Apa ini sudah saatnya?

Sejak siang tadi, pertanyaan itu selalu tersangkut di kepalanya. Leona sampai pusing dan tidak terlalu fokus selama seharian ini. Memikirkan satu pertanyaan ini rasanya seperti menyelesaikan permasalahan yang menyangkut kemaslahatan rakyatnya.

Bulan madu ini seharusnya hanya sebagai formalitas. Namun, hari-hari yang ia habiskan bersama Rook … seperti membuang semua formalitas yang ada.

Mereka mengobrol, bermain (lebih tepatnya Rook yang mengajak), makan bersama, sampai sesekali bergandeng tangan. Ia tahu kalau yang mereka lakukan itu hanya untuk menunjukkan pada dunia kalau mereka "sungguhan menikah." Namun Leona tidak merasa kegiatan mereka buruk sama sekali. Kalau dirinya yang dulu mungkin akan merasa terganggu karena harus melakukan itu semua dengan Rook Hunt, si orang paling menyebalkan dan berisik. Untuk dirinya yang sekarang, rasanya sudah berbeda.

Vil sudah bersama orang lain. Laki-laki itu dipilihnya sendiri, dan Vil sendiri bukan perempuan lemah. Ia pasti sudah memikirkan itu dengan sangat matang. Leona sudah tidak punya kesempatan lagi. Ia pun tidak suka mengganggu hubungan orang, di saat dirinya juga sudah punya hubungan sendiri.

Rook di sini, menghadapi ini, karena dirinya. Akan sangat tidak baik kalau ia masih memikirkan wanita lain di saat sudah ada yang bersedia mendampinginya, walau terbatas kontrak. Kesalahannya memanggil Rook dengan nama wanita lain masih menyesakkan dada kirinya.

Leona tidak bisa membiarkan itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Jadi, apa mungkin ini sudah saat yang tepat untuk meninggalkan masa lalu?

"Leona-kun …?" Ah, Leona sampai lupa kalau mereka sedang di puncak, berniat menghabiskan hari terakhir dengan melihat bintang. Dengan pikiran yang masih cukup berantakan, ditambah rasa bersalah yang mendadak muncul kembali, Leona hanya bisa membalas Rook dengan dehaman kecil.

"Apa … kau tidak senang aku bawa ke sini?" Tidak senang? Apakah Leona terlihat tidak senang? Ia cukup menikmatinya, bukankah tadi ia sudah jelaskan?

Ah, lagi-lagi ini ia bergelut dengan pikirannya sendiri. Mana mungkin Rook bisa mendengar suara dalam kepalamu, Leona Kingscholar. Dasar bodoh.

"Leona-kun, kalau kau ingin curhat lagi, aku mau dengarkan." Leona menoleh, melihat reaksi Rook yang agak salah tingkah. "… Aku sudah bilang sebelumnya kalau aku siap mendengarkan, kan? Oh, curhatnya tidak melulu tentang cinta juga tidak apa! Aku bersedia mendengarkan yang lain, apa pun yang mengganggu pikiranmu dan kalau kau butuh teman bicara."

Gadis di sampingnya ini benar-benar suka bicara, ya. Sejak masih di NRC dulu, mulutnya seperti tidak punya rem; selalu berbunyi di mana pun dan kapan pun. Walau sebenarnya, kalau boleh Leona jujur, Rook yang sekarang agak berbeda dengan yang dulu ia kenal. Entah di sisi apa, Leona masih belum bisa memastikan.

Leona membuang pandangannya. "… Aku tidak tahu," ia menanggapi tawaran Rook soal teman curhat tadi. Ia sudah cukup membicarakan soal Vil sebelum ini, dan sekarang ia tidak punya niat untuk membicarakannya lagi dengan Rook. Setidaknya setelah ia berniat untuk move on.

"Ya, santai saja. Pelan-pelan, kita punya waktu semalaman." Leona merasa tubuhnya ringan. Mereka memang punya waktu semalaman, bahkan mungkin lebih dari itu. Ia pasti bisa melaluinya.

