"Jadi gimana?" Suara es cokelat diseruput dari sedotan terdengar nyaring. "Udah pernah disodok?"

"Uhuek!"

Kampretlah, Ice. Bisa-bisanya di kafetaria ngomong gituan. Wajib toleh kanan-kiri demi memastikan bahwa tidak ada satupun makhluk yang mendengar kalimat kurang ajar dari bibir anak itu.

Setelah dipastikan aman, barulah Solar menoleh, "Kau sendiri, pernah disodok pakai excalibur?"


Surga Khayal

"I don't want to grow up so great and dazzling if it's only for a short moment with you.

I'd rather be something small if it means to be able to live with you forever."

Boboiboy © Animonsta Studios

Terinspirasi dari manga "My Girl" karangan Sahara Mizu.

A BoBoiBoy fanfiction by akaori.

Perhatian! Fiksi penggemar ini mengandung poin-poin di bawah ini.

※ Shounen-ai/Boy Love.

※ Pair yang muncul adalah DuriSol/ThoLar.

※ Elemental Boboiboy(s) adalah individu berbeda tanpa hubungan darah.

※ Alternate universe: all human, tidak ada unsur fantasi seperti Power Sphera, jam kuasa, dan semacamnya.

※ Perubahan usia karakter.

Bagi Anda yang merasa tidak keberatan dengan poin-poin di atas, silakan lanjutkan membaca.


Solar harus memastikan saus crispy tofu with glutinous rice ball filling, atau nama lainnya batagor, tidak merusak tampilan bibirnya yang elegan. Diusapnya dengan tisu, saus coklat itu muncrat gara-gara ia nyaris tersedak akibat celetukan Ice yang entah mimpi apa selama ia ketiduran pasca jam pelajaran kelima tadi.

"Ayolah, Sol. Ini atas nama sains." Alasannya ngasal, Solar tidak akan jatuh pada perangkap itu.

Atas nama sains dia bilang, padahal itu cuma alasan baginya untuk mendapat referensi fanfiction humu yang diunggahnya di situs bernama Fanfiction dot net. Sebagai pembelaan, baru kali ini Ice punya teman yang jalan dua arah seperti dirinya. Untuk bisa mendiskusikan pengalaman asmara dan itu secara terbuka merupakan impiannya sejak lama. (Terbuka tapi gak gini juga, dong!)

"Sudah, ah. Mending balik ke kelas daripada dengar isi suara hatimu yang bejat itu." Sang murid teladan membuang bungkus jajanan siangnya ke tempat sampah terdekat juga mengemasi kotak bekalnya yang terletak di atas meja kafetaria.

Solar namanya, layaknya matahari, ialah satu sosok paling benderang di Akademi Pulau Rintis. Benderang ini bukan cuma soal kacamata oranye ngejreng di wajahnya atau senyum sinis yang selalu ia tebar di jalan. Baik nilai akademik maupun non-akademiknya selalu yang paling tinggi. Sudah begitu, ia merupakan siswa APR dengan jumlah follower tertinggi di media sosial.

"Tapi serius, deh. Kalian gak ada rencana begituan?" Si remaja es menyusul, mengenakan kembali tudung jaketnya.

"Ice."

Suara Solar yang tegas tanpa diselingi gurau sukses membuat pemilik nama yang dipanggil diam di tempat. Alis itu nyaris bertaut ketika menghadapnya.

"Kau seperti tidak paham kondisiku saja."

"Ah, jadi memang karena itu." Ice berkedip kalem, setengah langkah ia mundur ke belakang menyadari tatapan di balik kacamata yang tajam, mungkin bisa menembus kaca itu dan mencolok matanya sendiri.

"Kalau kau sudah tahu, jangan buang-buang waktu untuk mendapatkan jawabannya."

Remaja berkacamata mendengus sembari ia meneruskan langkah yang diekori oleh teman sekelasnya. Hingga mereka tiba di meja yang bersebelahan, keheninganlah yang menjadi pengantar. Bagus, deh, kalau Ice sudah menyerah menanyakannya.

"Tapi, Sol, coba pikirkan, deh. Kalau kalian ingin terus bersama, lambat-laun rahasiamu itu akan dan harus terungkap, ya, kan." Kalimat yang diselingi kuapan dingin akibat es cokelat membuat Solar menghentikan proses minum air putihnya.

