Dari awal, author udah nyebar isyarat-isyarat kalo Sasuke itu sebenernya bisa bikin apa aja. Dan akhirnya, setelah sekian lama author bisa fokus nunjukin kemampuan Sasuke yang sebenarnya. . . . . di next update.
Disclaimer : Masasshi Kishimoto
1
Kebebasan adalah sesuatu yang ajaib. Kau bisa memberikannya dengan mudah, dengan murah, dan dengan. . . . bebas. Kau tidak akan kehabisan stok kebebasan untuk dibagikan. Dan kau tidak akan kehabisan biaya untuk memberikannya pada semua orang.
Hanya saja. Meski kebebasan itu murah, bukan berarti hal itu adalah barang murahan. Sebab jika kau mengambilnya dari seseorang. Orang itu tidak akan rela melepaskannya begitu saja. Mereka bahkan akan melawan dengan berapi-api.
Karena itulah suasana ruangan aula kota Shukuba penuh dengan kegaduhan. Semua orang yang ada, atau lebih tepatnya. Pria-pria yang ada di tempat itu sedang berteriak dengan lantang kalau mereka ingin melawan pasukan Fushu. Kalau mereka harus mempertahankan Shukuba. Kalau mereka harus mempertahankan kebebasannya.
Mereka tidak ingin pergi dan memilih untuk tetap berada di sana. Seperti yang sudah dibilang sebelumnya. Mereka ingin mempertahankan tanah kelahiran mereka. Sentimen yang sekarang sedang menyebar adalah, lebih baik kalau mereka mati berusaha daripada menyerah dan membuang kebebasan yang sudah mereka dapatkan.
"Kelihatan arah pembicaraannya jadi buruk. . ."
"Ya. . ."
Hanabi dan Naruto yang melihat diskusi tentang keadaan darurat Shukuba merasa kalau mood tempat itu mulai berjalan ke arah yang tidak mereka inginkan. Keduanya ingin agar penduduk kota itu untuk mengungsi, tapi orang yang bersangkutan malah ingin bunuh diri dengan melawan pasukan yang akan datang.
"Tapi semua itu masih ada dalam perhitungan kalian kan?"
Hanabi sendiri tidak ikut dalam diskusi antara Naruto dan Hinata sebab dia harus mengkoordinasikan banyak hal dengan orang-orang di rumah. Tapi dia yakin kalau Naruto sudah tahu kalau rencana pengungsian yang mereka ajukan pasti akan disambut dengan reaksi semacam itu.
"Tentu saja, kami bahkan sudah menyiapkan senjata rahasia untuk membuat semua orang mau pergi"
Hanabi melihat ke arah Naruto dengan pandangan menghakimi. Dia masih ingat bagaimana pemuda itu memanfaatkannya untuk memanipulasi perasaan semua orang di desanya dulu. Tidak salah lagi, Naruto ingin melakukan hal yang sama kali ini.
Merasakan pandangan Hanabi, Naruto hanya tersenyum dan mengelus kepala gadis kecil itu.
Lalu. . .
"Kalau begitu. . . kita akan berpisah lagi?"
Mendengar pertanyaan itu, Naruto bisa bilang. . .
"Maafkan aku. . ."
Setelah itu dia menurunkan badannya agar tinggi mereka jadi sama. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur gadis di depannya, tapi sebelum dia sempat membuka mulut.
". . . Hanabi?"
Gadis itu memeluknya dengan erat. Dia tahu kalau dia mengatakan sesuatu, hal yang keluar dari mulutnya hanya akan membuat Naruto merasa susah. Oleh sebab itulah dia memeluk pemuda itu dalam diam. Perasaannya dia utarakan dengan seberapa eratnya dia mencoba memeluk tubuh pemuda itu.
Merasakan keteguhan hati Hanabi. Pemuda itu balik memeluk gadis kecil di dadanya. Dan daripada meminta maaf atau mencoba menghiburnya. Naruto memutuskan untuk bilang. .
"Terima kasih, aku akan memastikan misi kita berhasil"
Hanabi mengangguk.
2
Setelah kehidupan orang-orang Shukuba mulai jadi lebih baik. Tiba-tiba mereka diberi kabar kalau mereka harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mengungsi ke kota lain karena mantan penguasa mereka merasa iri. Tentu saja semua orang akan merasa marah dengan keadaannya. Dan sudah jadi tradisi kalau sebuah kemarahan dengan mudahnya membuat seseorang mengambil keputusan bodoh.
Naruto mengajukan ide agar semua orang dikumpulkan di aula adalah agar dia bisa mendengar pikiran-pikiran dan rencana bodoh para penduduk Shukuba. Memberikan forum agar mereka bisa meluapkan emosi mereka, lalu pada akhirnya membujuk semua orang agar mau mengungsi di dalam waktu yang sama.
Mereka tidak punya banyak waktu, jadi mereka harus cepat bergerak. Dia ingin semua orang sudah pergi sebelum siang hari supaya dia bisa bersiap untuk menghadapi pasukan Fushu.
"Aku paham apa yang kalian rasakan, aku juga tidak ingin pergi! Tapi situasinya sulit!"
Sebagai pembuka, diskusi dimulai dengan Idate menjelaskan situasi mereka dan memberitahukan rencananya untuk mengungsi sebagai walikota baru. Hinata sebagai orang yang punya kekuasaan paling tinggi diputuskan hanya akan jadi saksi pihak ketiga. Keduanya paham kalau keputusan mereka dipaksa oleh Hinata yang bukan orang lokal, nanti akan timbul masalah yang datang di belakang karena sakit hati atau tidak terima.
"Tuan Idate, tempat ini adalah rumah kami, tempat kami lahir! Kalau kami harus mati kami akan mati di sini!"
"Ya, kami tidak akan kabur!"
"Usir Fushu dari kota ini!"
"Bela Shukuba!"
Mengatakan kalau situasi mereka itu 'sulit' bahkan masih dibilang sebagai meremehkan. Situasi di mana mereka sedang berada leih tepat disebut sebagai 'tidak ada harapan'. Sebanyak apapun semangat juang yang penduduknya miliki, hal itu tidak akan mereka gunakan untuk membalik situasi mereka.
Jika mereka tetap nekat menghadang pasukan Fushu, bukan hanya mereka pasti akan gagal. Mereka juga pasti akan mati.
"Daripada harus tunduk di bawah Fushu lagi, lebih baik aku mati saja!"
Seorang pria berteriak dengan lantang.
"Lebih baik mati daripada ditindas lagi!"
Dan teriakan itu disambut oleh teriakan lain yang jelas kedengaran dibakar oleh emosi sesaat yang membara.
"Asal Shukuba bebas, aku rela mengorbankan diri"
Yang kemudian disambut lagi oleh seseorang yang sepertinya punya ilusi kalau mereka masih punya kesempatan untuk menang.
"Tuan Idate! Semua orang yang ada di sini tidak ada yang ingin mundur"
Kebanyakan yang datang ke aula adalah pria dan pemuda yang semangatnya masih membara. Jadi tidak heran kalau patriotisme mereka levelnya masih sangat tinggi. Dan sebab emosi mereka meluap-luap, dengan mudahnya orang lain juga ikut terpengaruh oleh mood itu. Membuat kebanyakan orang yang ada di situ jadi ingin maju berperang, dan membuat orang yang tidak ingin berperang tidak mau bicara karena takut dicibir orang lain.
Selain itu kenyataan kalau Ao, ayah Honoka yang termasuk sebagai orang berpengaruh dan punya Kharisma juga punya pandangan yang sama juga membuat keadaan jadi semakin panas. Orang-orang mempercayainya, jika dia bilang kalau dia ingin perang akan ada banyak orang yang akan ikut bilang kalau mereka juga ingin perang meski mereka tidak pernah melihat perang.
Idate mungkin walikota mereka, tapi dia adalah walikota baru yang belum punya hubungan apa-apa dengan rakyatnya. Karena itulah bagi orang-orang kalangan bawah, kata-kata Aolah yang akan lebih mereka indahkan. Jika Idate mengatakan sesuatu yang berbeda dengan Ao, maka orang-orang itu tidak akan mendengarkannya. Sekali lagi, meskipun dia adalah walikota mereka.
"Kalau tuan Idate ingin membantu, tolong panggil utusan pasukan koalisi dan minta bantuannya mengulur waktu sampai pasukan dari perbatasan datang!"
". . . ."
Idate melihat ke arah semua orang dalam diam.
Ketika dia bilang kalau dia paham perasaan orang-orang yang ada di depannya. Dia tidak bohong, dia benar-benar tidak ingin meninggalkan kampung halamannya. Dia mencintai tempat itu, kalau tidak! dia tidak akan berusaha keras untuk mencoba menjadikan Shukuba maju.
Meski begitu, dia tahu kalau dia tidak punya kesempatan untuk mempertahankannya. Dia tidak ingin mati, dia tidak ingin orang yang dia kenal mati. Dia memang ingin memajukan Shukuba, tapi hal itu bukanlah tujuan akhirnya. Dia hanya tidak ingin direndahkan, dia tidak ingin diremehkan, dan dia tidak mainan orang lain karena keadaan Shukuba yang buruk.
Jika dia bisa melakukan semua hal itu tanpa harus memperbaiki Shukuba, dia juga tidak akan repot-repot melakukan apa-apa tentang kota yang tidak punya apa-apa itu.
Hal itu hanyalah jalannya untuk membuat orang-orang yang dia kenal bahagia. Jika dia harus mengorbankan orang-orangnya untuk mempertahankan Shukuba, prioritasnya sudah terbalik.
"Jangan memutuskan seenaknya!"
Ketika Idate masih bingung harus mengatakan apa. Tiba-tiba teriakan lain dia dengar dari sampingnya, bukan dari para kepala desa dan orang berpengaruh lainnya. Tapi dari gadis yang jadi wakil walikota di sampingnya. Honoka.
"Jangan seenaknya memutuskan semuanya sendiri! Ayah!"
"Honoka.. . .?"
"Apa kau ingin meninggalkan kami?"
"Aku hanya ingin melindungimu dan Ibumu!"
"Kalau kau ingin melindungi kami! Jangan pergi! Jangan mati!"
Sebab orang mati tidak bisa melindungi siapapun.
Jika pria itu ingin melindungi mereka, yang dia perlu lakukan pertama adalah tetap hidup. Dan agar dia bisa tetap hidup, hal pertama yang haru Ao lakukan adalah mundur dari misi bunuh dirinya lalu ikut mengungsi bersama anak dan istrinya. Seorang ayah tidak hanya perlu melindungi keluarganya dari pasukan musuh yang datang ke tempat tinggalnya, tapi juga dari hal lain.
Karena di dunia nyata, tidak ada yang namanya ending cerita yang berbunyi 'hidup bahagia selamanya' layaknya dongeng anak kecil. Setelah masalah dengan Fushu selesai, hidup mereka masih akan berlanjut. Dan mereka pasti akan bertemu dengan masalah-masalah lain. Entah itu besar atau kecil, rumit atau sederhana. Sampai mereka mati masalah akan tetap mengikuti mereka.
Sampai mereka mati, mereka akan terus membutuhkan bantuan. Dengan kata lain, membuang nyawanya sekarang hanyalah Ayah Honoka membuang tanggung jawabnya untuk melindungi Honoka dan Ibunya.
"Kalau aku pergi siapa yang akan melindungi rumah kita!"
Ao paham apa yang coba putrinya katakan. Dan dia juga paham dari mana pandangan walikota barunya melihat. Tapi meski begitu, dia tidak begitu saja mundur. Dia tidak bisa begitu saja menerima pandangan mereka dan mengalah. Sebab. . . . .
"Kalau bukan aku siapa yang akan melakukannya!"
Hanya saja, yang keras kepala bukan hanya ayahnya. Tapi juga putrinya.
"Rumah yang mana!"
Ayahnya mungkin punya pengaruh, tapi dia tidak punya harta. Jabatannya sebagai kepala desa sama sekali tidak ada kompensasinya. Jadi, keadaan ekonomi mereka sama sekali tidak berbeda jauh dengan tetangga mereka.
Dan rumah mereka?
Keadaan rumah mereka sekali tidak berbeda jauh dari tetangga mereka juga. Jika rumah tetangga mereka adalah gubuk, maka rumahnya hanyalah gubuk yang sedikit lebih besar.
"Ini bukan hanya tentang masalah rumah!"
"Lalu apa? Tanah? Tanah yang mana?"
Mereka juga punya tanah. Dan tanah mereka, tidak seperti keadaan ekonomi mereka, luasnya besar. Sayangnya, Shukuba bukanlah tempat yang terkenal dengan tanahnya yang subur. Tanah yang mereka olah bahkan tidak bisa menghidupi mereka. Bukan hanya itu, sebab tanah mereka harus dirawat. Tanah itu juga malah menjadi beban yang harus mereka tanggung.
"Ayah, mana yang lebih penting? Aku dan Ibu? Atau rumah kita?"
Pertanyaan semacam itu biasanya hanya membawa masalah jika diajukan pada seseorang. Tapi kali ini, justru pertanyaan semacam itulah yang perlu dilontarkan. Seseorang perlu dipaksa untuk memilih prioritasnya.
Dan jika pilihan itu adalah antara keluargamu dan sebuah rumah bobrok serta tanah gersang. Pilihan yang harus diambil sudah sangat jelas.
". . . . ."
Harusnya.
Ao tentu saja ingin melindungi keluarganya. Tapi dia masih tidak bisa mengambil keputusan yang dilihat dari luar, sangat mudah untuk diambil. Dia tidak bisa menjawab, dia tidak bisa mengambil keputusan.
"Ayah. . . ?"
Dia tidak bisa mengatakan apa-apa.
Dan melihat hal itu, Honoka hanya bisa memasang wajah terkejut. Yang sesaat kemudian langsung berubah jadi wajah kecewa lalu kesedihan. Kemarahannya sudah sangat besar sampai hal itu berubah jadi rasa sedih.
". . . . . ."
Honoka mengalihkan pandangannya dan menutup wajahnya dengan kedua lengannya sambil menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara tangisan dari mulutnya.
". . . ."
Melihat hal itu, bukan hanya ayahnya. Tapi juga sana orang yang ada di sana ikut tidak bisa bicara. Membuat suara sesenggukan kecil Honoka bisa didengar oleh banyak orang.
Situasi di antara Honoka dan ayahnya bukanlah sesuatu yang unik, kebanyakan orang yang ada di sana juga ada dalam dilema yang sama dengan keluarganya. Oleh sebab itulah, ada banyak yang memutuskan untuk mendengar diskusi antara ayah dan anak itu. Mereka ingin mendapat petunjuk untuk mengatasi masalah mereka sendiri. Tapi yang mereka dapatkan hanyalah rasa bersalah.
Apa mereka akan tega meninggalkan keluarga mereka sendiri? Apa mereka tega memisahkan keluarga orang lain?
"Honoka. . . aku. . ."
Melihat putrinya menangis, tidak ada ayah yang tidak merasakan apapun. Dia ingin segera menuju ke tempat putrinya berada dan menghiburnya lalu bilang kalau semuanya akan baik-baik saja. Tapi kali ini, dia tidak bisa bergerak dan merasa kalau dia bahkan tidak punya hak.
Dia akhirnya paham kalau dia baru saja mengkhianati keluarganya. Dia tidak berakhir bisa memilih salah satu. Tapi bagaimana bisa seorang ayah tidak bisa memilih keluarganya sendiri dengan mudah? Mereka harusnya jadi prioritas nomor satunya. Bagaimana dia bahkan bisa ragu akan hal itu?
Di saat semua orang tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Hinata yang sedari tadi hanya jadi saksi melihat ke arah Hanabi. Atau lebih tepatanya, ke arah Naruto yang sedang ada di pelukan adik perempuannya.
Naruto mengangkat tangannya. Dan Hinata menganggukan kepalanya.
"Ahem!. . . . aku akan mengambil alih diskusi dari sini!"
Sebelum konflik-konflik keluarga tanpa rencana lainnya mengambil alih diskusi mereka. Hinata memutuskan untuk mengambil alih pembicaraan di Aula. Kalau keyakinan orang-orang yang melawan Fushu mulai goyah, hal itu sudah cukup. Dengan mood yang sekarang, dia bisa mengeluarkan senjata rahasianya untuk akhirnya membuat semua orang setuju untuk mengungsi.
"Honoka sudah menyinggungnya tadi, tapi aku ingin memastikannya lagi"
Siapa yang ingin kalian lindungi?
"Tentu saja keluargaku!"
"Ya!"
"Benar!"
Jawaban-jawaban serupa satu-persatu mulai diteriakan oleh orang-orang yang ada di sana. Beberapa orang memberikan jawaban berbeda, tapi mereka pun setuju kalau melindungi nyawa mereka sendiri itu lebih penting daripada menyelamatkan harta mereka.
Setelah merasa kalau semua orang sudah mengungkapkan isi hatinya. Hinata mengangguk dan melanjutkan kata-katanya dan memberikan pertanyaan bodoh lainnya.
"Kalau begitu, apa kalian bersedia mati demi mereka?"
