Disclaimer : I wish I do own Inu Yasha, but I don't. I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.

Warning : Love triangle in later chapters!

.


Tetes lara mengalir turun dari safir kelabu Kagome. Berlekas, ia menyeka pipi yang basah dengan ujung sweter khakinya. Di bawah bayang-bayang senja yang muram, ia berjalan gontai. Berlatar belakang keramaian kota, ia terus melangkah hingga kakinya yang bengkak terasa hendak meledak. Ia membelah kerumunan dan meniti sisi trotoar dengan kepala lunglai.

Bersamaan dengan kepulangan terakhirnya dari sengoku jidai, portal waktu tertutup selamanya. Bulan demi bulan berlalu. Terlepas dari pertarungan antara baik dan buruk, manusia dan siluman, hari-hari Kagome tak menjadi lebih mudah. Hanya karena mempertahankan bukti cinta, beban hidupnya malah berlipat ganda.

Di tengah penantian yang menghadirkan kecemasan, tidak ada satu pun makhluk yang menyediakan bahu untuknya bersandar maupun mengeringkan air matanya.

Yang paling menyakitkan dari semua yang terjadi adalah rasa terpinggirkan. Kagome merasa tidak diterima, bahkan di rumahnya sendiri. Satu-persatu mereka yang ia sayang meninggalkannya. Pertama Inuyasha, sekarang keluarganya ...

Miko yang turut andil dalam kebinasaan hanyou laba-laba paling kejam di era feodal berdiri di tepi jalan, tenggelam dalam lamunan. Saat kendaraan umum besar berhenti tepat di depannya, tanpa pikir panjang ia masuk, mengisi kursi kosong, kemudian memusatkan perhatian pada kejauhan.

Setelah bus memacu kecepatan, panorama di balik kaca memudar, yang ia lihat hanyalah bayangan pahit yang berlaku satu jam lalu.

"Bagaimana dengan Kagome?" suara renta bertanya.

Kakeknya menjawab dengan intonasi normal, "Ia baik-baik saja."

Ia yang baru saja turun ke lantai bawah tanpa sengaja mendengar percakapan sang kakek dengan seseorang. Ia tiba di anak tangga terakhir. Pintu ruang utama setengah terbuka. Dari posisinya, ia bisa melihat tamu tersebut adalah orang yang dikenalnya, seorang pendeta Shinto yang juga memimpin kuil di Tokyo.

"Menurutku tidak baik-baik saja jika pemuda yang berani menghamili tidak juga menikahinya," koar lelaki tua itu dengan enteng. Sosok itu lanjut menerangkan tentang kehormatan sebagai penerus kuil, ia menyayangkan masa muda yang terbuang. Dengan blak-blakan, ia menyesalkan tidak diambilnya jalan terbaik sedari dini, yaitu aborsi.

Pria uzur yang mengepalai kuil Higurashi memasang tampang masam, gurat itu terukir dalam-dalam di benak Kagome. Ia segera memutar tumit, tapi urung bergerak. Meski dari lorong, ia bisa mendengar ibunya sesenggukan di dapur. Rasa bersalah menyergapnya seketika. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya, di tengah jalan, ia berpapasan dengan Souta. Bocah itu menunduk ketika bertatapan dengannya. Tak terelakkan, hatinya dilecut oleh kebencian pada diri sendiri.

Tak tahan dengan keadaan, ia menyambar baju hangat dan dompet. Kagome meninggalkan kertas catatan di samping telepon yang menjelaskan bahwa ia pergi sebentar untuk membeli keperluan harian di swalayan.

Kagome butuh waktu untuk sendiri. Ia tak kuat menatap roman sedih wanita yang melahirkannya, muka kecewa kakek, dan sikap sang adik yang seakan tak sudi melihatnya. Kagome mengerti, semua itu adalah konsekuensi yang harus ia hadapi atas keputusannya untuk mengandung buah hati dari satu-satunya pria yang ia cintai.

