna biru dengan pegangan—yang juga disukai Hermione dan sayangnya hanya ada satu di rumah lindung.
"Geminio," tutur pemuda itu suatu pagi, ketika mereka berdua muncul di dapur dalam pakaian tempur lengkap untuk pergi ke Devon siang itu. "Kau sudah menatap marah cangkirku selama lima menit."
"Wiski Api-mu ikut terduplikasi!" protes Hermione, yang juga menyipitkan matanya. "Dan itu bukan cangkirmu."
Dan malam itu, seusai bertempur, Hermione juga menemukan kesamaan-kesamaan lain yang ia tambahkan di dalam daftar panjang kesamaan yang mereka miliki. Bagaimana hanya Draco yang berada di sisinya ketika Hermione bersitegang dengan Kingsley, berkata bahwa strategi melawan secara kolektif dalam rombongan besar ketika mereka terkepung adalah strategi yang payah, yang membuat mereka kehilangan Dean Thomas malam itu.
Atau ketika tiba-tiba Draco muncul di bordes tersembunyi di balik loteng, mendudukkan dirinya di samping Hermione meskipun hujan turun dengan sangat deras dan air dari langit tempias hingga membasahi boot Hermione yang belum ia lepas.
"Aku tidak bisa tidur."
"Aku juga."
"Di sini dingin—tetapi aku tidak ingin berada di dalam, di dalam kehangatan … ketika dadaku rasanya lebih dingin dari temperatur ini, setelah melihat Dean remuk jadi abu di dekatmu."
Draco tidak berkata apa-apa, tetapi hanya mengangkat tangannya ke sudut bordes yang paling banyak terkena air hujan, menyambut dingin di telapaknya, seakan-akan mengiyakan perkataan Hermione.
.
.
.
Setengah tahun berlalu, dan semakin banyak kesamaan yang ia temui—meskipun Daphne tak pernah mengungkit kesamaan mereka lagi, hanya sesekali mengangkat alis ketika Draco dan Hermione secara tidak sengaja mengucapkan kata-kata yang persis sama, atau bagaimana mereka berdua muncul bersamaan di rapat misi, meskipun tak pernah merencanakannya (atau kadang-kadang karena mereka habis mengobrol berdua di bordes luar loteng).
Hermione menemukan kesamaan mereka ketika mereka bertempur. Draco mengandalkan kutukan-kutukan yang mematikan, tetapi tidak berbuah pada kematian, bahkan seringkali mengombinasikan dengan instrumen lain seperti Bubuk Kegelapan Peru atau Denting Siren yang mengecoh musuh dalam jumlah banyak. Untuk strategi mereka ini, Alastor memanggil mereka Petarung Cerdik. Hermione juga menghargai Draco karena ini.
Hermione menemukan kesamaan mereka ketika mereka menjalankan misi. Hermione sebenarnya merupakan seseorang yang lebih baik dalam menjalankan misi seperti Draco lebih baik daripada dirinya di medan perang, tetapi kedua strategi mereka sama: dalam satu misi harus ada pembagian orang dalam tim-tim kecil yang saling menjaga dan saling berkomunikasi, sehingga bila ada sesuatu yang terjadi pada mereka, tim kecil bisa berimprovisasi tanpa harus menunggu yang lain.
Hermione juga menemukan kesamaan dengan Draco ketika pemuda itu selalu mencari matanya di tengah kerumunan ketika mereka berperang, di tengah-tengah rapat, ketika merayakan kemenangan dan bahkan kekalahan, seperti ingin meneguhkan satu sama lain.
Ketika perang bertambah intens dan beban bertambah berat di punggung mereka, Hermione juga menemukan beberapa kesamaan dengan Draco, seperti bagaimana mereka memutuskan untuk melepas tekanan dengan aktivitas ekstrem seperti berenang di sungai ataupun mengamati kecamuk badai di dalam badai itu sendiri, seperti yang mereka lakukan di dua malam yang lalu, dan empat hari sebelumnya, ataupun seminggu sebelumnya, meskipun Hermione selalu memastikan Draco dan dirinya mengonsumsi ramuan serta obat-obatan—sihir ataupun Muggle—untuk mencegah sakit.
Juga, dan hingga, pada satu malam.
Ketika Orde kehilangan Minerva McGonagall, Ted Tonks, dan Theodore Nott secara bersamaan dalam satu pertempuran yang fatal, mereka berdua sama-sama enggan untuk melakukan tindakan ekstrem yang dapat melupakan rasa berkabung yang mereka tangguh. McGonagall adalah figur penting untuk Hermione seperti Ted Tonks untuk Draco. Dan Theo adalah sahabat terdekat Draco.
Mereka pantas menanggung duka karena kehilangan orang-orang yang mereka sayangi.
Hermione melihat mata kelabu Draco malam itu. Hari itu, Draco tidak menatapnya, tetapi juga tidak menatap siapa-siapa ketika tiga pusara disemayamkan di pelataran belakang rumah lindung satu—rumah lindung terbesar yang menjadi tempat Kingsley, Ron, dan Harry tinggal. Maniknya terlihat begitu jauh dalam dukanya, tetapi tidak ada air mata yang menetes dari netra awan mendung itu. Tidak sama dengan Hermione yang tak bisa menghentikan air matanya, tetapi gadis itu meyakini Draco berduka dengan caranya sendiri, dan duka yang mereka tanggung sama beratnya.