"Dari tadi kami juga bilang begitu!"
"Kami ingin maju perang justru karena hal itu!"
"Karena itulah! Cepat selesaikan pertemuan ini dan biarkan kami bersiap!"
"Aku paham, kalau begitu bagaimana kalau kita tanya dulu mereka"
Mereka yang ingin kalian lindungi sampai bahkan rela mati.
Hinata memberi tanda pada salah satu penjaganya yang berada di dekat pintu aula. Mereka membuka pintu di belakangnya dan mengizinkan banyak wanita dari yang muda sampai yang tua dan juga anak kecil untuk masuk ke dalam.
Mereka adalah kartu AS Naruto.
Dan tanpa membuang waktu, salah satu dari mereka langsung memanggil seseorang di tempat duduk dan bilang. . .
"Lou! Apa kau ingin anak ini tidak punya ayah?"
Dengan keras.
Yang berteriak tai adalah seorang wanita muda yang sedang hamil. Dari ukuran perutnya yang sudah besar. Kelahiran dari anaknya sudah tidak jauh lagi, paling lama mungkin dua atau tiga bulan lagi
"Apa kau ingin meninggalkanku membesarkannya sendirian?"
Keluarga itu terdiri hanya dari mereka berdua saja. Mereka datang ke Shukuba dengan harapan bisa memulai hidup baru meninggalkan orang tua masing-masing yang berada di kota lain.
"Natsu. . . aku. . ."
Suaminya yang dihadapkan pertanyaan seperti langsung diam. Sama seperti ayah Honoka, dia tidak mengatakan hal yang berarti. Tapi dalam kasusnya, dan beberapa temannya yang ada dalam posisi yang sama dengannya. Dia diam bukan karena mengalami dilema.
Dia hanya ketakutan membayangkan apa yang bisa terjadi di masa depan.
Ketika dia mati. . dan sudah jelas dia akan mati kalau dia tetap di Shukuba. Apa yang akan terjadi dengan istrinya?
Dengan perut yang sebesar itu, wanita yang akan jadi Ibu itu pasti akan kesulitan untuk melakukan apapun. Tanpa bantuannya, kehidupan sehari-hari wanita itu akan jadi semakin sulit dari apa yang sekarang dia rasakan.
Membayangkan istrinya tiba-tiba tersandung dan jatuh saja sudah cukup membuat pria itu merinding. Lalu, setelah melahirkan. Kalau dia tidak ada, siapa yang akan mengurus mereka berdua. Siapa yang akan mengurus istri dan anaknya? Siapa yang akan menanggung biaya hidup mereka?
Kalau istrinya harus mengurus anak mereka, membesarkannya, dan juga harus menghidupinya. Akan jadi apa tubuh istrinya? Apa dia akan kuat? Kalau dia sakit apa yang akan terjadi?
Selama Lou sibuk berpikir, seorang anak laki-laki kecil berlari meninggalkan barisannya ke arah seorang pria yang kelihatan seperti ayahnya. Anak kecil itu tidak mengatakan hal rumit atau meminta hal yang neko-neko. Yang dia lakukan hanyalah menangis dan mengajak ayahnya pulang.
Dan pria itu? Dia tersenyum.
"Ya, ayo kita pulang"
"Kau tidak akan meninggalkanku?"
"Ya, aku tidak akan meninggalkanmu!"
Tapi untuk ayah anak itu, permintaan kecil itu sudah cukup. Dengan buru-buru, pria itu menggendong anaknya, menghiburnya, lalu meminta izin untuk pergi dari aula. Tidak ada yang menanyakan apa yang akan pria itu lakukan, sebab jelas kalau pria itu tidak ingin meninggalkan anaknya. Dan agar bisa terus bersamanya, dia tidak boleh mati.
Melihat hal itu, Lou sadar kalau dia tidak ingin mati. Dia ingin hidup. Dia akan hidup untuk keluarganya. Jika untuk mempertahankan diri dia harus pergi, maka dia akan pergi dari kota kelahirannya.
Setelah dua orang tadi. Seseorang kembali maju. Kali ini, yang ingin berbicara bukanlah wanita muda atau anak kecil. Tapi seorang wanita tua, dan diapun tidak membawa topik yang sama seperti yang lain.
Bukannya menyuruh suaminya yang bahkan lebih tua darinya untuk ikut mengungsi bersamanya, yang dia bilang malah.
"Aku akan ikut denganmu"
"Jangan bercanda!"
"Aku serius!"
Pasangan suami istri itu sudah berumur lebih dari lima tahun. Jadi bukan hanya suaminya, tapi si istri juga merasa kalau mereka matipun. Tidak akan ada masalah.
"Umur kita sudah tidak panjang, kalau kita harus mati bukankah akan lebih romantis kalau kita mati bersama?"
Ya, ketika keduanya sudah mencapai umur yang sejauh itu. Pada dasarnya mereka sudah hanya tinggal menunggu mati. Anak-anak mereka sudah besar dan tidak lagi perlu diurusi. Malah sebaliknya, sudah saatnya mereka untuk jadi beban diurus oleh anak-anak mereka.
"Alasan bodoh macam apa itu?"
"Memangnya kenapa kalau alasanku bodoh? Alasanmu ingin berperang juga sama bodohnya!"
"Aku tidak ingin kau mati!"
"Sama!"
"Jangan main-main!"
"Harusnya aku yang bilang begitu!"
"Chiyo!"
"Jika kau benar-benar tidak ingin aku mati, caranya gampang!"
Suaminya hanya perlu tidak ikut bertempur melawan Fushu.
". . . ."
"Aku akan menunggumu di rumah!"
Wanita tua itu kemudian meninggalkan aula. Dan begitu dia tidak terlihat lagi. Aula jadi semakin ramai. Orang-orang yang Hinata panggil masuk mulai ikut bicara pada siapapun yang mereka kenal. Orang tua pada anaknya, saudara pada adik atau kakaknya, seorang gadis pada kekasihnya, anak kecil pada teman sepermainannya yang lebih tua dan sebagainya dan sebagainya,.
Begitu keadaan mulai jadi terlalu ramai. Akhirnya Hinata memutuskan untuk mengambil alih lagi diskusi mereka.
"Seperti yang kalian dengar sendiri, tidak ada yang ingin kalian mengorbankan diri"
Setelah semua diskusi personal yang terjadi di tempat itu. Tidak ada lagi yang seratus persen yakin dengan niatnya untuk melawan Fushu. Mereka mulai berpikir kalau mengungsi adalah pilihan yang jauh lebih baik daripada meninggalkan siapapun yang mereka anggap penting.
Tapi tetap saja masih ada hal yang tidak bisa dengan mudah mereka tinggalkan begitu saja.
"Kalau kami menyerahkan tempat ini? Ke mana lagi kami akan pulang?"
Memang benar tanah, rumah dan apapun yang mereka miliki di Shukuba tidak seberapa nilainya. Dan bagi orang luar, apa yang mereka mereka punya mungkin hanya sesuatu yang tidak berguna. Tapi semua itu tetaplah apa yang mereka miliki, satu-satunya yang hal yang mereka miliki.
Kalau mereka membuangnya, mereka tidak akan punya apa-apa lagi.
"Berhenti di situ!"
"Tuan putri?"
"Sebab sepertinya kalian semua sudah lupa, aku akan mengingatkan kalian lagi!"
SHUKUBA ADALAH BAGIAN DARI KONOHA.
Teriakan itu membuat bukan hanya Ayah Honoka, tapi semua orang yang ada di sana berhenti bicara di tempatnya.
Mereka tahu kalau kekuasan atas Shukuba sudah berpindah dari Fushu ke tangan Konoh. Mereka paham kalau secara legal mereka sekarang adalah penduduk Konoh. Selama beberapa bulan ini, mereka bahkan menikmati hasil dari hubungan mereka dengan orang-orang Konoh.
Tapi meski begitu, jauh di dalam hati. Mereka masih menganggap kalau Hinata dan semua orang Konoha yang bersama mereka di sana adalah orang luar. Dan mereka bukan bagian dari negara itu. Sadar atau tidak sadar mereka sudah membangun tembok di antara mereka dan Konoh.
Secara emosional mereka menolak jadi bagian dari Konoh.
"Kalian mungkin tidak menganggap diri kalian orang Konoh. ."
Tapi kalian adalah orang Konoha. Mau tidak mau, percaya atau tidak percaya, rela atau tidak rela. Dan sebagai anggota keluarga kerajaan Konoha Hinata punya kewajiban untuk melindungi mereka.
"Shukuba mungkin adalah tempat kalian lahir"
Tapi semua tempat di Konoha adalah rumah kalian.
"Selain itu sekarang kalian mungkin harus meninggalkan tempat ini, tapi bukan berarti kalian tidak bisa kembali"
Sesuai perjanjian perdamaian dengan pasukan koalisi. Perubahan teritori dengan kekuatan militer dan kekerasan tidak akan diakui legalitasnya. Karena itulah, meski sekarang belum ada rencana untuk mengusir pasukan Fushu. Hal itu akan terjadi. Entah itu pasukan koalisi ataupun pasukan Konoha ayang melakukannya.
Dan sampai saat itu datang, Hinata berjanji akan menampung, menghidupi, dan melindungi mereka.
"Jadi, sekarang pilih!"
Meninggalkan keluarga kalian untuk hidup sengsara atau. . .
"Ikut mengungsi dan melindungi mereka dari semua itu!"
Pria-pria yang tadinya berpikir untuk berperang melihat ke arah satu sama lain, sebelum melihat anggota keluarga dan teman-temannya yang ada di depan mereka.
"Kelihatannya semuanya sudah selesai!"
Naruto yang sedari tadi masih berada di aula bersama Hanabi akhirnya memutuskan untuk ikut pergi. Diskusi di aula itu sudah selesai. Dengan mood yang seperti itu, orang yang tidak rela dan tidak ingin menurutpun akan terpaksa untuk ikut mengungsi.
"Hanabi, ayo kita bersiap"
Keputusan Hinata dari luar kelihatan hanya datang dari kebaikan hatinya. Tapi tentu saja hal itu punya tujuan yang lebih dalam dari sekedar merasa dirinya lebih baik. Keputusan itu adalah keputusan taktikal.
Jika semua orang di Shukuba pergi, maka Fushi tidak akan bisa memaksa mereka untuk mengakui kekuasaannya. Dengan kata lain, Konoha bisa menghindari koloninya diambil alih oreng orang lain.
"Ya!"
Sambil menggandeng tangan si gadis kecil, merekapun bersiap untuk melakukan pekerjaan masing-masing.
3
Perjalanan menuju teritori Hanabi atau Aka, dan teritori Gerulf alias Sanzu memerlukan waktu sekitar sehari. Atau lebih tepatnya delapan jam jika menggunakan kereta kuda. Tapi sebab tidak mungkin mereka bisa menemukan kereta kuda untuk mengangkut tiga ribu orang. Mayoritas dari pengungsi melakukan perjalanannya dengan secara literal. Berjalan.
Kereta kuda hanya digunakan untuk para orang-orang yang tidak cukup kuat. Orang tua, balita, wanita hamil dan juga orang sakit.
Mereka sudah disuruh untuk hanya membawa barang seperlunya, tapi tanpa tahu seperti apa dan bagaimana keadaan tempat tujuan mereka. Tidak ada yang bisa menyalahkan kalau semua orang memutuskan untuk membawa lebih. Membuat perjalanan mereka jadi lebih lambat dari seharusnya.
Estimasti tercepat perjalanan mereka berubah jadi satu hari termasuk istirahat. Menjadi dua hari.
"Kak Hinata, kau serius tidak ingin ingin ikut duluan?"
"Ya, meski ada Honoka dan Idate! yang punya kekuasaan tertinggi di sini tetaplah aku"
Kehilangan Hinata secara praktikal tidak ada pengaruhnya terhadap kecepatan perjalanan mereka. Tapi secara emosional hal itu akan membuat orang yang masih ragu-ragu akan khawatir kalau mereka akan disia-siakan lagi seperti dulu. Seperti saat mereka berada di bawah kekuasaan Fushu.
"Selain itu, setelah bilang kalau aku akan melindungi mereka! aku tidak bisa begitu saja kabur duluan"
Dia tidak bisa menggoyahkan kepercayaan mereka tepat setelah Hinata meminta semua orang agar percaya padanya.
"Baiklah, kalau begitu aku akan pergi dulu dan memastikan semuanya siap di sana"
"Ya, hati-hati di jalan!"
Dengan begitu, Hanabi pergi duluan menggunakan kereta kudanya bersama dengan beberapa pengawal Hinata.
Mereka berdua sudah mencoba mengkoordinasikan diri dengan orang-orang yang ada di tempat Hanabi dan Gatsu tapi beberapa tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa diutarakan di dalam sebuah surat. Oleh sebab itulah Hanabi memutuskan untuk pergi duluan dan memastikan kalau tempat para pengungsi yang akan mereka datangi benar-benar siap untuk menampung semua orang.
"Ugh. . . . perjalanan ini kelihatan akan melelahkan"
Hinata mungkin masih muda, tapi berjalan kaki selama berjam-jam bukanlah sesuatu yang seorang tuan putri dari sebuah negara besar harus lakukan setiap hari. Dalam masalah stamina, mungkin dia malah berada di bawah Hanabi yang setidaknya punya pengalaman melakukan latihan militer.
"Tuan putri, silahkan gunakan kereta kud. . . ."
"Tidak, aku akan berjalan kaki bersama mereka. . . . setidaknya untuk sekarang"
Dia tidak tahu seberapa lama dia akan bisa melakukannya. Tapi setidaknya, dia ingin menunjukan kalau dia itu serius. Dan cara paling mudah untuk menunjukan keseriusannya adalah dengan menanggung beban yang sama dengan mereka. Meskipun hanya sebentar.
"Dibanding mereka, kesulitanku tidak ada bandingannya"
Ya, dibanding orang-orang di sekitarnya yang secara literal membawa beban dari barang-barang mereka. Hinata bisa dibilang berjalan dengan ringan. Semua barangnya dibawa orang lain, dan semua keperluannya juga diurusi orang lain. Yang dia perlu lakukan hanya berjalan saja. Hanya itu.
Kembali ke Shukuba.
Tidak lama setelah semua penghuninya mengungsi dari Shukuba. Akhirnya, pasukan Fushu bisa Naruto lihat.
Dalam perang konvensional saat ini, jika musuh berhasil memasuki daerah yang kau kuasai. Dalam kasus ini, sebuah kota atau desa. Maka saat itu juga kau sudah kalah dalam konflik itu. Sebab tujuan utama seseorang adalah mempertahankan tempat-tempat itu, jadi normal kalau kau gagal mencegah musuh menguasainya. Itu berarti kau sudah kalah.
"Pasukan kita kalah jumlah, dan di dalam tempat sempit seperti ini kalau kau dikepung itu berarti kau mati! Tugas kita bukan mengalahkan mereka, tapi memastikan tidak ada yang mengejar pengungsi yang baru pergi."
"Paham!"
Tapi dalam pertempuran kali ini, Naruto memutuskan menggunakan kota di mana dia berapa sebagai salah satu senjatanya kalau perlu. Bukannya melindunginya, dia malah menggunakannya sebagai alat untuk mengalahkan musuh. Tapi sekali lagi, hanya kalau diperlukan. Sebab seperti yang sudah dia bilang sebelumnya, yang ingin dia lindungi bukanlah kotanya. Tapi penduduknya.
Baginya, kotanya sendiri tidak terlalu penting.
"Kalian juga kuberi izin untuk memanfaatkan semua bangunan di tempat ini"
"Apa kau yakin, Letnan Naruto?"
"Tentu saja! Buat jebakan, barikade, atau kalau sudah kepepet kalian boleh membakar bangunan di sekitar kalian"
"Eh?. . . apa tidak apa-apa?"
"Jangan khawatir"
Atas bantuan Hanabi, semua orang berhasil dikeluarkan dari kota yang sebentar lagi akan jadi milik musuh. Dan beberapa dari mereka kemungkinan tidak akan pernah kembali sebab Hanabi punya rencana untuk menjadikan mereka semua warganya secara resmi. Dia masih kekurangan orang untuk menyelesaikan proyek-proyeknya. Jadi, menghancurkan rumah-rumah mereka malah adalah sebuah nilai plus. Hal itu akan membuat siapapun yang sudah pergi, akan ragu untuk berpikir pulang.
"Aku sudah mendapatkan izin dari penguasa tempat ini, semua orang juga sudah dievakuasi kalian hanya perlu fokus mengulur waktu atau mengusik musuh"
Rencana Hanabi untuk memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dan menambah penduduk teritorinya sendiri bisa dibilang jahat. Bukan hanya secara psikologis dia memaksa banyak orang untuk meninggalkan kota kelahirannya, dia bahkan secara fisik bersedia memberikan alasan agar mereka tidak bisa pulang.
Jika di masa depan mereka menemukan kalau rumah dan harta bendanya sudah musnah, mereka tidak akan punya pilihan kecuali tetap tinggal di tempat Hanabi.
