Previously ...
Setibanya di hotel, Sesshoumaru dan Kagome dituntun ke salah satu kamar di lantai tiga puluhan. Keduanya sudah berada di dalam ruangan luas yang didominasi oleh warna ungu. Lantainya berlapis karpet tebal, cahaya temaram memancarkan aura romansa. Harum manis nan lembut mengambang di udara. Di tengah-tengah, terdapat ranjang ukuran besar, terbalut selimut satin magenta yang ditaburi oleh kelopak bunga Plum putih. Pada kaki ranjang, dua handuk diatur sedemikian rupa hingga membentuk dua angsa yang saling berciuman. Di atas nakas, tergeletak dua tangkai mawar.
Atas perubahan atmosfir yang mendadak, Kagome yang kala itu mengenakan gaun selutut berwarna hitam sempat lupa untuk bernapas.
"Semuanya telah disediakan, kau bisa menghubungi pihak hotel jika butuh sesuatu," tutur pria itu sebelum membalik badan.
Yang memandu mereka telah pamit. Pintu kembali tertutup. Tinggalah mereka berdua, khususnya Kagome, ia terjebak dalam kecanggungan.
"Sesshoumaru!" panggil gadis itu.
Sosok yang dipanggil menghentikan langkah. Kagome meremas tangannya, dengan kikuk, ia mengutarakan, "Terima kasih banyak dan maaf atas semua ini." Tanpa menoleh, lelaki itu hanya membalas dengan gumamannya.
"Beristirahatlah!" ujar sang inu youkai. Tipis, tapi ada afeksi yang terkandung di sana.
Kagome mengangguk seraya menatap punggung pria itu yang tak lama kemudian menghilang di balik pintu.
.
Midnight Sun
.
Kamar itu masih gelap, tirai dua lapis sukses memblokir sinar yang masuk. Meski begitu, jam tubuh Kagome membuatnya bangun tepat jam enam pagi. Kelopa matanya terbuka dengan malas. Lampu gantung kristal, ruangan bernuansa violet, ia menarik selimut satin itu ke dada.
Ingatan di hari lalu melingkupi. Status sebagai istri seorang pejabat negara membuatnya tertohok. Wanita itu memejamkan mata, berupaya kembali tidur. Tanpa tahu sebab, pagi itu, suasana hati si sulung Higurashi cenderung murung. Ia belum sanggup memulai hidup baru, ia enggan menghadapi hari.
Bermenit-menit lamanya menutup penglihatan terasa percuma. Oleh karena itu, ia bangkit dan menuju kamar mandi. Seusai cuci muka, sikat gigi, dan berganti pakaian. Kagome bercermin, gaun biru pirus selutut yang ia kenakan sungguh nyaman. Sayangnya, motif floral semakin menonjolkan dada serta perutnya yang besar.
Selesai merapikan rambut, ia membuka semua tirai yang ada. Cahaya matahari pagi menerpa muka. Perempuan hamil itu menempelkan kedua tangan di sisi perut. Ia menarik napas panjang, menahan sebentar, sebelum mengembuskan. Gerakan lembut di dalam rahim terasa. Perlahan, senyum merangkak di paras manisnya.
Pintu diketuk.
Kagome memutar tumit. Berpikir cepat tempat ia berada, ia lantas menyimpulkan, "Sesshoumaru?"
"Ini aku, Shippou!"
"Tunggu sebentar."
Daun pintu terbuka. Muka siluman rubah itu sumringah, di belakangnya ada seorang pelayan hotel dengan troli penuh makanan.
Kagome menepi. Ia membiarkan Shippou dan petugas hotel memindahkan dua kursi dan meja yang berada di sudut ruangan, di samping jendela kaca geser.
Menit berselang, menu sarapan tradisional dan western telah diatur rapi di meja. Kagome dan Shippou duduk berhadapan.
"Apa Sesshoumaru akan sarapan bersama kita?"
