Solar memuntahkan isi perutnya—cairan bening—air putih dan es krim vanilla yang menjadi satu-satunya konsumsinya pagi itu.

Tepat setelah ia dan anak-anak tiba di rumah, rasa mual itu menendang ujung kerongkongannya. Aroma masakan dari restoran yang lolos ke rongga hidungnya lagi-lagi membuatnya tidak bisa menahan diri.

Ia berlari ke kamar mandi di dalam kamarnya untuk melegakan diri, hanya untuk dibuat berjongkok hingga kakinya pegal tanpa bisa mengusir sensasi yang mengguncang seluruh tubuhnya. Mau muntah pun tidak ada yang keluar sebab Solar tak makan apapun sejak tadi.

Tak ingin mengacaukan keseruan adiknya yang baru saja membuat teman, ia pergi duluan ke atas, meninggalkan mereka untuk makan siang di restoran. Mustahil baginya untuk duduk di tempat yang pekat dengan aroma rempah-rempah yang menusuk.

Kakinya terlanjur lelah—Solar menggunakan tenaga terakhir di ujung sana untuk menyeret tubuhnya ke atas ranjang. Sebuah tangan yang menyimpan sisa dingin dari udara di luar ia arahkan ke atas kelopak mata yang memanas.

Lagi, suhu tubuhnya naik setiap kali ia muntah. Solar ingin mengutuk seseorang. Entah dirinya, entah Tuhan, entah siapa, yang membiarkannya terbaring tanpa bisa berbuat apa-apa. Hanya menetap di ruang persegi di tengah kamar setelah menghabiskan energi hanya untuk melegakan dirimu, sangat menyedihkan.

Solar selalu membenci saat-saat ini—keheningan ini—di mana ia termenung selepas mengurus dirinya. Ia akui, kondisi ini hanya memperparah pikirannya yang kalut, tetapi ia terlalu lelah untuk jatuh tertidur.

Solar membenci keheningan sebab ia akan teringat kata-kata yang keluar dari mulut orang.

.

"Oh, karena itu, ya?" Sementara itu, si hidung besar tampaknya langsung menangkap apa yang dimaksud oleh anak sekongkolannya. "Kalian, kan, anak yang papa-mamanya gak jelas itu."

Kedua anak itu maju selangkah untuk membuat wajah mengejek.

"Mama kalian merawat kalian sendirian gara-gara gak punya ayah, kan?"

.

Bagaimana kalau kelak saat anak di dalam perutnya lahir, ia akan mendapati kata-kata seperti itu ditodongkan kepadanya?

Solar adalah sosok yang tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya di hadapan orang lain. Bahkan di saat ia ingin menangis, tenggelam ke bagian terdalam Bumi sekalipun, ia akan menatap balik kenyataan itu dengan pandangan mengejek balik. Namun, mustahil setiap anak tumbuh secerah dirinya yang tak pernah berhenti bersinar.

Tangannya menyentuh perut yang masih terbalut kain seragamnya. Berukuran sama dengan telapak tangannya adalah anak itu. Solar mengusapnya, menggesekkan ibu jarinya ke bagian atas perutnya.

Dia begitu kecil dan rapuh, dan hanya Solar yang bisa melindunginya—untuk sekarang. Tetapi, bagaimana dengan nanti? Anak itu harus melangkah dengan kakinya sendiri, menapaki jalan yang dihujani kata-kata kotor manusia.

Di balik kelopak mata yang tertutup lengan, air yang hangat merembes ke lengan putih seragamnya.

Solar mengusap kasar air matanya lalu membalikkan badan ke samping. Ia menghirup lagi air yang nyaris meluncur dari rongga hidung. Dengan jemari bergetar ia menekan nama seseorang yang ada dalam daftar kontak daruratnya. Tak butuh waktu lama sampai panggilan itu diterima oleh orang di seberang.