Malam itu mereka tidur di rumah lindung satu.
Ketika malam sudah mencapai hampir subuh dan ia mendengar suara langkah Draco menyeberangi koridor kamar Ginny yang menjadi kamarnya untuk sementara (Ginny mengungsi ke kamar Harry), Hermione meluncur turun dari kasurnya. Menuju kamar Draco. Merasa yakin bahwa seperti dirinya, Draco tidak ingin melakukan tindakan yang ekstrem, tapi mungkin ingin melakukan satu hal yang Hermione rasakan sejak tadi, tapi ragu untuk ia lakukan.
Hermione membuka pintunya perlahan—
—dan tercenung. Pansy ada di atas kasur yang pemuda itu tempati, duduk menghadap Draco dan membelai rambut pemuda itu, menciumi rahang Draco dengan lembut sembari berbisik hal-hal yang tak bisa Hermione tangkap. Keduanya sama-sama tidak memakai atasan, dada Pansy tertimpa cahaya bulan yang menyinari kulit halusnya—tanpa cela—tidak seperti dada Hermione yang membawa luka abadi dari kutukan Dolohov.
Tindakan ekstrem. Ia sama-sama memikirkan satu hal seperti Hermione—tetapi bukan dengan gadis itu.
Hermione berharap ia bisa menghilang tanpa suara di tengah debaran jantung yang kali ini menyakiti dadanya, tetapi bunyi keriyut pintu mengkhianati keinginannya.
Pansy lah yang melihatnya. "Granger."
Kemudian ia melihat Draco tersentak dari posisinya, tetapi Hermione tak tahu—dan tak mau tahu—kelanjutannya, karena ia telah berlari ke kamarnya dan mengunci pintunya dengan sihir, lalu mendaraskan mantra peredam suara ke koridor di depan kamarnya agar ia tak perlu menghadapi hal-hal yang akan tambah menyakitinya malam itu.
Pagi datang terlalu lekas hari itu, tetapi Hermione adalah seorang pemberani, maka ia turun ke dapur dengan maksud menjerang teh. Tiga pasang mata balas menatapnya ketika ia masuk ke dapur, satu pasang berwarna kelabu badai.
"Hermione," sapa Daphne, ketika gadis itu mengambil teko teh yang masih mengepul dari tangan Daphne. "Masih memakai baju pemakaman, kah? Sama dengan Dra—"
"Tidak sama," Hermione menjawab tajam, sedikit terlalu tajam hingga Daphne tersentak dan membuat gadis itu merasa bersalah. Ia melembutkan suaranya. "Malfoy mungkin masih memakai baju pemakaman karena ia belum sempat berganti baju setelah sibuk melupakan kesedihannya. Aku memakai baju ini untuk menghormati McGonagall—dan akan kupakai selama dua hari kedepan."
Hermione mengambil cangkirnya, meninggalkan dapur, tidak bersusah payah melirik Draco ataupun Daphne, yang menatap Draco dengan pandangan sedikit marah.
.
.
.
Hermione merasa ia dan Draco sungguh berbeda sejak saat itu. Atau ia berusaha keras untuk lebih melihat perbedaan di antara dirinya dan Draco, agar dadanya tidak perlu terlalu sesak ketika memori beberapa hari yang lalu berulang dan turut menambah duka yang ia rasakan dengan kepergian McGonagall.
Ia mengubah semua kebiasaannya. Pergi langsung ke kamarnya betapapun ia merasa sedih pasca menjalankan misi atau turun bertempur, bukannya pergi mencari kegiatan ekstrem ataupun duduk di bordes. Membawa bukunya ke kamar alih-alih membaca di perpustakaan. Tidak mengangkat matanya dari tangannya ketika Orde menyelenggarakan rapat sehingga ia tak perlu mencari manik kelabu yang biasanya tengah memandangnya—atau mungkin juga tidak. Hermione bisa merasakan perubahan pada tubuh dan pada emosinya, tetapi ia tak peduli.
Berinteraksi sekenanya, berkomunikasi sekenanya. Sesekali ia mendapati Draco tengah menatapnya, sekali waktu pemuda itu tampak ingin menghampirinya, tetapi Hermione selalu berhasil menghindari pemuda itu. Atau mengelak darinya.
"Apa yang kau lakukan?" suatu hari Daphne muncul di kamarnya, berkacak pinggang, menduplikasi sikap tubuh yang kerap dilakukan Hermione ketika gadis itu tengah naik pitam. Gadis bersurai pirang pucat itu menatap cangkir teh yang ada di nakas di samping kasurnya, buku-buku yang bertebaran di semua sudut, hingga jendela imitasi yang menunjukkan pemandangan alam yang disihir gadis itu untuk mengobati rindunya dengan udara luar. "Apakah kau akan mengurung diri terus?"
"Aku tidak mengurung diri."
"Oh, katakan itu pada seluruh orang di rumah lindung ini dan takkan ada yang percaya padamu!" sergah Daphne tajam. "Kenapa tidak kau selesaikan saja masalahmu ini—yang kuyakini terkait dengan satu orang?"
"Apa yang kau maksud?" Hermione menatap teman dekatnya—satu-satunya sahabat yang berada di rumah lindung yang sama—ketika Harry, Ron, dan Ginny berada jauh sekali darinya.
"Draco."