"Tidak, ia memiliki urusan penting lain. Untuk dua hari ke depan ia tidak akan berada di Tokyo. Ia telah meninggalkan sebuah kartu dan sejumlah uang tunai untuk keperluanmu. Dan selama kepergiannya, aku akan menemanimu sepanjang waktu."
"Oh."
Pemuda itu mengangguk.
"Jadi, sekarang akulah yang butuh pengasuh dan kau mengambil peran itu?"
Selagi mengatur gelas di meja, lelaki muda itu membalas, "Kukira kau akan senang kutemani?"
"Itu tidak perlu dipertanyakan lagi, 'kan? Aku hanya takut mengganggu ritme kehidupanmu biasanya."
"Meh, kegiatanku hanya sekolah dan berjalan-jalan di beberapa area yang ditentukan, tidak ada yang penting. Tapi sekarang pasti akan lebih menyenangkan." Ia meneguk sedikit air mineral.
"Ini berlebihan, Shippou."
"Ini cuma porsi tiga orang, Kagome." Laki-laki tanggung itu menyodorkan piring demi piring, "kita kan bertiga."
"Aku memang berbadan dua, tapi perutku satu, tahu!"
"Makan saja dahulu."
"Tidak, tapi terima kasih, aku ini saja." Kagome meraih piring yang berisi dua potong kaya toast, "harum dan tampilannya menggiurkan."
Shippou mengumumkan, "Baiklah, kalau begitu aku akan memakan semua yang tersisa."
Mengingat betapa langkanya mereka bisa jalan dengan perut kenyang ketika mereka berpetualang di era feodal, senyum perempuan itu merekah. "Kalau begitu aku akan sangat terbantu."
Keduanya mulai melahap makanan lezat yang disajikan.
Mengenang masa lampau, Kagome mengutarakan apa yang selama ini terasa mengganjal dalam benaknya. "Shippou, bagaimana kau dan Sesshoumaru bisa ..." perempuan itu menggeleng, "aku tidak pernah menyangka bahwa kau bisa tinggal dengannya."
Remaja laki-laki itu menelan makanan yang belum benar-benar ia kunyah, "Aku juga. Tadinya, kupikir, aku akan hidup harmonis bersama kawanan kitsune. Akan tetapi, aku terus-terusan memikirkan desa, aku merindukanmu, yang lainnya, juga Inu-" bergegas, pemuda itu kembali menutup mulutnya.
Di waktu yang sama, Kagome sempat berhenti ketika hendak meraih gelas. Ia mematung beberapa detik, sebelum mengembuskan napas perlahan dan kembali melanjutkan makan. Gadis itu mengunyah pelan sambil menatap rekan wicara, berpura-pura bahwa satu nama yang hampir terucap tak membuat dadanya sesak, dan tanda ia siap mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tiga tahun setelah kepergianmu, aku kembali ke desa." Shippou menuangkan jus jeruk ke gelas Kagome yang setengah terisi. Ia pun melanjutkan, "Beberapa minggu sekali, Sesshoumaru akan datang ke desa, ia akan menemui Rin dan memberinya hadiah. Di saat itulah, terkadang aku berpapasan dengannya di hutan."
"Ia melihatku berlatih sebuah teknik, tapi tidak berkomentar."
"Teknik apa?"
"Apa yang hendak kupelajari hanya Sesshoumaru yang bisa melakukannya tanpa bantuan material seperti fuyoheki dalam kasus Naraku dulu. Teknik itu adalah mengatur jyaki agar keberadaan kita tidak bisa terdeteksi oleh siluman lainnya maupun para biksu, pendeta Shinto atau miko, dan semua yang memiliki kemampuan untuk itu."
Gadis yang besar di kuil itu menggangguk paham, "aku mengerti."
