"Adu, duh …." Duri mengusap kening yang terasa benjol sedikit. Ia mendesis, membuat raut ngilu di wajahnya. "Kamu kenapa, sih …?"
Hebat, Duri tidak jadi sekarat. Mungkin tubuhnya memang tahan banting dari awal sehingga ia masih belum merenggang nyawa maupun kehilangan setetes darah pun. Namun, tak bisa dipungkiri jika kening yang menjadi korban sambaran buku latihan ujian menjadi nyut-nyutan luar biasa.
Seramah-ramahnya Duri, lelaki dewasa itu masih punya batasan. Perbuatan Solar yang sudah pakai kekerasan bukanlah sesuatu yang boleh diizinkan. Kedua alisnya menukik, memandang sosok yang selalu ia cari-cari belakangan ini, bukan dengan mata ramah yang selalu ia tunjukkan. Akan tetapi, di detik di mana ia menangkap mata yang menatapnya balik, permukaan itu retak.
Solar menatapnya menyalang di balik air mata yang sejak tadi menganak sungai di pelupuknya. Wajahnya merah dan alisnya nyaris bertaut, tetapi Solar tak membiarkan kabut itu menunjukkan sosok yang lemah.
"Jujur saja," ia memulai, "kau tidak pernah peduli tentangku, ya, kan?"
Duri hendak membuka mulut, tetapi berakhir menggigitnya. Terdengar helaan napas Solar yang terbayang pasti terasa panas akibat isak yang ia tahan.
"Sudah berapa lama sejak saat itu, Duri? Sebulan? Dua bulan? Tidak tunggu sampai setahun sekalian? Hah, atau tidak usah datang sama sekali dan menghilang tanpa jejak."
Giliran Solar yang menggigit bibirnya, sepenuhnya menunduk ke bawah. Di masing-masing sisi badan, kedua tangannya mengepal hingga bergetar.
"Setelah berapa waktu berlalu, kau baru datang sekarang? Kau ini benar-benar …."
Solar menutup wajahnya dengan kedua tangan, kata-katanya disela oleh isakan yang lagi-lagi lolos.
"Kecewa. Aku kecewa padamu."
Surga Khayal
"I don't want to grow up so great and dazzling if it's only for a short moment with you.
I'd rather be something small if it means to be able to live with you forever."
Boboiboy © Animonsta Studios
Terinspirasi dari manga "My Girl" karangan Sahara Mizu.
A BoBoiBoy fanfiction by akaori.
Anak itu terduduk di lantai dengan lutut ditekuk, lagi-lagi menyembunyikan wajahnya. Di pojok kamar ia berada, meringkuk, tampak begitu kecil dan bisa pecah kapan saja jika ada yang salah menyentuhnya.
Duri tidak berkata apa-apa. Ia membalik badan dan mulai melangkah. Ada denyutan perih di dada Solar ketika menyadari bahwa sosok itu telah sampai di ambang pintu, tetapi sedetik kemudian ia mendengar pintu kamarnya ditutup.
Langkah itu terdengar kembali mendekatinya. Tidak terlalu dekat, hanya saja cukup untuk memberinya jarak agar tak perlu ada kontak fisik yang jelas akan membuat sisi kasar dirinya bangkit seperti tadi. Untuk beberapa menit, yang mengisi ruangan itu hanyalah hening yang disela oleh beberapa isakan dan helaan napas.
Pada akhirnya, ada satu helaan yang lebih panjang.
"Solar, maafkan Duri. Ini semua salahku."
Duri tidak mengharap Solar akan memaafkannya bahkan setelah ia mengucapkan kalimat itu. Berharap ia mengangkat kepala dan menatapnya saja tidak.
Sungguh, ia hanya ketakutan. Tangannya yang mengepal di atas paha bergetar, antara takut dan ingin menghajar dirinya sendiri atas semua keraguannya yang telah membuat Solar terasingkan.
"Aku tahu aku salah, tapi aku diam saja dan tidak mencoba bertemu Solar. Habisnya, aku takut, bagaimana reaksi kamu nanti. Aku takut kalau Solar benci Duri dan tidak mau bicara. Tapi, aku salah. Karena aku diam, Solar jadi bersedih begini. Aku sudah payah sebagai pacar Solar …."
