Runa here. Maaf ada sedikit pemberitahuan.
Beberapa bulan ini lagi sedang sibuk sekali, terus belum ada juga kepikiran buat melanjutkan "Murid Pindahan". Jujur aja, entah alasannya apa tapi cerita itu masih ada semacam missing piece yang bisa melengkapi cerita itu. Kalo maksa lanjut jadinya malah jelek. Jadi akhir-akhir ini seperti yang kalian tahu gw bikin beberapa fic tambahan seperti Naruto x Ichinose atau mungkin ada update di drabble Naruto x Alice. Jadi yah seperti itu kondisi gw saat ini. Mohon pengertiannya dan minta maaf sekali lagi!
Nah! Terus tiba-tiba kepikiran nih untuk membuat sebuah cerita yang agak beda dari biasanya (mikirnya lumayan lama lho, ada mungkin sekitar 5 menit hehe. Nggak, bohong kok itu tenang aja). Formatnya juga beda seperti biasanya (sekalian eksperimen).
Mengenai SAO, apakah dari kalian ada yang mengenal Eydis? Gw jujur baru tahu juga ada karakter ini (dalam game mobile SAO) dan ternyata cukup memberi impresi kepada gw. Seperti Ichinose dari Classroom of The Elite. Hahah ngeracau sedikit.
Oke, sekarang fokus ke cerita. Silahkan dinikmati. Belum tahu ini rencananya akan berapa chapter. Bisa jadi 2, 3, atau 4. Tidak tahu, tergantung berapa banyak yang bisa gw tulis hehe. Baiklah, kalau begitu sekian. Terima kasih sudah membaca semua ocehan ini.
Happy Reading.
NN - Naruto Namikaze
AZ - Alice Zuberg
3rdV - Third View (POV orang ketiga)
Gold Thread
.
.
.
—Fragmen—
Pada sebuah jembatan, seorang anak berambut pirang dengan semangat berjalan dengan es krim yang masih terbungkus di tangannya. Jembatan itu yang menghubungkan dua daratan di atas satu-satunya sungai di kota Konoha. Anak itu masih berjalan dengan santai sampai pada tengah jembatan, dia melihat seorang anak perempuan sedang melihat ke bawah. Anak itu tertegun sebentar melihat anak perempuan itu, karena anak perempuan itu memiliki rambut pirang yang bersinar di bawah surya matahari. Mata birunya seperti sedang melihat sesuatu, membuat anak tadi menghampirinya.
"Hey, kamu kenapa?"
Anak perempuan tadi menoleh. Anak itu terkejut karena anak perempuan itu ternyata sedang menangis, dia baru menyadari terdapat air mata yang mengalir dari pipi gadis kecil itu.
"Ka..kau menangis?"
Gadis kecil itu menunjuk sesuatu di bawah. Anak itu mengikuti arah tangan gadis kecil. Matanya membulat ketika terdapat suatu benda putih yang tersangkut pada batang kayu di pinggir sungai bawah mereka. "Topiku…terbawa angin…"
Anak tadi masih terdiam, kemudian dia memberikan es krim itu pada gadis di depannya, "Makanlah ini! Aku yang akan mengambil topimu."
Gadis kecil itu tidak sempat menjawab terima kasih atau sebagaimana karena tiba-tiba anak tadi berlari meninggalkannya.
Anak pirang melihat lagi batang kayu itu dan topinya tepat berada di ujung batang tersebut. Tanpa memikirkan risiko yang akan menimpanya, dia hanya ingin dapat mengambil topi tersebut dan membuat gadis yang baru saja dia temui tidak menangis lagi. Semoga es krim itu cukup membuatnya berhenti mengeluarkan air mata.
Gadis itu sejak tadi memang belum bergerak. Namun, mata birunya terus melihat anak berambut pirang yang sudah bersedia menolongnya. Gadis itu mencengkram dengan kuat es krim itu ketika anak tadi hampir saja terjatuh menuju sungai.
Topinya berhasil diselamatkan.