Hermione tidak membuka mulutnya.
Daphne mendesah dramatis. "Oh, ayolah, Hermione. Sampai kapan kau akan tetap dalam sikap diammu ini? Apakah kau butuh keyakinan dariku, bahwa apa yang ia dan Pansy lakukan malam itu merupakan kesalahan, kesalahan yang sangat teramat bodoh, tetapi tetap kesalahan dan tidak menghapus bagaimana ia sebenarnya menganggap dirimu?"
Jadi Daphne tahu alasan yang melandasi sikapnya.
"Daphne, pergilah." Hermione memijit pelipisnya. "Aku tidak ingin untuk berbicara soal hal ini. Aku sedang mematangkan misi untuk malam ini, dan kau membuatku pusing—"
"—justru itulah, intinya! Kalian ini sungguh-sungguh sama hingga tak bisa menghadapi satu sama lain—"
"DAPH!" Hermione sengaja berteriak, agar Daphne sadar dirinya benar-benar serius dan topik soal Draco merupakan sebuah hal yang takkan dibicarakannya. Apalagi dengan kondisi Hermione yang grogi dan gelisah mengantisipasi misi nanti malam. "Pergilah. Aku benar-benar perlu waktu sendiri."
"Dariku atau dari semua orang, atau dari seseorang secara partikular?"
Hermione menatap Daphne dan terdiam. Daphne balas menatapnya dengan mata biru gelapnya. "Aku tidak tahu. Tapi jelas tidak darimu—asalkan kau tidak memaksaku untuk membicarakan hal-hal yang hanya akan menyakitiku. Dan Daphne, misi nanti malam adalah misi paling besar yang akan kutanggung. Aku tak ingin… sakit hatiku ini…" Hermione menahan lidahnya, tetapi raut wajah Daphne menunjukkan bahwa ia sudah mendengar apa yang sebenarnya dirasakan Hermione. "… tak ingin sakit hatiku ini mengaburkan konsentrasiku dan membahayakan kalian—kita semua."
Daphne menatapnya sedetik, dua detik, tiga detik, lalu menyeberangi ruangan dan mencium pelipis Hermione. "Oh, sayangku." Lalu ia menangkup pipi Hermione. "Kalau begitu izinkan aku untuk menemanimu di sini?"
Hermione mengangguk.
.
.
.
Misi itu berujung fatal.
Setidaknya bagi Hermione, yang ditunjuk sebagai pemimpin misi. Tim mereka, yang terdiri dari delapan orang, harus menyelamatkan Luna Lovegood dan Hestia Jones yang terperangkap dalam salah satu Pelahap Maut—Travers. Namun, meskipun mandat dari Kingsley adalah hanya menyelamatkan mereka berdua, rumah Travers—yang berada di dekat pelabuhan—merupakan tempat bahan-bahan mentah dipasok pertama kali untuk diolah menjadi barang-barang dengan ilmu hitam, dan Hermione merasa mereka harus turut menyerang gudang logistik.
Kingsley awalnya tidak setuju. Tidak pula Draco dan Harry, yang hari itu juga diutus untuk menjalankan misi ke jantung pertahanan utama kedua setelah Malfoy Manor: Grimmauld Place No. 13.
"Kau gila? Kalian hanya bertujuh, dan kami semua akan pergi ke Grimmauld Place." Draco menatapnya dengan pandangan kelabu setengah-murka, dan tatapan itu juga membangkitkan amarah Hermione. Memangnya dia siapa? "Dan menilik sikap heroikmu, aku menduga kau akan bersukarela untuk pergi sendiri ke gudang, sementara yang lain bergerak berdua-berdua."
"Apabila itu tujuanku, memangnya mengapa? Dengan jantung pertahanan kedua diserang, Pelahap Maut di batalion kedua akan membutuhkan bantuan cadangan dari batalion ketiga, yang isinya adalah Travers dan komplotannya. Kalau perhitungan kami benar, hanya akan ada sedikit orang yang berjaga di rumah Travers, dan menganggap bahwa gudang logistik bukan sesuatu yang penting, kami bisa sukses dan melumpuhkan persediaan mereka sementara Kingsley dan kalian menyiapkan misi utama untuk menumbangkan Sang Pangeran—"
"—tapi itu hanya ketika kau benar, dan itu adalah asumsimu—"
"—Malfoy ada benarnya, Hermione—" suara Harry sekarang.
"Hermione benar. Jika Luna dan Hestia selamat, mereka juga bisa membantu kita." Setidaknya, Ginny ada di pihaknya. Ginny mengalihkan tatapan tajamnya dari Draco ke Hermione. "Tapi aku juga tak suka fakta bahwa tidak ada yang menemanimu. Kirim aku ke tim Hermione, Kingsley. Kau sudah memiliki lima penduel di sisimu. Belum lagi kau turut membawa Para Petarung Penerbang. Dan jangan melawanku, Harry."
Namun bahkan dengan persetujuan Kingsley dan tambahan Ginny di sisi mereka, Hermione salah kalkulasi—meskipun bukan salahnya sepenuhnya. Pelahap Maut telah membangun strategi menyeramkan yang membuat mereka bisa bergerak pada portal dua-dimensi yang menghubungkan mereka di antara dua tempat, yang mengakibatkan beberapa Pelahap Maut bisa menari-nari di antara dua ruang—Grimmauld Place dan Rumah Travers—dan menyebabkan mereka kalah jumlah.