Itu tidak salah.

Menatap ke luar jendela di mana lapangan olahraga terletak, Solar melanjutkan acara minum air putihnya yang terpotong. Tak mengindahkan cerocos campur kuapan dari sohibnya yang lama-lama membuatnya ikutan ngantuk.

Ingin terus bersama, ya? Maksudnya, tidak ada salahnya, kan, dengan itu. Semua orang pasti ingin terus bahagia dengan orang yang disayangnya. Anak dengan ibunya. Majikan berbulu dengan babunya. Tak terkecuali Solar dengan pacarnya.

Punya follower berjumlah ratusan di berbagai platform media sosial bukan berarti hatinya bisa semudah itu direbut oleh kata-kata manis para penggemar yang suka thirsty kala melihat foto barunya diunggah. Solar memang suka jadi pusat perhatian, tetapi ia tidak semurah itu.

Buktinya, dari ratusan orang yang mengikutinya hanya ada satu yang ia ikuti balik.

Seseorang yang berhasil memerangkap hati Solar dalam sebuah sangkar dan memonopoli kalbu itu. Anak itu sendiri tak pernah menyangka akan bertemu dengan sosok yang kini berstatus dengan pacarnya, dalam keadaan yang cukup absurd.

Mau tahu kenapa disebut absurd? Bentar dulu. Solar dipanggil, tuh.

"Oi, Sol~~" Sahutan panjang Ice tak juga dibalas. Akhirnya teman sekelas bajingan itu memakai senjata jitunya; memeluk leher Solar dari belakang. "Kalau tak kaujawab ku-beep kau dari belakang."

"Mati kau, Beruang Kutub!"

Andai mereka tidak sedang di ruang kelas, kemungkinan besar Solar sudah menendang teman berjaketnya ke Samudra Pasifik. Saat ia menoleh ke belakang, seorang wanita berkerudung dan berkacamata geleng-geleng melihat tingkah keduanya.

"Eh, Bu Timi! Apa ada perlu sama saya? Ehehe—kenapa tidak bilang dari tadi, Bungkus Jaipong!"

"Aku sudah coba memberitahumu tapi kau malah bengong keluar macam di MV-MV galau." Ice mendecak pelan, nyaris tak terdengar. Diingatkan salah, gak diingatkan makin salah, kurang ajar sekali punya teman.

"Sudah, sudah. Ibu ada perlu sama Solar. Selagi masih istirahat, sini ikut Ibu. Ada yang mau Ibu bicarakan."

"Mampus, dah. Pasti disuruh gosok toilet, tuh." Ice berbisik, posisinya kini kembali duduk terbalik di atas kursinya.

Remaja berkacamata itu nyaris menyeleding betis Ice kalau saja bu guru tidak menegaskan kalau mereka harus segera pergi. Kali ini Solar menurut saja. Kalau sudah dipanggil guru begini, biasanya ada hal penting yang akan disampaikan kepadanya dan Solar sebagai murid teladan tak boleh melewatkan itu.

"Ini, ada tawaran beasiswa ke Eropa dari sebuah foundation luar negeri. Dari yang kami amati, prestasi akademikmu sudah sangat memadai untuk mengikutinya." Bu Timi menyerahkan sebuah brosur resmi itu dengan senyum lebar di wajahnya. "Solar sangat tertarik untuk belajar di luar, kan? Ini kesempatan besar buatmu."

Uwahhh?! Solar menyimpan seruan itu dalam hati. Bisa hancur image kalemnya kalau disuarakan. Padahal hati besarnya sudah punya niatan pamer dalam rangka syukuran dapat tawaran beasiswa.

Bu Timi hanya menjaga senyumnya melihat reaksi salah satu anak didiknya yang matanya berbinar-binar bagai bintang kecil di langit. Tak butuh waktu lama bagi anak itu memberi jawaban setuju diiringi anggukan mantap.

"Tentu! Saya berminat, Bu!"

"Baiklah. Brosurnya boleh kamu bawa pulang. Jangan lupa untuk isi biodatanya, ya. Sebentar, Ibu ambilkan dulu." Wanita itu beranjak menuju mejanya untuk mengambil tumpukan kertas dengan cap perusahaan yang sama di kertas brosur.