"Ooiii! Lihat! Aku berhasil mendapatkannya!"
Gadis itu juga terlihat kegirangan ketika anak pirang tadi sekarang sedang berlari ke arahnya dengan topi putih lebar di tangannya.
"Wah! Kamu hebat sekali! Terima kasih!"
Gadis tadi memberi senyuman tulus yang membuat anak itu terkejut. Setelah memberi topinya, anak tadi juga tersenyum padanya. "Senyum kamu manis sekali ternyata."
Kata-kata itu membuat gadis tadi tersentak, lalu memerah, "Te..terima kasih. Ano…kalau boleh tahu, siapa namamu?"
"Naruto Namikaze! Kalau kamu?" Anak bernama Naruto tadi mengulurkan tangannya. Gadis itu terperangah sesaat, lalu menerima uluran tangan tersebut.
"Alice Zuberg."
"Narutooo! Kamu ada di mana? Ayo kita pulang!"
Naruto menoleh ke belakangnya. Di sana terdapat seorang pria dewasa dengan rambut pirang yang sekilas mirip dengan Naruto. Naruto kecil melambai pada pria itu, "Touchan!"
Alice harus melihat Naruto pergi bersama pria yang merupakan ayahnya tersebut. Menatap punggung pahlawan kecil yang sudah tertambat pada hatinya akibat tindakan anak itu.
.
.
.
—Prolog—
Pagi hari. Waktu yang optimal untuk beraktivitas bagi kebanyakan orang. Matahari bersinar dari timur memancarkan suryanya yang juga menandakan cuaca sangat baik hari itu. Beberapa orang mulai terlihat berlalu lalang pada kota modern Konoha seperti berjalan di trotoar ataupun menaiki kereta. Namun, salah satu orang yang menjadi karakter utama dalam cerita ini masih sibuk dengan kegiatan pada pulau kapuk.
Sreet!* Suara tirai jendela dibuka yang pada saat selanjutnya sinar surya menerangi ruangan serba jingga tersebut. Sinar itu mengenai kelopak mata seorang pemuda berambut pirang yang awalnya terlelap, mulai melenguh.
"Naru! Ayo bangun..nanti telat loh.."
Suara lembut ini dimiliki oleh seorang perempuan dengan surai pirang keemasan dan bermata biru. Perempuan itu terlihat sedang mengguncang-guncang pundak pemuda yang masih terlelap itu. Pemuda itu akhirnya mulai mengumpulkan kesadarannya.
"Uhh..Alice-nee?"
Alice berkacak pinggang, ekspresinya menunjukkan kepuasan sudah membangunkan pemuda itu. "Bangun ya…sarapan sudah siap di bawah."
—NN—
Aku tidak tahu ini jam berapa. Tanpa berpikir panjang aku langsung melompat dari kasur setelah Alice-nee membangunkanku. Aku mulai bersiap selagi masih memperhatikan diriku sendiri pada cermin wastafel setelah bergosok gigi. Aku sudah siap.
Menuju ruang makan, aku menemukan ayahku sedang menyesap kopi sembari membuka tablet di meja. Mungkin sedang membaca berita atau sebagainya. Seberang dari ayahku, ada Alice-nee yang menikmati roti bakar dengan selai stroberi. Akupun duduk di sebelah Alice-nee untuk bergabung bersama mereka. "Selamat pagi."
"Ah, Naruto. Selamat pagi. Tumben sudah bangun."
"Yah, sekali-sekali tidak apa kan."
Oh, namaku Naruto Namikaze. Anak dari Minato Namikaze dan Kushina Uzumaki. Mungkin ini cerita yang sedikit menyedihkan namun aku sudah tidak memiliki ibu. Ayah bilang dia meninggal setelah melahirkan aku. Namun aku pernah lihat fotonya dan ibuku ternyata sangat cantik.
"Kita masih ada waktu banyak kok, Naru. Jadi santai saja."