"Jadi kau bilang tempat ini hancur pun tidak masalah?"
Apa yang Hanabi sangat butuhkan adalah sumber daya manusia.
Memang sejak bisnisnya jadi besar ada sangat banyak orang yang datang ke teritorinya, tapi semua orang itu adalah orang dari daerah lain. Ketika mereka bekerja dan mendapatkan penghasilan. Mereka membawanya pulang ke teritori orang lain.
Selain itu, meski mereka bekerja padanya. Mereka tidak bekerja untuknya. Dan hal itu adalah sesuatu yang berbahaya dalam situasi Konohayang saat ini. Situasi dimana keadaan politik di negaranya sedang berantakan, dan situasi di mana dia tidak punya banyak sekutu.
Hanabi dan Ibunya tidak punya banyak teman di dalam kerajaan. Kemudian hubungan mereka dan teritori-teritori di sekitarnya, meski tidak buruk tapi juga tidak bisa dibilang begitu baik.
Sebab selama ini teritori mereka sangat terbelakang, semua tetangganya hanya membiarkan Ibunya begitu saja. Tapi sekarang kasusnya lain. Bisa dijamin kalau mereka semua akan mencoba memanfaatkan Ibunya, dirinya dan teritorinya untuk kepentingannya sendiri.
Tentu saja jika yang inginkan hanya ingin ikut mendapatkan keuntungan dari ramainya bisnis yang dijalankannya. Hanabi tidak akan terlalu peduli. Ekonomi bukanlah permainan zero sum, dalam ekonomi ketika satu orang mendapatkan keuntungan orang lain tidak harus rugi. Keduanya bisa sama-sama untung. Malah sebaliknya, jika teritori di sekitarnya tumbuh secara ekonomi, teritorinya malah akan tumbuh semakin besar juga ekonominya.
Orang yang punya banyak uang akan membeli lebih banyak barang.
Yang jadi masalah adalah kalau mereka, seperti Gatsu dulu ingin mengambil alih teritorinya. Atau karena masalah politik mencoba ada yang menyabotasenya. Lalu yang paling buruk adalah, kalau ada yang bekerjasama dengan siapapun yang ingin membunuhnya dulu.
Hanabi ingin menghindari masa depan di mana sebagian besar orang yang ada di dalam teritorinya adalah anak buah musuh.
"Ya! kalau ada kesempatan, incar pemimpin mereka! Dan paksa mereka untuk menuruti perintahmu"
Tujuan musuh untuk menguasai Shukuba sudah kurang lebih tercapai. Jadi memfokuskan diri untuk mengincar pemimpin mereka sudah tidak terlalu berarti. Yang perlu mereka lakukan adalah fokus untuk memberikan sebanyak mungkin kerusakan pada pasukan musuh saat mereka memutuskan untuk bergerak.
Setelah mengetahui kalau tempat itu tidak ada lagi penghuninya. Pasti pemimpin mereka akan meminta instruksi selanjutnya dari pusat. Jika mereka bisa menunda hal itu sehari saja, misi mereka sudah dianggap berhasil.
"Gunakan kekerasan hanya kalau sudah tidak ada cara lain!"
Membunuh pemimpin dari pasukan Fushu kedengaran seperti rencana yang lebih bagus dan pasti. Tapi hal itu punya resiko yang terlalu besar untuk membongkar keberadaan mereka di sana. Yang tentu saja punya korelasi terhadap keselamatan pletonnya. Sebisa mungkin, mereka ingin berada di bawah radar pasukan Fushu.
"Jika kalian gagal dan ketahuan musuh, pergi ke tengah kota dan bunyikan lonceng di menaranya agar semua bisa kabur dan bertemu di utara kota"
Kalau rencana awal mereka gagal, mereka akan membuat keributan dan membuat pasukan Fushu kebingungan sebelum akhirnya kabur lewat jalur-jalur yang sudah mereka siapkan beberapa jam yang lalu.
Naruto melihat ke pinggangnya. Lebih tepatnya ke benda yang menggantung di sabuknya. Sebuah flare gun.
"Ingat, utamakan keselamatan diri kalian sendiri! Aku tidak ingin jumlah kita yang sudah sedikit jadi tambah sedikit!"
Naruto sebenarnya tidak ingin menggunakan cara penuh beresiko seperti itu. Kalau bisa dia ingin memberikan semua anak buahnya flare gun sebagai pembuat sinyal mereka. Tapi sayangnya sebab benda itu mahal, hanya pemimpin pleton ke atas yang diberi izin untuk menggunakannya.
"Siap!"
Jawab semua orang.
"Sekarang! Menyebar!"
Dengan begitu, Narutopun ikut bergerak. Dan tujuannya adalah bangunan terbesar di kota itu. Tidak lama kemudian, pasukan Fushunpun sampai di gerbang Shukuba.
4
Ketika pasukan Fushu sampai, mereka sempat bingung dengan keadaan Shukuba yang sangat sepi layaknya kota mati. Mereka sudah menduga kalau invasi mereka akan mudah, mengingat kalau Shukuba tidak punya cukup personil yang cukup untuk melawan mereka. Tapi meski begitu, mereka tidak mengira kalau pasukannya akan "semudah" itu masuk ke dalam kota.
Tentu saja mereka bersyukur akan hal itu. Meski keadaannya aneh. Mereka merasa senang akhirnya bisa istirahat, tidak harus bertempur dalam keadaan lelah, dan kemungkinan bisa tidur di bawah sebuah atap. Sesuatu yang tidak bisa mereka rasakan selama dalam perjalanan.
"Periksa semua sudut kota dengan teliti! Dan laporkan hasilnya padaku!"
Sebagai pemimpin dari ekspedisi ini. Utakata tahu kalau pasukannya sudah capek dan tidak mau lagi berjalan. Apalagi melihat kalau tujuan mereka sudah tercapai dan mereka memang sudah benar-benar tidak perlu berjalan lagi. Tapi dia tidak bisa langsung menyuruh mereka untuk beristirahat.
Mereka mungkin tidak melihatnya. Tapi tempat itu adalah markas musuh. Bukan tidak mungkin kalau mereka hanya bersembunyi dan menunggu waktu untuk menyerang, atau mereka memang sudah pergi tapi meninggalkan jebakan di sana-sini. Meski dia yakin kalau secara keseluruhan pasukannya akan baik-baik saja walaupun kedua skenario itu terjadi. Akan jauh lebih baik kalau bahkan tidak ada korban yang perlu jatuh sama sekali.
Selama pemeriksaan berlangsung, prajurit-prajuritnya yang lain mulai masuk dan perlahan-lahan memenuhi jalan-jalan di dalam kota. Mereka masih ada di dalam formasi dan mengikuti jalur utama yang memiliki jalan lebar dengan hati-hati. Resiko penyergapan dadakan masih terbuka lebar, dan mereka tidak ingin mengambilnya dengan memisahkan diri.
Sekitar dua jam berlalu dan akhirnya semua prajurit berhasil masuk bersama dengan supply yang mereka bawa. Hal itu berbarengan dengan selesainya inspeksi yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Utakata di dalam kota. Dan hasil dari pemeriksaan mereka adalah. ..
"Seluruh penduduk Shukuba sudah tidak ada di tempat, dan kami tidak menemukan jebakan di semua tempat yang kami periksa"
Lalu yang terakhir, mereka juga meninggalkan hampir semua harta benda mereka.
"Kerja bagus, kembali ke pasukan kalian"
Para prajurit itu pergi dan sebagai gantinya, Utakata memanggil ajudannya.
"Suruh pasukan supply untuk mencari bahan makanan dari rumah-rumah di sini, berikan prajurit kita makanan yang lebih baik"
Makanan yang mereka bawa dalam perang selalu mengutamakan portabilitas. Rasa tidak pernah masuk dalam perhitungan. Karena itulah, selain kering dan keras. Sudah normal kalau rasa dari makanan yang mereka bawa hanya asin atau bahkan tidak ada rasanya sama sekali. Memberikan prajuritnya makanan yang lebih baik akan membantunya menjaga moral mereka.
"Setelah kalian cukup istirahat, geledah semua rumah di kota ini dan kumpulan perhiasan, barang mewah, uang, dan dokumen penting yang kalian temukan"
Tidak seperti di era sebelumnya ketika sebuah pasukan tidak punya perencanaan matang dan harus menjarah agar bisa terus berjalan. Menjarah kota yang kau serang sudah tidak lagi dilihat seperti sesuatu yang diperlukan. Sebaliknya, hal itu mulai dianggap sebagai tindakan rendahan. Mengingat medium utamanya adalah kekerasan.
Tapi dalam perang, biasanya pihak yang kalah masih harus tetap memberikan upeti terhadap pemenangnya.
Dan barang-barang berharga seperti yang sudah disebutkan tadi adalah apa yang biasanya diberikan sebagai upeti. Yang normalnya diberikan oleh wakil dari pihak yang kalah. Tapi mengingat kalau di sana sudah tidak ada orang, mereka hanya perlu mengambilnya sendiri.
"Selain itu, kalian bisa mengambil dan membawa pulang apapun yang tidak mengganggu dalam perjalanan!"
Menjarah memang masih sebuah tindakan kriminal. Mereka masih mencuri, tapi hanya mencuri masih lebih baik daripada membunuh seseorang. Oleh sebab itulah Utakata memutuskan untuk membiarkan pasukannya melakukannya.
Sebagian besar prajurit di dalam pasukannya adalah petani yang dikonskrip. Dan bayaran yang mereka dapatkan dari menjadi seorang prajurit tidaklah seberapa. Jadi, mengais barang-barang di medan perang adalah satu-satunya hal yang bisa memberikan mereka pemasukan tambahan. Pemasukan yang kadang, malah lebih banyak dari pendapatan mereka sebagai prajurit untuk Fushu.
Waktu terus berjalan dan selama prajuritnya sibuk mencari makanan yang lebih layak, mengantongi beberapa pernak-pernik yang mereka temukan, atau beristirahat dan ngobrol dengan rekannya. Utakata memutuskan untuk pergi ke aula kota dan mendirikan pusat komando darurat di dalamnya bersama dengan para ajudannya.
Setelah mereka selesai mengatur ruang konferensi, menyiapkan tempat bermalam, dan merencanakan langkah selanjutnya lalu memeriksa keamanan aula. Utakatapun akhirnya bisa pergi ke kamar daruratnya yang berlokasi di ruang kerja walikota dan ikut beristirahat.
Begitu masuk, Utakata menemukan meja kerja yang dipenuhi dokumen yang ditata rapi. Sofa panjang dan juga meja kecil yang digunakan untuk menerima tamu. Lalu di pojok ruangan, ada kasur besar yang anak buahnya baru bawa ke sana. Kemudian yang terakhir.
"Bagaimana kau bisa masuk?"
Seorang pemuda yang menempelkan air pistol dan pisau ke kepala dan juga pinggangnya dari belakang.
"Aku sudah tinggal lebih lama di sini daripada kalian"
Selain itu dia juga kenal dengan pemilik tempat itu. Tidak heran kalau dia tahu tempat-tempat yang bisa digunakan untuk bersembunyi.
"Apa yang kau inginkan?"
"Yang kuinginkan hanyalah kau dan pasukanmu istirahat sampai besok"
"Jadi kau biang keladinya ya?"
Utakata langsung paham apa yang terjadi begitu dia mendengar tuntutan pemuda di belakangnya. Semua penduduk Shukuba sudah benar-benar tidak ada dan diungsikan entah ke mana, dan pemuda itu tidak ingin agar dia mengejar mereka.
"Salah satunya. . ."
"Kalau begitu, siapa yang lain? Konoha atau Koalisi?"
"Kau tidak perlu tahu!"
"Begitukah? Ngomong-ngomong apa aku boleh duduk?"
"Ahh. . . tidak sopan sekali aku, silahkan duduk jendral Utakata"
Melihat kalau Naruto mengetahui namanya. Utakata menyadari kalau sepertinya dia sudah jadi targetnya mungkin bahkan sejak dia masuk kota.
"Terima kasih"
"Tapi tolong jangan buat keributan"
Seperti yang sudah Utakata katakan. Pria itu benar-benar hanya duduk. Dia sempat mengambil waktu untuk memilih antara sofa, kursi kerja, dan kasur pinjamannya. Tapi selain itu, Utakata benar-benar hanya mencari tempat duduk.
Dia tidak mencoba mencari celah untuk keluar dari jarak serang Naruto, mencoba memanggil penjaga, atau melawan balik. Pria itu sendiri tidak kelihatan takut, tapi dia tetap menuruti perintah Naruto untuk tidak memanggil bantuan.
"Mungkin ini kedengaran aneh datang dariku, tapi bagaimana kau setenang ini dalam situasimu sekarang?"
"Bagaimana? Tidak bagaimana-bagaimana!"
Sebagai seseorang yang bertanggung jawab di lapangan. Utakata sudah punya banyak pengalaman dihadapkan pada situasi yang berbahaya di mana nyawanya terancam. Jendral mungkin kedengaran seperti seseorang yang keamanannya paling terjaga di medang perang. Tapi nyatanya adalah, dialah yang biasanya diincar paling pertama oleh prajurit musuh atau pembunuh rahasia lawan. Tepat seperti sekarang.
Menjaga ketengangannya dalam situasi terpojok adalah salah satu keahliannya.
Tapi kali ini, alasannya bisa tenang bukanlah pengalamannya yang banyak. Melainkan karena dia tahu kalau. . .
"Kau tidak ingin membunuhku kan?"
Jika Naruto ingin membunuhnya, dia sudah mati dari tadi. Kenyataan kalau dia tidak melakukannya menunjukan kalau membunuhnya punya terlalu banyak nilai minusnya sampai pemuda itu tidak ingin melakukannya kalau bisa.
"Kalau ada penjaga yang datang dan menemukan mayatku, kau sendiri yang akan repot kan?"
"Baguslah kalau kau paham, semuanya jadi akan lebih mudah"
"Berhubung kita sudah paham satu sama lain, kau bisa berhenti mengacungkan senjatamu padaku"
"Maaf saja tapi kita masih belum jadi teman."
Yang Naruto coba katakan adalah dia masih belum bisa membiarkan kewaspadaannya turun di depan musuhnya itu.
"Biar kujelaskan sesuatu padamu"
Perintah yang diterimanya hanyalah mengamankan Shukuba. Atau dalam bahasa nonakademisnya, mengambil alih Shukuba. Dan ketika dia sampai di sana, tugasnya secara resmi sudah selesai. Penduduknya mungkin tidak ada, tapi yang jadi tugasnya adalah mengamankan daerahnya. Bukan orang-orangnya. Kalau atasannya merasa rugi karena dia hanya mendapatkan tanah gersang yang bahkan tidak ada manusianya. Hal itu adalah salah mereka sendiri tidak merencanakan invasinya sampai sejauh itu.
"Aku tidak punya niat melakukan pekerjaan lebih dari yang diminta"
Karena itulah dia juga tidak punya niat untuk mengejar pengungsi Shukuba yang kabur dari tempat itu. Sekali lagi, hal itu bukanlah pekerjaannya. Tidak ada yang memberinya perintah untuk melakukannya. Karena itulah dia tidak akan melakukannya.
"Selain itu, aku tidak ingin memberikan pengorbanan yang tidak diperlukan"
Utakata yakin kalau mengancamnya bukan hanya satu-satunya rencana pemuda itu. Dia tidak tahu caranya, tapi dia tahu kalau pemuda itu punya rencana cadangan untuk mengacaukan keadaan pasukannya. Sebab jika dia berada di posisi Naruto, dia juga melakukan hal yang sama.
Dia tidak punya hobi mendapatkan laporan kematian dari anak buahnya.
Oleh sebab itulah, kalau dia tidak perlu maju. Dia tidak akan maju. Dan kalau dia tidak harus bertempur, dia tidak akan bertempur. Selama tidak ada perintah lebih lanjut, dia hanya akan menunggu dan memastikan kalau pasukannya baik-baik saja.
"Jadi jangan khawatir, kami akan laaama berada di sini"
"Kenapa?. . . jelaskan padaku! Bukankah harusnya kepentingan negaramu jadi prioritas"
Jawabannya adalah karena Utakata juga punya alasan sendiri ingin mengulur-ulur waktu dengan meminta perintah langsung dari pusat. Selain itu, meski dia mencintai negaranya dan tidak ragu untuk melakukan banyak hal untuknya. Invasinya kali ini bukanlah sesuatu yang dilakukan bukan demi kepentingan negaranya atau rakyatnya. Tapi kepentingan pribadi atasannya.
"Aku punya saudara di sini"
Sebisa mungkin dia ingin membantunya.
"Oh. . . siapa namany. . . ."
Tok-tok-tok-tok-tok. . .
Tiba-tiba ada ketukan pintu yang memotong pembicaraan mereka. Dan dari pintu ruangan itu seseorang bilang. . .
"Jendral Utakata, kami menemukan simpanan minuman di kantor walikota, apa Jendral ingin ikut mencicipinya?"