Solar pamit untuk undur diri dengan beberapa lembar kertas di tangan. Kakinya berpijak melompat-lompat di atas lantai keramik gedung akademi, melewati kolam ikan yang penghuninya dibuat takjub menatap kelakuannya yang tidak biasa. Iya—Solar yang normal adalah Solar yang berjalan kalem dengan dagu diangkat, bukan Solar yang macam habis nyabu begini. Jangan beritahu dia kalau penghuni kolam ikan menjadi saksi aksinya barusan.

Set, balik ke kursi, hati berseri-seri. Seolah lupa apa yang teman sekelas kurang ajarnya barusan perbuat kepada dirinya. Melihat perubahan atmosfer di antara remaja yang terkenal tinggi hati (sayangnya tak begitu tinggi badan) itu membuat matanya kedap-kedip. Tunggu—itu mah gara-gara dia berniat molor saja, kali.

"Kelihatannya ada yang sedang senang. Habis kesambar apa kau?" Anak itu berusaha mengintip ke lembaran kertas di tangan sohibnya.

"Hmph, rejeki anak pintar dan baik hati. Kau pintar doang, tapi sayang akhlaknya gak ada," semburnya puas. Tatapan datar dari wajah yang selalu datar itu menumbuhkan senyuman di bibirnya.

"Coba kutebak; itu pasti tawaran beasiswa."

"Hahaha, ngaco ka—geh, kenapa kau tahu!"

Manik biru anak itu tertutup oleh kelopak matanya yang pucat. Tanpa perlu banyak tebakan, ia sudah tahu apa yang remaja di sampingnya sembunyikan. "Jarang-jarang seorang Solar tersenyum tulus—bukan senyum sinis yang biasa ia tebar ke segala penjuru dunia. Kau pasti senang, kan, dapat kesempatan untuk meraih impianmu."

Bibirnya terkatup kembali, tadinya hendak memaki-maki Ice bilamana ia memberi tebakan aneh-aneh yang menuduhnya dapat sogokan dari karyawan sekolah. Katanya, yang seperti itu biasa digunakan untuk pertukaran jasa gelap. Bukan sekali-dua kali Ice meledeknya dengan tebakan ngawur itu jadi jangan salahkan Solar kalau ia was-was.

"Kalau kau diterima, itu bisa mempermudah studimu ke universitas yang bagus, kan. Dengan begitu, kau bisa dapat pekerjaan yang gajinya memadai dan itu bisa membantu keuangan keluargamu. Semangat, ya. Nah, sekarang waktunya aku tidur." Kalimatnya diakhiri kuapan panjang.

Solar menghela napas. Ice memang mesum, durjana, tak berakhlak, atau apapun kata olokannya, pasti cocok untuknya. Namun, ia juga satu-satunya orang yang bisa Solar percayakan mengenai masalah pribadinya termasuk mengenai keuangan keluarganya yang tengah mengalami krisis belakangan ini. Bahkan anak itu tidak segan memberinya bantuan finansial sesekali apabila mereka ada kewajiban membeli buku perlengkapan sekolah.

Bukan hanya itu saja. Ice juga satu-satunya di sekolah ini yang tahu soal kodisinya.

"Bangunkan aku kalau sudah pulang. Hoamm …."

"Hey, mau tidur lagi?!"

Bel masuk berbunyi, saatnya Ice tidur siang. Bisa dibilang ajaib temannya ini berhasil meraih peringkat 10 besar seangkatan mereka dengan jadwal tidur sembarangan yang seringkali membuat para pengajar naik pitam dibuatnya. Andai saja anak itu tidak melewatkan pelajaran sesuka hati, sudah pasti peringkatnya di samping kiri Solar saat ini.

Ah, sudahlah. Anak ini akan susah dibangunkan kalau sudah masuk mode sleep. Sebaiknya Solar biarkan saja. Selama ketertiduran Ice tidak memberi pengaruh buruk dalam hidupnya, ia biarkan teman jahanamnya menyelam ke alam mimpi entah hendak mewujudkan fantasinya yang mana kali ini.

Solar membaca ulang sekilas brosur resmi yang ia terima. Senyumnya berkembang, secerah cercah mentari yang melalui jendela kaca ruang kelas.

Suasana hatinya sedang cerah bagai langit biru siang itu. Ia ingin dipuji; dipuji akan kerja bagusnya sebagai anak pintar. Hey, bayangkan itu; Solar baru saja dapat tawaran beasiswa ke luar negeri, loh! Hebat, kan!