Yang berbicara barusan adalah Alice Namikaze, atau lebih tepatnya Alice Zuberg. Dia bukan kakak kandungku dan dia juga memiliki kisah yang bisa dibilang lebih memilukan dariku. Alice-nee sudah tidak memiliki orang tua juga, namun hal itu karena kecelakaan kendaraan saat dia masih berumur 6 tahun. Karena waktu itu kedua keluarga ini sangat dekat membuat ayah mengangkatnya sebagai anak. Panggilan Alice-nee juga karena dia ternyata berumur beberapa bulan lebih tua dariku. Sekitar 6 bulan.
Aku juga merasa tidak masalah dengan memiliki kakak angkat karena kita memang sudah dekat dari kecil. Jadi bisa dibilang Alice-nee sudah menjadi teman masa kecil sekaligus keluargaku dalam kurun waktu 10 tahun. Ayah benar-benar menyayangi kami berdua dan membesarkan kami dengan cukup sabar. Biasanya pekerjaan rumah akan ditanggung oleh Alice-nee dan juga aku, sedangkan ayah akan bekerja menghidupi keluarga.
"Alice-chan, nanti aku kemungkinan pulang telat. Jadi, makan duluan saja bersama Naruto ya."
"Baik, Otou-sama."
Masih berdiri pada ambang pintu, aku melihat ayah memperhatikan Alice-nee. Aku juga sudah ingin berangkat menuju sekolah.
"Otou-sama?"
Ayah lalu memegang kedua pundak Alice-nee seraya berkata, "Kamu ternyata sudah besar. Sebenarnya ada yang ingin kukatakan, tapi mungkin lain kali saja."
Perkataan ayah membuat bingung kita berdua yang tidak lama kemudian ayah benar-benar pergi dari pandangan kami untuk bekerja.
"Naru, apa yang ingin dikatakan oleh Otou-sama?"
"Uhh..aku juga tidak yakin. Tapi, jarang-jarang Tou-chan serius begitu."
—3rdV—
Sekolah yang ditempati oleh mereka adalah KHS atau Konoha High School yang merupakan salah satu sekolah bergengsi di Konoha. Naruto dan Alice merupakan kelas 2 dan mendapat kelas yang sama. Pembelajaran baru dimulai beberapa minggu setelah libur panjang sehingga murid-murid masih memiliki semangat masa muda ketika menjalani sekolah atau bertemu teman-teman mereka.
—NN—
Salah satu hari pada minggu ke-1
Aku saat ini sedang membersihkan papan tulis bekas mengajar. Ketika pekerjaanku masih tersisa setengah, ada seseorang yang memanggilku. "Naruto-kun.."
Mengenali suara familiar ini, akupun menoleh dengan semangat. Di depanku terlihat perempuan dengan rambut berwarna coklat panjang dengan wajah yang menurutku paling manis di sekolah, bernama Asuna Yuuki.
"Oh, hei Asuna. Ada perlu apa?"
Asuna memasang ekspresi khawatir, "Apa mau kubantu? Sepertinya yang bertugas piket hari ini cuma kamu doang.." Lalu menatap kelas yang mulai kosong. Aku pun baru menyadari hal tersebut jika tidak diberitahu oleh Asuna. Wah, ternyata benar. Yang piket semuanya sudah pulang kecuali aku! Yah, jujur kadang aku juga melakukannya sih.
"Aku benar-benar terbantu. Terima kasih."
Baik sekali ya si Asuna ini. Harus kuakui kalau aku memang menaruh perasaan padanya, terutama ketika mulai sekelas dengan gadis itu. Wajahnya yang cantik serta perilakunya yang mudah bergaul dengan siapa saja membuatku sangat tertarik padanya. Apalagi dia menawariku bantuan piket kelas? Rasanya aku benar-benar ingin selalu memiliki momen seperti ini.
"Aku bantu juga, Naru."
Oh, aku baru sadar kalau Alice-nee masih di sini. Mungkin dia menungguku untuk pulang. Aku pun tersenyum juga padanya. "Terima kasih, Alice-nee!"