Ginny, Oliver, Daedalus Digle, dan Cho harus mempertahankan garis depan dan berduel, sementara Hermione, Daphne, dan Susan Bones meliuk-liuk mencari jalan masuk ke penjara bawah tanah dan menemukan hanya satu dari dua tahanan yang selamat; Hestia Jones telah tertidur dengan abadi di samping Luna Lovegood yang menatap mereka dengan mata yang merah dan cekung.
Di saat itulah, dua Pelahap Maut muncul di pintu. Dengan kondisi Daphne dan Susan yang memapah Luna, Hermione berkata lirih dan mendesak agar mereka mengalihkan perhatian kedua Pelahap Maut itu dan membawa Luna untuk segera ber-Apparate ke rumah lindung, sementara ia menelusup keluar dari penjara bawah tanah ke gudang logistik yang terletak di belakang rumah. Mereka berdua mengangguk, meskipun Daphne memandangnya dengan tak yakin.
Setidaknya Hermione berhasil mencapai gudang logistik, tetapi sebelum dua mantra bertabrakan di udara, dan ia melihat—dengan hati mencelos—Travers sendiri tiba di dekat gudang logistik bersama Pelahap Maut bertopeng yang tak dikenalnya. Ia terpaksa berduel. Kutukan demi kutukan bisa ia tangkis, meskipun duel berlangsung tidak seimbang karena satu lawan dua, tetapi Hermione tidak bisa mencapai gudang logistik sama sekali dengan jarak sejauh ini dan rintangan seberat ini.
Hingga Hermione tiba pada sebuah kesimpulan, bahwa ia harus meledakkan gudang tersebut dengan bom sihir yang ia bawa, sekaligus untuk membuat Travers dan Pelahap Maut satunya terpukul ke belakang, tapi itu berarti—
—menaruh dirinya di titik ledakan yang tak jauh darinya, atau merisikokan diri terkena kutukan dari kedua Pelahap Maut. Kecuali ketika ia bisa melucuti senjata satu Pelahap Maut, sebelum melempar bom, dan itulah yang ia lakukan.
Ketika ledakan itu terjadi, Hermione hanya bisa merasakan telinganya berdenging sangat kencang dan ia, Travers, serta Pelahap Maut terlempar ke arah yang berlawanan, kutukan Travers menabrak pinggangnya dalam usahanya berkelit.
Kegelapan segera menjemputnya, dan ia bisa merasakan tangan kematian meraih tubuhnya di tengah kabut asap yang membakar dirinya di luar dan di dalam.
.
.
.
Kematian harusnya tidak seberisik ini.
Atau selama ini.
Atau sepedih ini.
Tapi apa yang ia tahu soal Kematian?
Ia bisa mendengar suara dua orang laki-laki, tidak, tiga, meskipun yang satu tampaknya tidak banyak berbicara. Ia mendengar, "Ia nyaris mati" dan "Kau sampai pada waktunya" dan "Seharusnya aku berada di sana" yang ditangkis dengan nada penuh amarah dari penyihir yang sering diam.
Sekali waktu ia sempat mendengar suara Daphne, "Kau harus kembali, karena aku benar. Dan hatinya milikmu," tapi Hermione tidak mengerti, kembali ke mana? Ia bukannya sudah mati, karena ia berniat mati? Bukankah kutukan fatal berwarna merah menabraknya di pinggang, dan ia berjarak sangat dekat dengan ledakan?
Hermione merasa aneh. Ada satu waktu ia merasa ia berada di tempat yang sangat gelap. Tanpa suara, tanpa cahaya. Tanpa bau, tanpa sensasi, tanpa rangsangan. Hermione memohon pada suara kosong untuk membawanya ke tempat yang ia kenali. Ke tempat yang tidak semengerikan ini. Ke tempat di mana ia bisa merasa hidup dan dicintai. Ke tempat ia merasa punya nama.
Hermione bisa mendengar suara sayup-sayup, jauh sekali, "Aku ingin membawanya ke kamarnya, Potter. Pengobatan ini bisa dilakukan di kamarnya—Abbot juga sudah menyetujuinya. Aku tahu apa yang kulakukan," lalu ia merasa dirinya diterpa sensasi seperti terbang, meskipun kegelapan dan mati rasa masih melingkupinya.
Ia juga merasa ada bau yang menentramkan—harum kayu-kayuan dan sabun yang maskulin, yang membuat kegelapan meluntur meskipun hanya sesaat, dan ia membatin agar ia tak ingin apapun—atau siapapun—yang mengeluarkan bau itu pergi atau disingkirkan.
Hermione merasa kegelapan itu melingkupinya berhari-hari, tiap jam, tiap menit, tiap detik, meskipun harum itu sering berada di sana, hingga suatu hari, ia bisa membuka mata.
Cahaya dan suara segera menusuk indra pendengaran dan penglihatannya, tetapi Hermione terlalu lemah untuk bersuara. Ia menahan rasa sakit itu, mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha menarik napas dengan teratur, dan perlahan-lahan bisa menatap sekelilingnya.