Naruto memperhatikan Utakata dan menunggu jawaban apa yang akan pria itu berikan. Tergantung jawabannya, Naruto mungkin akan terpaksa untuk mengambil resiko dan menggunakan rencana B-nya. Dengan kata lain, membunuh Utakata dan membakar kota itu untuk mencederai mobilitas pasukannya.
Utakata sendiri kelihatan berpikir selama beberapa saat lalu menjawab.
"Aku masih lelah, jangan ganggung aku sampai besok pagi!"
"Baik jendral"
"Tapi. . . jangan lupa sisakan 1 botol untukku!"
Setelah itu, dengan suara yang jelas kedengaran senang. Anak buah Utakata menjawab dengan. .
"Siap. . selamat malam komandan!"
"Kau boleh pergi"
Prajurit tadi pergi. Meninggalkan Naruto yang akhirnya bisa bernafas lega dan Utakata yang tersenyum seakan dia baru menang taruhan.
"Jadi bagaimana?"
"Baiklah! Aku percaya padamu!"
Naruto akan tetap menjaga kewaspadaannya, tapi dia tidak merasa perlu untuk mengatakannya. Yang dia perlu lakukan hanyalah menurunkan senjatanya.
"Akhirnya. . .harusnya dari tadi"
"Kalau kau mau istirahat, cepat tidur saja"
"Sebelum itu, aku mau tanya sesuatu"
"Apa?"
"Mereka aman atau tidak?"
Mereka yang Utakata maksud tentu saja adalah pengungsi dari Shukuba.
"Aku tidak tahu keadaan mereka sekarang"
Tapi dia tahu kalau mereka tidak pergi tanpa tujuan jelas.
"Ke mana mereka mengungsi?"
"Kau akan tahu sendiri nanti"
Utakata mengangkat kedua pundaknya.
Di sekitar Shukuba tidak ada kota yang cukup besar untuk bisa menampung seluruh penduduk kota itu yang mengungsi. Jadi pilihan mereka hanyalah membuat lokasi pengungsian di daerah terbuka antara perbatasan utama Konoha dan Shukuba atau pergi ke Konoha sekalian.
Kalau dilihat dari jawaban Naruto. Sepertinya mereka memutuskan mengambil pilihan yang kedua. Dan kalau sudah bicara tentang kota Konoha yang mau menerima imigran dari luar negara (meski Shukuba secara resmi juga adalah milik Konoha) Hanya ada dua nama yang bisa disebut dengan mudah. Aka dan Sanzu.
Dua kota yang pemerintahannya pada dasarnya dipegang satu orang orang. Tuan putri ketujuh dari Konoha. Hanabi Hyuuga.
Utakata kembali tersenyum lalu tertawa kecil sendiri.
Mereka mungkin memenangkan Shukuba, tapi atasannya sudah dikalahkan dalam hal yang lebih penting. Shukuba adalah daerah yang tidak subur, tanpa orang-orangnya. Daerah itu hanya akan jadi beban.
Membuat Fushu membuang waktu dan juga uang untuk menguasai daerah yang secara literal. Tidak ada gunanya.
5
"Tuan putri, apa kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit kecapekan"
"Kalau begitu bagaimana kalau istirahat dulu dan turunkan pena di tanganmu tuan putri?"
"Maafkan aku tuan Baji tapi aku harus menyelesaikannya sebelum sampai"
Mengungsikan semua penduduk Shukuba ke Konoha adalah sama dengan menghancurkan gaya hidup mereka dan memisahkan mereka dari hasil usaha semua orang sampai saat itu. Hanabi bahkan bisa bilang kalau dia sudah menghancurkan kehidupan mereka. Dan dia melakukan semua hal itu demi kepentingannya sendiri.
Dia bilang kalau mengungsi ke tempatnya adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka. Tapi kalau orang-orang Shukuba mau bernegosiasi dan menurunkan tuntutan mereka dari penguasa barunya. Bukan tidak mungkin mereka bisa tetap tinggal di kota kelahiran mereka dan tidak harus meninggalkan semua harta benda mereka.
Sebab penguasa Fushu juga tahu kalau mereka membutuhkan keberadaan mereka.
Dengan mengikutinya, secara literal mereka mengorbankan kehidupan stabil mereka demi dirinya.
Karena itulah, Hanabi merasa punya kewajiban untuk memberikan mereka akomodasi yang sebaik mungkin. Dia ingin agar pengorbanan mereka tidak sia-sia. Dia tidak ingin agar hanya dia saja yang mendapatkan keuntungan.
"Masih ada banyak waktu sampai kita sampai tuan putri"
"Tapi. . ."
Dia tidak bisa beristirahat saat semua orang sedang bekerja keras . . . .
"Tapi jika tuan putri berakhir kecapekan di jalan, malah nanti pekerjaanmu akan terhambat ketika sudah sampai"
"Ugh. . . "
Tidak bisa membantah poin yang ditunjukan oleh pria paruh baya di depannya. Hanabi berakhir hanya bisa menggerutu.
"Lagipula tuan putri sudah cukup bekerja keras, sudah saatnya tuan putri putri menyerahkan sisanya pada anak buahmu"
"Unggh. . . "
Dia sudah mendengar nasehat yang sama dari kakak perempuannya. Dan kenyataan kalau dia mendapatkan nasehat yang isinya tidak jauh berbeda menunjukan kalau dia sudah jatuh pada lubang yang sama. Sepertinya dia memang perlu seseorang untuk terus memonitornya dalam urusan pekerjaan.
"Seseorang tidak bisa melakukan semua hal sendiri, karena itulah akupun membagi tanggung jawabku dengan rekanku yang lain seperti sekarang"
Datang dari orang yang punya lebih banyak pengalaman darinya. Hanabi tidak bisa lagi memberikan respon kecuali satu. Menerima nasehatnya dan mengubah rencananya.
"Aku akan menuruti tuan Baji, aku tidak mau membuat efisiensi kerjaku turn"
"Ahahaha. . . ."
"Jangan tertawa. . . ."
Ketika Hanabi mendapatkan informasi dari kakaknya kalau wakil komandan dari pasukan pengawal pribadinya akan dia pinjamkan sebagai pengawalnya. Hanabi sempat khawatir kalau perjalanannya akan terasa tegang atau kaku. Tapi tidak seperti yang dia duga, ternyata yang bersangkutan bukan hanya ramah. Tapi juga mudah diajak bicara.
Selama perjalanan. Hanabi merasa lebih seperti sedang ngobrol bersama paman dari rumah sebelah daripada orang penting punya pangkat tinggi seperti Baji.
"Ahahah. . . maafkan aku, tuan putri hanya mengingatkanku pada putriku sendiri"
Ya, pria paruh baya bernama Baji yang sedang berada di dalam kereta kuda bersamanya. Dan juga beberapa anak buahnya yang ada di luar adalah, pengawal pribadi Hinata. Mengingat Hanabi tidak memiliki pengawal sendiri Hinata memutuskan untuk meminjamkan mereka untuk mengawal Hanabi pulang.
"Seperti apa putrimu?"
"Dia beberapa tahun lebih tua dari tuan putri, tapi sama dengan tuan putri dia juga sangat serius"
Dia bahkan sangat serius sampai seperti Hanabi, kadang sering mengambil terlalu banyak tanggung jawab untuk dirinya sendiri. Tidak jarang dia juga melakukan pekerjaan bawahannya karena merasa mereka terlalu lambat atau terlalu banyak melakukan kesalahan.
"Apa pekerjaan putrimu memangnya?"
"Ah. . . dia bertanggung jawab mengurus lahan pertanian besar"
"Lahan pertanian?. . . dia tidak tinggal di Ibu kota?"
Konoha sudah punya reputasi sebagai sarangnya bangsawan yang sombongnya minta ampun. Tapi di antara mereka, para bangsawan yang tinggal di Ibu kota punya level arogansi yang bahkan lebih lebih tinggi lagi.
Dan bagi mereka, petani itu tidak ada bedanya dengan budak. Dan bertani itu sendiri adalah bisnis dan pekerjaan yang rendahan. Karena itulah, di Ibu kota bisa dibilang hampir tidak ada lahan pertanian. Semua bangsawan yang punya tanah di sana tidak ada yang mau kalau lahannya dijadikan tempat untuk para pekerjaan rendahan itu bermukim.
Hal itu membuat secara umum, semua bahan makanan yang ada di Ibu kota harus di impor dari kota lain.
Jika putri Baji punya pekerjaan untuk mengurus sebuah lahan pertanian besar. Itu berarti anak perempuannya itu tidak tinggal di Ibu kota.
"Benar sekali, dia tinggal bersama kakeknya di tempat kelahiranku"
"Begitu ya, bagaimana dengan istrimu?"
"Sayang sekali istriku sudah tidak ada, jadi aku tinggal sendiri di Ibu kota"
Mungkin karena Ibunya sudah tidak ada lah yang membuat putri Baji jadi seseorang yang sangat serius. Dia merasa kalau dia harus cepat dewasa, harus bisa mengurus dirinya sendiri, dan harus bisa diandalkan agar dia tidak merepotkan keluarga nya lagi. Tidak membuat mereka khawatir.
"Maafkan aku"
"Jangan dipikirkan"
Setelah itu, Baji dan Hanabi terus mengobrol tentang berbagai macam topik. Tapi sebab pada dasarnya Hanabi memang sudah capek. Tidak lama kemudian gadis itu mulai mengantuk dan akhirnya tertidur di tengah pembicaraan mereka.
Membiarkan Baji selama beberapa jam hanya bisa melihat Hanabi tertidur lelap sambil mengingat-ingat wajah tidur putrinya saat dia masih lebih kecil. Tapi ketika dia melihat ke luar dan menyadari kalau matahari sudah hampir terbenam. Dia mulai memasang wajah serius dan bersalah di saat yang bersamaan.
Dan begitu dia mendengar. . .
"Tuan Baji, ada bandit yang menghadang kita"
Baji langsung berdiri, memberi hormat pada Hanabi lalu bilang. . .
"Maafkan aku tuan putri, tapi aku harus menyelesaikan tugasku"
Sebelum akhirnya keluar.
Di luar sendiri. Bersama dengan kusir, ada empat orang pengawal yang sama sepertinya ditugaskan oleh Hinata untuk mengawal adiknya.
"Sajin, kesini!"
"Ya, tuan Baji"
"Kau sudah siap?"
"Siap!"
"Kalau begitu ambil posisi!"
Setelah berbicara dengan salah satu anak buahnya itu. Semua orang bersiap mengambil posisi untuk menghadapi bandit-bandit yang menghadang mereka. Yang dari estimasi kasar mereka jumlahnya hanya sekitar sepuluh orang.
Mereka mungkin kalah jumlah, tapi dengan skill, perlengkapan, dan senjata mereka yang lebih superior. Semua orang yakin kalau mereka bisa mengatasi masalah yang ada di depan mereka. Mereka mendapatkan posisi mereka sebagai pengawal pribadi anggota keluarga kerajaan bukan karena mereka beruntung, punya orang tua berpengaruh atau uang banyak. Tapi karena mereka punya skill.
Hanya saja . . .
"Gah. . ."
"Ughoo. . ."
Skenario itu hanya bisa terjadi kalau mereka tidak ditusuk dari belakang.
Secara literal.
"Tuan Baji. . . Saji. . apa yang kalian lakukaaaaaaa. . . .ghhh"
"Tolong matilah demi kami!"
Kusir kereta kuda yang tidak tahu apa yang sedang terjadi langsung mengangkat tangannya. Di depan ada bandit, dan di belakang ada dua prajurit yang untuk suatu alasan malah membunuh rekannya sendiri. Karena itulah yang bisa dia lakukan hanya menyerah, menuruti apapun yang mereka perintahkan, dan berharap kalau dia bisa mempertahankan nyawanya.
6
Setelah mendapatkan bantuan tidak terduga dari kerjasama yang diberikan oleh Utakata. Naruto dan anak buahnya tidak lagi perlu melakukan tindakan ekstrim hanya untuk menahan laju pasukan Fushu.
Yang mereka lakukan dari siang sampai tengah malam berakhir hanya menunggu. Sesuatu yang mereka syukuri.
Setelah itu, sesuai rencana. Naruto dan seluruh anggota pletonnya ikut kabur dan menyusul rombongan pengungsi yang dipimpin oleh Hinata.
Dengan barang bawaan yang minim dan istirahat yang lebih sedikit. Mereka sudah berhasil rombongan pengungsi yang berangkat duluan di sore harinya.
Dan dengan alasan kalau dia punya tugas lain dari petinggi koalisi, Naruto langsung kembali bergerak setelah bertemu dengan fina. Meninggalkan semua anak buahnya untuk menjaga tuan putri Konoha dan konvoi para pengungsi dari Shukuba itu.
Dan tugas lain yang dia maksud itu adalah?
Tidak ada.
Ya, meski secara teknis dia memang "pernah" memiliki tugas spesial semacam itu. Yaitu tugasnya untuk mengawasi dan menjaga Hanabi. Tugas itu sudah tidak ada lagi. Dengan kata lain, Huruki, hanya mencari-cari alasan agar dia bisa bertemu dengan kekasihnya itu lebih cepat.
Dia merasa agak bersalah sudah membohongi anak buahnya, tapi kalau dia tidak memanfaatkan waktu yang dimilikinya sekarang. Dia tidak tahu entah kapan lagi dia akan bisa bertemu dengan Hanabi. Karena itulah dia memutuskan untuk pergi ke Aka, ke tempat Hanabi duluan sendiri.
Dengan barang bawaan yang lebih sedikit lagi dan langkah yang lebih cepat bahkan dari lajunya bersama pleton nya. Naruto berhasil sampai sehari lebih cepat dari rombongan di belakangnya.
Naruto tentu saja merasa sudah sangat capek. Semalaman dia tidak tidur, dan paginya dia harus kembali melakukan perjalanan yang jauh. Jika bukan karena kuda yang dipinjamkan oleh Hinata dengan alasan kalau Naruto punya "tugas penting". Pemuda itu dipastikan sudah terkapar di jalan karena terlalu memforsir tubuhnya.
"Akhirnya. . ."
Sore harinya, dia akhirnya bisa melihat gerbang daerah Hanabi dilahirkan.
Sebab dia sudah pernah ketempat itu beberapa bulan yang lalu, Naruto merasa kalau dia tidak akan punya masalah masuk ke teritori Hanabi seperti dulu saat dia bersama gadis itu dan Sasuke.
Tapi dugaannya salah besar.
"Aku tahu kalau semua hal pasti akan berubah, tapi aku tidak menyangka kalau tempat ini akan berubah sebanyak ini"
Dan hanya dalam waktu setengah tahun.
Gerbang dan pos kecil kecil yang dulu dia lihat tidak ada lagi digantikan oleh bangunan besar dan gerbang yang tidak kalah besarnya. Jika dulu tempat itu hanya bisa mengakomodasi dua kereta kuda, satu masuk dan satu keluar. Sekarang gerbang yang dilihatnya bisa digunakan oleh enam kereta kuda dalam posisi berjejeran.
"Dan itupun masih belum cukup"
Meski sudah diberikan pintu yang sangat besar, dia masih bisa melihat ada antrian yang cukup panjang. Sepertinya daerah ini memang benar-benar sudah jadi pusat industri di area seperti yang Hanabi katakan. Buktinya adalah tempat itu sudah sama ramainya dengan pelabuhan-pelabuhan yang pernah Naruto Datangi.
"Aku tidak tahu harus merasa bagaimana"
Di satu sisi dia merasa senang karena Hanabi dan Ibunya tidak perlu takut perlu lagi memikirkan tentang masalah finansial. Tapi di sisi lain, dia merasa kalau perubahan tempat itu terlalu mencolok sampai dia tidak lagi bisa mengenali apapun di sana.
Aka sudah Naruto anggap sebagai rumah keduanya. Dan rumah yang ada di dalam kenangannya adalah sebuah tempat tenang di mana semua orang ada di sana adalah seseorang yang dia kenal.
"Ok, nostalgia nya sudah selesai!"
Saatnya dia masuk.
Tidak seperti kunjungan keduanya ke tempat itu sebagai tamu. Kali ini Naruto punya waktu untuk mempersiapkan diri.
Pakaian militernya rapi dan bersih. Penampilannya tidak akan membuatnya dicurigai sebagai bandit atau gelandangan.
Dia membawa surat dengan stempel kerajaan yang dia minta dari Hinata. Membuatnya tidak akan banyak di introgasi tentang urusannya ke sana.
Lalu yang ketiga. Sasuke bukan lagi orang yang tidak dikenal. Jika dia mendapatkan masalah dia bisa memanggil pemuda yang sekarang punya posisi penting itu untuk memberinya jaminan.
Yang jadi asuransinya adalah Sasuke karena dia yakin kalau dia mengaku-ngaku sebagai kenalan Amelia atau Ibunya. Yang notabene adalah orang nomor satu di tempat itu. Tidak akan ada yang akan percaya padanya.
Setelah menunggu selama kurang lebih setengah jam, akhirnya tiba gilirannya untuk diberi pemeriksaan.
Berdasarkan apa yang Hanabi ceritakan.