"Halo. Kenapa? Tumben kau langsung telepon sepulang se—"

"Ice." Solar bisa merasakan napasnya yang panas menyentuh kulit pucatnya.

.

"Aku … mau menggugurkan anak ini."

.

Semua diam.

"Jangan bercanda."

"Aku tidak pernah bercanda."

"Kau tidak bisa membuat keputusan sepihak."

.

"Kenapa kau bicara seolah kau punya kontrol atas tubuhku?" Giginya gemeletuk, menahan isakan yang bisa tumpah kapan saja. "Ice, asal kau tahu, anak ini tidak akan hidup bahagia denganku!"


Surga Khayal

"I don't want to grow up so great and dazzling if it's only for a short moment with you.

I'd rather be something small if it means to be able to live with you forever."

Boboiboy © Animonsta Studios

Terinspirasi dari manga "My Girl" karangan Sahara Mizu.

A BoBoiBoy fanfiction by akaori.


"Wuah~ masakan Mama-Papa Cahaya enak! Petir, besok kita ajak Kak Taufan ke sini!" ajak Angin.

"Hehe, enak, kan! Aku juga bantu masak, loh!" Cahaya membusungkan dada.

"Tapi, kan, Cahaya dari tadi ikut makan bareng kita." Angin sama sekali tak merasakan kontribusi Cahaya dalam masakan lezat yang mereka nikmati.

"Maksudnya, aku juga bantu siapkan makanan sebelum restoran buka!" Cahaya juga tidak setuju upayanya membantu orang tua menyiapkan masakan tidak dihargai.

Cahaya baru selesai makan siang bersama dua teman barunya di restoran. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk pamer betapa hebatnya restoran kecil yang mereka miliki. Menunya hanya berisi makanan-makanan lokal, tetapi bukan berarti mereka kalah lezat dengan makanan cepat saji yang mulai menjamur di daerah mereka.

"Dibuat dengan cinta", alasan Cahaya ketika ditanyai bagaimana masakan mereka bisa begitu lezat. Jangan lupa juga, karena campur tangannya memotong bahan-bahan sejak sehari sebelumnya. Sentuhan cinta Cahaya membuat nasi yang mereka makan jadi ekstra lezat, akunya.

Selesai makan, ketiganya kembali menaiki tangga, hendak menuju ke kamar si anak bungsu sang pemilik rumah. Ia bilang kalau ia mau menunjukkan mainan-mainan anehnya yang lain, membuat Angin dengan antusias mengikuti langkahnya.

Berbeda dengan saudaranya, Petir berjalan pelan karena barusan makan sampai kenyang. Kamar Cahaya ada di ujung lorong lantai dua, sebelum itu ada satu ruangan dengan pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Petir menyeret kakinya dengan berhati-hati ketika suara isakan seseorang menyentuh telinganya.

"Kamar siapa itu? Pintunya tidak ditutup." Petir berbisik.

Cahaya yang juga menangkap suara itu melongok ke arahnya. "Itu kamar Kak Solar. Kenapa, ya …."

Cahaya yang sadar memutuskan untuk ikut merapat. Ketiganya berbaris di depan celah pintu, mengintip sosok yang berbaring meringkuk di atas ranjang di dalamnya.

"Kak Solar ... menangis?" Cahaya mengulum bibirnya ketika ia mengenali suara isakan yang sering ia dengar.

Angin yang mendapatkan posisi paling belakang tampaknya sedang tidak beruntung. Kakinya berusaha berjinjit, tetapi ia tak sedikitpun bisa menangkap kilasan apa yang terjadi di dalam ruangan itu.

"Duhhh, susah lihat! Kakakmu kenapa ...?"

Dari dalam bilik itu, terdengar suara Solar yang terbata-bata. Ada isakan menyela setiap kata yang hendak ia ucapkan. Setiap kali ia mengakhirinya, ada jeda panjang yang disertai teriakan.