"Heeeh, ternyata kalian bersaudara yang akur ya." Aku mendengar Asuna berkomentar melihat interaksiku dengan Alice-nee. Memang sih, aku selalu mendapatkan hal dimana teman-temanku juga ingin memiliki sosok kakak seperti Alice-nee yang perhatian, cantik, dan bisa diandalkan. Aku mengira hal tersebut adalah hal lumrah diantara saudara. Namun, teman-temanku yang memiliki saudara kandung berkata jika saudara mereka biasanya akan menyebalkan atau interaksinya tidak seperti diriku dengan Alice-nee.
Acara piket kelas pun berjalan tanpa kendala karena bantuan dua orang yang sudah bersedia membantuku. Aku pun bersiap dengan tasku sebelum pulang.
"Terima kasih Asuna, sudah membantuku. Kapan-kapan aku traktir sesuatu!"
"Ahaha, tidak perlu seperti itu. Aku membantu memang karena ingin, Naruto-kun." Dia lalu menunjukkan senyum indahnya. Wajahku terasa panas secara tiba-tiba, mungkin saja aku memerah.
"K..kalau begitu, aku pulang dulu ya! Jaa, Asuna."
"Sampai jumpa besok, Naruto-kun."
—AZ—
Aku berjalan pelan bersama dengan Naru pada trotoar jalan. Kita berdua biasanya menaiki bis untuk pergi berangkat ke sekolah. Kalaupun memilih berjalan juga bisa dan biasanya memakan waktu 20 menit.
Namaku adalah Alice Zuberg atau mungkin bisa disebut Alice Namikaze karena aku tinggal bersama dengan Naru dan Minato-ojisan. Kisah pilu menimpaku ketika aku berumur 6 tahun. Ketika mereka pergi berbulan madu dan aku dititipkan di rumah keluarga Namikaze sekaligus menemani Naru. Lalu sebuah kecelakaan terjadi dan selebihnya seperti yang sudah diketahui.
Minato-ojisan sangat berbaik hati mengangkatku sebagai anak dan akhirnya membesarkan aku dan Naru. Supaya Otou-sama tidak terbebani, aku akhirnya membantu semua keperluan rumah dan juga memasak agar Otou-sama bisa fokus bekerja. Naru juga terkadang membantuku. Hingga hubunganku dengan Naru sudah bisa dibilang sangat dekat bahkan seperti keluarga.
"Naru, kamu dari tadi senyum-senyum aja. Nanti dikira kurang waras loh."
"Ah? Enak saja! Gak lihat orang lagi senang?"
"Kamu suka sama Asuna ya?" Ucapku mencoba menebak isi pikirannya, yang kemungkinan besar tepat. Wajahnya memerah lagi.
"Hah? Apa yang kau katakan Alice-nee!?"
"Tidak perlu disembunyikan begitu. Nee-san bisa lihat semuanya~"
"Uhh…ini yang tidak kusuka darimu, Alice-nee."
Aku mencoba menyenggol pundaknya, "Jadi? Kamu suka dengannya?"
Naru menggaruk pipinya, "Ehehe, iya begitulah.-Oi! Kenapa malah ketawa?"
Ekspresinya benar-benar membuatku tidak tahan.
.
.
.
—Fragmen—
Pinggiran kota Konoha, terdapat sebuah padang rumput luas yang disebut Padang Sarutobi. Padang Sarutobi adalah satu satu spot wisata yang cocok untuk berpiknik atau bersantai dengan lautan rumput yang luas dan pada salah satu sisi padang terdapat sebuah lapangan penuh dengan bunga liar. Dan pada lapangan bunga tersebut terlihat ada dua anak kecil sedang duduk bersama, laki-laki dan perempuan yang keduanya memiliki rambut pirang.
Tidak jauh dari keduanya terdapat sepasang suami istri dan seorang pria yang diyakini sebagai orang tua dari kedua anak tersebut. Ketiga orang dewasa itu terlihat mengobrol sambil tertawa dengan tingkah masing-masing anak mereka.