Solar belum mengangkat wajah, tetapi terdengar gumam yang lolos dari bibirnya. "Bodoh."
"Um-hum." Duri mengangguk.
"Tidak adil, Duri." Isakan itu kini diselingi oleh tawa. Tawa yang membodohi dirinya sendiri. "Enak, ya. Bisa-bisanya kau masih senang-senang di kebunmu itu sementara aku terjebak di rumah dengan kepala pusing."
Duri mengangkat alisnya. "Solar sakit?"
"Jangan alihkan pembicaraan." Ia tahu Duri tidak mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia hanya ingin dirinya didengar saat ini. "Duri, kenapa kau membatalkan janji kita waktu itu? Padahal aku sangat-sangat menantikannya."
Ah, ternyata benar kata Bunda. Janji yang kandas hari itu pastilah menjadi alasan mengapa Solar sangat membencinya saat ini. Merasa mereka sudah mulai berbicara, ia menarik diri sedikit lebih dekat ke arah Solar.
"Waktu itu, pemandu acara tanam pohonnya kecelakaan dan gak ada pemandu lain. Makanya, panitianya minta Duri untuk gantikan pemandunya untuk mengajar anak-anak untuk tanam pohon."
"Anak-anaknya senang?"
"Eh? Ah, iya …. Mereka senang. Duri juga ingin ikut senang sama mereka waktu itu. Tapi, Solar marah dan memblokir kontakku hari itu juga. Perasaan Duri jadi campur aduk. Mau senang juga susah karena ada yang mengganjal."
"Begitu. Maaf sudah mengacaukan perasaanmu di hari yang seharusnya bahagia itu."
"Tu-tunggu! Bukan itu maksudnya!"
Duri gelagapan. Sepertinya ia barusan salah bicara lagi. Seharusnya ia tidak membahas itu ketika sedang berhadapan dengan Solar yang tengah bersedih. Dalam hati, ia mengutuk diri sendiri.
Begitu juga dengan Solar. Entah sudah berapa kali ia mengutuk. Mengutuk untuk tetesan hangat yang lagi-lagi tumpah dari pipinya.
"Aku benci kau."
Duri membeku. Itu adalah kalimat yang sangat tidak ingin ia dengar dari sosok tersayangnya.
"Aku benci karena kau tampak sangat bahagia tanpa aku di sisimu. Aku benci diriku karena aku tidak rela kau bahagia dengan yang lain. Aku benci kenapa aku tidak bisa menggantikan posisi mereka." Suara Solar yang awalnya rendah dan serak beranjak naik.
Solar akhirnya mengangkat wajah yang sangat berantakan. Menunjukkan wujud buruk rupa yang tidak ingin ia tunjukkan kepada siapapun. Namun, di sinilah ia sekarang, menghadap Duri di titik terendahnya.
"Evelyn, Frederica, Jessica, kau selalu bicara pada mereka dengan penuh kasih sayang. Kau selalu menyapa mereka dan memeluk pot mereka seperti pacar sendiri.
Sekarang kutanya padamu, Duri, kaupikir kenapa aku benci dengan bunga matahari?"
Duri tidak menjawab—lebih tepatnya Solar tidak membiarkannya menjawab. Matanya yang kosong bagaikan mayat hidup sudah cukup untuk membisukan lawan bicaranya.
"Buat apa aku menjadi bunga yang akan layu dalam seminggu kalau kau lebih memilih mereka yang mekar lebih lama?"
Ia boleh tumbuh menjadi bunga yang paling tinggi di taman, tetapi apa gunanya kalau itu hanya untuk sekejap. Kalau begitu, lebih baik ia menjadi bunga-bunga kecil yang tumbuh dalam pot.
Karena bunga-bunga seperti itu yang selalu berada dalam dekapan Duri.
