"Pria yang cukup hebat, bisa membuatku sampai begini... Tapi sayangnya, itu belum cukup..."

Pria itu tersenyum miring menatap tubuh telengkup yang mengucurkan darah di depannya. Darahnya tergenang, lalu mengalir sampai menodai telapak sepatunya, tapi dia tidak terlalu peduli.

"Saatnya pembalasan... "

Suaranya halus dan kejam.

--

Malam sudah larut. Mereka sudah terlelap di balik selimut. Hanya api unggun yang dibiarkan menyala. Sebagian sebagai cahaya penerang, dan sisanya untuk mencegah kedatangan hewan buas.

Di depan api unggun yang diletakkan di tengah deretan tenda, Murata tengah duduk sendirian. Wajahnya muram. Sorot mata di balik kacamata itu tampak sendu dan redup.

Shinou... Apa kau benar benar sudah mati...?

Tangan kanannya merogoh saku celananya lagi. Di telapak tangannya kini ada potongan kayu itu lagi. Potongan kayu yang ia pungut sesaat sebelum meninggalkan puing kuil itu.

Murata tahu persis dari mana potongan kayu itu berasal.

Kotak Kagami no Minasoko.

Meski hanya tersisa potongannya saja, kotak ini masih bisa berfungsi... Yang dibutuhkan hanya kunci untuk menggunakannya... Ini bisa jadi harapan terakhir...

Murata sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga dia tidak menyadari ketika Conrad datang.

"Weller-kyo! Kau belum tidur?" Murata sedikit terkejut ketika melihat sosok itu ada di depannya.

"Saya belum mengantuk" Conrad menjawab sopan. Dia tersenyum tipis, kemudian duduk di sebelah anak itu.

Selama beberapa saat, mereka diam. Hanya bunyi derik kayu terbakar yang terdengar di telinga.

"Kau masih ragu soal itu?" Murata tiba tiba membuka mulut. Suaranya datar.

Conrad terdiam. Lama.

Hening lagi.

Murata tidak mencoba mengusik. Dia tahu pria di sebelahnya ini sedang berpikir dan menimbang.

"Saya sudah mengetahui silsilah keluarga itu sejak kecil melalui ayah. Meski memang saya baru tahu soal Richard Dueter itu. Ayah saya selalu bilang dia berasal dari Shimaron, tapi tidak pernah mengatakan kalau dia keturunan bangsawan Shimaron, sampai saya mengetahuinya sendiri... "

Suara Conrad terdengar tenang dan teratur. Murata mendengarkan saja.

"Meski dibilang berasal dari Shimaron, saya sebenarnya hampir tidak pernah menghabiskan waktu lama di sana. Hanya berkunjung sesekali bersama dia, saat saya masih kecil..."

"Saya lahir di Luttenberg dan tumbuh besar di Shinmakoku..."

Tiba tiba Conrad berhenti bicara. Matanya menerawang.

"Sampai sekarang pun begitu. Saya Conrad Weller dari Shinmakoku, tidak lebih..." Conrad berkata tenang, tanpa beban.

"Weller-kyo, kau sudah tahu Shimaron itu negara seperti apa, kan? Negara luas yang kaya raya, dengan raja yang bisa dibilang, kurang beres..." Murata menanggapi kalem.

Conrad tertawa sekilas menanggapi kalimatnya yang terakhir.

"Kau waktu itu menyusup ke Shimaron, menyamar sebagai pengawal pribadi raja, untuk mengumpulkan informasi sekaligus mencari kotak terlarang, bukan? Kau mengatakan melakukan itu semua untuk Shinmakoku. Apa tidak pernah terpikir olehmu, untuk sekalian saja mengendalikannya dari dalam...?" Murata berkata lagi, kali ini suaranya terdengar serius.

"Saya tidak berminat jadi raja... "

"Meski kau tahu itu baik untuk memperlancar urusan rajamu...?" Suara Murata tiba tiba terdengar halus dan sinis.

"Heika bisa melakukan itu sendiri, tanpa saya harus jadi raja Shimaron..."

Meski cukup terkejut dengan nada suara Murata barusan, Conrad tetap tenang. Dia berasumsi orang di sebelahnya ini hanya ingin mengujinya.

"Begitu. Yah, keputusan ada di tanganmu, Weller-kyo" Nada suara Murata kembali seperti biasa.

Conrad lega. Dia tersenyum tipis, kemudian pamit dan kembali ke tendanya.

Murata menatap sosoknya sampai hilang di balik tenda.

Kelak ada saatnya orang akan berubah pikiran...

--

Ketika Conrad masuk ke dalam tenda, suara dengkuran halus menyambutnya.

Dilihatnya Yuuri dan Wolfram tidur bersisian, dengan kain lebar yang menutupi tubuh sebagai selimut. Tiba tiba kaki Wolfram bergerak pelan, membuat kain itu agak berantakan.