.

.

.

"Love Knot"

Chapter 11

.

.

.

"Ayahmu kalau tahu, bisa-bisa kau dihukum, Cheka."

Yang diberi nasihat menggembungkan pipinya. "Kalau Oji-san diam-diam, Otou-san tidak akan tahu."

"Hooo?" Leona memamerkan senyum miring. Satu kentang goreng kembali masuk ke mulutnya. "Kau ingin aku tutup mulut, hm? Memangnya mau bayar berapa?"

"Leona-kun." Sang pangeran langsung mengangkat tangannya, menghindari cubitan Rook yang tiba-tiba. "Tidak baik bicara seperti itu pada anak kecil."

Leona mendecakkan lidah. "Kau selalu membelanya hanya karena dia anak kecil. Haruskah aku jadi anak kecil dulu biar bisa kau bela?"

"A-apa—hah?!" Kali ini Rook berhasil mendapatkan kembali tangan Leona, tapi sasaran cubitannya beralih ke lengan atasnya.

"Ita—oi! Hentikan—aw, aw, aw! Lenganku bisa lepas nanti!"

"Tarik dulu ucapanmu tadi, baru aku berhenti."

"Astaga, astaga! IYA! Oke, iya, terserah!"

Rook melepaskan cubitannya. Ia menggeser duduknya mendekat ke Cheka, membiarkan Leona dengan rasa sakit dan tatapan sinisnya. "Cheka-kun tenang saja, kami tidak akan bilang apa-apa ke ayahmu."

"Hm, tapi sebenarnya tidak masalah, sih, Rook-san."

"… Kenapa begitu?"

"Otou-san hanya akan marah sebentar, tapi habis itu kami akan main lagi seperti biasa," balas Cheka santai, senyumannya lebar. Mendengar itu, mendadak muncul rasa bersalah dalam diri Rook karena sudah mencubit Leona dengan teramat keras tadi.

"Falena—Aniki itu tipe yang lembek sama keluarga." Leona tiba-tiba ikut menambahkan. Tangan kirinya masih memegangi lengan kanannya yang terasa kaku, sementara ekornya terdengar membuat beberapa hentakan tidak suka ke lantai. "Tapi aku tetap suka melihat Cheka dihukum olehnya. Rasanya menyenangkan."

"Huh! Oji-san ternyata agak sadis, ya!"

Leona kembali memamerkan senyum miringnya. "Lo? Saya kira Yang Mulia sudah tahu kalau rakyat jelata ini memang sadis."

Kali ini giliran ekor Cheka yang menghentak-hentak sebal. Tiba-tiba ia memberi burgernya satu gigitan besar, yang mana langsung diikuti oleh Leona dengan burgernya sendiri. Entah bagaimana, keduanya pun berakhir dengan kompetisi makan burger paling cepat.

Rook hanya menggelengkan kepalanya heran. Ia memutuskan untuk mengisi mangkuk saus mereka lagi, menghindari "medan pertempuran" sejauh mungkin.

"Maaf, boleh aku minta saus lagi?"

"Oh, baik, Yang Mulia."

Rook meremat bagian bawah blusnya ketika mendengar staff yang melayaninya memanggilnya Yang Mulia. "… Um, aku bukan keluarga royal."

"Hehe, tapi Anda, kan, istri Pangeran Leona?" Staff itu melirik sang suami yang masih sibuk bertikai dengan keponakannya di meja yang cukup jauh dari tempat Rook berada. Staff wanita yang tampak masih muda itu memberi Rook senyum ramah. "Saya sendiri tidak tahu bagaimana rasanya menikah dengan bangsawan, tapi mungkin Anda masih belum terbiasa dengan panggilan-panggilan ini. Walau begitu, kami tidak akan menghalangi Anda untuk bersenang-senang hanya karena Anda bangsawan."