Jendela artifisial di ujung ruangan yang menunjukkan warna merah gelap. Lemari dan rak buku-buku. Nakas kecil tempat ia menaruh vas bunga dan walkman—satu-satunya benda Muggle di dalam kamar itu. Meja dorong dengan aneka ramuan dan kuali yang tampaknya ditaruh seseorang di sana. Dan pemuda yang tertidur di sampingnya, hanya sejengkal dari dirinya, sedikit mendengkur meskipun keningnya tetap berkerut.
Jadi ia belum mati. Mungkin hanya terbaring koma beberapa hari. Dengan Draco Malfoy tertidur di sampingnya. Sulit bagi Hermione untuk mencerna kondisinya tanpa ada orang yang sadar di dekatnya, apalagi perasaannya, jadi ia hanya memakai momen itu untuk menatap Draco, yang berbaring menyamping di kasurnya yang tidak terlalu besar (meskipun muat berdua), satu tangannya ditekuk di bawah pipinya sementara yang satu lagi menggamit jemari Hermione—meskipun ia tak terlalu bisa merasakan jemarinya sendiri. Rambut Draco jatuh di pelipisnya, seperti yang kerap dibayangkan gadis itu, dan dalam keadaan normal, Hermione mungkin akan menyingkirkan beberapa berkas rambut yang jatuh hingga menutupi kelopak matanya—
Kelopak mata itu terbuka, menampilkan mata kelabu badai yang pertama-tama tampak tak fokus, berubah menjadi bingung, dan berubah menjadi terkejut, "Granger," katanya kaget, lalu Draco langsung terduduk. "Kau sudah bangun."
Hermione ingin menjawab, "Ya," tapi suaranya begitu serak. Draco mengambilkan gelas yang terletak di meja dorong yang katanya ditaruh oleh Hannah di sana, membantu Hermione duduk, lalu meminumkan gelas itu perlahan-lahan. Saat air di gelas itu sudah habis, Hermione berkata ia menginginkan satu gelas lagi, dan Draco mengambilkannya lagi, dan ketika ia merasa tenggorokannya sudah membaik yang mungkin memengaruhi suaranya juga, Hermione bertanya, "Jam berapa sekarang? Tanggal berapa? Apa yang terjadi?"
Draco menatapnya, rautnya ambigu, meskipun ada rasa geli, sendu, lembut, bercampur frustasi di sana. Untuk apa, Hermione tak tahu. "Sekarang hari Kamis, tanggal 6 September 2021. Kau baru saja melewati koma selama enam hari, Granger. Aku yang harusnya bertanya padamu dulu. Apa yang kau rasakan?"
Hermione ingin melawan, tapi pertanyaan Draco masuk akal. "Aku merasa …" Hermione berdeham. "Tidak enak pada tenggorokanku. Sedikit sensitif dengan mataku. Dan tubuhku terasa kaku dan sakit di beberapa sisi—terutama pinggangku, saat kau membantuku duduk tadi. Dan tangan kiriku …" Hermione melihat tangannya, yang ternyata salah satunya—yang digamit Draco tadi—masih terbebat perban hingga ke sikunya. "… tidak merasakan apa-apa."
Draco mengangguk muram. "Kau mengalami luka bakar yang parah di sisi tubuh kirimu. Yang paling parah adalah tangan dan wajahmu—tetapi Pomfrey telah memulihkan wajahmu dua hari yang lalu. Kau bisa menggerakkannya?"
Hermione mencoba menggerakkan wajah sisi kirinya. Ia mengaduh perlahan dan tangan Draco seakan ingin meraihnya, tapi pemuda itu mengurungkannya. "Sakit saat aku mencoba tersenyum terlalu lebar. Tapi jika berbicara seperti ini—tidak apa-apa." Hermione menatap Draco lagi, yang masih duduk di samping kasurnya dengan posisi yang janggal. "Sekarang aku boleh bertanya apa yang terjadi?"
Draco mendesah. Ia menceritakan soal ledakan di gudang logistik di rumah Travers yang nyaris menewaskan Hermione, tetapi seseorang berhasil menyelamatkannya tepat waktu dengan memanfaatkan portal dua-dimensi yang didaraskan oleh Travers. Seseorang ini menarik Hermione tepat waktu untuk menghindari keseluruhan ledakan dengan membawanya ke Grimmauld Place, tetapi kutukan Travers—kutukan komplikasi tubuh bagian dalam—mengenai gadis itu di pinggang yang membuat ginjal dan organ pencernaannya terluka. Pomfrey dan Abbot segera menolong Hermione, tetapi mereka juga memerlukan dokter bedah Muggle, yang akhirnya di-Imperio dan membantu proses pengobatan Hermione. Gadis itu selamat, tapi bukan berarti kesadaran dan kesembuhannya muncul dalam satu malam.
"Kau harus istirahat total selama seminggu ke depan."
Mata Hermione melebar. "Tapi, misi menumbangkan Sang Pangeran …"
"Jangan kau risaukan itu." Draco menatapnya aneh. "Pangeran Kegelapan sudah tumbang."
Draco menceritakannya soal kelumpuhan komplotan pengikut Voldemort sesaat setelah logistik mereka terbakar dan mereka menderita kekalahan di Grimmauld Place. Sehari setelah misi yang dipimpin oleh Hermione dan Harry berhasil, Malfoy Manor juga jatuh berkat serangan Arthur Weasley dan bantuan dari MACUSA—yang akhirnya tiba setelah dua tahun mereka memohon tindakan internasional untuk menolong situasi darurat di Britania Raya—dan mereka bisa menyerang Pangeran Kegelapan di kastil yang dibangunnya di tanah bekas rumah Keluarga Riddle berdiri.