Conrad tersenyum maklum dan mendekat untuk membetulkan posisi selimut.

Conrad tersenyum, menatap Wolfram dan Yuuri bergantian. Hatinya cukup lega melihat Wolfram mulai kembali ke kebiasaan tidurnya semula. Syukurlah, pemulihannya baik, Conrad membatin.

Namun saat dirinya menatap Yuuri, ingatan itu kembali lagi. Kejadian saat Adalbert meregang nyawa seolah kembali ke pelupuk matanya.

Conrad menatap Yuuri sedih. Padahal saya sudah berjanji... kami semua akan kembali dalam keadaan hidup... Conrad merasa kecewa dan gagal menepati janji itu.

Conrad agak bersyukur karena cerita Murata tadi malam telah berhasil mengalihkan perhatian Yuuri untuk sementara. Dia belum bertanya apa apa soal Adalbert. Tapi Conrad tahu, dia harus segera memberi tahunya. Tidak peduli reaksi anak itu nanti.

Sebelum terlelap, Conrad memutuskan untuk memberitahu Yuuri tentang itu besok pagi.

--

"Jadi Adalbert sudah..." suara Yuuri menggantung di udara, wajahnya menatap Conrad tidak percaya.

Conrad diam. Meski sudah bisa menebak reaksi anak itu, Conrad tetap merasa tidak enak hati.

Yuuri menunduk sekilas. Ekor mata Conrad mengikutinya.

Sekoyong koyong Conrad dapat merasakan kerah pakaiannya ditarik. Sebelum sempat bereaksi, suara Yuuri sudah meninju gendang telinganya.

"Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?! Jasadnya sudah tidak ada... Apa maksudmu... kuil itu pun sudah meledak!" Suara Yuuri berang namun nadanya sedih dan terluka. Giginya mengatup.

"Kau bilang semuanya selamat... Salahku tidak langsung menyadari ketiadaan Adalbert saat kalian kembali... Kenapa saat itu kau bohong padaku? Kenapa..." Suara Yuuri hilang di tenggorokan, seperti menahan tangis.

Hati Conrad seperti diremas saat melihat reaksi Yuuri yang seperti itu. Berondongan rasa bersalah memenuhi hatinya. Mulutnya yang sudah ingin mengatakan sesuatu, tanpa sadar terkatup lagi.

"Hentikan itu, Shibuya. Ini bukan salahnya"

Murata berjalan perlahan menuju mereka.

"Geika... " Conrad menatap Murata muram.

"Murata...!"

"Shibuya, Adalbert melakukannya atas kehendaknya sendiri. Dia membuat kami berhasil selamat dari kuil itu... Dia bilang, kita semua harus selamat..."

"Kurasa... dia mati dalam keadaan tenang dan puas karena sudah melakukan hal itu, jadi kau marah pada Weller-kyo pun tidak ada artinya..." Murata berkata perlahan.

Cengkraman Yuuri pada kerahnya mengendur. Conrad dapat merasakan tangan Yuuri yang basah dan lengket karena air mata.

"Maafkan aku... Aku hanya... kecewa... Waltorana... Adalbert... semuanya mati di tangan pria itu... Bahkan Wolfram juga... nyaris. Aku merasa tidak berguna... Apanya yang menang perang? Kurasa kita justru kalah telak!" Suara Yuuri meninggi lagi.

"We may not win all the battles, but we can still win the war"

Yuuri melongo. Murata mengatakan kalimat yang tidak dipahaminya.

Conrad diam. Meski dia memahami bahasa Inggris cukup baik karena sempat tinggal di Amerika, dirinya tidak lantas tahu asal kalimat itu.

"Kita mungkin tidak memenangkan semua permainan gilanya, tapi kita tetap bisa memenangkan perangnya" Murata berkata tenang.

Dia menatap Conrad sekilas sebelum berkata lagi, "Sun Tzu, Art of War"

"Terlalu cepat kau berkesimpulan begitu, Daikenjaku..."

Murata tersentak. Hanya satu orang yang memanggilnya begitu...

"Hai. Permainannya belum selesai... Dan aku baru kembali dari dasar neraka... "

Shinou tersenyum kejam.

--

"Kau... masih hidup...?" Murata terperangah menatapnya.

"Tentu saja. Aku tidak akan mati semudah itu, apalagi oleh tusukan pedang yang tumpul... " Shinou berkata mengejek.

Yuuri benar benar terpaku menatap sosok pria itu sekarang. Conrad segera menyalakan benda di telinganya, memaggil mereka semua ke mari.

"Hai, Nak. Kita bertemu lagi. Lari dan bersembunyi tidak akan menyelesaikan apapun. Hadapi ketakutanmu, kau akan bisa menang..." Pria itu tersenyum miring.