Orang-orang sepertinya yang tidak atau belum memiliki dokumen identitas dari Aka perlu tidak bisa langsung masuk. Seperti yang sudah dia katakan tadi, dia perlu melalui sebuah pemeriksaan dulu. Oleh karena itulah dia harus masuk lewat jalur yang berbeda dengan para pedagang, pekerja, dan petugas logistik yang yang keluar masuk membawa barang dari dan ke tempat itu.
Dengan banyaknya orang yang ke sana. Sudah pasti ada banyak juga masalah yang bisa timbul. Sistem tadi adalah cara mereka mengurangi kekacauan yang mungkin terjadi di dalam kota. Jika masuk saja sudah susah, sebagian besar orang akan berpikir dua kali sebelum mengambil resiko membuat izin masuknya diambil oleh penjaga.
Kota kelahiran Hanabi selalu dia sebut kecil. Sebab luas areanya hanya sekitar 15 persen dari daerah-daerah milik bangsawan orang lain selain it dan teritorinya pada dasarnya juga hanyalah satu desa besar.
Tapi meski begitu Aka masih adalah sebuah daerah yang sangat luas. Dan dengan jumlah penjaganya yang terbatas serta tidak adanya tembok di sekitarnya. Masih ada banyak orang yang bisa masuk tanpa izin.
Dan untuk poin terakhir. Hanabi mungkin punya banyak uang. Tapi dia masih tidak punya uang yang sebanyak itu untuk membangun tembok untuk mengelilingi teritorinya yang total luas areanya adalah kurang lebih 20 km persegi. Lalu, meski dia mampu pun dia tidak akan melakukannya. Dia tidak ingin membuang waktu, tenaga dan uang untuk membangun sesuatu yang bukan hanya tidak berguna, tapi sesuatu yang juga akan jadi masalah di masa depan itu.
Kembali ke dokumen identitas. Jika Kau ingin melakukan bisnis atau bekerja di sana. Kau wajib memilikinya. Tanpa secarik kertas itu, kau hanya akan bisa melakukan bisnis dengan orang-orang dari luar tempat Hanabi. Sebab tanpa dokumen itu, tidak akan ada orang dari perusahaan Hanabi yang akan mau melayanimu.
Naruto tidak sedang dalam perjalanan bisnis, tapi memiliki dokumen itu lebih baik daripada tidak memilikinya. Dia bisa menggunakannya di masa depan.
"Apa keperluanmu?"
"Aku ditugaskan untuk mengirimkan surat kepada tuan putri Hanabi"
Naruto menunjukan amplop dengan segel kerajaan Konoha yang dibawanya. Isinya sendiri tidak terlalu penting, yang paling penting dari surat itu adalah amplopnya sendiri.
Stempel kerajaan tidak bisa digunakan sembarangan. Memalsukannya sama saja minta dihukum mati. Oleh karena itulah, jika kau memiliki benda dengan stempel itu. Secara tidak langsung kau sudah punya jaminan kalau kau itu bukan orang mencurigakan.
"Baiklah. . ."
Petugas tadi mengambil amplopnya dan memberikannya pada petugas lain yang dengan sigap langsung memeriksa dan mencocokannya dengan buku referensinya.
"Siapa namamu?"
"Uzumaki"
"Ok. . ."
Petugas itu melihat ke rekannya. Dan setelah memastikan kalau tidak ada masalah. Petugas tadi mengembalikan amplop Naruto.
"Berikan surat ini pada petugas di kantor pusat, cari saja bangunan yang ada menara belnya"
"Hmm? Aku tidak mengirimnya ke kediaman tuan putri?"
"Kau harus menunggu jika ingin bertemu tuan putri, selain itu semua urusan pemerintahan dan bisnis dilakukan di kantor pusat"
"Aku paham, terima kasih banyak"
Dengan begitu Narutopun berhasil masuk. Dan begitu dia berada di dalam. Dia menyadari kalau apa yang lihat di luar hanyalah ujung dari sebuah gunung es.
Tanah-tanah kosong yang dulunya dipenuhi rumput dan pepohonan sekarang penuh dengan bangunan-bangunan besar. Jalan kecil yang sering dia pakai dulu saat Naruto masih kecil sudah jadi jalan besar penuh manusia yang sibuk melakukan banyak hal. Dan suasana tenang yang biasanya datang bersamaan dengan turunnya matahari, tidak terjadi.
Malah sebaliknya, suasana di sekitarnya mulai jadi semakin ramai.
Beraktivitas saat hari sudah gelap adalah sesuatu yang tidak akan seseorang lakukan kalau tidak terpaksa. Tapi kalau mereka punya sumber cahaya, mereka masih bisa melakukan banyak hal. Bekerja, bermain, atau sekedar bersantai di luar rumah.
"Dan alasannya adalah itu huh. . ."
Di kanan dan kiri jalan yang sedang dia lalui. Ada banyak tiang-tiang besi yang ditempatkan secara konsisten.
"Bagaimana dia membuatnya?"
Dan di atas tiang-tiang itu, ada sumber cahaya yang tidak dia kenal. Apa yang Naruto temukan adalah sumber cahaya yang bukan lilin, bukan lampu minyak, dan juga bukan lampu gas.
Pertanyaan tentang siapa yang menciptakannya sama sekali tidak tersirat di benaknya. Sebab dia tahu, kalau hanya ada satu orang bisa membuat benda-benda aneh semacam itu. Teman masa kecilnya, Sasuke.
"Dan bukan hanya itu. . ."
Selain cahaya yang dia tidak tahu sumbernya. Dia juga melihat ada beberapa pekerja yang mengoperasikan mesin-mesin yang belum pernah dia lihat. Dia juga baru menyadari kalau orang-orang yang membawa barang-barang menggunakan kereta kuda menjalankan kendaraannya di atas rel-rel besi yang terpisah dari jalan umum.
Ketika Naruto masih berjalan dengan wajahnya layaknya anak kampung yang baru pertama kali pergi ke kota besar. Tiba-tiba dia mendengar suara berisik dari sebuah mesin yang mendekatinya. Dan begitu dia berbalik untuk sumber suara itu.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Dia menemukan Sasuke yang sedang menaiki sebuah mesin yang sekali lagi. Belum pernah dia lihat. Ya, sepertinya tema tempat itu adalah 'melihat apa yang belum pernah dia lihat' baginya.
"Aku ingin bertemu Hanabi"
"Kau tidak ingin bertemu denganku?"
"Kau belakangan!"
Setelah itu, keduanya tertawa. Dan tidak lama kemudian, Sasuke mengajak Naruto masuk ke salah satu gedung besar yang ada di dekat mereka.
Sambil berjalan, Sasuke menjelaskan satu-persatu apa yang Naruto lihat.
Sumber cahaya baru yang Naruto lihat?.
Lampu listrik.
Generator listrik sudah ada bahkan sejak Sasuke masih kecil. Tapi selama ini benda itu pada dasarnya hanyalah mainan orang kaya yang punya selera tertentu.
Melihat kalau dia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan proyek yang diberikan padanya. Dia memutuskan kalau dia perlu membuat sistem shift agar dalam waktu dua puluh empat jam. Selalu ada orang-orang yang bekerja membangun semua infrastruktur yang direncanakannya.
Untuk merealisasikan hal itu. Dia membutuhkan sumber cahaya yang bisa diandalkan. Karena itulah dia membuat generator dengan skala yang lebih besar dan juga menciptakan lampu listrik sebagai sumber penerangan di banyak bagian dari Aka.
Sebelum perang dimulai, Konoha sudah terkenal dengan industri tambang dan metalurginya yang lebih maju dibanding dengan negara-negara lain. Membuat dia tidak pernah kekurangan material.
Dia butuh besi kualitas tinggi? dia tinggal pesan.
Dia butuh biji magnet? ada yang menjualnya.
Dia butuh bahan semikonduktor? dia bisa menyuruh orang mencarinya.
Bagaimana dengan kendaraan yang dinaikinya?
Sepeda motor.
Motor pembakaran dalam sudah lama jadi konsep yang coba banyak orang jelajahi. Terutama bagi orang-orang di Iwa yang jadi pionir teknologi mesin uap. Yang sebagai catatan, juga masih terikat pada benda-benda besar seperti kapal.
Dan bagi perusahaan Hanabi yang punya banyak kontak dengan orang-orang luar. Menemukan seseorang yang punya spesialisasi dalam bidang itu hanyalah masalah meminta bantuan pada orang yang tepat.
Saat ini, di workshop Sasuke ada beberapa orang Iwa yang sejak tiga bulan yang lalu sedang mengembangkan mesin pembakaran internal. Kendaraan yang dinaikinya adalah prototype pertama mereka yang benar-benar bisa bergerak.
Setelah itu, apa-apaan rel-rel yang ada di tempat itu?
Keberadaan rel di tambang adalah sebuah pemandangan normal. Dengan bantuannya, kau bisa menggerakan bahan tambang dengan mudah karena gesekan yang minim dengan roda dari kendaraan apapun yang mereka gunakan sebagai medium.
Tapi membangun rel di tengah kota sama sekali bukan ide yang pernah Naruto dengar.
"Untuk itu, sebenarnya aku ingin membangun jalan besar yang menyambung ke seluruh daerah-daerah di sekitar Aka."
Tapi sayangnya, sekali lagi. Dia tidak punya cukup orang ataupun waktu. Oleh sebab itulah, Sasuke memutuskan untuk membangun rel saja sebagai penggantinya.
Biaya yang diperlukan untuk membangun rel besi dengan panjang puluhan kilometer memang tidak sedikit. Tapi sekali lagi, yang paling penting adalah waktu. Uang bukan masalah.
"Kau benar-benar gila"
"Aku tidak bisa menyangkalnya"
Proyek pembangunan infrastruktur biasanya adalah proyek jangka panjang yang dikerjakan sedikit demi sedikit selama bertahun tahun. Bukan sesuatu yang kau kerjakan dengan buru-buru dalam beberapa bulan. Tapi seperti yang sudah Sasuke bilang berkali-kali. Mereka tidak punya waktu.
Karena itulah mereka memutuskan untuk berbuat curang. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan secara liberal menggunakan kapital yang sudah mereka kumpulkan.
Dengan kata lain. Rencana Hanabi dan Sasuke sangatlah sederhana. Mereka akan melemparkan uang pada semua masalah yang mereka temui.
Butuh material? Beli semuanya. Kalau perlu, beli dengan harga lebih tinggi.
Perlu pekerja? Tawarkan mereka gaji tinggi. Pancing semua orang dari semua daerah dengan janji mereka akan dapat uang banyak.
Kurang tenaga ahli? Undang mereka dan berikan semua yang mereka butuhkan.
Dengan strategi itu. Target proyek Hanabi akhirnya bisa tercapai meski harus dengan tertatih-tatih.
Uang bisa membeli banyak hal, termasuk kekuatan untuk menggerakan manusia.
Dengan adanya rel yang jalurnya sampai ke semua daerah di sekitarnya. Sebagian besar pekerja tidak lagi membutuhkan tempat tinggal sementara dan hanya perlu pulang ketika sudah selesai bekerja. Membuat bangunan-bangunan itu bebas dan bisa digunakan oleh pengungsi yang akan datang.
Meski tidak bisa menampung semua orang. Dia bisa memberikan tempat tinggal yang layak setidaknya untuk orang-orang yang paling membutuhkan seperti orang tua, wanita yang punya anak kecil dan juga anak-anaknya.
Untuk sementara para pria masih harus tinggal di gedung umum atau tenda yang mereka siapkan. Tapi proses pembangunan tempat tinggal baru terus berjalan, tinggal menunggu waktu saja sampai semua orang bisa tinggal di dalam rumah yang sesungguhnya.
Jika mereka tidak betah tinggal di rumah susun yang disediakannya, mereka juga bisa bekerja dan membangun rumahnya sendiri nanti. Sisanya yang dialihkan ke tempat Gatsu juga diberikan program yang sama.
"Aku paham kalau Hanabi yang menyuruhmu menggunakan uang dengan jor-joran, tapi apa dia tahu apa saja yang sudah kau lakukan di sini?"
"Tentu saja, aku selalu melaporkan apa yang kulakukan padanya"
"Jadi dia tahu kalau kau membuat generator, lampu listrik, sepeda motor, dan jaringan rel yang mengelilingi seluruh daerah ini?"
" . . . . "
Sasuke mengalihkan pandangannya dari pemuda di depannya.
"Dia tahu kan?"
"Secara umum . . . ya"
"Ahh. . . . ngomong-ngomong ruangan ini untuk suatu alasan rasanya benar-benar sejuk"
"Tempat ini punya pompa kalor"
"Pompa kalor?"
Nama benda yang tidak Naruto ketahui muncul lagi.
"Ya. . kau tahu kalau tanah suhunya selalu relatif stabil kan?"
"Aku sudah pernah membaca tentang penelitian itu"
"Kalau begitu penjelasannya akan lebih gampang. . ."
Sasuke menggali tanah dan mengubur pipa metal di yang berisi cairan di dalamnya lalu menghubungkannya ke dalam ruangan itu. Pipa itu akan menyerap panas dari ruangan itu dan membawanya ke bawah tanah, di mana cairan itu akan didingkan oleh tanah lalu kembali lagi ke ruangan dengan suhu yang lebih rendah.
Setelah itu, kau tinggal meniup benda itu dengan angin ke dalam ruangan. Membuat udara jadi lebih sejuk.
"Ok, aku paham. Dengan kata lain kau sudah lupa untuk menahan diri"
"Tidak, tidak, tidak! aku sudah cukup menahan diri"
"Sepertinya definisi menahan dirimu dan menahan diriku serta Hanabi kelihatan berbeda jauh"
Sasuke mungkin lebih terkenal di luar karena kemampuan bela diri dan posisinya sebagai anak salah satu jendral besar di Konoha. Tapi baginya dan Amlie, hal paling mencolok dari pemuda itu adalah kemampuannya untuk memahami konsep hukum alam dan cara memanfaatkannya.
Berawal dari tujuannya membuat sesuatu yang bisa dijual di Aka untuk membantu situasi finansial Hanabi dan Ibunya. Dia mulai membuat semakin banyak benda-benda yang kelihatan terlalu dini untuk masanya.
Sesuatu yang banyak orang terpelajar baru teorikan adalah sesuatu yang Sasuke tahu seakan hal itu adalah yang paling natural. Apa yang mereka baru angan-angankan, adalah sesuatu yang sudah jadi mainan pemuda itu. Dan fenomena yang mereka baru pelajari keberadaanya adalah sesuatu yang sudah Sasuke manfaatkan di dalam barang ciptaannya.
Jika bukan karena Hanabi memintanya untuk menahan diri setelah salah satu barang ciptaannya disalahgunakan saat mereka kecil. Naruto tidak tahu apa saja yang sudah dia ciptakan.
"Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, aku tidak akan membuat benda untuk menyakiti orang lain"
Sasuke bersedia membuang masa depannya sebagai bangsawan adalah agar dia bisa membantu Hanabi yang jadi pengganti anaknya di masa lalu bahagia. Tapi selama ini, yang bisa dia lakukan hanyalah menjadi pengawalnya dan menjaga keselamatannya. Sesuatu yang hampir gagal dia lakukan kalau bukan karena bantuan pemuda yang sekarang ada di depannya.
"Aku ingin melakukan lebih untuknya"
"Kau sudah melakukan lebih dari cukup"
"Belum, apa yang kulakukan masih belum ada apa-apanya"
"Sasuke. . . . kau tidak perlu merasa berhutang pada siapapun! tidak ada yang ingin kau membayar apapun!"
Sasuke membelalakan matanya.
". . . ."
Sepertinya tebakan Naruto kalau Sasuke merasa perlu menebus kesalahannya sudah membiarkan Hanabi hampir mati tepat sasaran. Berada jauh dari Hanabi sepertinya membuatnya memikirkan hal-hal yang normalnya tidak terlintas di kepalanya.
"Maaf. . . aku tidak sedang mencoba menghakimimu"
"Tidak usah dipikirkan, ah. . . . sepertinya jauh darinya membuatku lebih stress dari yang kukira"
"Siscon!"
"Oi!"
Mari kita lupakan fakta kalau Sasuke bukan saudara Hanabi dan Naruto sedang dengan terang-terangan mengalihkan topik pembicaraan.
Setelah memberikan tawa yang terpaksa, Naruto kembali bicara.
"Ngomong-ngomong aku ingin tanya. . ."
"Kebetulan sekali, aku juga dari tadi ingin tanya sesuatu"
"Aku duluan!"
"Ok, ok! apa yang kau ingin tanyakan?"
"Di mana Hanabi? aku ingin melihat wajahnya"
"Ha?. . . . harusnya aku yang bertanya seperti itu!"
"Ha?. . . . "
Di saat yang bersamaan keduanya langsung menyadari sesuatu.
Sedari tadi mereka sudah punya asumsi yang salah tentang keadaan masing-masing. Atau lebih tepatnya keadaan Hanabi. Naruto mengira kalau Hanabi sudah sampai duluan padahal kenyataannya gadis itu belum ada di di sana. Keinginannya untuk bertemu dengan Hanabi membuatnya bahkan tidak ingat untuk mengkonfirmasi keberadaannya di gerbang.