"Lihat! Aku sudah selesai membuatnya!"
Alice kecil terlihat bangga dengan hasil merangkai bunga yang sudah dia buat. Bunga-bunga berwarna-warni yang dirangkai menjadi berbentuk seperti lingkaran, lalu memperlihatkannya pada Naruto kecil.
"Wah…Alice, kamu hebat sekali. Aku dari tadi ingin meniru tapi tidak pernah bisa."
"Nanti pasti bisa kok kalau berlatih terus! Nah, sekarang coba kamu pakai."
"Eh? Apa boleh? Aku ingin mencobanya!" Alice tersenyum lalu meletakkan rangkaian itu pada kepala Naruto bagaikan sebuah mahkota.
Naruto berdiri dan terlihat berseri. "Ahaha! Touchan, lihat!"
Minato tersenyum padanya sambil melambai pertanda dia menanggapi apa yang sedang dilakukannya. Kedua orang tua Alice juga ikut tertawa.
"Alice, sekarang giliranmu yang mencobanya!"
Gadis kecil itu sedikit tersentak, lalu tersenyum menerima rangkaian itu dan mencobanya di atas kepalanya. "Bagaimana, Naru?"
Naruto bertepuk tangan senang, "Cantik! Seperti peri!"
"Ahaha, terima kasih, Naru."
"Yosh! Kalau aku sudah besar nanti, aku akan menikahimu!"
"Benarkah, Naru?"
"Tentu. Apa kamu mau berjanji padaku?" Naruto mengeluarkan kelingkingnya. Alice memperhatikan kelingking kecil itu, lalu menautkannya.
"Ya! Nikahi aku ketika sudah besar ya!"
Ketiga orang dewasa itu tidak dapat menghilangkan senyumnya melihat kedekatan mereka.
.
.
.
—NN—
Salah satu hari pada minggu ke-2
Aku sekarang pergi menuju supermarket yang biasa aku kunjungi. Aku bisa saja melakukan ini bersama Alice-nee, tapi dia bilang dia akan memasak untuk ayah ketika dia sudah pulang. Aku hanya perlu membeli bahan-bahan untuk masakan yang kurang atau yang mulai habis.
Tapi, tidak hanya itu. Akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh dengan Alice-nee, atau mungkin itu hanyalah perasaanku saja. Dia terkadang murung atau pikirannya kosong selagi mengerjakan keperluan rumah. Ah, memang mungkin aku terlalu memikirkannya. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi.
Sesampainya di dalam, aku mencari bahan-bahan yang diperlukan dengan kertas daftar ada ditanganku. Ketika masih mengisi keranjang dengan daftar yang ada, mataku menangkap seorang wanita yang terlihat kesulitan mengambil barang pada rak yang cukup tinggi. Hey, rak di sini ternyata tinggi sekali! Tapi untuk tinggiku sih sebenarnya tidak masalah.
Aku mendekatinya lalu mengambil deterjen kotak yang sepertinya menjadi incaran dari wanita itu. Wanita itu membuat suara seolah menyadari aku membantunya, aku pun memberikan kotak itu dan terkejut ketika mengetahui siapa wanita itu.
"Apa ini barang yang kau inginkan nona- Asuna?"
"Oh, Naruto-kun. I..iya, terima kasih." Lalu menerima kotak tersebut dan memasukkannya dalam keranjang. Dia membungkuk ketika aku sudah membantunnya.
"Ahaha, bukannya malah bagus ya? Kau kan waktu itu sudah membantuku dengan piket kelas."
Oh, ada apa dengan hari ini? Aku sangat beruntung bertemu dengannya di tempat seperti ini! "Apa kau berbelanja juga?"
"Iya, aku harus membantu ibuku. Ingin belanja bersama?"
Mendengar itu, tentu saja aku bersemangat dan mengangguk dengan mantap. "T..tentu saja! Kalau ada barang yang terlalu tinggi bagimu, aku akan bersedia membantu!"