Sudah delapan bulan ia berusaha untuk tegar. Namun, ternyata, ia hanyalah seorang remaja naif yang meremehkan segalanya.

Semakin hari, perutnya kian membuncit. Kendala bermunculan, yang terbesar datang dari raga dan mentalnya. Hampir setiap hari ia terbangun di tengah malam karena kram dan berakhir dengan menangisi ketiadaan senyum pongah inu hanyou tertentu. Kagome paham benar bahwa sedih berlebihan bisa berpengaruh buruk pada bayi dalam kandungan.

Ketika mentari menguasai, ia bisa saja memasang wajah berseri. Akan tetapi, tatkala tirai kelam terbentang, keresahannya meningkat, kerinduannya melonjak. Malam selalu berhasil menghadirkan kedukaan yang terpendam.

Tepat seperti saat itu, cakrawala jingga telah lama menghitam. Tak pelak, Kagome terseret arus kenangan. Mengingat laki-laki berbalut suikan merah sontak membuat kristal nestapa kembali berjatuhan. Ratusan detik berlalu, seusai tangisnya mereda, barulah ia tersadar akan ruang dan waktu.

Kesadaran lantas membuahkan kekagetan. Matahari telah kembali ke peraduan, tapi mengapa tak juga ia sampai ke tempat yang menjadi tujuan? Ia meneliti sekeliling, nomor bus yang ketika itu ia tumpangi bukanlah yang ia rencanakan. Kepanikan menyergap, ia segera berdiri dan bersiap untuk turun di pemberhentian berikutnya.

Ketika kaki remaja perempuan itu telah menjejak tanah, ia memindai sekitar. Dalam bayangannya, ia bisa mengambil cara mudah, turun dari bus, menyeberang ke jalan yang berlawanan untuk menaiki kendaraan lain untuk pulang ke rumah. Tetapi, jalur yang ada hanya satu arah. Area itu tidak dikenalnya, kosong melompong, tidak ada manusia yang berlalu-lalang. Hanya ada gedung-gedung tinggi yang seakan tak berpenghuni.

Kagome lanjut berjalan, berupaya mencari petunjuk.

Setelah ia mendapatkan nama wilayah tempatnya berdiri sekarang dari plang di sudut jalan. Kagome justru meragu, haruskah ia kembali? Bukankah ini takdir? Mungkin sudah sepatutnya ia menghilang dari pada menjadi beban keluarga dan menodai nama Kuil Higurashi.

Pikiran positif tandas sudah, Kagome meluncur di atas spiral yang membawanya pada titik nadir.

Sekarang, yang ia inginkan adalah lenyap dari muka bumi.

Miko yang pernah menjelajah waktu itu bergeming. Napasnya lemah. Matanya menerawang. Air mukanya hampa. Gadis bermahkota hitam itu seperti zombi. Hidup, tapi mati.

Detik dan menit bergulir, kondisinya statis. Hingga, pergerakan kecil terasa di rahimnya. Tendangan susulan dari fetus di kandungan menarik sukmanya keluar dari kungkungan kesengsaraan.

Kagome meringis, menahan linu. Bibir pecah-pecahnya merekah, ia tersenyum sambil terisak. Seraya menangis pilu, ia tertawa. Untuk yang kesekian kali, ia terselamatkan. Kini, ia kembali pada watak aslinya, menolak untuk takluk pada keputusasaan. Ia mengenyahkan pikiran untuk menyerah. Demi bayi yang dikandungnya, demi kekasih tercinta yang ada di neraka.

Ia akan terus hidup!

Kagome mengelus perut besarnya dengan lembut. Sejak awal tahu kehamilannya, ia bertekad untuk melahirkan dan merawat anaknya dengan segenap kasih sayang yang ia miliki. Dan sesungguhnya, ia sudah tidak sabar lagi untuk secepatnya melihat rupa buah hatinya bersama Inuyasha. Ia takkan melupakan hal itu lagi!