Solar tak sempat berkedip ketika lengan yang besar meraih tubuhnya ke dalam pelukan. Sudah berapa lama ia tak merasakan dekapan seperti ini? Saking lamanya sampai ia tak ingat lagi seperti apa rasa hangat yang dulunya selalu ia dambakan.
.
"Solar, dari semua bunga yang Duri punya, tidak ada yang bersinar kayak kamu."
.
Solar terhenyak.
"Kamu tahu, aku menyebutmu bunga matahari karena kamu selalu bersinar seperti mentari. Aku ini pohon yang selalu membutuhkan cahayamu. Kalau matahari pergi, lama-lama aku akan mati." Duri mengusap kepala kekasihnya, menariknya erat ke dalam dekapannya. "Tapi, aku belum berniat mati karena aku punya banyak hal yang ingin kuwujudkan sama kamu."
Ketika Duri melonggarkan pelukannya, Solar yang mendongak baru bisa melihat wajah yang disembunyikan pemuda itu. Wajah yang tersenyum juga menangis di saat yang sama.
Duri merendahkan kepalanya, menyejajarkan wajah mereka dan berkata, "Aku mau jadi laki-laki yang layak buat jadi pasanganmu di masa depan."
Ada yang mengalir lagi di pipi Solar, Duri langsung mengusapnya. Dari telapak tangannya yang lebar, kehangatan itu mengalir ke pipi dan dadanya. Rasanya begitu hangat.
Solar mengangkat kedua tangan ragu-ragu, meremas jaket yang dikenakan kekasihnya sampai kusut. "Bodoh. Bodoh. Kau lelaki terbodoh di dunia ini."
"Iya, Duri memang bodoh."
"Dan aku lebih bodoh lagi untuk jatuh cinta begitu dalam dengan orang terbodoh di dunia."
Tangannya melingkar lalu menarik leher Duri, memeluknya erat. Solar memejamkan kedua mata yang sudah bengkak akibat berkali-kali menangis. Duri menghela napas karena akhirnya Solar menyerahkan diri ke atas pangkuannya. Ia ingin memeluknya erat sekali.
"Jangan pergi ... aku takut sendirian …," bisik Solar.
"Duri tidak akan kemana-mana~" balas Duri dengan suara lembut, tangan masih setia mengelus kepala Solar. "Solar tidak perlu khawatir pokoknya."
Di sela itu, muncul suara gemuruh yang datang dari bawah. Duri menunduk, mendapati Solar dengan pipinya yang merah.
"Aku lapar, belum makan seharian."
"Astaga, kenapa gak makan?! Tenang aja, Duri bawa banyak oleh-oleh!"
Duri menarik bungkus kotak berisi cheesecake yang ia bawakan. Hidung Solar bergerak ketika menangkap aroma yang tidak asing. Matanya menyala secerah lampu pijar ketika menyadari apa yang ada di dalam kotak itu.
"Itu cheesecake dari Baby Bakery?!"
"Ehehe, iya. Solar pernah cerita kalau Solar suka kue mereka, kan. Aku gak tahu yang mana kesukaanmu, jadi aku belikan semua rasa …."
"Semuanya buatku?!"
"Semuanya buat Solar! Kantong plastiknya dan sendoknya juga!"
Mata Solar berkelap-kelip seperti bintang di langit mal ketika ia melihat tumpukan makanan manis itu. Tanpa basa-basi, ia menyambar kotak berisi manisan itu dan memanjakan lidahnya dengan rasa manis yang lembut.
Mata Duri nyaris keluar ketika kotak demi kotak ludes dalam hitungan menit. Solar yang tadi menangis kini jadi senyam-senyum dengan kerlipan imajiner di sekitarnya. Efek makanan manis memang sangat besar bagi mood pacar.
"Solar suka?"
"... Suka. Omong-omong, rasa kesukaanku lemon. Tapi, baguslah kalau begini. Aku bisa coba rasa yang lain."
"Senangnya! Duri suka lihat Solar banyak makan~"
Solar akhirnya bisa bernapas puas setelah mengisi perut. Perutnya yang kosong pasti telah berkontribusi sebagai faktor yang membuat emosinya terombang-ambing sejak tadi, apalagi karena kehadiran Duri yang tidak disangka. Jujur, menangis itu sangat melelahkan dan ia sungguh ingin menutup matanya saat ini.