"Mou, kalau seperti itu, aku seperti orang paling pendek!" Kemudian dia membuat ekspresi menggembungkan pipi padaku. Ah, betapa manisnya perempuan satu ini. Asuna sebenarnya tidak pendek, hanya aku saja yang lebih tinggi dari gadis itu.
"Kamu tidak pendek kok, Asuna. Kamu manis juga kok seperti ini.." Tanpa sadar aku mengusap pucuk kepalanya. "Eh? Maaf! Aku tak sengaja melakukannya! Kebiasaan burukku keluar."
Asuna awalnya terdiam, ternyata setelah itu dia tersenyum padaku. "Tidak apa-apa, Naruto-kun. Terima kasih atas pujianmu!"
Aku dan Asuna pun melanjutkan acara belanja kami. Pada sela-sela itu, aku beberapa kali mencoba menggodanya lagi dan kita tertawa bersama. Andai waktu berhenti dan aku bisa merasakan momen ini selamanya.
"Aku pulang~"
"Telat! Darimana saja?" Alice-nee sudah berkacak pinggang di depan pintu dengan celemeknya. Aku memberikan plastik berisi bahan-bahan makanan lalu memberi sedikit gestur melambaikan tangan. "Maaf, tadi aku harus mengantar Asuna pulang."
"Eh? Tadi kamu bertemu Asuna?"
Aku menoleh padanya karena suara yang dia berikan memberi rasa kekhawatiran, "Hm? Ada apa Alice-nee?"
Dia terdiam selama beberapa saat, lalu matanya menggelap tertutupi oleh rambut pirang keemasannya dan berbalik. "Tidak ada apa-apa. Ya sudah, terima kasih belanjanya."
"Umm…ya."
Aku merasa tidak yakin. Tapi, karena aku juga tidak terpikirkan apa alasan dia melakukan itu, akhirnya aku tidak terlalu peduli.
—AZ—
Ada apa dengan diriku ini? Naru pasti merasa aneh padaku. Kenapa Otou-sama mengatakan hal seperti itu minggu lalu? Ini malah justru membebaniku karena Naru saat ini sedang menyukai Asuna. Apa aku mendukungnya? Iya…mungkin. Argh! Apa yang harus aku lakukan?
Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Setelah Otou-sama berkata seperti itu, Naru terlihat berbeda di mataku. Hal ini sangat aneh dan aku tidak boleh memilikinya!
Aku pun berusaha mengatasi ini dengan menelpon teman dekatku.
"Eydis?"
"..."
"Oh, tidak. Aku hanya…uhh…ingin mengobrol saja denganmu."
"..."
"Aku tidak tahu. Mendengar saja juga tidak apa-apa. Benar, di tempat biasa."
—NN—
Salah satu hari pada minggu ke-3
Pelajaran olahraga menjadi salah satu pelajaran favoritku saat sudah memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Karena dengan pelajaran ini aku bisa dengan bebas bermain olahraga kesukaanku bersama teman-temanku tanpa perlu berpikir dengan otak seperti pelajaran lainnya.
"Naru, jangan lupa pemanasan terlebih dahulu." Aku mengangguk mendengar suara Alice-nee dari belakangku, lalu dia pun pergi bersama teman perempuannya yang lain.
"Naruto, bagaimana caranya agar kakakku bisa seperhatian Alice?"
Aku menoleh pada salah satu temanku, Sora, "Hah? Aku tidak melakukan apapun. Aku rasa karena kita memang sudah dekat dari dulu."
"Dekat? Memang saudara kan seperti itu?"
"Oh.." Aku lupa jika aku tidak pernah bercerita mengenai Alice-nee yang tidak satu darah denganku pada teman-teman sekolah. Namun, secara penampilan kita berdua memang sudah lumayan mirip dengan rambut pirang dan mata biru (hanya itu sih persamaannya), meski akan ada perbedaan jika dilihat lebih seksama. Aku hanya merasa menceritakan ini pada mereka hanya akan membuang waktu, begitu pula Alice-nee.