Sedangkan Sasuke mengira kalau kalau Hanabi bergerak di belakang Naruto bersama dengan Hinata ketika sebenarnya dia sudah berangkat duluan.
"Aaaaaaaa. . . . . ."
Di saat itu juga, Naruto tiba-tiba merasa kalau kedua bola matanya seperti diremas oleh tangan tak terlihat. Setelah itu, matanya berubah warna menjadi merah dan memberinya penglihatan yang tidak ingin dia lihat.
"Ugh. . . . Sasuke, kita perlu"
Pergi. . .
7
"Aaaaaa. . ."
"Tutup mulutmu, kau tidak mau menelan serangga kan?"
"Kalau begitu pelankan beda ini!"
"Kau mau bersantai saat nasib Hanabi masih belum jelas?"
"Kita sudah bergerak lebih dari cepat. . . Aghhh. . .ughookk. . ."
Dan seperti yang Sasuke peringatkan. Naruto benar-benar menelan serangga. Sasuke sendiri? Dia sudah melingkarkan sebuah kain di leher dan mulutnya sehingga dia tidak perlu khawatir dengan masalah tadi.
Saat ini, Naruto dan Sasuke sedang mengendarai sepeda motor dengan buru-buru ke arah Shukuba. Atau lebih tepatnya, ke arah konvoi yang Hinata pimpin. Dan karena keburu-buruan itulah sedari tadi Naruto terus berteriak.
Keduanya melaju dalam kecepatan sekitar 50 km perjam. Kecepatan yang bagi Sasuke terasa sangat lambat. Tapi bagi Naruto, kecepatan terasa mengerikan. Bukan karena dia tidak pernah merasakan bergerak dalam kecepatan setinggi itu mengingat kecepatan lari kuda sendiri bisa sampai 80 km perjam.
Tapi karena suasana yang sudah lumayan gelap dan jalannya hanya diterangi sebuah lampu kecil di bagian depan sepeda motor yang mereka naiki. Selain itu, dia juga sama sekali tidak bisa merasa aman duduk di atas benda itu dalam kecepatan tinggi.
Yang bisa sangat dimengerti mengingat penampilan sepeda motor yang dia kendarai kelihatan ringkih.
"Pegangan saja padaku, dengan begitu kalau kau jatuh kau tidak akan terluka"
"Tolong jangan jatuh!"
"Aku tidak bisa janji!"
Sepeda motor yang Sasuke dan rekan-rekannya rakit adalah sebuah prototype. Dan sebab saat itu mereka masih hanya fokus untuk membuatnya bisa berjalan, semua bagian lainnya mereka perlakukan seperti anak tiri dan tidak masuk dalam daftar prioritas mereka. Termasuk keamanan pengendaranya tentunya.
Rem tidak berfungsi dengan baik? Masalah belakangan.
Shock absorber belakang sering bocor segelnya? Pikiran nanti saja.
Framenya belum dicek kekokohannya? Lihat dulu batasnya.
Ban karet yang digunakan belum siap dipakai sehari-hari? Pakai saja untuk sekarang.
Yang namanya prototype adalah sesuatu yang belum siap dilepas ke dunia luar. Benda itu dibangun dengan asumsi kalau dia hanya akan digunakan di area Aka di mana benda itu bisa diperbaiki kapanpun dibutuhkan.
Sejujurnya, kalau tiba-tiba sepeda motor itu rontok di tengah jalan. Sasuke sama sekali tidak akan kaget. Karena itulah Sasuke menyuruh Naruto untuk berpegangan padanya. Sebab kalau mereka benar-benar mengalami kecelakaan, dia akan langsung bisa menggunakan kekuatannya dan melindungi keduanya.
"Daripada itu, apa yang kau lihat tadi Naruto?"
Mengetahui bentuk dari kekuatan spesial Naruto. Sasuke ingin memastikan kalau skenario terburuk yang ada di pikirannya benar-benar terjadi atau tidak di masa depan. Tergantung jawabannya, dia harus memprioritaskan keselamatan Hanabi di atas semua orang yang mungkin bersama gadis itu.
"Yang kulihat bukan Hanabi"
Begitu kekuatan spesial Naruto aktif. Sasuke langsung buru-buru menyiapkan diri untuk pergi, karena itulah dia belum sempat menanyakan detailnya. Meski yang pemuda itu lihat kematiannya bukan Hanabi, hal itu sudah cukup untuk memberitahukan Sasuke kalau konvoi mereka akan menghadapi masalah besar.
Masalah yang pasti akan berpengaruh pada keselamatan Hanabi.
"Syukurlah"
"Tapi jangan lengah dulu, yang kulihat adalah anggota pletonkun"
"Dengan kata lain, Hinata huh. . ."
Kenyataan kalau yang Naruto lihat kematiannya bukanlah Hanabi membuatnya sedikit merasa lega. Tapi bukan berarti dia tidak perlu lagi untuk buru-buru. Secara umum, kematian yang bisa Naruto lihat adalah sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat di masa depan. Selain itu, hanya karena Hanabi tidak terlihat mati bukan berarti dia itu tidak ada dalam bahaya.
"Dari yang kulihat, ada sekitar seratus orang yang mencoba menyerang kereta kuda Hinata"
Dari jumlah dan target yang dia lihat. Naruto bisa memastikan kalau orang-orang yang menyerang pasukannya bukanlah bandit. Tidak ada bandit yang seberani itu sampai mau menyerang satu pleton pasukan professional, sekelompok pengawal anggota keluarga kerajaan, dan rombongan manusia yang jumlahnya sampai ribuan.
"Kalau Hinata diincar seseorang, kemungkinan besar. . ."
Tapi untuk sekarang, dia akan menyebut mereka sebagai bandit sebab dia tidak tahu siapa sebenarnya orang-orang itu.
"Hanabi juga dalam keadaan yang sama"
Kenyataan kalau Hanabi masih belum tiba di Aka sampai sekarang membuat keduanya yakin kalau gadis itu sudah jatuh ke tangan musuh. Dan sebab Naruto tidak bisa melihat kematiannya, tujuan mereka adalah menculiknya untuk hal lain. Sesuatu yang kemungkinan besar juga akan dilakukan pada Hinata.
"Tapi kenapa?"
Menculik seorang tuan putri dari sebuah negara untuk mendapatkan uang kedengaran seperti ide bagus di atas kertas. Tapi kalau kau benar-benar melakukannya, kau sama saja bunuh diri.
Misalkan Konoha bersedia membayar, kau tidak akan bisa keluar dari negara itu dan menikmati hasil usahamu. Tinggal menunggu waktu saja sampai kau diburu semua orang dan dibantai satu persatu.
Kemudian bisa saja mereka bahkan tidak mau bernegosiasi dan mengirim pasukan untuk menghabisi mereka semua. Sekuat apapun sebuah kelompok bandit, mereka tidak akan berkutik ketika ada pasukan yang menyerbu mereka.
Dengan kata lain, berhasil atau tidakpun. Takdir mereka setelah menculik anggota keluarga kerajaan tetap sama. Mati tanpa menikmati hasil tebusannya. Oleh sebab itulah, kebanyakan bandit hanya mengincar pedagang kaya, orang biasa, atau paling mentok bangsawan kelas rendah. Sebab kalau mereka mengincar mangsa yang terlalu besar. Merekalah yang akan berakhir dimakan hidup-hidup.
"Tapi kalau bukan bandit? Siapa mereka?"
"Aku tidak tahu!"
Hal pertama yang muncul dalam pikiran mereka adalah lawan politik Hanabi dan Hinata. Tapi kalau iya, kenapa mereka tidak mencoba membunuh keduanya saja? Sama seperti saat Hanabi diincar oleh pembunuh bayaran dulu.
"Naruto!"
"Ya?"
"Pegangan lebih erat!"
"Eh?"
Dengan begitu, Sasuke melaju dengan lebih cepat. Memaksa mesin sepeda motornya untuk bekerja lebih keras.
Berdasarkan perhitungan Naruto, rombongan para pengungsi kemungkinan masih berada di sekitar 40 kilometer dari Aka. Atau dalam ukuran waktu, mereka sekitar delapan jam perjalanan dari tujuannya. Tapi dengan sepeda motor Sasuke, keduanya bisa menemui mereka dalam waktu kurang lebih satu jam.
Hanya saja, seperti yang sudah Sasuke duga. Semakin jauh mereka berjalan, semakin bobrok keadaan sepeda motor yang ditungganginya. Dia bisa melihat dan merasakan kalau satu-persatu bagian dari kendaraannya mulai rusak.
Pertama. Segel shock absorber belakangnya bocor dan membuat perjalan mereka secara literal terasa lebih keras. Setelah itu, tanpa sadar oli mesinnya juga ikut bocor tidak lama kemudian. Membuat sepeda motornya berjalan kering.
Setelah itu masalah-masalah lain mulai bermunculan seakan sedang berlomba untuk membuat perjalanan mereka semakin sulit.
Magneto di dalam mesin sepeda motor itu mulai bertingkah aneh karena putaran mesinnya yang jadi tidak stabil. Lampu di depan mereka mulai hidup dan mati dengan tanpa aturan. Lalu yang terakhir, Sasuke bisa merasakan kalau ban karet di bawahnya mulai rontok.
Tidak seperti ban yang ada di masa lalunya. Ban yang ada di sepeda motornya tidak memiliki ban dalam pneumatik. Jadi yang dia lakukan hanyalah membungkus velg besinya dengan karet. Yang sekali lagi, tidak seperti di masa lalunya. Bukan terbuat dari karet sintetik, tapi hanya karet biasa yang diberi support berupa kain dan benang besi.
"Ugh. . . . . aku harus bersiap diomeli Miina"
Yang jadi pemimpin dalam proyek infrastruktur Aka adalah Sasuke. Tapi yang memegang uang adalah Miina. Dan Sasuke sudah menghabiskan banyak sekali jatah risetnya hanya untuk membuat ban sepeda motornya. Uang yang dia minta dengan memohon-mohon menggunakan alasan kalau dia butuh kendaraan untuk bergerak cepat ke sana-kemari setiap hari.
Di Konoha yang tidak punya hobi bercocok tanam. Ada banyak bahan organik yang harus di import dari luar negara. Dan Karet adalah salah satunya. Bahkan segumpal karet bisa lebih mahal dari besi mengingat produksinya yang terbatas dan kebanyakan diprioritaskan untuk membuat senjata demi keperluan militer.
Sambil menghitung-hitung berapa uang yang harus dia keluarkan untuk memperbaiki kendaraannya nanti. Setengah jampun berlalu.
"Sasuke! Aku sudha bisa melihat mereka"
"OK!"
Jika kau bisa mendengar suara mesin sepeda motor Sasuke, kau akan langsung bisa merasakan kalau benda itu sepertinya sudah sekarat. Untunglah mereka sudah hampir sampai. Benda itu bisa beristirahat dengan tenang sudah mengetahui kalau dia sudah mengerjakan tugasnya dengan baik.
BANG!
Naruto menembakkan flare gunnya, mengalihkan perhatian semua orang padanya.
"BERSIAP!
Suaranya tidak sampai dengan jelas kepada anggota pletonnya. Hanya sajai warna flare yang dia tembakan sudah memberitahukan perintahnya dengan jelas.
Mereka harus bersiap.
Pleton Naruto tidak tahu mereka harus bersiap menghadapi apa. Tapi mereka tahu, kalau Naruto memerintahkan sesuatu. Mereka hanya perlu mengikutinya. Sebab selama beberapa bulan ini, pemimpin mereka belum pernah salah membaca situasi.
"Serbuuu. . . ."
Dan benar saja. Tidak lama kemudian, ada segerombolan orang bersenjata yang berlari ke arah mereka. Mereka kelihatan seperti bandit, tapi persenjataan mereka terlalu seragam untuk hanya kelompok bandit.
"Lindungi tuan putri!"
Seperti yang sudah diduga. Pengawal pribadi Hinata langsung memprioritaskan keamanan tuan mereka. Sedangkan anggota pleton Naruto sendiri memutuskan untuk menghadang kelompok . . . tidak. Pasukan bandit yang datang sebab mereka tidak tahu siapa yang harus diprioritaskan.
"Naruto, pegangan padaku!"
"Apa?"
"Pegangan padaku dan tutup matamu! Kita akan jatuh!"
"Kalau begitu berhenti!"
"Remnya tidak berfungsi"
"Haaa. . . . . .?"
"Ok? Satu!"
"Tunggu dulu"
"Dua!"
". . . ."
"Tiga. . ."
Dengan rem yang tidak berfungsi, Sasuke tidak lagi bisa berhenti sebelum mencapai konvoi para pengungsi. Oleh sebab itulah, sebelum dia menabrak seseorang dia memutuskan untuk memiringkan motornya dan merobohkannya.
Jika mereka roboh di tempat rata layaknya pembalap yang keluar dari track, mereka hanya akan meluncur di tanah. Tapi sayangnya, tempat itu jauh dari yang namanya rata. Membuat ketika mereka jatuh, sepeda motor yang mereka naiki langsung menabrak sesuatu, tergelincir, lalu melemparkan keduanya ke udara.
" . . . . . "
Naruto ingin berteriak, tapi kekuatan spesial Sasuke membuat seluruh tubuhnya keras dan membuatnya tidak bisa menggerakan bagian manapun dari tubuhnya termasuk mulutnya. Keduanya hanya bisa berjungkir balik layaknya bola yang ditendang selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka kehilangan momentum dan berhenti.
Dan begitu keduanya berhenti, Sasuke langsung menonaktifkan kekuatannya.
"Aaahhh. . . ."
"Naruto, cepat banguni!"
"Biarkan aku merasa kaget! sebentar saja!"
"Simpan kagetmu untuk nanti! Apa yang harus kulakukan?"
"Sebentar. . . . kepalaku pusing!"
Dengan kepala yang masih pusing setelah berputar-putar di tanah. Naruto memaksakan dirinya untuk bergerak dan berpikir.
Seperti yang sudah dia lihat dengan kekuatan spesialnya, jumlah musuh mereka sekitar seratus orang. Sedangkan di pihaknya, termasuk Sasuke dan dirinya mereka hanya punya empat puluh tujuh orang. Dengan kata lain mereka kalah jumlah dua banding satu. Di antara pengungsi memang ada banyak pria sehat yang bisa bertempur. Tapi dengan keadaan mereka yang lelah, tidak adanya latihan, persenjataan, dan suasana yang dipenuhi kepanikan. Mereka hanya akan berakhir jadi korban tanpa berhasil melakukan apa-apa.
Kalau begitu? Apa yang harus dia lakukan?
"Aaaaaaa. . . . . ."
Dia mendengar sebuah teriakan dari arah kereta kuda Hinata berada. Dan begitu Naruto melihat ke sana, dia menemukan beberapa pengawal Hinata yang ditumbangkan oleh musuh.
Ya, yang sudah lelah bukan hanya para pengungsi tapi juga anggota pletonnya dan juga pengawal Hinata. Tentu saja selain jumlah mereka juga kalah stamina.
"Ikuti aku!"
"Ya!"
8
"Gah. . . ."
Ketika dia sadar tubuhnya sudah berada di tanah beberapa meter di belakang posisinya yang semula.
"Mati kau!"
Dan di depannya, ada seorang bandit berbadan besar yang sedang mengayunkan pedangnya ke arahnya. Melihat hal itu, ingatan Oswal dari beberapa detik yang lalu mulai kembali. Orang di depannya mencoba menebasnya, tapi dia menggunakan pedangnya sendiri untuk menangkis serangan itu. Sayangnya, si bandit menendang tubuhnya sampai dia terlempar ke belakang. Memberinya kesempatan untuk menghabisinya.
"Jangan diam saja Shin!"
Tapi sebelum musuhnya berhasil membelah tubuhnya jadi dua. Naruto menendang kaki bandit itu dan menjatuhkan badan besarnya. Lalu sebelum dia sempat bisa bangun, Naruto mengarahkan ujung senapan anginnya pada bagian belakang kepala si bandit lalu balas menghabisinya.
Sambil menerima uluran tangan Naruto, Shin bilang
"Letnan, terima ka. . . . . . "
Tapi sebelum dia berhasil mengutarakan rasa terima kasihnya. Shin menyadari kalau ada bandit lain yang mencoba menyerang Naruto dari belakang. Melihat hal itu, Shin secara reflex langsung mencoba mendorong tubuh pemimpinnya itu dan menghadang serangan musuh dengan tubuhnya sendiri.
". . . . ."
Hanya saja. Bukannya menurut, Naruto malah balas mendorong tubuh Shin sambil bilang. . .
"Jangan pernah mengorbankan diri untukku!"
Dan. .
BANG!
Naruto menembakkan flaregunnya ke belakang tepat ke arah wajah musuh mereka.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri"
Tembakan itu tidak cukup untuk membunuh musuhnya. Tapi suara keras, cahaya terang, dan juga gelombang kejut yang ditimbulkan oleh ledakan flaregunnya sudah cukup untuk membuat bandit di belakangnya tidak bisa bergerak. Dengan semua inderanya terparalisis, tidak lagi yang bisa si bandit lakukan kecuali berguling-guling di tanah sambil memegang mata dan telinganya.