Gadis yang besar di lingkungan kuil itu mempersatukan kedua telapak tangan hingga menimbulkan bunyi. Raut mukanya kini dihiasi oleh setitik semangat. Ia mulai melangkahkan kaki untuk mencari stasiun terdekat.

Celakanya, perubahan suasana hati tak lantas membawa perubahan peruntungan. Waktu mulai menyentuh larut. Sesampainya di stasiun, kereta terakhir telah berangkat. Dengan rengsa ia menyusuri jalan. Angin serta hawa di penghujung musim gugur membuat Kagome menggigil.

Cahaya keemasan terpancar dari toko ramen, harum yang menguar membuat gadis itu mendadak lapar. Sejenak, ia berdiri di depan kedai, menelan ludah dan merutuki dompet dan gawainya yang menghilang entah, kapan, dan di mana. Menggelengkan kepala, Kagome menyeret kaki dan lanjut berjalan. Seratus meter dari sana, ia melihat konbini, ia berniat untuk masuk dan menghangatkan diri. Sial baginya, dari sisi luar jendela kaca, ia bisa melihat para pekerja sedang mengecat dinding. Tempat itu tengah direnovasi.

Kagome menelusuri jalan kecil yang hanya muat dilalui satu mobil, di sebelah kanannya terdapat deretan apartemen tinggi menjulang. Antara ia dan deretan gedung itu dipisahkan oleh rel kereta. Di kirinya adalah deretan perkantoran.

Pos polisi tak jua terdeteksi. Kaki kanan dan kiri bergantian memijak trotoar, ia terus bergerak demi kehangatan. Akan tetapi, tenaganya terkuras. Ia yang kelaparan dengan pinggang yang bisa patah kapan saja tak lagi sanggup berjalan.

Kagome memutuskan untuk meluruskan kaki di depan sebuah ruko yang tutup. Ia menarik gaun kuning selutut yang ia kenakan untuk menutupi tungkai kakunya, tapi percuma. Ia menatap punggung kaki gembungnya yang mulai merah. Ia memejamkan mata dan menghela napas berat.

Meski terjebak di luar dengan rasa dingin yang menusuk tulang, ia tak mau pesimis. Kagome meraba perut, dengan halus, ia bertutur lirih pada sang janin dan diri sendiri, "Bersabarlah, sebentar lagi."

Tak berselang lama, sebuah mobil lewat di hadapan Kagome. Sekonyong-konyong, satu ide merasuk di kepalanya. Ia menggeser duduk lalu menjulurkan satu tangan ke kolong SUV putih yang mungkin saja belum lama terparkir di sampingnya. Dugaannya benar, hawa hangat terasa.

Tanpa ragu, ia merangkak ke bawah mesin mobil. Di antara dua roda bagian depan, ia berbaring dengan posisi miring. Lengan kanan menjadi bantal, tangan yang lain mengelus perutnya lagi. Untuk Kagome, apa pun jauh lebih baik daripada mati beku. Baginya, kehangatan kala itu sungguh nirwana.

Kagome yang tiada bertenaga memejamkan mata sebentar. Letih yang menggelayut perlahan terurai, ia pun terlelap. Kenyamanan itu tak bertahan lama, mimpinya makin dingin dan kian menyakitkan.

Kagome tiba di ambang kesadaran. Langkah kaki terdengar. Ia belum seutuhnya kembali ke alam nyata maupun sepenuhnya merayan. Kendati demikian, ia melihatnya! Helai putih keperakan yang ia kenal, serta sepasang permata emas yang mengagumkan.

"Inuyasha?" bisiknya parau.

Lengan kokoh menopang dan mengangkat tubuhnya. Baru saja ia hendak bangun, seorang pemuda berseru, "Istirahatlah, Kagome!"

Satu kata itu laksana mengandung magis, rasa aman otomatis membuatnya kembali tertidur. Kali ini, lebih dalam dan penuh kedamaian.

.

.

.