"Lalu aku harus bagaimana lagi?! Mustahil aku menyingkirkannya sendirian …. Tapi, kalau tidak segera, orang tuaku lambat laun akan tahu tentang ini, Ice!"

"Menyingkirkan apa?" Memang pada dasarnya, sebagai anak kecil yang gampang dibuat penasaran, Petir melontarkan pernyataan. "Kakakmu sepertinya kesusahan."

"Aku tidak mau!" Solar tak bisa mengendalikan suaranya. Ia bangkit, duduk dengan membungkuk di atas ranjang. "Mustahil aku merawat anak ini sendirian! Masa depanku ... impianku ... universitas dan pekerjaan yang aku damba-dambakan ... semuanya musnah gara-gara anak ini, Ice!"

.

"Eh?"

Detik itu juga, waktu terasa berhenti. Angin berdiri terpaku di tempatnya berada. Barusan, seperti ada sesuatu yang menamparnya.

.

"WAAAH JANGAN DORONG—!"

Terlambat, posisi Angin yang condong ke depan membuat Cahaya mendorong pintu sampai terbanting ke dinding. Angin menepis tangan Petir, mengabaikan Cahaya yang jatuh dengan wajah kena lantai duluan. Ia menghambur mendekati Solar yang matanya terbelalak.

"Kak Solar! A-apa itu benar? Apa Kak Solar punya adik kecil di perutmu?!"

Perhatian Solar teralihkan dari panggilan dengan sahabatnya yang masih terhubung. Ia lupa menutup pintu dan membiarkan suaranya didengar oleh anak-anak. Betapa bodohnya, ia menjerit dalam hati, melihat situasi yang mendadak menjadi keruh.

"E-eh, Angin ... T-tidak, tidak begitu. Kakak, kan, laki-laki—"

"Tapi Papa juga begitu!" Angin menyela lantang, suaranya bergetar. Petir memang sering mengatai kalau ia tak pandai mengatur emosinya jika sudah terlibat masalah, dan tibalah waktunya ia pecah lagi. "Kenapa Kak Solar mau menyingkirkannya …?"

Alis Petir nyaris bertaut melihat Angin dan Solar dari ambang pintu. Ada gemuruh yang sangat panas di dalam dadanya. Dengan wajah yang tertutup lidah topi, ia meraih pundak saudaranya. "Angin, itu urusan Kak Solar. Udah."

Angin tidak memberikan kooperasi sedikitpun. Ia membalik wajah ke arah saudara kembarnya. Saat itu, air sudah menggenang di mata bulat si kecil. "Petir, emang kau gak pernah kepikiran? Hiks, Kak, jawab ... kenapa Kakak begitu? Apa karena Kakak jadi gak bahagia? Apa Papa juga gak bahagia gara-gara kami?"

Tidak. Ini sama sekali bukan yang ia maksud. Ini bukan tentang seseorang yang ia bahkan belum pernah temui. Ini tentang dirinya. Namun, akibat dari kebodohannya, ia telah melukai hati seorang anak yang tidak salah apa-apa.

Anak yang tidak bersalah? Ah, Solar ingat. Lagi-lagi ia melakukannya, melupakan segala yang telah Ice katakan padanya. Lagi-lagi, dan pada akhirnya, anak ini menjadi sosok yang ia todong oleh telunjuknya sendiri untuk telah menghancurkan hidupnya.

Salah siapa sebenarnya semua ini?

"Bukan—bukan begitu, Angin …." Solar berlutut di lantai, mencoba menenangkan tangisan pilu Angin dengan menepuk pundaknya.

Anak itu menepis semua tangan yang diarahkan kepadanya. "Papa—hiks—apa Papa hidup sia-sia?"

"Angin, cukup!" Petir sudah tak bisa menahan dirinya lagi. Lengan Angin ditariknya paksa, berakhir menjatuhkan anak itu ke lantai. Mata merahnya nyaris keluar dari relungnya. "Jangan kau coba-coba pertanyakan Papa begitu, bodoh!"