Rook tertawa pelan. "Yah, kau benar." Staff itu mengembalikan mangkuk sausnya yang sudah terisi. Rook menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih."

"Tidak masalah, Yang Mulia. Ah, omong-omong," Mata staff itu mengitar, seolah memastikan tidak ada orang lain yang bisa mendengar pembicaraan mereka setelah ini, "apa Anda dan Pangeran Leona baik-baik saja? M-maaf kalau terdengar lancang, tapi saya agak khawatir … karena sempat ada gosip Pangeran Leona membentak Anda."

Mata Rook berkedip beberapa kali. "… Membentak? Di mana?"

"Uh … kalau tidak salah di acara pertunangan teman Anda atau semacamnya?"

Ah. Di pesta Vil. Saat ia mabuk dan mengucapkan beberapa hal yang memalukan. Apakah yang dimaksud membentak itu saat Leona meninggikan suaranya untuk menghentikan Rook yang melantur karena setengah mabuk?

Orang-orang tahu soal ini?

Tapi, tidak. Leona tidak membentaknya. Ia jelas tidak marah saat itu. Ia hanya ingin mencegah kejadiannya semakin buruk.

Mangkuk saus di tangannya hampir saja terjatuh kalau Rook tidak segera kembali ke kesadarannya. "… Tidak ada." Kepalanya menggeleng, sebuah senyum yang dibuat seramah mungkin diperlihatkan. "Kami baik-baik saja. Yang kau dengar itu memang hanya gosip sepertinya."

Staff itu seketika terlihat malu. "B-begitu, kah …. M-maafkan kelancangan saya."

Rook tidak membalas dan mengangkat tangannya yang tidak memegang mangkuk. Ia pun pergi setelahnya, perasaannya sudah tidak secerah sebelumnya. Ia tidak bisa memastikan apakah karena ia tidak suka ada yang membuat gosip seperti itu … ataukah karena gosip itu menyinggung Leona.

"Terima kasih, Rook-san!" Cheka berseru saat Rook baru saja kembali ke meja mereka. Ia sengaja mengalihkan perhatiannya ke saus dan meninggalkan pamannya yang masih agak terbawa emosi. Namun itu tak berlangsung lama karena Leona menyadari ada sesuatu yang terjadi pada Rook.

Pangeran kedua Sunset Savanna itu menenggak minumannya hingga tak bersisa, kemudian berdiri. "Aku mau tambah kola sebentar. Rook," Matanya mengajak gadis yang baru akan duduk itu untuk tetap berdiri, "temani aku sekalian beli buat Aniki."

Seolah paham dengan maksud suaminya, Rook mengangguk. Ia bicara dengan Cheka sebentar perihal penjagaan dan sebagainya, memasangkan unique magic-nya pada sang pangeran muda, sebelum akhirnya mengekori Leona ke arah mesin kola.

"Apa akhirnya ada yang bicara yang tidak-tidak tentang kita?"

Rook tidak langsung menjawab. Ia tampak merapat ke Leona dan menggelengkan kepalanya pelan. "Hanya … sedikit gosip."

Leona pura-pura memilih es batu untuk dimasukkan ke gelasnya, sedikit menambah waktu mereka untuk bicara. "Gosip yang bagaimana?"

Sambil menggoyang-goyangkan gelasnya pelan, Leona menangkap tangan-tangan Rook yang saling meremat lengan bajunya sendiri. Tidak biasanya ia terlihat setidak tenang itu di depan umum, dan agaknya itu mengganggu Leona. Ia tidak suka melihat Rook yang biasanya tenang dan tajam, berubah jadi penuh rasa cemas seperti ini.

"Kau utang cerita padaku saat pulang nanti."

"Huh?"

"Kembali ke Cheka. Biar aku yang pesan makanannya."