Keesokan harinya, Kagome terbangun di sebuah kamar luas. Ia bergegas bangkit untuk duduk di atas pembaringan. Sebab disorientasi, ia meneliti kamar itu. Ruangan itu tak ubahnya salah satu kamar hotel modern, didominasi oleh warna putih dan abu-abu pekat, teramat rapi, dan tidak ada barang personal sama sekali. Ia tidak memiliki petunjuk di mana ia berada atau siapa yang telah menolongnya.

Kagome mengingat-ngingat apa yang terjadi kemarin. Nuraninya memercayai bahwa ia melihat Inuyasha di ambang kesadaran. Logikanya tidak mengamini apa yang hatinya yakini. Di tengah konflik batin, rasa tidak mengenakan menyerang. Morning sickness tak lagi menjadi masalahnya semenjak empat bulan yang lalu. Akan tetapi, pada momen itu, ia merasakan pening yang hebat.

Menyerah, dia bersandar di kepala ranjang, memejamkan mata, dan memikirkan hal-hal indah. Apa yang dilakukannya seakan percuma, sakit kepala tidak akan sembuh hanya dengan pikiran positif.

Pada momen itulah, suara kenop terdengar, dan daun pintu pun terbuka. Bersamaan dengan itu, Kagome membuka indera penglihatan. Seorang pria masuk. Langkahnya mantap kala mendekat. Si sulung Higurashi mengamati figur yang kini berdiri tak jauh dari kaki ranjang, rambut hitam lelaki itu lurus, terbelah tengah dan panjang sisinya mencapai telinga. Biarpun garis romannya menawan, ekspresinya teramat datar.

"Di mana aku?" tanya Kagome dengan suara sedikit serak.

"Di kediamanku."

Gadis yang sebentar lagi mencapai usia sembilan belas tahun itu terdiam, ia menyaksikan si penolong bertubuh tegap sibuk membetulkan posisi kancing yang ada di pergelangan tangan. Dasi biru dongker dijepit oleh pin ke kemeja putih panjangnya. Di luarnya, ia mengenakan rompi hitam yang dipadu dengan celana bahan warna senada. Walaupun minus jas, lelaki itu sudah terlihat siap menghadiri rapat penting.

Seusai mengamati, ia membatin, apakah pria itu hanya orang asing yang kebetulan menolongnya? Jika diperhatikan baik-baik, ada sesuatu dari lelaki itu yang entah bagaimana terasa sangat familiar. Tanpa ragu, Kagome lantas memuntahkan isi pikiran, "Apakah aku mengenalmu?" pertanyaan polos itu membetot atensi lawan bicaranya.

Pria itu mengangkat wajah untuk memandang Kagome. Kedua tangan di samping badan. Posturnya santai tapi terkesan elegan. Perlahan, lelaki itu membiarkan energi menguar dari dirinya untuk sesaat. Tanpa kata, ia menunjukkan jati diri pada gadis kuil tersebut.

Meski singkat, mustahil bagi sang shikon miko untuk tidak mengindentifikasi aura biru yang kerap kali ditemuinya ratusan tahun lalu. Tentu saja, ia mengenal baik satu-satunya siluman yang memancarkan gelombang youki besar yang mengintimidasi, memberikan tanda bahaya untuk lawan, sekaligus rasa aman bagi mereka yang menjadi kawan.

Secara terbata, Higurashi Kagome melafalkan nama sekutu berharganya di masa lalu, "Se-Sesshoumaru?"

.


End notes :

- Untuk yang belum baca Tourniquet (prequel fic ini), bisa baca dulu (pairing di fic itu InuKag) tp kalo ga juga gapapa krn bisa tambah ngerti di next chap.

- Ide untuk fic ini udah lama bgt aku simpan karena beberapa alasan. Moga Midnight Sun (salah satu resolusiku utk tahun ini) bisa jadi cerita multi chapter yang menyentuh perasaan seperti Paramour.

- And the last but not least, let me say happy new year to everyone! Moga tahun ini semuanya bisa menjadi jauh lebih baik lagi dari dari tahun kemarin, aamiin.

Minna saiko arigatou!