"HUWAAAAA!" Bukannya menurut untuk pergi, Angin menetap di lantai dan menjerit tanpa henti.

"Tidak, bukan begitu maksudku ... ukhh ..." Tanpa dirinya sadari, tangan Solar berhenti meraih Angin. Lututnya tak mampu bergerak, pergerakannya di atas lantai lumpuh.

"Aku juga tidak tahu harus bagaimana! Huwaaaa!" Remaja itu menyusul si kecil, mengisi ruangan kecil itu dengan tangisan yang bergema.

Petir sudah biasa menangani saudaranya menangis, tetapi kali ini kasusnya berbeda. Ada seorang anak kecil dan seorang anak besar yang menangis menjerit-jerit. Angin saja bisa ia seret, tetapi ia tak yakin harus melakukan tindakan apa untuk kakak teman barunya.

"K-kita harus minta bantuan!" Cahaya bertukar pandang dengan Petir yang sama-sama mulai berkeringat dingin.

Di saat mereka berusaha mencari jalan keluar, saat itulah Cahaya mendengar suara seseorang yang ia tunggu-tunggu.


"Halo, Om, Tante! Maaf, ya, Duri jarang mampir belakangan ini." Duri menunduk sambil mengelus tengkuknya ketika bertemu dengan Bu Sol dan Pak Sol di dapur restoran.

"Ah, Duri! Kenapa baru datang sekarang? Jarang sekali Tante lihat kamu mampir lagi. Jadi kangen!" Bu Sol yang tengah menata piring langsung mengenyampingkan pekerjaannya untuk sesaat dan meraih kain lap untuk mengeringkan tangannya.

"Ehehe, iya …." Senyum Duri makin bengkok ketika ditanyai demikian.

Mana mungkin ia menjawab kalau dirinya dan Solar sudah saling diam sejak berbulan-bulan lamanya. Solar pasti tidak pernah menceritakan tentangnya juga, terbukti dari rasa penasaran Bu Sol. Pemuda itu menarik kesimpulan bahwa membicarakan topik ini di hadapan orang tua kekasihnya bukanlah hal yang baik.

Untuk menghindari pertanyaan itu, ia lantas melanjutkan perihal dirinya datang ke sana. "Um, Solar-nya ada, Tan? Duri ada oleh-oleh buat Solar."

Di tangannya ada beberapa kantong plastik yang masing-masing berisi beberapa kotak berisi camilan manis. Hasil berburunya di toko dessert yang jumlahnya ada paling tidak lima kantong. Duri menyerahkan dua yang di tangan kanan ke Bu Sol yang memandangnya dengan mata terbelalak.

"Wah! Banyak banget kotaknya!"

"Ehehe, iya, isinya banyak …."

Perbincangan mereka terpotong ketika datang pelanggan lagi dari pintu depan. Terdengar suara "sang-seng" yang dihasilkan Pak Sol yang tengah mengurus masakan, memberi sinyal ke sang istri untuk menyudahi basa-basi mereka.

"Solar barusan pulan. Langsung aja ke atas! Maaf, ya, Om dan Tante gak bisa banyak ngobrol sekarang. Berhubung dapet rejeki lagi rame!"

"Oke, Tante!"

Duri, dengan membawa sisa kantong plastik di tangan kirinya, tergopoh-gopoh menuju ke bagian belakang restoran yang merupakan kediaman keluarga Solar. Rumah tua berbahan umum kayu itu memiliki dua lantai yang mana lantai atas dipakai sebagai ruang untuk kamar si kakak beradik di keluarga itu.

Duri melongok ke atas tangga. "Solar? Ini aku, Duri! Aku bawa oleh-oleh, loh!"

Alih-alih Solar, yang datang malah adiknya, dengan langkah tergesa-gesa dan hidung kembang-kempis. "Kak Duri! Gawat!"

"Eh, Cahaya! Gawat kenapa?!"