Hermione kehilangan kata-kata selama beberapa saat. Ia masih merasa lambat. Dan belum bisa memproses semua hal secara bersamaan. "Tapi belum semua Pelahap Maut tertangkap?"
"Belum. Orde masih menyelenggarakan misi-misi susulan untuk mencari Pelahap Maut ke seantero negeri. Robards membantu Kingsley untuk mengajukan bantuan komunitas sihir internasional."
"Dan kau tidak ikut dalam misi penyerangan Pangeran Kegelapan, maupun misi mencari Pelahap Maut itu?"
"Tidak."
"Mengapa?"
Draco tak mau menjawabnya, tetapi Hermione melihat kaki Draco yang tertekuk aneh, yang juga membuat keseluruhan posisi duduknya janggal, dan baru menyadari bahwa …
"Kau memakai kaki palsu."
Draco hanya mengangguk.
"Orang yang menyelamatkanku dari ledakan dan kutukan Travers adalah kau, bukan? Dan kutukan itu sebagian mengenaimu. Tapi kutukan Travers tidak membuat dampaknya pada tubuhmu terlalu parah, karena …" Hermione terkesiap. "Kau pernah terkena kutukan itu tiga tahun yang lalu." Tepatnya di saat pemuda itu, Pansy, Theo, dan Zabini, berusaha kabur dari Pelahap Maut untuk bergabung dengan Orde Phoenix.
Draco menyeringai. "Beruntung sekali aku, bukankah begitu? Dan lagi-lagi kita punya kesamaan—sama-sama diserang Travers dengan kutukan yang nyaris membuat kita mati. Dan sama-sama memperoleh kesempatan kedua."
Hermione tidak menjawab Draco. Ia hanya menatap pemuda itu dengan serius, hingga seringaian Draco luntur, dan ekspresinya berubah menjadi hati-hati. Berubah menjadi siaga.
"Mengapa kau menyelamatkanku, Draco?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, nama pertama Draco membuat pemuda itu terkesiap, tetapi Hermione bahkan belum mengeluarkan pertanyaan lainnya.
"Mengapa kau di sini bersamaku? Dan memutuskan untuk tidak ikut misi—meskipun aku yakin kau bisa jika memaksakan diri seperti yang kau biasa lakukan?" untuk pertama kalinya, Hermione menampilkan rasa terluka yang ia yakin tercermin di matanya, setelah berbulan-bulan berusaha menutupinya dari semua orang—terutama pemuda yang ada di sampingnya. "Apakah kau akhirnya peduli padaku?"
"Aku berhutang banyak penjelasan padamu," hanya itu yang Draco katakan, meskipun Hermione menanyakan empat pertanyaan dan menampilkan kerentanannya. "Namun aku tak yakin ini adalah saat yang tepat—"
"Ini adalah saat yang tepat," potong Hermione tak sabar, mengangkat tangan kirinya sedikit seperti kebiasaannya, sebelum kulitnya tertarik dan ia meringis kesakitan. "Jika kau meninggalkanku tanpa penjelasan setelah kau tidur di sampingku—"
Ada seselip ekspresi humor di mata Draco sekarang. "Kau yang memintaku untuk tetap berada di sini, sebenarnya. Namun, Granger, aku selalu peduli padamu."
Draco terdiam selama beberapa saat, kelihatan kesulitan merangkai kata-kata. Lalu, "Bagaimana kau tidak melihatnya? Aku tak mungkin mau melewatkan waktu bersamamu sebegitu banyak, memerhatikanmu lebih dari—"
Draco menggeleng, seakan ia merasa apa yang barusan ia katakan bukanlah awalan yang pas untuk memulai penjelasan, atau terlalu sentimentil. Pemuda itu melayangkan pandangannya ke jendela artifisial Hermione, yang menunjukkan senja yang berubah menjadi malam, dan lilin-lilin di kamar Hermione otomatis menyala.
"Setelah Daphne sialan berkata kita memiliki beberapa kemiripan, aku mulai memerhatikanmu. Tentang hal-hal yang kau hargai. Tentang hal-hal yang kau apresiasi. Kebiasaan-kebiasaanmu. Prinsip-prinsipmu. Hal itu membuatku menyadari kita tak jauh berbeda, walau kita masih kerap berselisih paham atas hal-hal yang tak kita setujui, atau kau tidak sukai, atau tidak aku sukai. Meskipun itu hanya permulaan dari apa yang kurasakan padamu setelah aku mengenalmu—saat kau membelaku di hadapan banyak orang ketika semua orang mencurigai aku adalah mata-mata, setelah misi kita di Sheffield ketahuan, atau ketika kau menenangkanku di pinggir sungai saat aku mendapati ayahku sudah tiada. Kupikir kalau kesamaan kita lah yang membuatku mulai memerhatikanmu … cara kau memperlakukanku adalah hal yang membuatku—membuatku—"
Draco ingin merangkai sebuah kata, tetapi tidak jadi.
"Aku ingin memberitahumu. Kau ingat satu sore di mana kita melihat petir dan badai di pinggir tebing Cloughton?"
Hermione mengangguk.