"Suatu ketika, aku yang merasa putus asa karena tidak juga menguasai teknik tersebut, akhirnya, mengumpulkan nyali dan mengajukan pertanyaan saat Sesshoumaru datang pada kunjungan berikutnya."
"Responsnya sangat membekas untukku, ia hanya berhenti, melirik dengan sudut mata, lalu pergi tanpa berkata apa-apa."
Mau tidak mau Kagome menyeringai, "Itu sedikit menyebalkan."
Remaja itu mengangguk. "Aku masih di hutan setelah ia menemui Rin. Saat itu aku sudah tidak lagi berharap nasihat dari dirinya. Tetapi, ia malah memberikan pencerahan. Hingga kini, aku mengingat dengan jelas setiap kata."
"Apa yang Sesshoumaru ucapkan?"
"Jika kau tidak mampu mengendalikan sesuatu, belajarlah melepaskannya."
Pada saat mendengarnya, Kagome bisa membayangkan Sesshoumaru melafalkan kalimat itu dengan sorot mata tajam dan nada dingin. Seketika, ia merasa tertampar. Rantai kata itu seakan penuh cibiran terhadap ia yang dua hari lalu masih mengharapkan kemunculan pria yang telah mati.
"Karena Sesshoumaru, aku jadi menyadari bahwa, yang harus kulakukan bukanlah mengatur jyaki, melainkan melepaskannya."
"Terdengar lebih sulit," tambah Kagome dengan suara tercekat. Ia berdeham, lalu mengambil gelas, meneguk minumannya sambil menatap langit.
Shippou menyadari kemurungan yang kembali mengambang di antara mereka. Berusaha menenangkan sosok yang disayang, ia mengimbuhkan, "Semua kesulitan akan menghilang seiring dengan kerja keras. Dan segala kesedihan, pasti akan terlampaui oleh waktu. Aku sungguh-sungguh yakin itu."
Dengan mata berkaca-kaca, gadis itu mengangguk dua kali.
Intonasi pemuda itu menjadi ringan, ia menyeret topik kembali ke jalurnya, "Yah, semenjak itu, kami mulai berbincang-bincang. Sebenarnya tidak bisa dibilang percakapan, kami hanya bertukar satu dua kalimat. Kau tahu bagaimana perangai Sesshoumaru."
Miko itu menanggapi, "Bumi akan jadi pusat tata surya jika Sesshoumaru bisa berbicara tanpa jeda selama satu menit lamanya." Mendung di hatinya terusir seketika. Ia menertawakan lelucon garingnya sendiri.
"Lama kelamaan, kami menjadi sekutu."
"Sejak awal, aku memang merasa Sesshoumaru mempunyai titik lemah terhadap anak-anak." Gadis itu menggeleng kuat, ia meralat, "bukan titik lemah, itu malah salah satu keistimewaan yang ia miliki."
Kagome memasukkan potongan terakhir roti panggang ke mulut. Shippou pun sibuk menandaskan isi mangkuk.
Setelah menenggak habis jus, si sulung Higurashi mencurahkan isi hati, "Aku rasa aku keliru menilai Sesshoumaru."
"Kenapa?"
"Sesshoumaru mungkin," sang miko menggeleng, "ia pasti benar-benar peduli pada garis darah ayahnya." Ia meletakkan tangan di kening. "Semua salahku. Saat pertama kali ia menyarankan aku tinggal dengan kalian, aku berpikir bahwa ia hanya menginginkan Tessaiga yang Inuyasha serahkan padaku." Perempuan itu menarik napas dan melemparkan tangan ke udara. "Sekarang aku merasa malu atas prasangka burukku, ingin sekali kumenyalahkan hormon yang tidak seimbang karena kehamilan yang membuat mood-ku yang kacau, tapi aku tahu, itu hanya alasan."