Lalu yang terakhir, dia menembakkan senapannya.
"A. . aku paham"
"Baguslah! kalau begitu kumpulkan semua skuadmu dan mundur!"
"Mundur?"
"Skuadmu tidak bisa berfungsi secara penuh di sini"
Skuad yang dipimpin oleh Shin adalah pasukan yang fokusnya memberikan cover dengan menggunakan crossbow dari belakang. Di dalam pertempuran jarak dekat, mereka tidak terlalu berguna sebab mereka tidak bisa memanfaatkan senjata utama mereka dan hasil dari latihannya.
"Incar semua musuh yang memisahkan diri dari pertarungan jarak dekat!"
"Siap!"
"Yang lain! Hadang musuh!"
Dia tidak punya hak untuk memerintah pengawal Hinata, tapi mereka sudah melakukan apa yang dia ingin mereka lakukan yaitu menjauh dari medan pertempuran. Selama pletonnya bisa menahan laju musuh, harusnya Hinata akan bisa kabur dengan selamat.
"Tapi kita masih kalah jumlah!"
Naruto yakin kalau para bandit itu kemungkinan akan kabur kalau anggota rombongan mereka sudah berkurang banyak. Tapi sebelum itu, mereka harus mencari cara untuk mengurangi jumlah mereka sebelum jumlah mereka sendiri yang berkurang duluan.
"Baiklah! Aku dan Sasuke akan mengurusnya!"
"Ha?"
"Sekali lagi! Incar semua musuh yang lolos dari kami berdua, lalu jangan ragu memanah ke arah kami kalau perlu"
"Tapi. . ."
"Tidak ada tapi-tapian! Kuserahkan padamu!"
Rencana Naruto untuk mengurangi beban pasukan di belakangnya sangat sederhana. Dia dan Sasuke hanya perlu mengambil alih sebagian beban mereka dengan maju lebih jauh dan menyerang para bandit itu. Hanya dengan mereka berdua saja. Dengan begitu, sekarang mereka punya empat lapisan pertahanan.
Sasuke dan Naruto di bagian paling depan.
Tiga skuadnya yang menahan laju siapapun yang tidak mempedulikan keduanya.
Shin dan skuadnya yang menyerang dari jauh dengan crossbow mereka.
Lalu yang terakhir, Hinata dan pengawalnya.
"Kalau kalian ingin pura-pura jadi bandit, serius sedikit!"
Sasuke yang akhirnya kembali bertemu dengan Naruto mencoba memancing perhatian musuhnya. Dan meski sebagian besar tidak mempedulikan keduanya dan tetap bergerak untuk mengejar Hinata. Ada beberapa yang memutuskan untuk menutup mulut keduanya selamanya karena mereka kelihatan penting.
"Sasuke, kau sadar kan kalau mereka bisa mengepung kita?"
Beberapa yang dimaksud adalah sekitar lima belas orang. Sama sekali bukan jumlah yang sedikit. Sepertinya mereka ingin membunuh keduanya dengan cepat agar bisa menyusul yang lain dan menyelesaikan tugas mereka.
Seperti yang Sasuke bilang, mereka bahkan tidak repot berpura-pura jadi bandit. Kenyataan kalau tidak ada satupun dari mereka yang mengejar para pengungsi yang notabene adalah target yang lebih mudah menunjukan kalau mereka punya misi yang jelas. Dan kalau mereka punya misi yang sejelas itu, tentu saja mereka bukan hanya kumpulan orang acak yang kebetulan membuat kelompok besar.
Sayangnya, sekali lagi Naruto masih belum tahu mereka bekerja untuk siapa.
"Bukannya bagus? itu artinya kau bisa menyerang ke segala arah!"
"Maksudmu kita bisa diserang dari segala arah kan?"
"Sama saja!"
"Jauuhhh!. . . ."
Naruto menyiapkan senapannya dan Sasuke menyiapkan pedang pendek di tangan kanannya, dan air pistol di tangan kirinya.
Secara objektif keduanya ada dalam posisi yang terpojok. Tapi tidak satupun dari mereka yang merasa takut. Malah sebaliknya, keduanya menunjukan senyum kecil seakan sedang menikmati nostalgia. Mereka menunjukan kalau musuh yang ada di sekitar mereka bukanlah apa-apa.
"Seraaang!"
Dan kepercayaan diri bukan kepercayaan diri kosong. Mereka tidak merasa kalau mereka punya kontrol. Tapi mereka benar-benar punya kontrol.
"Naruto, kau siap?"
"Yaa!"
Seorang bandit yang maju paling cepat mencoba menebas Sasuke dan menghentikan omong pemuda itu. Tapi dengan mudahnya, pemuda itu menangkis serangan tadi dengan balas menebas pedang musuhnya. Lalu dalam satu gerakan yang mengalir, Sasuke menyelipkan tangan kirinya dan menembak kepala musuhnya dengan air pistol di tangan kirinya.
Melihat hal itu, musuh mereka sempat berhenti bergerak selama beberapa detik. Tapi tidak lama kemudian, semua orang sadar dan langsung menyerang Sasuke secara bersamaan.
Dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri. Kali ini mereka menyerang Sasuke dari semua arah. Sehebat apapun kemampuan bela diri pemuda itu, dia tidak akan bisa menghindari serangan yang secara fisik tidak bisa dihindari.
Meski pemuda itu bisa menghindari satu, tiga serangan lainnya masih akan tetap tembus. Dan meski dia bisa menangkis dua serangan lainnya, satu serangan terakhir masih akan berakhir mengenai tubuh Sasuke.
"Haa. . ."
Hanya saja sekedar mengenai saja tidak cukup untuk membuat serangan itu punya arti. Sebab dengan kekuatan spesialnya, Sasuke bahkan tidak perlu menghindar. Jika dia tidak bisa menghindar, dia hanya perlu menangkisnya dengan tubuhnya sendiri.
PANG!. . . .
Begitu keempat pedang orang tadi menghantam tubuh Sasuke. Semua orang itu langsung merasa kalau mereka baru saja mengayunkan pedangnya pada sebuah batu. Menyababkan bukan hanya pedang mereka langsung tumpul, tapi juga membuat tangan mereka sempat mati rasa.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Sasuke langsung bergerak dengan cepat.
Dia menebas tubuh musuh di depannya lalu diikuti dengan menusuk bandit di kanannya bersamaan dengan menembakkan pistol di tangan kirinya ke bandit di kirinya. Setelah itu dengan gerakan mulus, dia juga menendang musuh di belakangnya. Membuatnya terseungkur ke arah Naruto yang sudah menyiapkan bayonet di ujung senapannya.
"Maju kalian!"
Dengan kekuatan spesialnya. Sasuke tidak perlu takut dengan serangan musuh. Gaya bertarungnya sangatlah sederhana. Dia akan menyerang musuh sebelum mereka menyerangnya dan kalau dia tidak bisa menghindar. Dia akan membiarkan musuhnya menyerang tubuhnya lalu menyerang balik sebelum mereka sadar dengan apa yang terjadi.
Pertahanan yang kokoh, kekuatan yang besar, dan kecepatan yang tinggi.
Sendiri, semua itu hanyalah kekuatan yang bisa dengan mudah dieksploitasi kelemahannya. Tapi bersama, mereka bisa jadi senjata flexible yang bisa dia gunakan untuk mengatasi masalah apapun. Kekuatannya memang sederhana. Tapi karena kesederhanaan itulah yang membuatnya kuat.
Lalu, bagaimana dengan Naruto?
"Kenapa? Apa kalian takut padaku?"
Pertarungan Naruto selalu dimulai dengan memancing kemarahan lawannya.
"Diam kau bocah!"
"Ee. . . . kalau begitu, ke sini!"
Kemudian memancing lawannya untuk melakukan apa yang dia mau. Seperti menyerangnya dengan asal.
"Haahh!"
Hanya untuk dihindari.
"Wops. . . "
Bhak!. . .
"Agh. . . ."
Dan menyelesaikan takdir bandit di depannya dengan menembakan air gunnya.
Secara fisik, mungkin Naruto tidak sekuat Sasuke. Dia juga tidak secepat pemuda itu, dan dia tidak punya kemampuan yang bisa membuatnya kebal senjata tajam. Tapi meski begitu, kau tidak bisa meremehkannya. Kau bahkan bisa bilang kalau dalam sisi lain, dia lebih kuat dari Sasuke. Mengingat dia pernah mengalahkan pemuda itu.
Dikepung oleh banyak orang yang ingin membunuhnya biasanya akan membuat seseorang panik. Tapi bagi Naruto, dikepung oleh orang-orang seperti itu adalah berkah. Sebab dengan begitu, dia bisa menggunakan kekuatannya tanpa harus repot-repot menipu dirinya sendiri dengan ancaman bunuh diri. Sebab semua serangan yang datang padanya, adalah serangan untuk membunuh.
Dan semua serangan yang bisa membunuh, adalah serangan yang bisa dia hindari.
Dengan bantuan kekuatannya. Dia bisa bertarung dengan efisien tanpa gerakan sia-sia sedikitpun. Kalau kau melihat pertarungannya dari jauh, kau mungkin akan berpikir kalau dia bisa melihat masa depan atau punya mata di belakang kepalanya. Setiap langkah yang dia ambil adalah langkah yang terbaik, setiap keputusan yang dia buat adalah keputusan yang benar, dan semua serangan yang dia lakukan pasti tepat sasaran dan fatal.
Jika Sasuke adalah tank, maka Naruto adalah pesawat jet. Dan jika kau menjuluki Sasuke unbreakable, julukan Naruto adalah untouchable.
Secepat apapun serangan lawan, sekuat apapun serangan mereka, dan sebanyak apapun trik yang mereka gunakan. Tidak ada satupun serangan yang mengenai pemuda itu. Dan serangan yang tidak mengenainya, adalah serangan yang tidak berguna.
Selama keduanya sibuk mengalahkan satu-persatu musuh yang datang padanya. Skuad Naruto sibuk menghalangi para bandit yang memutuskan untuk mengabaikan pemimpinnya. Mereka tidak bisa berhenti waspada dalam menghadapi musuhnya, tapi karena bantuan keduanya pekerjaan mereka jadi lebih mudah.
Melihat keduanya dengan mudahnya membunuh rekan mereka, para bandit itu mulai kelihatan panik, takut ataupun bimbang. Dan hal kecil itu sudah cukup untuk membuat keseimbangan kekuatan kedua pihak mulai berayun ke arah para prajurit koalisi yang dipimpin Naruto.
"Mereka. . ."
"Kuat. . ."
Shin dan Chojuro mungkin berjauhan dengan satu sama lain. Tapi begitu melihat bagaimana Naruto dan Sasuke bertempur, pikiran mereka sampai pada kesimpulan yang sama. Kesimpulan kalau dua pemuda yang mereka sedang mereka awasi benar-benar kuat. Dan bukan hanya kuat, tapi koordinasi keduanya membuat pertahanan mereka secara literal tanpa celah.
Ketika Naruto kehabisan pallet dan gas, Sasuke akan datang dan menjadi perisainya. Sebaliknya ketika Sasuke tidak bisa bergerak atau harus mengisi ulang air pistolnya, Naruto akan mengganggu musuh, mengalihkan perhatiannya, atau menyerang mereka dari belakang.
Seperti yang Shin dan Chojuro duga, tidak butuh waktu lama sampai para bandit itu menyadari kalau mereka tidak bisa mengalahkan duo itu. Tentu saja mereka bisa membuat keduanya kewalahan dengan membanjiri keduanya dengan musuh. Tapi tujuan mereka bukanlah membunuh keduanya, melainkan mengejar tuan putri Hinata.
Dan benar saja, para bandit itu mulai menghindari Sasuke dan Naruto secara terang-terangan begitu keduanya menghabisi sekitar dua puluh rekan mereka.
Fwuiiiiiiiitttttttttttt. . . .
Shin meniup peluit yang di bawanya dengan panjang. Kode itu adalah tanda agar skuadnya menyiapkan crossbow mereka lalu berbaris.
Kemudian, dari jauh Chojuro membalas dengan. . .
Fwuiiiittttt. . . . .fwuiiiittt. . .
Meniup peluitnya sendiri yang dikalungkan di lehernya.
Membuat semua anggota skuadnya langsung meninggalkan medan pertempuran dan pergi. Sesuai kode yang mereka dengar, bergerak ke arah tangan kiri dari pemimpin mereka.
"Menyebar!"
Yang terakhir, orang yang sepertinya adalah pemimpin para bandit ikut memberikan perintahnya. Dia tidak tahu apa maksud dari tiupan peluit itu, tapi dia sadar kalau skuad yang baru saja mundur dari pertempuran dengannya mencoba menjejalkan kelompoknya ke mulut skuad crossbow musuh.
"Tch. . . lepaskan!"
Shin mencedakkan lidahnya lalu menyuruh skuadnya untuk melepaskan serangannya dengan buru-buru. Menghasilkan serangan yang seperti yang sudah dia duga, tidak efektif. Crossbow yang mereka luncurkan hanya mengenai mungkin sekitar empat atau lima musuh yang mereka incar.
"Mundur!"
Shin memutuskan untuk mundur membiarkan rekannya yang tadi mundur untuk sekali lagi, menghambat pergerakan musuh. Naruto dan Sasuke yang sudah kehabisan teman bermain akhirnya memutuskan ikut membantu pasukannya.
Hanya saja. .
"Sasuke! Kereta kuda Hinata!"
"Ha?"
Keduanya menemukan kalau kereta kuda Hinata terus bergerak bahkan meski sudah berada sangat jauh dari medan pertempuran. Bukan hanya itu, dia bergerak bukan ke arah teritori Hanabi ataupun Shukuba. Tapi ke arah musuh mereka datang. Lalu yang terakhir. .
"Kenapa dia hanya punya tiga pengawal?"
Salah. .
"Kenapa semua pengawalnya yang lain tidak ada lagi?"
Sebagai gantinya, beberapa orang yang seperti bandit malah mengawalnya. Dengan bingung, Sasuke memikirkan alasannya. . .
"Jangan bilang kalau. . ."
Naruto memindai lebih teliti jalur yang kereta kuda lalui. Dan dengan mudah, dia menemukan sisa pengawal Hinata yang saat ini sudah jadi mayat.
"Pengkhianat huh.. . Sasuke! Ambil kuda!"
Cuma itu jawabannya. Dan melihat kalau beberapa bandit itu mengendarai kuda, tidak salah lagi kalau penculikan Hinata bukan hanya sudah direncanakan. Tapi direncanakan dengan matang. Rencana itu sangat matang bahkan sampai bisa punya pasukan untuk jadi bahan pengalih perhatian dan juga punya orang dalam yang pangkatnya setinggi pengawal pribadinya.
Kasus ini, sepertinya jauh lebih dalam dari apa yang Naruto kira.
"Kejar mereka!"
Perintah Naruto langsung dijalankan oleh pasukannya. Tapi begitu tujuan mereka berubah, prioritas para bandit itu juga ikut berubah. Kali ini, merekalah yang menghadang laju anak buahnya. Dan sebab mereka tidak lagi harus mengejar target mereka, para bandit palsu itu bisa memfokuskan seluruh tenaga mereka pada satu hal.
Dengan rapi, mereka mulai membuat barisan layaknya prajurit profesional. Lalu dengan wajah serius penuh determinasi, mereka semua membuat formasi pertahanan.
"Naruto! Naik!"
Sasuke yang datang membawa kuda hasil pinjamannya dari para pengungsi di belakangnya langsung menarik Naruto untuk naik bersama dan mengejar Hinata. Asal mereka bisa mengejar kereta kuda tuan putri itu, Naruto yakin mereka bisa menghentikannya. Karena itulah mereka harus buru-buru mengejarnya.
"Shin Lindungi kami!"
Shin mengarahkan pasukannya ke tempat yang Naruto tunjuk sebagai jalurnya dan bersiap untuk mencegah musuh mereka mencegat laju Sasuke dan Naruto. Tapi sebab jumlah mereka yang lebih sedikit, masih ada beberapa orang yang lolos dan berhasil menghadang laju kuda mereka.
"Jangan jatuh Naruto!"
Memutuskan kalau melawan mereka hanya akan membuang waktu. Sasuke memutuskan untuk tetap memacu kudanya dan menabrak siapapun yang berdiri di depan mereka.
"Jangan biarkan mereka lolos!
"Aaaaaa . . . ."
Tapi bukannya takut dan kabur, para bandit itu malah secara literal melemparkan badan mereka pada kuda yang keduanya tunggangi. Mereka tidak peduli kalau kalau tubuh mereka terinjak, tertendang, atau terlempar. Bukan hanya itu, bahkan ada beberapa yang mencoba bergelantung pada kaki kuda mereka hanya untuk menghentikan Sasuke dan Naruto.
"Apa-apaan fanatisme ini? Naruto, tembak mereka!"