Ia menatap ke bagian dada jaket Duri. Kainnya basah gara-gara air mata dan ingusnya, lagi-lagi ia merepotkan si pacar. Namun, seperti biasa, senyum itu tidak pernah tanggal dari wajah pemiliknya.
"Bajumu penuh ingus. Lepas."
"Eh, ahh, iya."
Duri melepas jaket berlapis cairan tubuh itu. Yang tersisa hanyalah kaos hitam yang mencetak tubuhnya yang besar. Solar bisa merasakan pipinya memanas melihat otot pemuda itu tercetak di bagian perut dan dadanya.
"Dalamannya juga," bisik Solar yang masih merona.
"Eeh, Duri berpeluh, lengket."
"Tidak mau? Aku cari cowok lain—"
"Kok, gitu mainnya?!"
"Aroma badanmu ... aku suka." Solar menyembunyikan wajah di di lipatan lengan. Semoga Duri tidak dengar yang barusan.
"Hm?" Duri mengerjap polos, lantas ia meringsut mendekat, mengarahkan telinganya pada Solar. "Aroma apa tadi?"
"Bukan apa-apa." Remaja itu berpaling arah pandang. Duh, jadi malu sendiri.
"Masa? Tadi aku dengar sesuatu, loh~"
Solar menggeram, tak sadar betapa merah mukanya saat ini. Ia memejamkan mata erat.
"Bodoh."
"Aku bodohnya Solar~" Duri tak tahan untuk tak menguseli pipi pacarnya yang terasa hangat. "Ayo, nangis lagi, kamu gemesin juga kalau menangis."
"Benar-benar, aku cari yang lain setelah ini."
"Tega~! Nanti aku manja-manja sama siapa kalau Solar diambil yang lain?"
Solar mau membalas kalau Duri harusnya melemparkan diri ke tengah padang kaktus saja kalau ia mau bermanja-manja. Energi yang terkuras habis membuatnya tak bisa banyak mengomel, sehingga ia memilih menyandarkan kepala di dada Duri. Lengannya melingkar di pinggangnya. "Begini kau bilang enak?"
"Ehehe." Pemuda itu cengengesan, tangannya naik merangkul leher sang pacar. "Solar jangan malu-malu kalau mau manja-manjaan denganku, pasti nanti paham enaknya di mana."
"Bodoh. Di mana-mana denganmu selalu enak." Solar menyimpan itu untuk dirinya sendiri.
Kepalanya bersandar di dada, merasakan detak jantung kekasihnya. "Gendong aku ke kasur."
"Ay? Sudah mau tidur?"
"Belum. Tapi, aku lelah menangis terus... Aku mau ngobrol denganmu."
"Oho~" Dengan mudah, pemuda itu membopong Solar ke atas kasur. Ia membuang badan, sekaligus dengan Solar di pelukannya, ke ranjang empuk yang seprainya berantakan.
"Duri …," manik kelabu menyipit, baik karena rasa letih dan hal lain yang campur aduk dalam hatinya, "sini, tidur di sampingku. Peluk."
"Duh, badanku masih lengket—" Duri menyimpan itu dalam-dalam untuk diri sendiri. Ia memilih untuk menurut, membaringkan badan di samping Solar dengan kedua lengan melingkar ke pinggangnya.
"Kasihan sekali pacar Duri, mukanya capek begini. Badan kamu juga jadi kurus. Cahaya bilang kamu sering sakit. Solar sakit apa?"
Solar menolak menjawab saat itu juga. Tangannya melingkar lalu menarik leher Duri, memeluknya erat. Solar memejamkan kedua mata yang sudah bengkak akibat berkali-kali menangis. "Jangan pergi ... aku tidak mau sendirian …."
"Duri gak akan ke mana-mana~" balas Duri dengan suara lembut, tangan masih setia mengelus kepala Solar. "Solar gak perlu khawatir, pokoknya."
