Vil melirik dari ekor matanya; Leona Kingscholar mengambil duduk di sebelahnya. Ia merasa cukup kaget dan kagum mengetahui sang "raja terlambat" bisa datang lebih cepat ke pertemuan kali ini—walau ini bukan pertemuan kepala asrama. Belum lagi baru mereka berdua yang sampai di titik kumpul—kelas kosong—yang sudah dijanjikan.

Meski begitu, ketika melihat sang raja hutan menguap lebar, Vil segera menarik beberapa perasaannya yang disertai "kekaguman" tadi. Leona tetaplah Leona.

"Untuk apa datang kalau masih mengantuk?" Bisa Vil rasakan cahaya hijau itu sempat mengarah padanya. "Toh biasanya kau tidak pernah datang. Tumben sekali, kerasukan sesuatu, kah?"

"Seenaknya saja mulutmu itu. Berisik."

Hampir Vil melempar tempat pensilnya kalau Kalim dan kembar Leech masuk dan bergabung dengan mereka. Setelah menyapa, Vil kembali pada Leona, "Rook menanyakanmu perihal oleh-oleh."

"Hah?" Nada suaranya terdengar tidak senang. Tentu saja, Vil tahu kalau hubungan temannya dengan ketua asrama Savanaclaw ini tidak terbilang baik.

Vil mencoba sabar dengan menarik dan membuang nafasnya sesaat. "City of Flowers. Dia mengirim pesan padaku, menanyakan kira-kira 'Roi du Leon' mau apa buat oleh-oleh."

Leona merinding mendengar nickname andalan Rook, terlebih nickname itu keluar dari mulut gadis yang paling ingin ia jaga dari kontaminasi keanehannya. "Kenapa dia tidak langsung tanya padaku?"

"Kau tidak tahu yang namanya kejutan, ya?" Vil menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Pantas saja kau tidak pernah punya pacar. Memperlakukan seorang gadis saja seperti itu."

Kuping berbulu Leona bergerak tidak senang. Lagi-lagi, deretan kata tak diinginkan justru keluar dari gadis yang paling diantisipasi. Leona tidak tahan lagi.

"… Perlakuanku berbeda ke setiap perempuan."

"Oh, ya?" Vil merespons tidak peduli. Ia mengeluarkan pulpen dari tempat pensilnya dan mulai menyibukkan diri dengan buku catatannya. Pertemuan belum dimulai, tapi ia sudah tidak berkenan mendengar setiap perkataan pangeran di sampingnya.

Leona, mengetahui itu, menggertakkan gigi-giginya. Ia hampir menyalahkan Vil karena gadis itu tidak peka dengan kodenya, di saat seharusnya Leona bisa lebih berani dalam mengungkapkan perasaannya.

Ia mengakui kalau perlakuannya berbeda ke setiap perempuan. Terutama ke perempuan yang disukai. Pasti akan ada beberapa perlakuannya yang berbeda karena perempuan itu adalah orang yang spesial. Namun Leona pengecut. Ia tidak berani mengucapkannya.

Ia pun menelan perkataan itu dalam-dalam, tidak pernah dikeluarkan.

.

.

.

"Love Knot"

Chapter 12

.

.

.

November. Tak terasa sudah hampir berganti tahun. Ini berarti sudah berjalan hampir tiga bulan sejak pertama kali kontrak ditandatangani, kah.

Leona Kingscholar menyesap kopi paginya dengan mata yang masih memperhatikan kalender. "… Waktu cepat berlalu."

"Benar, apalagi kalau kau menikmatinya."

Keningnya berkerut tidak senang mendengar itu. "Bukannya aku sudah sering bilang untuk tetap di ruanganmu sendiri, Falena?"

"Hei, mana sopan santunmu?"

"Mana sopan santunmu? Sopan, kah, main masuk ke ruangan orang tanpa izin? Dan itu hampir setiap hari?"

Falena menaik-turunkan bahunya. "Kan, hampir, bukan setiap hari. Kedatanganku juga tidak pernah mengganggumu."

"Tapi kau benar-benar mengganggu pandanganku, Titan."

"Siapa yang kau panggil Titan?!"

Seperti biasa, Leona mengabaikan celotehan kakaknya dan kembali fokus ke pekerjaannya. Tadinya ia memang bisa fokus, sampai Falena tiba-tiba berkata, "Bulan depan Rook-san ulang tahun. Apa kau tidak mau menyiapkan sesuatu?"

Jari-jarinya berhenti di atas keyboard. Ia kembali melirik tanggalan yang ada di pojok layar komputernya. Benar, kurang dari sebulan Rook ulang tahun.