"Peluru dan gasku hampir habis, kalau aku menggunakannya di sini. . ."
Dia tidak akan bisa menggunakannya nanti.
"Cih. . ."
"Sasuke, samping!"
"Kau bilang ap. . .gahh. . ."
Dari samping mereka, tiba-tiba ada seseorang berbadan yang dengan gilanya mentackle kuda mereka. Membuat kuda serta kedua penunggangnya terjatuh ke tanah. Dengan buru-buru Sasuke langsung menyentuh Naruto dan mengaktifkan kekuatannya.
"Kau tidak apa-apa Naruto?"
"Ya, berkat kau!"
"Kalau begitu cepat maju!"
"Sasuke. . ."
Tanpa menunggu jawaban Naruto, Sasuke langsung berlari ke arah kudanya yang masih tersungkur di tanah bersama dengan pria yang tadi menabrakan dirinya pada mereka. Jika dia sampai kehilangan jejak orang-orang yang menculik Hinata, dia mungkin juga akan kehilangan jejak ke mana Hanabi sudah dibawa.
"Minggir kalian!"
Tapi usahanya langsung dihalangi oleh musuh mereka. Musuh yang langsung dia tebas tanpa banyak tanya.
"Sasuke, tenangkan dirimu!"
"Bagaimana aku bisa tenang?!"
Hanya saja, setiap ada satu yang jatuh selalu ada bandit lain yang datang untuk menghalangi usahanya. Layaknya kecoa, mereka terus muncul dari tempat yang tidak Sasuke lihat. Membuat pemuda itu semakin dan semakin frustasi. Sampai akhirnya. . . .
"Aaaaa!"
Dia tidak lagi bisa melihat sekitarnya. Yang bisa dia lihat hanyalah musuh di depannya. Musuh yang harus dia tebas. Tanpa memperdulikan staminanya, dia terus membunuh semua orang yang menghalanginya. Selama beberapa saat, Sasuke berubah menjadi binatang buas yang tidak peduli pada apapun sampai. . . .
"Sasuke! Aku juga ingin menyelamatkan Hanabi!"
Panggilan itu akhirnya menyadarkan pikirannya dan menariknya dari zonanya.
"Naruto!"
Dia melihat ke belakang dan menemukan Naruto sudah dikepung oleh banyak bandit. Tapi tidak seperti sebelumnya, dia tidak memasang wajah penuh kepercayaan diri. Sebab kali ini, dia tidak punya kontrol atas keadaannya. Peluru dan gas dari senapan anginya sudah habis sehingga dia hanya bisa mengandalkan bayonet di ujung senjatanya.
Selain itu
Dengan fokus musuhnya yang berbuah dari membunuhnya menjadi menghalangi. Kemampuannya tidak bisa banyak membantunya untuk melindunginya. Membuat ada banyak yang lolos dan berhasil mengenainya.
Meski saat ini masih belum ada serangan yang fatal, tinggal menunggu waktu saja sampai pemuda itu tidak lagi bisa berkutik untuk menghadapi musuhnya. Sampai luka sabitan jadi luka sayatan, luka memar jadi patah tulang, atau hampir mati menjadi benar-benar mati.
"Kita bisa menyelamatkannya!"
Ya. Yang ingin menyelamatkan Hanabi bukan hanya Sasuke saja. Tapi juga Naruto. Keinginan pemuda itu tentu saja tidak kalah besarnya daripada keinginannya untuk menyelamatkan adik angkatnya itu.
Karena itulah. . .
"Percaya padaku!"
Sasuke akan mempercayai kata-kata pemuda itu.
Naruto memang licik, kata-katanya memang adalah salah satu senjatanya, dan menjebak seseorang adalah keahliannya. Tapi kalau dalam urusan Hanabi, dia tidak pernah bohong. Jika dia bilang kalau mereka bisa menyelamatkan Hanabi, maka mereka pasti bisa menyelamatkan gadis itu.
Sasuke berlari ke arah Naruto, kemudian ketika dia sudah tepat berada di depannya. Dia menaruh air pistolnya lalu mengangkat pedang pendeknya dengan kedua tangannya, setelah itu menyiapkan posisi menebas secara horizontal.
Maafkan aku Hanabi.
"Menunduk!"
Sebab sekarang, yang perlu diselamatkan adalah kekasihmu! Bukan! Yang harus kuselamatkan sekarang adalah teman terbaik kita!
"Aaaaaaaaa!"
Kemudian. . .
Fusssshhh. . . .
Sasukepun mengayunkan tangannya dengan sekuat tenaga.
"Fuuhhaaahhh. . . ."
Dan begitu ayunan pedangnya selesai melintasi seratus delapan puluh derajat area di sekitarnya.
"Ghh. . .aghhk. . "
Hampir semua bandit yang ada yang berada lima meter di sekitar kedua pemuda itu jatuh ke tanah dengan luka tebasan di tubuhnya. Sama seperti Naruto, Sasuke juga sudah mengembangkan cara untuk menggunakan kekuatan spesialnya. Setelah berhasil melakukannya satu kali saat melindungi Hanabi dulu. Pemuda itu terus berlatih untuk mengeraskan udara dengan kekuatannya untuk membuatnya menjadi senjata.
Apa yang dia baru saja lakukan adalah membuat pedang dari udara untuk menebas semua musuh di sekitarnya.
Saat ini dia hanya bisa menggunakan teknik itu selama beberapa detik. Tapi beberapa detik itulah, semua yang dia perlukan untuk menyelamatkan Naruto.
"Kau bisa bergerak Naruto?"
"Ya, terima kasih! Tapi lebih baik kita tidak perlu bergerak!"
"Ha?"
"Kau masih bisa menggunakan kekuatanmu?"
"Ya, tapi tidak lama!"
"Baguslah kalau begitu."
Naruto memuat sebuah flare merah lalu menembakkan ke atas kepala mereka. Flare itu adalah tanda pada squad crossbownya untuk menembak ke arah sumber cahaya. Dengan kata lain, Naruto meminta agar anak buahnya mengincar tempatnya berada.
Shin yang menerima perintah itu tanpa ragu langsung menyiapkan anak buahnya. Naruto sudah bilang kalau dia tidak perlu berpikir dua kali kalau dia meminta perintah untuk menyerang ke arahnya. Dan dia akan melakukan hal itu sesuai perintah. Sebab sekali lagi, perintah pemimpinnya belum pernah salah.
"Sasuke. . ."
Naruto mengulurkan tangannya bersamaan dengan bandit-bandit lain yang mulai kembali mengepung keduanya. Setelah melihat apa yang terjadi tadi. Pemimpin mereka memutuskan kalau membiarkan keduanya hidup terlalu beresiko. Oleh sebab itulah, dia ingin membunuh mereka apapun harganya.
"Ahh. . . aku paham, tapi maaf saja aku tidak ingin berpegangan tangan denganmu!"
Sasuke mengambil kain yang sebelumnya dia gunakan sebagai penutup wajahnya yang ternyata sangat lebar. Lalu dia melebarkannya sebelum akhirnya membuatnya keras dan menempatkannya di atas keduanya yang menunduk. Tidak lama kemudian, puluhan bolt crossbow menghujani tempat di mana mereka berada. Dan dengan begitu, sebagian besar pasukan musuh akhirnya lumpuh. Membuat sisanya memutuskan untuk kabur dan atau dengan mudah ditangkap oleh anggota pleton Naruto.
9
Dengan bantuan para pengungsi yang sedari tadi hanya bisa melihat pertempuran kedua belah pihak. Mereka akhirnya bisa mengamankan sekitar dua puluh bandit yang berhasil mereka tangkap. Dan begitu keadaan sudah kelihatan lebih kondusif, Sasuke memutuskan untuk mengintrogasi salah satu dari mereka.
"Jadi. . .kemana kalian membawanya pergi?"
"Cuh!. . ."
Dari fanatisme yang mereka tunjukkan sebelumnya, Naruto tahu kalau mengintrogasi mereka mungkin bukan hanya sulit tapi tidak akan ada gunanya. Jadi mendapatkan ludah sebagai jawaban sama sekali tidak membuatnya terkejut.
"Tolong bekerjasamalah, kau tidak ingin mati kan? Aku bahkan bisa membantumu memulai kehidupan baru"
Entah itu Sasuke ataupun Naruto, mereka tidak punya waktu untuk mengurus tahanan perang yang mereka dapatkan. Karena itulah, setelah sampai di Aka mereka berencana untuk menjual mereka saja sebagai budak. Meski keduanya tidak terlalu nyaman dengan hal itu, mereka tidak punya rencana yang lebih baik.
Jika mereka mau bekerjasama, orang-orang itu bisa dia bantu taruh di tempat yang lebih baik. Dan jika mereka bekerjasama, dia akan punya alasan untuk menahan Sasuke agar tidak membunuh mereka semua.
"Aku tidak takut! Aku bersedia mati asal Konoha hancur!"
"Ya, mati saja kau bajingan!"
"Kalau kau tidak mau membunuhku, aku yang akan membunuhmu!"
"Hancurkan Konoha!"
Teriak pemimpin mereka.
Dan begitu mendengar hal itu. Semua anak buahnyapun langsung menyahut dengan tidak kalah bersemangatnya. Salah, bukan semangat. Tapi penuh dendam.
Dengan mata melotot mereka kemudian meneriakan
Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur! Hancur!
"Bakar rumah merekaaa!"
Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar! Bakar!
"Bunuh keluarga mereka!"
Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!
"Buat mereka menderita! Buat mereka sengsara! Buat Mereka merasa ingin matiiii!"
Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Mati!
Setelah itu, semua bandit-bandit itu mulai meneriakan kutukan, hinaan, dan sumpah serapah yang kesemuanya ditujukan pada orang-orang di Konoh. Kutukan yang bukan hanya keras volumenya, tapi terasa sangat jelas kalau sumbernya berasal dari jiwa raga mereka. Kemarahan, dendam, dan nafsu ingin membunuh mereka bisa terasa merembes dari setiap pori-pori orang-orang itu.
Bahkan untuk Naruto yang sudah biasa di medan perang, dia merasa seakan aura kebencian mereka semua mendorongnya untuk mundur beberapa langkah.
Reaksi mereka persis seperti seseorang punya dendam kesumat pada orang yang membunuh keluarga mereka. . .
Tidak. . .
Dalam kasus mereka. Kemungkinan besar, mereka memang punya dendam kesumat pada orang-orang Konoha. Sebab orang-orang itu memang benar-benar sudah membunuh keluarga mereka.
"Kalian. . . ."
Satu misteri terpecahkan.
Tidak diragukan lagi, mereka adalah orang-orang yang berasal dari negara-negara yang sudah dijajah oleh Konoha di dalam perang besar enam tahun yang lalu. Hal itu menjelaskan kefanatikan semua orang dalam menjalankan tugasnya untuk menculik Hinata. Sebab bagi mereka, menyelesaikan tugasnya adalah sama dengan melakukan balas dendam pada negara yang sudah membunuh keluarga mereka, membuat kehidupan mereka menderita dan sengsara.
Tapi, ketika teriakan-teriakan dari para tahanan itu mulai mencapai puncaknya.
"Sudah cukup! Kalau kalian memang ingin mati. . . ."
Sasuke yang sedari tadi hanya melihat interaksi mereka akhirnya memutuskan untuk mendekati pemimpin bandit yang Naruto interogasi. Dia mengacungkan senjatanya pada kening pria itu lalu. . .
"Mati saja!. . ."
Menembak matinya. Setelah itu dia membalas memandang mereka dengan nafsu membunuh yang tidak kalah kentalnya. Jika ada satu orang yang berani berteriak lagi, pemuda itu tidak akan ragu untuk menembak matinya juga.
"Dengarkan aku baik-baik!"
Dia tidak peduli dengan Konoha. Kalau kalian punya dendam dengan mereka dan ingin menghancurkan negara itu, dia tidak peduli. Pengalamannya hidup di sana memberitahukannya kalau negara itu memang sepertinya perlu hancur. Kalian ingin melakukan apa saja padanya! dia tidak peduli.
"Tapi kalau kalian mengancam keselamatan orang-orang di sekitarku! Urusannya lain"
Sasuke sama sekali tidak peduli dengan negaranya. Dengan kata lain, teritorinya, benderanya, dan nilai sosialnya. Sesungguhnya dia bahkan tidak terlalu peduli kalau semua rakyatnya menderita. Hanya saja, dia peduli pada orang-orang di dekatnya. Jika dia bisa memastikan keselamatan semua orang yang dia kenal, dia tidak ragu untuk membiarkan Konoha terbakar jadi abu.
Tapi sayangnya, mereka baru saja melakukan satu hal yang paling dia tidak inginkan.
Sasuke mengepalkan tangan kanannya kemudian bilang. . .
"Sekarang giliranku yang balas dendam!"
Dengan buru-buru, Sasuke pergi dari tempat itu dengan diikuti Naruto sambil membawa keputusan baru.
Mulai hari ini, dia akan memutus janjinya dengan Hanabi.
Selama ini, Hanabi memintanya untuk selalu menahan diri. Gadis itu tidak ingin agar Sasuke terlalu menarik perhatian dan membuat keselamatannya dirinya sendiri terancam. Berpikir kalau dia akan bisa melindungi Hanabi dengan lebih baik. Dia menurut.
Tapi sayangnya, resolusi setengah-setengahnya hanya membawa masalah yang lebih besar.
Jika dia mau menggunakan kekuasaannya, Hanabi tidak perlu ditendang dari sekolahnya saat dia masih kecil.
Kalau dia lebih berani menghabisi musuhnya, Hanabi tidak harus jadi sandera dulu.(*1)
Kalau dia tidak ragu-ragu untuk menggunakan kekuatannya, Hanabi tidak perlu hampir mati.
Dan kalau semua orang tidak meremehkannya, tidak akan ada yang berani bermain-main dengan mereka.
Karena itulah mulai hari ini.
Dia tidak akan menahan diri lagi.
Dia akan menunjukan kalau dia itu kuat, cukup kuat untuk membuat semua orang berpikir ratusan kali sebelum memutuskan untuk menghadapinya. Sangat kuat sampai tidak ada lagi orang yang berani meremehkannya. Dan terlalu kuat sampai begitu mendengar namanya, semua orang akan merasa takut.
Dicintai mungkin lebih baik daripada dicintai. Tapi ditakuti, jauh lebih berguna daripada dicintai.
Karena itulah, jika Hanabi bisa mengambil bagian dicintai-nya. Maka, aku akan mengambil bagian ditakuti-nya.
"Naruto, kau akan membantuku kan?"
Sasuke memutar badannya ke belakang dan melihat ke arah Naruto sebelum akhirnya mengulurkan tangannya.
Tapi Naruto tidak langsung menyambut uluran tangan itu. Dia tidak bisa tanpa berpikir menerima proposal Sasuke, sebab dia tahu. Kalau apapun yang akan coba dia lakukan, hal itu akan punya konsekuensi yang besar. Bukan hanya untuknya sendiri, orang di sekitarnya, atau negaranya.
Tapi dunia.
"Sasuke. . ."
Naruto melihat ke bawah, atau lebih tepatnya melihat ke senjata yang sedang dipegangnya.
Orang yang pertama kali menciptakan senapan anginny adalah teman masa kecilnya sendiri. Sasuke, pemuda yang sedang berdiri di depannya.
Saat itu dia menciptakan benda itu dengan niat menjadikannya senjata untuk melindungi Hanabi. Tapi karena beberapa hal, benda itu jatuh ke tangan musuh dan berakhir di tangan orang yang salah. Dan begitu Konoha memiliki kemampuan untuk memproduksinya secara massal.
Hal itu mengubah segalanya.
Kau bahkan bisa bilang kalau Sasuke punya andil dalam terjadinya perang besar enam tahun yang lalu. Apapun yang coba dia lakukan kali ini, kemungkinan besar akan menghasilkan akibat yang sama. Dan mengingat kalau pemuda itu tidak lagi ingin menahan diri, dia tidak bisa membayangkan seberapa besar pengaruh yang akan dia bawa kali ini ke dunia.
". . Aku. . ."
"Naruto, aku membutuhkanmu!"
Sasuke mengangkat tangannya semakin tinggi.
Kali ini, Naruto mengalihkan pandangannya pada Sasuke. Dan apa yang dia temukan bukanlah wajah penuh dendam atau nafsu membunuh. Tapi wajah yang penuh resolusi dan harapan. Harapan kalau dia akan membantu teman masa kecilnya itu.
Melihat hal itu, Naruto mengangkat tangannya lalu tersenyum.
"Serahkan padaku!"
Senyum yang langsung dibalas oleh Sasuke.
Hari itu, operasi yang di masa depan disebut "Kejutkan dan Takjubkan"(*2) pun mulai berjalan. Sebuah operasi yang mengubah sejarah peperangan sampai era itu.
*1 : Nanti ada recap di epilog
*2 : Shock & Awe, alias rapid dominance, alias menunjukan kekuatan secara spektakular
Thanks kalian semua, yang masih ada di platform ini dan mau mampir ke sini. Btw ada yang nanya umur, shhh. . . yang jelas author udah tua.