Tatapannya jauh, suaranya kian rendah dan semakin serius, "Setelah semua yang telah ia lakukan, " Kagome membayangkan keseluruhan dana yang Sesshoumaru keluarkan untuk pesta pernikahan sandiwara mereka yang pasti tidak murah. Dan yang paling membuat berat hati, "terlebih lagi nama besar yang ia pertaruhkan, aku malah ..."
"Tidak apa-apa, kau memiliki banyak waktu."
Deretan gigi putih gadis Higurashi terpajan. "Kau benar."
"Berbicara tentang waktu, kapan dia akan lahir?"
"Dokter berkata tiga atau empat minggu lagi."
"Kau sudah punya nama?"
"Jika laki-laki, aku belum menemukan nama yang cocok. Kalau perempuan aku akan menamainya Izayoi."
"Itu nama yang indah."
"Dia pasti setuju denganku."
"Tentu," sahut Shippou paham dengan dia yang dimaksud.
"Omong-omong, setelah sarapan kau harus ikut aku."
"Ke mana?"
"Ke sebuat tempat yang pasti akan membuatmu semangat," janji Shippou.
Dalam benak, Kagome menerka-nerka.
Belum selesai rekan bicaranya memproses, Shippou mengimbuhkan, "Kita akan berbelanja keperluan bayi. Akan lebih baik bila kita mengajak Mama Higurashi untuk ikut serta."
Dengan air muka luar biasa cerah, Kagome menyetujui, "Itu ide cemerlang!"
.
.
.
Deru halus pesawat terlalu bising untuk telinga sensitif Sesshoumaru. Ruangan eksklusif itu terpolusi oleh parfum yang menusuk hidung. Pengar menguasainya. Betapa ia berharap masa mampu bergerak mundur dan ia mampu kembali ke lima ratus tahun lalu.
Celakanya, selama rotasi bulan tidak terhenti, bumi tetap berada di porosnya, perubahan adalah satu-satunya hal yang tak akan musnah. Seluruh makhluk yang ada mau tak mau harus berevolusi maupun beradaptasi pada perkembangan zaman.
Tak luput, begitu pula siluman besar seperti dirinya. Meski pandangannya pada manusia telah berubah sejak era sengoku, tetap saja, ia menjaga jarak.
Kini, sang Daiyoukai harus bercampur baur serta mengambil peran di dunia manusia. Ia adalah pria yang penuh perhitungan. Jika ia telah menetapkan sesuatu, maka ia akan berfokus dengan visi misinya. Pelbagai ketidaknyamanan kecil hanya akan mendapat pengabaian. Seperti saat itu, meski ia lebih suka terbang dibanding terperangkap di kelas pertama sebuah maskapai ternama, ia tak lagi bebas memilih.
Runtutan benak membawanya pada pilihan besar yang baru ia ambil kemarin. Setelah pernikahan, putra Inu no Taisho itu yakin bahwa ia bisa melanjutkan kehidupannya seperti semula. Tanpa sama sekali terganggu dengan embel-embel yang kini ia sandang.
Mendadak, apa yang ibunya lafalkan di pesta kembali terngiang di benak. Kerut di antara alis lantas tercipta. Sesshoumaru yang mencoba untuk tidur kembali membuka mata, ia mengatur kursi pesawat dari posisi berbaring menjadi tegak.
Lagi-lagi, ia menyalahkan ketidaknyamanan fisik sebagai pengganggu utama ketenangan batinnya.
.
.
.
Pintu kaca terbuka lebar, Kagome, ibunya dan Shippou dipersilakan masuk oleh penjaga toko dengan ramah. Denting khas kotak musik mengalun merdu, wewangian lembut nan menenangkan mengambang di udara.
Toko khusus perlengkapan bayi itu teramat sangat luas. Semua pernak-pernik kecil dari usia nol hingga balita tersedia di sana. Jika saja ia ke sana sendirian, sudah pasti Kagome kesulitan untuk memulai dari mana.
Shippou ke sudut untuk mengambil kereta belanja besar. Asako Higurashi yang terlampau riang berlari kecil ke lorong pakaian. Perempuan hamil itu membuntuti sang ibu.