"..Umm, maksudku…kita memang sudah sangat memahami satu sama lain. Jadi hal ini sudah biasa."
"Haah, dan katanya Alice belum menyukai laki-laki manapun. Aku bingung bagaimana caranya bisa mendapatkan dia.."
"Eh? Kau suka dengan Alice-nee?"
"Siapa yang tidak suka dengan kakakmu? Kurasa semua laki-laki disini menyukai Alice.." Sora berkata seolah itu adalah fakta yang aktual.
"Heh, meski kau menembaknya pun. Aku takkan setuju jika itu denganmu." Ocehku bercanda.
Aku benar-benar baru mengetahui ini. Apa itu artinya Alice-nee sudah pernah ditembak seseorang? Aku memikirkan hal itu selagi pemanasan.
Sembari mengobrol, mataku menangkap satu orang gadis lagi yang sedang melakukan pemanasan. Aku tanpa sadar tersenyum melihatnya. Asuna sedang merenggangkan tangannya sambil berbicara bersama temannya.
Pelajaran olahraga berjalan seperti biasa. Ebisu-sensei memutuskan untuk mengajari kami bola voli. Mulai dari service, passing, dan spike. Lalu diakhiri dengan permainan 6 vs 6. Aku tidak melihat Alice-nee dimanapun saat itu.
Beruntung, aku satu kelompok dengan Asuna. Hari ini adalah hari yang baik bagiku!
"Asuna, mari kita lakukan yang terbaik!"
Asuna tersenyum padaku, "Baiklah!"
Laga berjalan cukup seru karena saling berbagi poin. Namun, tiba-tiba saja ketika Asuna ingin mengambil bola saat benda itu masih melambung, dia terjatuh dan sedikit berteriak kesakitan. Aku dengan cekatan mendekatinya jikalau terjadi apa-apa.
"Asuna!"
Dia masih belum bangun dan terlihat sedang memegangi pergelangan kakinya. "Ku..kurasa aku keseleo, Naruto-kun."
"Apa kau bisa berdiri?"
Beberapa teman-temanku juga terlihat mendekati Asuna dan berkata apakah dia baik-baik saja. Dia terlihat meringis, lalu menggelengkan kepalanya. Akupun berinisiatif berjongkok membelakanginya, hal yang malah membuat dia bingung.
"Ayo, aku antar ke ruang kesehatan!"
Asuna terlihat ragu, lalu akhirnya mengulurkan tangannya. Aku menggendongnya sampai ke ruang kesehatan. Olahraga masih berlanjut dengan ada yang menggantikanku dan juga Asuna.
Asuna tidak berkata apapun ketika masih dalam koridor, aku hanya dapat mendengar suara rintihan kesakitannya.
Sampai di sana, aku tidak menemukan siapapun. Sekali lagi aku berinisiatif untuk menggendongnya sampai pada ranjang ruang kesehatan.
Asuna menyamankan posisinya, aku sedikit membantunya, "Apa posisi ini sudah nyaman?"
Dia duduk sembari meluruskan kakinya. Aku bertanya sekali lagi, "Apa perlu kuberikan sesuatu pada kakimu?"
"Tidak apa, Naruto-kun. Aku malah akan merepotkanmu. Aku akan menunggu sensei yang berjaga saja."
"Kau yakin?" Aku memberi tatapan khawatir padanya. Dia justru tersenyum padaku, senyum yang tidak akan pernah bosan aku lihat.
"Tentu saja. Aku benar-benar berterima kasih padamu sudah menolongku, Naruto-kun. Andai ada banyak laki-laki yang sepertimu."
Aku merasakan wajahku memanas. Oke, mungkin pujian itu sedikit berlebihan. Tapi mendengar hal itu dari mulutnya membuat diriku seperti melayang. "Ahaha, kau bisa saja. Sama-sama, Asuna-hime."
Asuna sedikit terkejut dengan gombalanku, lalu melakukan sebuah gestur untuk mendekat. "Aku melihat ada sesuatu di wajahmu, Naruto-kun. Coba sini sebentar."