Rook terdiam menatap Leona yang masuk antrian. Gadis itu menengok ke meja mereka, mengecek sekilas keadaan Cheka, lalu menarik pelan tangan Leona, membuatnya lebih dekat ke telinga berbulu itu. "Aku juga utang maaf padamu." Setelah mengatakan itu, sang pemburu muda langsung kembali ke tempatnya berasal.

Selama beberapa saat, Leona terpaku di tempatnya berdiri. Ia sampai hampir lupa untuk maju dan menyebutkan pesanannya. Kupingnya bergerak-gerak, mencoba mereka ulang suara yang sempat singgah di sana. Suaranya lebih dalam dari perempuan kebanyakan, tapi lembut dan cukup menggoda imannya untuk membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya.

Ah, sial. Masih siang dan ia ada di tempat umum. Apa Leona sudah gila?

.

.

.

"Tiiidaaak! Aku tidak mau berpisah dari Rook-saaan!"

Dua orang pelayan malang yang dipanggil Leona masih berusaha menarik Cheka yang tidak mau melepas pelukannya di kaki Rook. Kalau saja Rook bukan seorang bertubuh cukup atletis, pasti ia tidak akan bisa merasakan lagi nikmatnya berjalan dengan kaki-kaki sendiri keesokan harinya. Jujur, Leona sudah sering merasakan hal yang sama, tapi itu saat Cheka masih kecil. Sekarang tubuhnya sudah semakin tinggi dan besar, tekanan yang diberikan pasti juga akan semakin besar.

"Dewasa lah sedikit, dasar penerus tahta tak berguna."

"Leona-kun!"

"HUWEEE! Aku tahu itu bercanda, tapi tetap saja menyakitkan untuk didengar!"

Telinganya bergerak-gerak mendengar ucapan keponakannya. Rupanya itu cukup menggores sisi luar hatinya yang sekeras baja. Leona pun menyerah dan menghentikan dua pelayan yang sejak tadi masih berusaha menarik Cheka.

"Pulang dan antarkan oleh-oleh yang kita dapat pada ayahmu." Leona melepaskan tangan dan kaki Cheka yang melingkar di kaki istrinya dengan perlahan-lahan. Melihatnya saja sudah cukup untuk meyakinkan kalau adik dari Raja Sunset Savanna ini menyayangi keponakannya. "Kau sudah besar dan lebih pintar dari anak-anak seusiamu. Aku tidak tahu tujuanmu berakting seperti ini apa, tapi sudahi lah. Ini sudah sore, aku dan Rook butuh istirahat."

Cheka menggembungkan pipinya. "… Jadi Oji-san sudah tahu aku berakting."

"Kau pikir ada yang tidak aku tahu?" Leona mengacak rambut secerah cahaya matahari tenggelam itu. "Kapan-kapan kita keluar lagi, tapi jangan besok. Aku benar-benar ingin seharian saja di rumah."

"Oh, ya?" Cheka berdiri, menatap Rook yang juga sedang menatapnya bingung. "Hmm, mau berduaan saja dengan Rook-san berarti, ya." Seketika wajah Rook memerah, memancing Cheka untuk tersenyum lebar.

"Apa kau mencoba menggoda istriku, eh, bocah?" Leona ikut berdiri, sedikit menghalangi pandangan Cheka yang masih memamerkan senyum penuh arti.

"Dih, sejak kapan Oji-san jadi cemburuan begitu?" Mata Leona menajam, memaksa Cheka untuk mundur. Pangeran muda itu tertawa sesaat. "Tenang, tenang. Aku masih butuh waktu sepuluh tahun lagi untuk mendapatkan hati Rook-san."

Leona menggertakkan gigi. "Anak sialan."

"Terima kasih atas waktunya, Leona Oji-san, Rook-san! Selamat beristirahat!" Cheka melambaikan tangan sambil sedikit melompat-lompat. Ia langsung berlari masuk pekarangan istana setelahnya.

Leona menghela nafas. Lehernya sudah pegal bukan main. "Sepertinya aku akan minta upahku bulan depan dinaikkan."