"Kagome, lihat ini." Asako mengangkat sebuah topi rajut super imut berwarna merah muda.
"Ah~" gadis kuil itu meraih benda tersebut dan tak bisa tidak bertambah jatuh cinta pada janin di dalam kandungan. "Ini lucu sekali."
Wanita paruh baya itu menyarankan, "Karena kita belum tahu jenis kelamin si baby, lebih baik kita pilih warna netral. Bagaimana dengan putih?" Kedua remaja lantas menggangguk.
Bermula dari topi, pakaian, selimut, dan kaos kaki. Satu jam telah habis. Ibu Kagome sudah hendak pergi ke kasir ketika Shippou mencegahnya.
"Kurasa itu baru permulaan, ya, 'kan?"
"Sisanya akan menyusul nanti," balas Asako.
Remaja laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu berwarna legam. "Sesshoumaru menitipkan ini padaku tidak tanpa tujuan."
"Aku tidak yakin," ucap ibu dua anak itu.
"Mama Higurashi, bukankah kita sudah menjadi keluarga?" komentar Shippou dengan polos.
Perempuan berbadan dua menyela, "Kita akan membeli secukupnya saja."
"Kau bisa membeli apa pun yang kau inginkan, toh kartu ini atas namamu." Pemuda itu menyodorkan benda tersebut.
Miko itu akhirnya menerima. Memang benar, kartu itu atas namanya. Di lempeng tipis itu, nama Taisho Kagome tercetak menimbul. Momen berlalu, ia tertegun. Sungguh, ia belum terbiasa melihat nama keluarganya berubah. Rasanya sedikit aneh.
"Baiklah, aku hanya akan menggunakan ini untuk keperluan bayiku," tegas si pengantin baru.
Sebab desakkan Shippou, mereka membeli ranjang, stroller, bahkan car seat. Lelah memilah-milah barang, mereka memutuskan untuk membayar. Beruntungnya, selain pengiriman, pihak toko juga menyediakan penjualan daring agar mempermudah kebutuhan di lain hari.
Selesai berbelanja, ketiganya memutuskan untuk beristirahat di sebuah kedai kopi.
Sembari menyesap minuman hangat dan mencicipi kue red velvet, Asako berkomentar, "Aku jadi tidak sabar melihat cucuku. Andai Sesshoumaru tidak terjebak urusan pekerjaan dan turut serta bersama kita."
Kagome tersenyum kaku sambil menatap wajah gembira ibunya dengan perasaan campur aduk. Entah mengapa, ia ragu bahwa ibunya sungguh menganggap pernikahan antara ia dan Sesshoumaru normal seperti pasangan lainnya.
"Mama," panggil perempuan itu lemah.
"Iya, sayang?"
Tak tega mengusir kurva manis yang mengembang di muka ibunda, Kagome berucap, "terima kasih telah menemaniku."
Si ibu menarik kursi agar mendekat ke putrinya, ia sontak memeluk anaknya erat-erat. "Berhentilah berterima kasih dan mulailah menikmati hidup ini!"
Si sulung memejamkan mata, mengangguk lega, dan meleburkan diri dalam rengkuhan sosok yang paling mengasihinya di alam semesta.
Wanita paruh baya itu berbisik, "Aku harap suamimu cepat kembali."
Sepasang iris biru kelabu terbuka, tatapan jauhnya sendu.
.
.
.
"Hattchi!" Dengan elegan, pria itu mengusap sebagian parasnya menggunakan saputangan.
Kali kedua, Sesshoumaru bersin sejak tiba di Hokkaido.
'Aneh.'
Merasa ada yang tidak beres, ia bertekad untuk lekas-lekas menuntaskan urusannya dan segera terbang pulang ke Tokyo.
.
~SK~
i hope u'll enjoy it!
11/11/2022