"Tapi waktu itu Adalbert sudah menusukmu dengan pedang... " Murata masih belum percaya.

"Ah, ya. Memang... Tapi dia amatir... tusukannya tidak dalam. Kau bahkan tidak melihat darahku waktu itu..."

Murata baru menyadarinya sekarang. Saat itu pria itu tidak tampak mengeluarkan darah, sesaat setelah Adalbert menyerangnya.

"Tapi nasib pria itu berbeda. Dia benar benar sudah tewas... Kuharap itu bukan kematian yang sia sia... " Shinou berkata tenang.

Terdengar suara langkah kaki dari belakang. Gwendal, Gunter dan Yozak menghampiri mereka.

"Shinou...!"

"Wah, wah, wah... Aku tidak menyangka akan langsung disambut meriah begini... Ini menudahkan urusanku" Shinou memuji. Sesaat kemudian, baru disadarinya, pionnya kurang satu.

"Hm? Dimana kalian sembunyikan pionku yang itu? Anak itu adalah pionku yang berharga... Jangan seenaknya menyembunyikannya lagi dariku... " Shinou mendesis pelan.

Gwendal geram.

"Dia bukan pionmu, brengsek! Kotak kotak terlarang itu sudah hancur, apalagi yang kau cari?!"

"Aku tidak membutuhkan kotaknya lagi untuk membunuh kalian semua. Semuanya sudah hancur, kan? Aku tinggal membunuh kalian saja, dengan begitu semuanya akan selesai... " Shinou tersenyum sumir.

"Setelah membunuh kami, kau pikir itu selesai? Apa yang kau inginkan selanjutnya?" Murata berkata perlahan, wajahnya sulit dibaca.

"Daikenjaku, kupikir kau yang paling memahami aku, tapi rupanya aku keliru" pria itu menggeleng perlahan, kecewa.

"Aku ingin memenuhi keinginanku di depan mata, selanjutnya itu akan aku pikirkan nanti..." Shinou menatap mereka tajam.

"Ya, kau selalu mengandalkan aku untuk urusan strategi, sementara kau lebih banyak eksekusi saja. Kau pikir aku pengasuhmu?" Murata tampak berang.

"Jangan bicara begitu... Tidak seharusnya saudara itu saling bertengkar, kan?" Shinou menatap Murata kalem.

"Ayahmu itu memang konyol. Pria aneh yang suka gonta ganti pasangan..." Murata tersenyum getir.

"Kalian... saudara?" Yuuri membuka mulut lagi sejak terdiam lama.

"Ya... Dia adik tiriku, beda ibu... Ayahku itu rupanya benar benar merepotkan, selain itu rupanya dia meminta anak itu untuk mencari dan menjagaku... " Shinou berkata pelan, kali ini nada suaranya terdengar berbeda. Terdengar datar dan kosong.

"Aku sudah selesai dengan tugasku padamu, Shinou... Sejak aku bertemu Shibuya... " Murata menatap Yuuri lekat.

"Ah, kau memutuskan untuk mengabdi pada anak itu? Bagus, aku jadi tidak akan segan juga untuk membunuhmu, kalau begitu... " Shinou tersenyum kecut, merasa dikhianati.

"Sayang sekali, aku lebih menyukai Shibuya... Meski dia kadang ceroboh dan naif, tapi yang jelas dia tidak egois sepertimu" Murata maju perlahan ke arah pria itu.

--

Wolfram masih berbaring, namun kali ini benda di telinganya itu menyala. Gwendal bersikeras melarangnya ikut, meski hanya untuk keluar. Wolfram menghela napas. Dia merasa kakinya sudah lebih baik, kalau hanya sekadar untuk berjalan, dia yakin masih bisa. Namun tatapan menakutkan Gisela mengurungkan niatnya. Dia akan bersabar sebentar lagi.

--

"Naif adalah sumber kekalahan, kau tahu...? Terlalu baik itu perangkap yang paling manis..." Shinou tertawa mengejek.

"Kau mungkin benar..." Murata berhenti tidak jauh dari pria itu. Mata mereka berserobok sesaat.

"Tapi ada kalanya... keegoisan juga membawa petaka..."

"Yah, seperti Ying dan Yang, cahaya dan kegelapan, keduanya memang harus saling bertemu... " Murata menimpali.

"Kau... dipengaruhi Soshu, kan? Selama ini kau memang sudah memeliharanya di dalam tubuhmu..."

Murata berkata perlahan. Menunggu reaksi pria itu terhadap kalimatnya kadang memang menarik.

"Soshu... Jangan kau pikir shoshu itu hanya ada padaku..."

Shinou tersenyum lagi.

"Tiga dari keempat pemegang kunci kotak terlarang itu juga memelihara soshu di dalam dirinya, tanpa mereka sadari" Shinou berkata lagi.