"Gawat!" Tanpa ba-bi-bu Cahaya menarik tangan sosok yang lebih besar darinya. "Kak Solar nangis!"

Mulut Duri terbuka kecil, matanya membulat sempurna. Cahaya memang pernah bilang kalau Solar sering bersedih belakangan ini, tetapi ia tidak menyangka bahwa kondisi itu tengah berlangsung saat ini juga. Hal buruk apa yang menimpanya sampai mataharinya bersedih?

Langkah keduanya yang saling berlomba menimbulkan bunyi berisik. Di saat ia menarik napas sekilas, Duri mendengar isakan yang teredam daun pintu yang setengah tertutup, tetapi cukup keras untuk membuat hatinya diperas belenggu tak kasat mata. Cahaya membiarkan pemuda itu berlari melalui daun pintu sendiri, menghampiri kakaknya yang masih memeluk lutut di lantai.

"Solar! Ini aku!" Duri meluncur menuju tempat kekasihnya berada, meletakkan kotak oleh-olehnya sembarangan di lantai.

Saat ia merasakan suhu berubah akibat ada tangan yang mendekatinya, Solar mengangkat kepala dan Duri merasa hatinya diremas sampai remuk. Kekasihnya yang selalu tersenyum bangga kini terduduk dengan wajah yang sedih. Air mata membingkai wajahnya yang kelabu, kacamata jingga kebanggaannya tanggal dari sana. Poninya yang sudah tumbuh terlalu panjang menutupi keningnya yang lembab akan peluh.

"Kenapa …." Suara Solar yang lemah dengan bertahap naik hingga nyaris pecah. "Kenapa kau di sini, Duri?!"

Pundak Duri terguncang sesaat. Seruan itu sama sekali tidak seperti omelan Solar ketika ia sedang mengambek pada umumnya. Yang ia pahami saat ini adalah bahwa itu adalah sebuah perwujudan dari perasaan yang disebut amarah.

"Aku datang karena aku mau ketemu Solar! Aku kangen sekali sama Solar, tahu!" Duri meraih selangkah lebih dekat dengan sosok itu.

Solar menepis tangan yang mengarah kepadanya, tak peduli betapa merah kulitnya menjadi dan bagaimana Duri berkedip perih akan perlakuannya. "Omong kosong! Yang kau pikirkan cuma tanaman, tanaman, tanaman! Mendingan kau menyatu dengan alam saja sekalian!"

Solar berdiri, tangannya menyambar kotak alat tulis yang tergeletak di atas mejanya. Benda itu melayang ke arah Duri yang memejamkan mata erat-erat sambil berjongkok.

"Eh—!" Pemuda itu bertahan di posisi yang sama untuk beberapa detik. Saat ia memastikan tidak ada benda melayang, barulah ia membuka mata. "Duh, bahaya, tahu!"

"Biar! Duri bodoh! BODOHHH!"

Duri hanya beruntung saat itu; serangan belum ada tanda-tanda akan dihentikan. Setelah kotak pensil, Solar mengambil peluru-peluru yang lebih ampuh dan lebih berat lagi.

"Ke neraka, sana, kau raksasa gila tanaman!"

Solar membidik kepala Duri kemudian melempar segala benda yang masih berada dalam jangkauannya. Masing-masing lemparan itu kencang tetapi sulit mengenai target karena matanya sembab. Hal itu tidak menyusutkan niat si prajurit perang domestik yang membabi-buta untuk melambungkan alat tulis, map, bahkan buku latihan ujian setebal lima sentimeter.

"Tunggu—Solar—" Duri sama sekali tidak memiliki kemampuan strategi perang. Yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha menghindar dari segala macam peluru yang ditembakkan ke arahnya. Namun, tidak semuanya bisa ia hindari.

"Adoy!"

Buku tebal itu mendarat apik di keningnya hingga pemuda itu jatuh ke lantai kayu.