"Fufu, ada biaya tambahan mengajak Cheka-kun jalan-jalan, ya."

Kepala Leona menggeleng tanda heran. "Bisa-bisanya sejak dulu aku dijadikan babysitter pribadi tanpa bayaran. Sekarang setelah fokus bekerja, aku tidak pernah lupa untuk memasukkannya ke 'biaya lain-lain' setiap kali berhubungan dengan Cheka." Keduanya mulai berjalan ke mansion mereka sendiri setelah berpamitan dengan beberapa penjaga yang sejak tadi mengawasi mereka di depan istana.

Rook tertawa sebentar, sebelum akhirnya fokus ke lengan kanan Leona yang ia cubit di tempat makan burger tadi. "… Apa masih sakit?"

"Hm?"

Dagu Rook menunjuk ke arah lengan Leona yang jadi sasaran. "Aku yakin … aku mencubitnya cukup keras tadi. Pasti meninggalkan bekas."

Refleks Leona memegangi bagian yang dimaksud. Ia mengusapnya beberapa saat, lalu membalas, "Kuakui masih sakit, tapi sudah lebih baik."

Begitu mereka sampai, Rook langsung menarik tangan Leona yang tidak sakit dan membawanya naik ke lantai dua, masuk ke kamarnya. Rook sempat meminta pelayan untuk segera menyiapkan air mandi, sebelum ia menutup pintu kamarnya dan menyisakan dirinya serta Leona di dalam, hanya berdua.

"Buka bajumu."

"Uh, oh. Apa ini wedding night yang tertunda?"

"Leona-kun."

"Oke, oke. Berhenti memberiku tatapan itu." Leona melepas jaket serta kaos yang melapisi tubuh atletisnya. Kulitnya yang gelap mampu mengaburkan bekas cubitannya, tapi tentu itu tidak mampu menipu mereka yang bermata tajam seperti Rook.

Gadis pemburu itu berjalan ke meja riasnya, mengambil kotak P3K dari laci, dan membawanya ke pinggir kasur. "Duduk sini," perintahnya diturunkan, seraya tangan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya duduk.

"Apa perlu sampai pakai kotak obat begini?" Leona menurut dan menduduki kasur yang baru sempat ia lihat saat membawa Rook yang mabuk seminggu lalu.

"Bekasnya meninggalkan memar. Harus ditangani sebelum semakin parah."

Lagi-lagi Leona menurut karena ia juga tidak diberi pilihan lain. Ia memperhatikan tangan Rook yang mulai bergerak merawat memarnya, lalu beralih menyusuri kamar yang tertata rapi. Hidungnya bergerak, menangkap aroma kesukaannya yang terasa sangat jelas di seisi ruangan.

"… You really can feel anything when you sober, huh."

"Apa itu merujuk sesuatu?"

Leona tertawa remeh. "Bagaimana, Bu Dokter? Apa lukanya membahayakan nyawa saya?"

Rook hampir memutar bola matanya, tapi kemudian mengikuti alur, "Anda sudah melewati masa kritis. Tidak perlu khawatir."

Tawa Leona kali ini terdengar lebih tulus. Sambil kembali memperhatikan pergerakan tangan Rook yang mengurut memarnya pelan, Leona mencoba kembali ke pertanyaan awal, "Gosip apa yang tadi kau dengar?"

"…" Rook tetap fokus pada kegiatannya. Selama beberapa saat, keheningan ada di antara mereka, lalu Rook menjawab, "… Ada yang bilang kau membentakku."

"… Saat di pesta?" Rook menganggukkan kepala pelan. Leona membuang nafas panjang, ia tampak lelah. "Di saat sudah kukerahkan semuanya untuk mencegah ada rumor atau apa pun itu, kenapa masih saja ada yang lolos … menyebalkan."

"Kau sudah mencegahnya?"