Tentu, saat pulang nanti ayo berkunjung ke tempat itu. Dengan demikian Solar akan mendapat headpat yang sering ia sangkal membuatnya merasa dianggap anak kecil, tapi diam-diam membuat hatinya berbunga bagai pewangi pakaian.

Ke mana lagi kalau bukan ke tempat pacarnya.

Guru pelajaran selanjutnya telah tiba. Mari doakan Ice selamat dari sabetan rotan mautnya (atau tidak usah supaya anak itu jera). Solar membuka buku yang sudah ia siapkan, menjaga diri fokus sebelum ia bisa melepas letihnya sepulang sekolah nanti.


"Terima kasih atas pembeliannya! Datang lagi, ya! Kami punya bunga-bunga yang bagus untuk perayaan!"

Lambaian itu dibalas lambaian juga. Sang pelanggan wanita yang membawa buket bunga di lengannya melempar senyum sebelum ia memutar arah pandang ke pintu keluar toko bunga itu. Tentunya, ia juga dibalas lagi dengan senyuman dari sang pemilik toko.

Selesai melayani pelanggannya yang datang untuk memesan buket bunga untuk perayaan hari jadi temannya, sang pemilik toko mengambil gunting, hendak memotong beberapa daun kering yang ia temukan di kala mengumpulkan bunga-bunga yang tepat. Tidak banyak, tetapi tidak ada salahnya menjaga keelokan tempat kerjanya yang sangat ia cintai ini, kan?

Baru selesai memotong dua helai, pemuda itu mengangkat wajah, menyadari ketukan pada dinding kaca. Ketika menoleh ke sumber suara, wajah belianya yang kena sedikit noda tanah berubah cerah.

Lihat siapa yang datang. Seekor kucing putih yang menunggu dibukakan pintu oleh babunya. Manik bulatnya yang bagai berlian berkilau penuh ekspektasi untuk segera dijemput.

"Solar~!" serunya, menyebut nama kucing itu.

Pintu dibuka, tangan yang masih berbalut kaos tangan berkebun itu menggenggam tangan sosok berkacamata di depannya. Kehadirannya yang seenaknya datang-pulang sukses menyalakan saklar lampu di hatinya yang membuat semuanya benderang. Ah, mungkin akan lebih tepat menyebut kalau sosok inilah yang jadi penerangnya.

"Kangen padaku, Duri?"

"Tidak perlu ditanya, kan? Tentu saja aku kangen!"

Biasanya Solar akan protes saat tubuhnya dipeluk mendadak begini. Apalagi pacarnya bau keringat, belum lepas celemek berkebun, pula. Bisa-bisa seragam sekolahnya kena noda tanah.

Tetapi Solar tersenyum, membalas pelukan itu dengan melingkarkan lengannya di tubuh yang lebih tinggi. Wajahnya tenggelam ke dada sang pacar yang mendekapnya erat.

"Aku ingin bertemu …."

Ini, pertemuan seperti ini yang selalu ia nanti-nanti. Terlepas dari tetek bengek urusan sekolah yang—walau ia cintai—bisa bikin kepala serasa direbus. Berkunjung ke toko tanaman ini, ditambah lagi bertemu pemiliknya langsung, adalah cara anak itu menyejukkan diri.

Senyuman itu, senyuman Duri yang lepas dan hangat. Ia memang dikenal sebagai anak yang songong, tapi kalau boleh jujur, kebahagiaan Solar sesederhana itu.

Tak apa, kan, menetap dalam pelukan dan senyum hangatnya selagi bisa?

.

.

.

.

.

.


Apa yang ada di kepala makhluk ini, ya, saat memikirkan fanfic bernuansa pink-pink ini? Entah. Ikuti saja cerita ini kalau pembaca yang terhormat juga penasaran.

Terima kasih buat kARImu yang sudah berkontribusi untuk menuliskan ide cerita ini.

Saya akan sangat menghargai jika pembaca berkenan membagi pendapat pembaca mengenai tulisan saya. Bisa melalui kotak komentar atau langsung mention ke Twitter saya (a_kao_ri). Terima kasih telah membaca dan sampai jumpa di chapter berikutnya.

【】Kaori