Semua terdiam.

"Weller adalah pengecualian. Mereka tidak punya maryoku, jadi soshu pun tidak mampu mempengaruhi mereka..."

"Yang membedakan pemegang kunci sisanya adalah, seberapa kuat soshu mempengaruhi mereka. Yuuri heika, seperti yang kau tahu, dia itu terlalu baik... Soshu tidak bisa mempengaruhinya... Lagipula maryoku nya kuat sekali" Shinou berkata kecewa.

"Sementara putra sulung Cecilia itu, selain maryoku yang cukup kuat, tubuhnya sudah semakin kuat menahan pengaruh soshu karena usianya sudah cukup panjang... Seratus tiga puluh... Sudah cukup dewasa untuk mengendalikan kegelapan dalam dirinya..."

"Sementara putra ketiga Cecilia... Ah, anak itu memang keturunanku... Dia punya maryoku yang kuat, namun tubuhnya yang lemah dan usianya masih muda... Masih sulit untuk mengendalikan kegelapan di dalam dirinya... Karena itu dia mudah dikendalikan dan dipengaruhi..."

"Seumur hidupnya, pemegang kunci kotak itu akan bergemul dengan kejahatan dan kebaikan... Siapa yang akhirnya menang, itu tergantung masing masing..." Shinou mengakhiri kalimatnya.

"Karena itu kau memilih von Bielefeld-kyo untuk menjadi pion utamamu? Karena dia lebih mudah dikendalikan?" Murata bertanya pelan.

"Tidak juga... Meski itu memang salah satu alasanku..."

Yuuri menahan amarah yang tiba tiba muncul. Niat untuk bertarung dengan pria ini semakin kuat.

Meski Yuuri menatapnya dengan sorot mata marah, Shinou masih bisa berkata tenang padanya,

"Yuuri heika, kau masih ingat malam saat menemukan tunanganmu itu membunuh para penjaga istana, kan...?" Shinou berkata perlahan.

Yuuri masih sangat ingat kejadian itu. Malam sebelum semuanya perlahan terbuka. Yuuri melihat Wolfram berdiri di antara jasad jasad yang berlumuran darah.

"Saat itu dia rupanya tidak mampu menahan pengaruh soshu di dalam dirinya, sehingga butuh pelampiasan... Meski mungkin dirinya sendiri tidak sadar... Benar benar lucu..." Shinou terkekeh geli.

Cukup. Yuuri semakin tidak tahan untuk berontak.

"Shinou... Ayo kita selesaikan ini... Satu lawan satu... " Suara Yuuri terdengar dingin.

"Itu yang kuharapkan, Maoh heika... " Shinou tersenyum sinis.

Bersambung

--

Selamat malam, salam sejahtera.

Tidak terasa, saya hampir merampungkan Akhir Dari Awal. Fanfic yang saya tulis sejak Januari 2021 itu awalnya hanya pemikiran iseng. Dengan ide awal "Andai serial ini dilanjutkan dan tamat".

Berbekal 17 novel Maruma, 73 Drama CD, 21 manga Maruma, 117 episode anime Kyo Kara Maoh, 3 drama musikal, dan beberapa Gaiden, saya mulai mencoba menulis lanjutan novelnya yang sudah hiatus sejak 2010.

Saya mencoba menggabungkan semua unsur media resmi yang tersedia (novel, drama cd, anime, drama musikal, cerita pendek, serta manga) dalam menulis fanfic ini, dan mencoba mencari benang merah atau titik tengahnya.

Novel Maruma memegang porsi terbesar, karena ini adalah media utama sekaligus yang tertua dari Maruma series.

Karena menulis fanfic ini sejatinya adalah bersenang senang, awalnya saya sama sekali tidak pernah berpikir kalau fanfic yang saya tulis ini akan dibaca cukup banyak orang dan mendulang cukup banyak suara. Sesuatu yang sungguh tidak pernah saya duga sebelumnya.

Respon hangat dan positif itu terus berlanjut sampai hari ini, dan saya sungguh berterima kasih.

Satu hal lagi yang tidak pernah saya bayangkan adalah, saya mulai ditagih untuk segera meng update cerita. Jujur, saya senang sekali. Saya senang kalau tulisan saya bisa menghibur dan dinikmati banyak orang.

Saya butuh waktu sedikit lagi untuk menulis lanjutannya. Satu yang saya tekadkan saat mulai menulis Akhir Dari Awal adalah, meski cerita ini cukup panjang, saya akan menyelesaikannya, meski butuh waktu cukup lama.

Akhir kata, sebagai bahan evaluasi, saya butuh bantuan. Saya ingin tahu, apa yang membuat para pembaca menikmati fanfic saya?

Salam hangat.