"Tentu saja." Rook sudah selesai mengobati, tapi tangannya tidak diizinkan pergi. Leona menggenggamnya, meninggalkan beberapa usapan lembut di kulit putih itu. "Aku yakin pasti ada yang dengar saat aku meninggikan suara, jadi aku langsung meminta beberapa orang untuk mengurusnya. Tapi tak kusangka kau malah mendapat kabar tak mengenakkan."

Kepala Rook menggeleng. Kedua ujung bibirnya naik. "Tidak apa. Aku tadi hanya terkejut, tapi sekarang sudah tidak merasa apa-apa. Lagipula itu hanya gosip kecil. Orang-orang akan cepat melupakannya."

Leona sedikit memutar badannya, memberi akses yang lebih mudah untuk berhadap-hadapan dengan Rook. Sempat ingin melarikan diri, tapi Leona menahan Rook supaya tetap diam di tempat. Mereka pun bertukar tatap cukup lama, dengan Leona yang masih tidak melepaskan tangan Rook.

"… U-uh, Leona-ku—"

"Kau tahu, Rook?"

"A-apa?"

Leona diam sebentar, lalu melanjutkan, "Kadang aku berpikir, kenapa bisa matamu membesar?"

"… Maksudnya?"

"Seperti sekarang," Tubuh Leona maju, menipiskan jarak di antara mereka, "pupilmu membesar. Mungkin karena aku menghalangi masuknya cahaya ke matamu, tapi sebelum-sebelumnya, di saat cahaya bisa masuk dengan mudah, pupilmu bisa membesar juga. Aku tidak pernah melihat itu pada orang lain, dan aku rasa baru kau yang aku temui."

Walau harus memaksa otaknya yang tiba-tiba berhenti bekerja untuk berpikir, Rook langsung tahu apa yang Leona maksud dan seketika ia semakin salah tingkah. Belum lagi kondisi Leona yang masih bertelanjang dada dan jarak mereka yang terlalu dekat. Kalau begini terus, Rook tidak punya pilihan selain menemui dokter jantung dimulai dari besok hingga seterusnya.

Tok, tok

"Maaf mengganggu, Yang Mulia. Air mandinya sudah siap."

Puji Tuhan! Rook terselamatkan!

"Um … air mandimu sudah siap, Leona-kun."

Terlihat jelas ekspresi tidak senang dari sang pangeran. Meski begitu, ia tetap berdiri, memakai kembali kaosnya. Rook memanfaatkan kesempatan itu untuk berpura-pura merapikan kotak P3K dan mengalihkan pandangannya dari Leona.

"Terima kasih sudah merawatku, dan omong-omong, lain kali kau harus hati-hati." Leona berhenti di depan pintu, melempar senyum penuh arti ke Rook yang berdiri diam di tengah ruangan. "Jangan sembarangan membawa laki-laki ke kamar, Tuan Putri, apalagi menyuruhnya telanjang. Kau tidak akan pernah tahu apa yang ada di pikirannya."

Rook mengambil bantal dari tempat tidur dan melemparnya ke Leona yang langsung keluar kamar dengan cepat. Sialnya, bantal itu mengenai pelayan yang tadi mengetuk pintunya. Ekspresi kebingungan mewarnai wajahnya.

"LEONA KINGSCHOLAR!" teriak Rook, menyusul keluar kamar. Ia hendak mengejar sang pangeran, tapi ternyata Leona sudah masuk ke kamar mandi dengan suara tawa yang menggelegar.

Sang pemburu menutup wajahnya yang terbakar dengan kedua tangan. Tak kuasa menahan malu akibat ucapan Leona, dibarengi tawa menyebalkan yang menghabiskan hampir tiga menit sampai akhirnya berhenti. Jantungnya tak kunjung tenang, hampir membuatnya lunglai karena lemas akibat rasa malu tak tertahan. Pelayan yang menangkap bantalnya tadi mencoba mengajaknya bicara, tapi Rook sudah tidak sanggup lagi berkata-kata.

Tuhan … rasanya seperti ingin mati.

.

.

.

Next: Chapter 12