"Um …." Usapan Duri di kepalanya terasa begitu nyaman. "Aku mau sama Duri …."
"Kan, ini lagi sama Duri~"
"Lepas dalamanmu." Titah Solar masih sama dengan yang tadi.
"Sebegitunya gak suka aku pakai dalaman?" Duri menggembungkan pipi. Dalamannya memang biasa-biasa saja. Tetapi, bukankah itu memang fungsinya pakaian dalam? Polos tapi berguna untuk menghapus keringat.
"Bodoh …." Mata kelabu terbuka sayu, rona merah itu kembali menghias pipi Solar. "Aku minta lepas karena aku suka aroma tubuhmu."
"Oh …." Wajah yang sedari tadi memperlihatkan ekspresi polos itu seketika memanas. Duri duduk, melepas satu-satunya kain yang menutupi tubuh bagian atasnya dalam diam. Tanpa berkata apa-apa pula ia memeluk kembali kekasihnya.
"Lengket." Ia bergumam.
Solar menghirup aroma maskulin Duri yang bagaikan matahari bercampur keringat. Bukan masalah baginya, ini tetap aroma kesukaannya.
"Oh iya, lepas celanaku. Sesak."
Lagi, kalimat polos Solar membuat wajahnya memanas. Kali ini lebih merah dari sebelumnya. Duri tertawa kikuk. "I-itu rasanya agak ... gitulah."
"Haah, tidak membantu." Ya sudah, Solar turun dari ranjang lalu menarik turun celana seragamnya hingga tersisa celana boxer-nya saja. Kain itu ia lempar sembarangan ke lantai, menemani buku-bukunya yang berserakan.
"Ya, bagus! Mandi sekalian biar bersih~" Si pemuda berbadan besar berbaring menyamping sambil menopang kepala dengan tangan, tersenyum puas.
"Itu nanti. Sekarang mau begini." Bukannya melangkah ke kamar mandi, Solar merangkak kembali ke kasur. Tubuhnya dibaringkan tepat di samping Duri dengan lengan memeluk tubuhnya. Tanpa celana yang membalut paha putihnya, hanya tersisa sepasang kaos kaki di sana.
Duri tahu ada yang salah saat Solar dengan mudahnya melepaskannya tadi. Baru sebentar bernapas lega, ia harus dibuat menahan napas lagi saat yang lebih muda memeluknya tanpa bawahan.
"Duh, Solaaar~" Nadanya memohon, Duri mencoba menyembunyikan wajah yang merah padam.
"Kenapa?" Solar melirik ke atas dengan mata setengah terbuka. "Tegang melihatku?"
"Anak SMA tidak seharusnya bicara begitu," ucapnya ngawur, Duri hanya tidak mau terjebak di situasi seperti ini lebih lama. Ia menambahi, "Solar tidak takut, apa?"
"Takut apa? Kan, ini kau. Aku tidak takut diapa-apakan." Jawaban itu yang diberikan ketika sang remaja menyembunyikan wajahnya di dada Duri.
"Aww~" Ini dia, sisi menggemaskan Solar! Duri tidak bisa menahan diri untuk memeluk kekasihnya erat-erat kalau sudah begini. "Ayo, tidur bareng!"
Mereka memposisikan diri supaya nyaman. Solar dengan sengaja merangkul paha Duri dengan miliknya, menjadikannya guling, membuat pemuda itu tak fokus untuk benar-benar terlelap.
"Hei, Duri."
"Ya, sayang?"
Solar bergumam di dada kekasihnya. "Kalau … kalau misalnya aku ternyata adalah penjahat kelas kakap, apa kau masih mau jadi pacarku?"
Duri memandangnya lama.
"Kau beneran percaya itu?"
"Eh? Ah! Duri kaget Solar tiba-tiba bilang begitu. Tapi, hmm …." Duri balas menyandarkan kepalanya ke arah Solar. "Rasa-rasanya, apapun Solar itu, asalkan Solar tetaplah Solar, aku akan tetap sayang sama Solar. Bahkan kalaupun Solar penjahat kelas kakap sekalipun. Ah, aku menyebut 'Solar' banyak kali. Maaf, kamu paham yang aku maksud?"