"Kalau dilihat dari kondisi cuaca sekarang, sepertinya akan bertepatan dengan turunnya salju pertama musim dingin." Falena tampak menggulir berita cuaca di ponselnya, memperkirakan sendiri kapan musim dingin akan dimulai. "Well, kita tidak akan merasakan salju di sini, tapi tak ada salahnya belikan hadiah yang berkaitan dengan salju. Lagipula Rook-san itu cantik, seperti Putri Salju."

"Haaah?" Wajah Leona sudah sangat tidak enak dilihat. Telinga dan ekornya bergerak tidak senang. "What did you say? Snow White? That Snow White we know in the fairytale? Are you being serious right now?"

"What's with that attitude?" Kening Falena berkerut. Tubuhnya menegak di sofa tempatnya duduk. "Akui saja, Rook-san itu memang cantik. Dia mungkin tidak punya rambut hitam seperti Putri Salju, tapi perangainya yang ceria dan kulitnya yang seputih susu, bukankah itu mengingatkanmu pada tokoh-tokoh Tuan Putri dalam dongeng?"

Leona menggaruk lehernya, mencoba menghilangkan merinding yang tiba-tiba muncul. "Mereka yang diceritakan dalam dongeng itu anggun. Semuanya cantik karena mereka Tuan Putri, sedangkan Rook itu pemburu. Jelas berbeda."

"Tapi kau mengakui Rook-san cantik, kan?"

Merinding yang dirasakannya tadi menghilang, digantikan dengan debaran aneh di dada kiri. Tangannya menopang kepala, berpura-pura pusing dengan pekerjaan, tapi Leona hanya ingin menyembunyikan wajahnya dari tatapan sang kakak. "… Dia perempuan, mana mungkin tampan."

Falena tertawa keras. "Oh, Tuhan. Terima kasih sudah mendatangkan Rook Hunt ke keluarga kami. Adikku akhirnya bisa jadi dirinya yang manis lagi."

"Tempo hari kau bilang aku tidak manis?"

"Manis, tapi sudah tidak semanis dulu."

"Apa-apaan itu."

"Tapi, Leona, aku serius." Falena bangun dan menghampiri meja kerja adiknya. Dari tas monitor, ia memperhatikan setiap gerak-gerik Leona yang masih enggan bertatapan dengannya. "Apa kau mengakui kecantikannya? Kalau iya, kau harus mengatakannya sebelum ada laki-laki lain yang mengatakannya lebih dulu."

"…"

Falena mengatakan itu seolah-olah ia yakin kalau adiknya sudah jatuh dalam perangkap bernama cinta. Apalagi perangkap itu dipasang oleh seorang pemburu wanita muda dari keluarga Hunt yang ternama.

Kalau ada laki-laki lain yang menyebutnya cantik, apa itu jadi urusan Leona? Rook punya kehidupannya sendiri. Hubungan mereka pun bukan sungguhan. Setelah mereka berpisah nanti, Rook berhak mendengar pujian itu dari seseorang yang benar-benar ingin menghabiskan waktu sampai tua bersamanya.

Seharusnya memang begitu, tapi kenapa Leona merasa sakit? Gara-gara Falena membicarakannya, ia jadi kepikiran. Pekerjaan yang masih menunggu untuk diselesaikan tinggal pajangan.

"… Kau selesaikan bagianku."

"Eh?"

"Aku sudah tidak mood bekerja. Selesaikan saja sendiri, tidak tidur bila perlu." Leona meninggalkan Falena di ruangannya begitu saja setelah mengambil ponsel dan beberapa barangnya yang lain. Falena pun tampaknya tidak berniat mengikutinya dan hanya bisa pasrah memandangi pekerjaan Leona yang belum ada setengah jalan.

Leona mengikat asal rambutnya sambil masih terus berjalan. Tiba-tiba ia ingin melempar beberapa piringan Magical Shift. Mungkin dengan menggerakkan tubuhnya, ia bisa melupakan sedikit—

Pats!

Anak panah mengenai sasaran. Suara itu masuk ke pendengarannya tanpa izin, membuat fokusnya teralih ke lapangan di bawah sana.

Helai pirang yang diikat mengayun pelan. Baju memanah yang dipakainya cukup ketat, mengikuti lekuk tubuhnya yang terbilang berisi dan berotot untuk seorang perempuan. Ketika ia melangkah ke setiap sasaran tembak untuk mengambil kembali anak-anak panahnya, gerakan kedua kakinya terkesan kuat namun juga anggun.