Oh? Mungkin karena aku terlalu serius berolahraga sampai tidak sadar ada sesuatu di wajahku. Ketika aku mendekatinya, tiba-tiba saja..
Cup*
Aku merasakan sensasi di pipiku, dan mendapati usapan halus di wajahku. "Hadiah karena sudah menolongku."
—Line Break—
Aku benar-benar tidak mempercayai ini. Asuna menciumku! Apa ini serius terjadi padaku? Sial, aku tidak bisa berhenti tersenyum.
Ketika masih berjalan di koridor, aku melihat Alice-nee menghampiriku secara tergesa-gesa dengan raut khawatir. "Naru! Apa kamu tidak apa-apa?"
Aku yang masih bingung menjawab seadanya, "Iya, tidak ada masalah. Ada apa, Alice-nee?"
Sudah berada di depanku, dia mengatur napasnya, "Tadi aku dengar kamu ke ruang kesehatan, makanya aku ingin mengecekmu."
Ah, begitu rupanya. Aku menggeleng, ekspresinya lega ketika aku bilang tidak kenapa-kenapa. "Bukan aku yang sakit, tapi si Asuna."
Rautnya seketika berubah, "O..ohh begitu. Apa dia baik-baik saja?"
"Ya, seperti yang kubilang. Tidak ada masalah." Aku tanpa sadar tersenyum lagi.
.
.
.
—Fragmen—
Tidak ada hujan, namun berawan. Begitulah cuaca yang sedang menggantung di atas langit Konoha saat itu.
Dalam sebuah bangunan terdapat ada banyak orang dengan pakaian serba hitam. Raut wajah mereka sama sekali tidak memancarkan kebahagiaan.
Menghormati dua foto besar yang terbingkai rapi bersama dengan banyak bunga putih di sekitarnya.
Menghormati dua peti yang tertutup rapi bersama dengan banyak bunga putih di sekitarnya.
Pada barisan paling depan sedari tadi terdapat seorang anak perempuan yang sedang menangis. Anak perempuan itu ditemani oleh anak laki-laki yang juga memasang raut sedih, tidak berkata apapun dan hanya bisa mengusap punggung gadis kecil itu.
Acara berlangsung khidmat dengan Alice yang masih senantiasa tidak bisa menghentikan air matanya. Hingga ketika semua pengunjung sudah pulang, Minato mendekati gadis itu.
"Alice-chan, jadilah bagian dari keluarga kita."
Alice tentu saja terkejut begitu pula dengan Naruto. "Touchan yakin?"
Minato menatap anak kandungnya, "Naruto, Alice-chan sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kasihan jika kita tinggalkan dia sendirian."
"Benar juga. Ayo, Alice! Kita bersama menjadi keluaga!"
Alice menatap bergantian antara ayah dan anak itu. Minato yang menyadari hal tersebut langsung merasa bersalah, "Ah, maafkan aku Alice-chan. Mungkin ini masih terasa tiba-tiba olehmu."
Minato benar-benar tidak tega dengan anak ini, karena sudah ditinggal oleh orang tuanya di usia yang masih sangat kecil. Namun, Alice sesaat kemudian menggenggam baju hitam milik Minato.
"A..aku mau, Oji-san."
.
.
.
—3rdV—
Dalam ruangan serba kuning pastel, seorang gadis terbangun dari tidurnya. Ekspresinya terlihat tidak semangat. Dia melihat jam, sudah pagi.
"Aku akhir-akhir ini bermimpi aneh."
Gadis itu lalu meraih sesuatu pada meja kecil di samping kasurnya. Sebuah foto yang terdapat dua anak kecil yang terlihat seumuran sedang tersenyum lebar dengan latar padang bunga. Keduanya terlihat bahagia dengan gadis kecil dalam foto itu memakai rangkaian bunga layaknya mahkota. Gadis itu mengusap fotonya perlahan.
"Apa yang harus aku lakukan, Naru…?"
TBC