"Itu terdengar macam kau sekali." Solar bisa merasakan tangannya digenggam dari bawah. Ia tak berniat lepas dari jarak ini, jarak di mana bulu matanya dan Duri bahkan bisa bersentuhan. "Duri, ada hal penting yang harus aku bicarakan denganmu."
"Apa itu? Solar mau cheesecake rasa ayam? Tadi tokonya sedang memberi sampel. Tapi, percayalah, itu gak enak, makanya Duri gak belikan."
"Bukan, bodoh. Ini adalah sesuatu … sesuatu yang menyangkut diriku. Dan kita."
Duri terdiam sejenak, mengikuti keheningan yang menyelimuti mereka sebelum mengusap kepala kekasihnya. "Solar pasti capek sekarang. Gimana kalau besok ke rumah Duri buat cerita? Sekalian, Duri kangen Solar mampir ke rumah."
Itu bukan ide yang buruk. Malahan, sebaiknya hal ini diceritakan di tempat yang jauh dari rumahnya. Solar belum punya keberanian untuk memberitahukan Ayah dan Bunda mengenai rahasia yang ia simpan. Sebagai langkah pertama, ia ingin menyerahkan kepercayaan itu kepada kekasihnya.
"Apapun itu … apa kau akan selalu menemaniku? Kau mungkin akan sangat membenci aku kalau mendengarnya."
Duri berpikir, ini pastilah hal yang sangat penting kalau Solar sampai berpikir demikian. Namun, yang ia tahu sejauh ini, semenyebalkan apapun Solar (yang mana sesungguhnya tidak menyebalkan sama sekali baginya), tidak pernah sekalipun terbesit pikiran untuk menjadikan sosok tersayangnya sebagai sosok yang tidak ia sukai.
"Apapun itu. Duri akan selalu temani Solar. Janji."
"Un …." Mata Solar mulai terkatup, lambat laun terpejam. Air matanya masih membekas di sana, membuat keseluruhan wajahnya menjadi merah. "Jangan ke mana-mana …."
"Duri di sini~ " Sambil bersenandung lembut ia membalas, satu tangan tidak lupa menepuk-nepuk lembut punggung kekasihnya. "Solar aman denganku."
"Sayang Duri."
"Duri juga sayang Solar."
Tak lama, rasa kantuk menyergap hingga Solar benar-benar terlelap. Rasa letih akibat menangisi hasil luapan segala campuran emosi membuatnya lelah luar dalam. Solar terlelap, membiarkan dirinya tenggelam di pelukan kekasihnya.
.
.
.
.
.
.
"Angin, Petir, ini Kakak! Kakak jemput kali—"
Langkah Taufan terhenti ketika ia mendapati sosok orang dewasa (meski wajahnya masih muda) telanjang dada memeluk sosok lain yang mengenakan seragam sekolah. Atasannya saja yang masih terpakai. Sementara itu, bawahannya tergeletak di atas lantai, berdampingan dengan tumpukan barang lain yang membuat kamar tampak porak-poranda. Ada pula jaket besar yang diduga milik si pemuda yang cengo melihat kehadirannya yang tak diundang.
Taufan memalingkan wajah, menutup pintu dengan wajah datar. "Maaf, salah kamar …."
"A, Anu—"
Duri tidak tahu betapa merah wajahnya sekarang, rasanya mau meledak di tempat. Baru sebentar dia menikmati momen tenangnya bersama Solar yang jatuh terlelap setelah sedari tadi menangis, sekarang harus dikejutkan dengan satu sosok tidak dikenal membuka pintu kamar yang tengah mereka tempati.
Duri tidak bisa berteriak untuk meluruskan kesalahpahaman apapun yang ada di kepala sosok itu, Solar baru saja tertidur! Tidak mungkin dia membangunkannya lagi.
Yang bisa ia lakukan hanya menjulurkan tangan, menggapai pintu yang perlahan menutup sembari berteriak dalam hati.
"KAMI CUMA TIDUR BERSAMAAA!"
"Zzzz …."