"Kau mengeringkan rambutku dengan handuk—secara manual. Tak pernah ada yang melakukan itu padaku selain ibuku. Mungkin bagimu itu sebuah gestur yang biasa—tapi itu kau lakukan setelah sehari sebelumnya hampir semua orang mencurigaiku sebagai mata-mata, dan aku masih ingat tatapan Ginny Weasley dan Cho Chang saat mereka berdua melihat kau melakukan itu, dan perkataanmu pada mereka setelahnya. Saat mereka pergi, aku berniat untuk mengatakan sesuatu padamu. Atau menciummu." Draco tertawa pahit. "Namun dengan tuduhan Orde hari sebelumnya, dan juga hal-hal lain yang kupertimbangkan hari itu … aku merasa pengakuanku, atau tindakan impulsifku, hanya akan membebanimu dan menyeretmu dalam situasi sulit yang aku alami."
Hermione ingat hari itu. Draco memegang tangannya dan menatap matanya dalam-dalam—sesuatu yang jarang dilakukannya—dan dada Hermione berdegup kencang ketika pemuda itu melakukannya. Ia pun juga sudah merasakan suatu perasaan pada Draco sebelum itu, dan berharap Draco mungkin saja mengatakan sesuatu terkait itu, tetapi Draco ternyata hanya berterima kasih karena Hermione masih memercayainya setelah Orde menaruh kecurigaan besar padanya.
"Lalu ada malam itu. Malam saat kau melihat apa yang kulakukan dengan Pansy." Draco bersidekap. "Aku tidak membenarkan perlakukanku. Tapi aku ingin kau tahu bahwa setelah Theo dimakamkan …" suara Draco sedikit pecah. Hermione ingin meraih tangan Draco, tetapi ia pun juga berada dalam perasaan dingin saat ini. "… aku takut sendirian, hari itu. Di antara semuanya, aku ingin bersamamu. Jangan salah paham, aku tidak menginginkan… apa yang kulakukan dengan Pansy… hanya ingin ada di sisimu. Tapi aku tidak bisa masuk ke kamarmu—ke kamar Weasley."
Hermione merasa ia salah dengar. "Kau tidak bisa masuk ke kamar Ginny?"
"Si Weaslette brengsek itu mengatur mantra perlindungan di kamarnya untuk mencegah orang yang ia curigai sebagai mata-mata agar tidak bisa masuk ke kamarnya." Draco tertawa masam lagi. "Dan ingat bahwa Weaslette sangat mencurigaiku beberapa bulan sebelumnya? Dan ia belum memodifikasi mantra itu malam itu. Tapi aku tidak berpikir jauh ke sana. Kupikir kau menolakku, dan hanya menolakku karena aku melihat mantanmu masuk ke kamarmu setelah aku—"
"—Ron datang sebagai sahabat untuk bertanya padaku keadaanku, tidak lebih—"
"—aku tahu, dan aku tidak cemburu, ataupun menyerah, karena aku masih berusaha masuk ke sana untuk kedua kalinya dan masih tidak bisa. Aku kembali ke kamarku dan berpikir, mungkin kau memang sengaja … dan di saat itulah Pansy datang ke kamarku. Kau mungkin takkan memaafkanku, tapi bayangkan berada dalam posisi itu dan memang tidak ada apa-apa di antara kita. Dalam gerak-geriknya yang tidak diwajarkan oleh sebagain orang, Pansy juga merasa sedih dan membutuhkan kehadiran orang lain …" Draco melihat wajah Hermione, lalu ia berhenti. "Dan terjadilah apa yang kau lihat. Lalu kau membuka pintuku." Draco menatapnya. "Aku mencoba mendekatimu sesudah itu untuk bertanya padamu mengapa kau datang malam itu, tetapi kau tak pernah mau berada berdua denganku sejak empat bulan yang lalu. Dan aku tidak tahu mengapa, hingga lima hari yang lalu."
"Aku tetap tidak bisa masuk ke kamar si bangsat Weaslette saat ia menyuruhku untuk mengambilkanmu baju bersih saat kau dirawat di Rumah Lindung satu. Yang membuatku menyadari, ia lah yang mendaraskan mantra perlindungan untuk menolak-ku. Dan keesokan harinya, Daphne bercerita padaku bahwa di malam itu, kau juga ingin melewati waktu bersamaku."
Hermione mengingat suara Daphne menembus kesadarannya, "Dan hatinya milikmu."
"Lalu kusadari, aku begitu tolol—"
"—kita," Hermione berbisik, meralat Draco. "… sama-sama tolol. Daphne benar. Kita begitu mirip termasuk dalam menjaga harga diri kita, dan tidak pernah memperhitungkan sesuatu seperti—" Hermione menggelengkan kepalanya. "Aku akan membunuh Ginny sehabis ini."
"Tidak usah. Ia baru saja pulang dari misi semalam dan mengalami cukup banyak lebam dan benjol."
Hermione menatap Draco serius lagi. "Tapi, antara kau dan Pansy—"
"Tidak ada apa-apa di antara kami. Dan setelah kau pergi dari kamarku, aku meminta Pansy keluar dari kamarku juga. Kami belum berkomunikasi dengan intens sejak itu."