Leona meremat tangannya, membiarkan buku-buku jarinya memutih. Debaran di dada kirinya kian tak terkendali. Matanya pun enggan teralih dari sosok yang masih sibuk menyalurkan bakat memanahnya di bawah sana. Kaki-kakinya mendadak bergerak, mengikuti perintah yang tak sengaja dibuat otak untuk segera turun dan mendekat ke lokasi.

Matanya … Leona Kingscholar menuruti keinginan matanya yang meminta melihat sosok itu lebih dekat.

"Oh, Leona-sama." Beberapa pemanah istana yang ia temui begitu ia berjalan mendekat menyapa. Leona hanya melambai sekilas, matanya masih tidak bisa berpaling dari sosok yang seperti tidak menyadari kehadirannya di sini.

"Apa Anda ingin melihat Rook-sama?" Leona mengangguk, gerakannya sedikit ragu karena pikirannya sempat melayang entah ke mana.

"Dia benar-benar sesuai namanya, ya. Seorang pemburu wanita terbaik di keluarga."

"Kau lihat setiap gerakannya tadi? Seperti tokoh fiksi yang keluar dari dalam dongeng."

"Benar! Aku selalu ingin terlihat cantik seperti itu juga setiap kali memanah!"

Obrolan para pemanah yang sama-sama menonton di depannya ini memenuhi kepalanya.

Apakah yang mereka katakan sungguhan? Apa benar Rook itu pemburu wanita terbaik di keluarganya? Apa benar Rook seperti tokoh fiksi yang keluar dari dongeng?

Apa benar … Rook itu cantik?

Kepala Leona menunduk sesaat. Sekujur tubuhnya gemetar, kepalanya pun memanas.

Ya. Rook Hunt memang cantik.

"Oh, Rook-sama melihat ke mari."

"Mungkin dia sadar ada Leona-sama."

Seketika Leona kembali menegakkan kepala. Benar, Rook beberapa kali melirik ke arahnya, walaupun ia masih menolak untuk menatap tepat di matanya sejak Leona menjahilinya setelah bermain dengan Cheka beberapa pekan lalu.

Rook terlihat mengembalikan busurnya ke seorang pemanah lain yang menunggu di belakang. Sebuah handuk diambil dan dilingkarkan di leher. Kaki-kakinya yang sempat menarik perhatian lebih dari Leona membawanya mendekat—bahkan sekarang pun ia kembali memperhatikannya. Gerakannya entah bagaimana memancing pikirannya untuk membayangkan seandainya kaki-kaki itu melingkar di leher—

"Leona-kun—"

BUAGH!

Semua orang di lokasi, termasuk Rook, panik melihat apa yang terjadi di depan mata mereka. Leona, mengerahkan—hampir—seluruh kekuatannya, meninju pipinya sendiri sampai menghasilkan suara yang menyakitkan. Tubuhnya tersungkur, dan ia berlutut di atas tanah dengan darah yang mulai mengalir dari bibir serta sebagian keluar dari dalam mulut.

"L-Leona-kun! Ada apa?! Kenapa kau memukul wajahmu sendiri?!" Rook yang panik ikut berlutut di hadapan suaminya. Ia meminta orang-orang untuk segera memanggil bantuan. "Ya Tuhan! Oh, tidak … tidak … wajah tampanmu rusak …."

Leona menutup matanya, menghindari pantulan tubuh Rook yang kedua kalinya. "… Nanti balik lagi, jangan khawatir."

"Jangan khawatir bagaimana?!" Ketika dokter istana tiba, Rook langsung mengalungkan tangan Leona ke pundaknya dan menuntunnya pelan ke ruang perawatan. Leona sempat menolak, tapi Rook langsung membalas, "Diam saja, bodoh. Ini bukan saatnya memikirkan janji tak tertulis kita."

Tapi bukan itu masalahnya! Leona segera mengulang hafalan tabel periodik di kepala untuk mengalihkan diri. Celananya dengan kurang ajar mengetat … di tengah orang-orang dan keadaan ini. Memalukan.

.

.

.

"Tolong buka mulutnya, Yang Mulia." Leona membuka mulut dengan matanya yang kembali melirik samping. Rook tetap di sana, sudah berganti pakaian, tapi bulir keringat masih bisa terlihat sesekali. Tampaknya ia terlalu panik sampai tidak kepikiran untuk mandi dahulu.

Dokter yang memeriksa mengangguk-anggukkan kepala, lalu meminta Leona menutup kembali mulutnya. "Tidak ada giginya yang lepas. Darah yang tadi keluar berasal dari gusi yang sempat tergigit saat pukulannya diterima."