Hermione mengangguk. Ia ingin berkata pada Draco hal-hal yang melesak di benaknya, tetapi ia merasa matanya kembali memberat dan pinggangnya kembali sakit. Hermione meminta Draco untuk membaringkannya kembali, untuk tidak menghubungi Pomfrey malam ini (dan Draco juga berkata padanya bahwa Pomfrey telah menyampaikan bantuannya tidak diperlukan sesegera mungkin ketika Hermione sadar, karena ramuan dan obat-obatannya baru diberikan beberapa jam yang lalu), dan tetap berada di sampingnya hingga esok pagi.
"Tidurlah bersamaku, Draco," gumam Hermione, merasa matanya memberat, "Aku ingin menyampaikan banyak hal, tapi mungkin esok—"
"Tidak usah khawatir." Draco berbaring di sampingnya, menggamit tangannya—kini tangannya yang sehat.
"Dan kau pernah mengalami kutukan ini, kau pasti tahu bahwa salah satu hal yang mengobatinya adalah bersama orang yang mengingatkanmu pada rumah, dan aku memilihmu. Waktu itu kau memilih Narcissa, kan?"
Hermione membuka matanya sedikit, dan melihat Draco mengangguk. Narcissa—yang juga membelot ke Orde. Sebelum ibu Draco itu pergi meninggalkan mereka untuk membunuh Lucius, yang membunuh Andromeda malam sebelumnya.
"Draco, kalau-kalau kita merasakan perasaan yang sama …" bisiknya, "Apakah kau ingin menciumku?"
Hermione bisa melihat Draco menatapnya dengan pandangan terhibur. "Tentu saja. Lebih dari apapun."
"Cium aku, Draco. Aku ingin menginisiasinya duluan karena kau sudah mengakui perasaanmu lebih dulu, tapi aku sedang tidak berada dalam kondisi yang—"
Hermione tidak bisa menyelesaikan perkataannya karena bibir Draco telah menemukan bibirnya, begitu hangat setelah ia melewati ketidaksadaran yang gelap tanpa suara, warna, ataupun rasa aman, tangan kanan pemuda itu membelai alis Hermione, sementara tangan kirinya merengkuh punggung Hermione dengan lembut dan hati-hati—tangan kanan Hermione sendiri membelai bahu Draco.
Draco menarik dirinya, menyandarkan dahinya ke dahi Hermione, memastikan perempuan itu baik-baik saja, lalu memagut bibir Hermione lagi dengan lembut. Dan lagi. Dan lagi. Lalu ia berhenti, memindahkan telapak tangan kirinya untuk membelai pipi Hermione, dan sedikit menjauhkan wajahnya, meskipun tidak cukup jauh karena Hermione bisa merasakan napas Draco jatuh di bibirnya.
"Tidurlah."
Hermione merasakan kesadaran meluncur perlahan dari dirinya. Tapi ia bisa merangkai dua kalimat yang membuat pemuda itu juga tersenyum, dan akhirnya memejamkan matanya.
"Terima kasih telah menyelamatkan hidupku. Aku menyayangimu, Draco."
"Aku juga menyayangimu, Granger."
.
.
.
Keesokan harinya, saat Hermione dan Draco masuk ke dapur dengan Draco merangkul dan memapah gadis itu, Daphne lah yang pertama kali tersenyum lebar dan menyambut mereka, berkata bahwa sejak pertama kali, bukan hanya ia menyadari kemiripan di antara mereka, tapi juga bagaimana mereka menaruh hati untuk satu sama lain.
FIN
Author's Note:
Hi semuanya, ini saya Bea :)
Sebelumnya izinkan saya menangis dulu karena akun saya yang lama tidak bisa dipulihkan. Hwah! Saya tau konsekuensinya: hilang koneksi sama pembaca-pembaca setia fanfiksi saya di akun saya yang sebelumnya huhuuu *glundang-glundung. Tapi gak apa. Tujuan saya balik ke FFN adalah untuk refreshing, maka saya berharap walaupun ganti akun, saya akan dipertemukan kembali sama pembaca-pembaca yang dulu sering bertandang ke akun Beatrixmalf :') dan saya seneng banget kalo temen-temen bisa share berita bahwa Bea telah kembali tapi gak bisa balik ke akun lama. Hiks.
Eniwei, fanfiksi Dramione ini hanya pembuka, karena saya sedang menyiapkan satu fanfic lain tentang Draco dan Hermione di tahun ketujuh, multichapter singkat yang diperkirakan ada sekitar 5-6 chapter. Kalau ide fanfic yang ini berasal dari satu trope bahwa Draco dan Hermione itu punya banyak kesamaan: sama-sama anak tunggal, sama-sama pinter, sama-sama punya luka di lengan mereka, dan di sini saya berusaha bikin-bikin apalagi kesamaan mereka. Haha! Fic senang-senang karena multichap selanjutnya agak berat, begini teasernya:
Berakhirnya perang bukan berarti semua orang dapat hidup tentram, jiwa dan raga. Di tengah-tengah perjuangannya mengatasi serangan panik dan insomnia, Hermione Granger menemukan bantuan dari sesosok Draco Malfoy yang menemaninya dalam perjalanan melintasi memori yang tertuang di dalam Pensieve. Demikian pula sebaliknya. Meskipun Draco punya luka dan hantu-hantunya sendiri.
Semoga pembaca semua menyukainya, ya! Btw saya juga aktif di AO3, dan kalian bisa kepo-kepo soal profil AO3 saya di link yang ada di profil Bea! Mari mampir!
Tanpa berpanjang-panjang lagi, RnR, teman-teman?