Rook membuang nafas, ia tampak lega. "Aku tidak akan bisa terima kalau seorang pangeran tampan harus kehilangan beberapa giginya. Dia tidak akan pernah bisa foto sambil tersenyum lagi nanti."

"Apa maksudnya kau bilang begitu?"

"Hahaha! Tapi Leona-sama akan tetap tampan kalau mulutnya tertutup."

"Hei …."

Sang dokter lanjut tertawa. Ia memberi beberapa nasihat, sebelum keluar dari ruang perawatan. Beberapa pelayan lainnya mengikuti sang dokter, membiarkan pasangan muda itu punya waktu berdua.

"… Mohon izin, Leona-kun."

"Kenapa tiba-tiba minta izin?"

"…" Rook diam, wajahnya memerah. Kedua tangannya menangkup wajah Leona dengan satu sisinya yang memar hebat. Jari-jarinya menelusuri luka yang ada di mata kirinya, turun hingga ke pipi yang membiru. "… Apa kau punya hobi melukai sisi kiri wajahmu?"

"Mana mungkin." Aroma buah-buahan kesukaannya bercampur dengan sedikit keringat. Leona lagi-lagi mencuri kesempatan itu untuk menghirupnya dalam-dalam.

Sayangnya, Rook menyadari itu. "Kau sedang apa? Oksigen tidak akan habis dalam waktu dekat."

Leona tidak menjawab. Ia cukup bersyukur karena kondisi wajahnya saat ini membantu menutupi rasa malunya. "Aku … hanya sedang mengetes apakah hidungku kena dampak atau tidak."

"Tadi dokternya bilang tidak ada yang patah, kan?" Rook mengelus hidung mancung Leona. "Tuh, masih sesuai. Nggak pesek juga."

"Kurang ajar …."

"Berkenan cerita kau tadi kenapa?"

Seketika ekor Leona bergerak gusar. Ujungnya beberapa kali menyabet kaki Rook, sebelum akhirnya melingkar di sana. Telinga bulunya yang lucu menunduk tanpa alasan yang jelas.

"… Tidak mau?" Rook menebak. Sepertinya Leona memang tidak ingin membicarakannya. "Haaah, ya sudah. Aku mau mandi dulu kalau begitu. Kau diam-diam di sini, ya?"

Leona menggelengkan kepalanya cepat. "Langsung pulang."

"… Hah?"

"Kamu mandinya di rumah aja. Aku nggak mau di sini."

Alis Rook naik sebelah. Matanya menatap dalam Leona yang tampak seperti anak kecil. Rook sampai melupakan rasa malu dan tekadnya untuk tidak lagi beradu pandang dengan Leona dalam waktu lama demi menghindari pupilnya yang membesar lagi. Kondisi Leona Kingscholar hari ini sedang masuk fase paling aneh sepanjang ia mengenal sang pangeran.

"Ya sudah, ayo bangun." Rook menuntun Leona untuk berdiri, tapi pangeran itu hampir hilang keseimbangan dan jatuh tepat di pelukan sang pemburu. Sesuatu yang empuk menyambut dadanya yang keras, dan tentu ini bukan pertanda baik. "Oh, lala. Kakimu lemas, kah? Apa terkilir secara tidak sadar?"

Kembali kepala Leona menggeleng cepat. Ia buru-buru menjauhkan Rook darinya dan berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dengan kedua kakinya, bukan dengan apa yang ada di antaranya.

Hanya karena tidak sengaja berbenturan dengan dadanya, aku jadi begini lagi?

"… Dasar laki-laki."

"Leona-kun?"

"Tidak ada …." Leona menegakkan tubuhnya. Perlahan-lahan ia berjalan menuju pintu. "Kita naik sapu saja biar cepat. Aku butuh ke toilet segera."

Rook melirik toilet di dalam ruang perawatan yang pintunya sedikit terbuka. "Di sini saja kalau memang sudah kebelet."

"Ada sisa harga diri yang harus dijaga, jadi tidak, terima kasih."

Rook mengerutkan kening, bingung. Ia mengecek toiletnya, dan kondisinya baik-baik saja. Tidak kotor, bahkan wangi. Lagipula mana mungkin ada toilet yang kotor di istana raja begini? Lantas apa yang membuat Leona menolak untuk menggunakannya kalau ia memang sedang butuh segera?

"Rook, berhenti mengecek toiletnya."

"Aku hanya penasaran kenapa kau tidak suka."

"Bukan tidak suka." Leona menepuk keningnya sendiri. "Sudahlah, aku hanya ingin ini cepat selesai …."

.

.

.

Next: Chapter 13