Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 35 – A Game of Chess

Author's POV

Sebenarnya, sejak kapan Obi menyadari afeksinya pada gadis muda dengan surai apel menyegarkan itu? Pada gadis yang tidak hanya tak menyadari kehadirannya, bahkan juga sudah memiliki orang lain di dalam hatinya? Yang bahkan adalah tuannya sendiri? Dan sejak kapan rasa itu akhirnya padam, hilang, tanpa ada sisa?

Pada akhirnya, sejak kapan Obi mulai merasakan debaran menyebalkan yang membuatnya mati rasa itu? Sejak kapan ia merasakan emosi yang begitu membuncah dan membuat tindakannya tidak terkontrol? Sejak kapan tidak melihat sosoknya dalam gapaian saja membuatnya merasa gila dan begitu resah?

Obi tidak mengerti, ia tidak paham. Yang mana kah yang bisa dibilang mencinta? Yang manakah rasa cinta yang benar? Cinta yang membuatnya merasa segar hanya dengan menyadari kehadirannya atau cinta yang membuatnya merasa tercekat, terbelenggu, seakan dunia akan runtuh jika orang itu tidak ada di sisinya? Manakah yang merupakan cinta yang benar?

Obi tidak tahu. Ia benar-benar tidak tahu.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

"Aku benar-benar tidak menyangka." Mario bersua.

Ya, begitu juga dengan Aroha. Saat ia mendengar pernyataan Leva untuk mengajaknya kabur dari tempat itu, ia pikir mereka akan berlari jauh-jauh, tidak lagi mendekati tempat laknat itu. Ia pikir mereka harus berlari sejauh yang mereka bisa, atau bahkan langsung menyeberang lautan. Tidak pernah satu kalipun Aroha berpikir bahwa mereka justru akan menghabiskan sisa hari itu di dalam menara tinggi dengan jarak tidak lebih dari lima ratus meter tempat mereka baru saja kabur.

"Sudah kubilang bukan," Leva menyilangkan kedua tangan di depan dada, "terkadang tempat paling aman adalah berada di jantung musuh. Tidak perlu terburu-buru."

Menara tua dengan lonceng yang sama tuanya di bagian paling atas. Tanpa ruangan terpisah dan hanya berisi satu tangga memutar untuk mencapai bagian luar menara. Tempat itu bukanlah tempat yang tertutup, pun sebenarnya bukan merupakan tempat yang paling aman yang bisa Levanthine temukan. Namun, lagi-lagi, ini adalah Levanthine Wisteria yang kita bicarakan. Ia tidak akan berhenti memikirkan strategi sampai ia yakin ia berada dua langkah di depan musuhnya.

Ia melirik singkat pada Obi yang sudah menyambut dengan senyuman di wajah. Leva mengangguk sebelum akhirnya undur diri dari lingkaran dan pergi ke bagian atas menara bersama Obi. Dan jujur saja, setelah kegiatan berlarinya seharian ini, ia merasa menaiki tangga ke atas tersebut merupakan kegiatan yang sangat melelahkan.

Ketika keduanya sampai di bagian atas menara–tempat mereka sebelumnya menghabiskan malam–hari sudah hampir mencapai penghujungnya dan ia bisa melihat warna oranye terbesit di langit sore hari itu. Suara burung gagak yang menggema di sekeliling, wangi matahari yang mulai memudar, desiran pasir di tanah yang terbawa angin, semua bisa ia rasakan. Dan di saat seperti inilah, Leva mulai bisa merasakan bahwa ia tidak dalam keadaan yang terlihat cantik dan anggun; bahkan jauh dari itu. Dengan pakaian yang sama serupa dengan milik seluruh orang di lantai bawah, rambut yang hampir berhari-hari tidak ia rapihkan dengan baik, dan wajah yang bahkan jarang terkena air.

Wah, ia yakin, hari ini ia adalah tuan puteri paling jelek di seluruh dunia. Dan bisa-bisanya ia yang dalam keadaan seperti ini tetap berada di sebelah orang yang ia sukai?!

"Hime-sama?"

Leva menggelengkan kepalanya, membuang jauh-jauh pemikiran aneh yang selalu saja datang tiba-tiba seperti ini. Saat ini bukan waktunya ia memikirkan penampilan dan hal-hal lainnya. Ada hal yang perlu ia lakukan saat ini, hal yang jauh lebih penting daripada pernak-pernik dan gaun pesta yang berkilau.

Kembali gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling bangunannya. Tali sisa bekas mereka yang dilepaskan Obi beberapa hari lalu saat mereka di sini masih ada, dan masih terlihat baik walaupun sudah berdebu dan hampir tertimbun tanah. Jika mereka bisa mengikatkannya pada lonceng besar di atas itu dan menariknya pada pintu bawah, maka pintu itu tidak akan bisa terbuka dengan mudah.

"Mereka datang, Hime-sama."

"Akhirnya. Kau membawanya 'kan?" Melihat Obi yang mengangguk, Leva menepi, dengan kedua kaki tertekuk–setengah berjongkok–sehingga dirinya tertutupi dinding luar menara. Kedua iris kacanya mengedar, menemukan beberapa orang–mungkin sekitar belasan–dengan jubah kemerahan khas chou yang sudah Leva hafal, berlari keluar dari pintu bawah tanah pertambangan. "Cukup lama juga, kukira sang chou yang sangat ditakuti ini adalah pasukan yang cepat bertindak."

Obi terkikik. "Jadi, bagaimana, Leva-hime?"

"Kau yakin bisa melakukannya?" Leva menunduk, kini duduk menyandar pada dinding. Kedua netra Obi sudah menemukan jalannya pada tatapan percaya diri Leva sembari pemuda itu menjawab. "Ini bahkan tidak ada apa-apanya dengan balkon kamar Tuanku."

"Dasar gila."

Warna oranye sudah mulai padam dan kini keduanya mulai bisa melihat bentuk sabit pada sisi lain langit di atas kepala. Seketika gadis itu menarik nafasnya, mencoba membuat detak jantungnya stabil, dan berkata. "Lakukan."

"As you wish, Milady."

Pion pertamanya bergerak.

Bersamaan dengan Obi yang melompat turun tepat dari atas dinding tertinggi menara, Leva berlari menuruni tangga dengan cepat dan sampai pada anak tangga paling bawah bersamaan dengan suara ledakan terdengar dari luar menara.

JDARR–

"SEMUA NAIK KE ATAS!"

Tidak perlu banyak waktu hingga semua orang panik dan mulai berlari ke lantai atas. Memanfaatkan situasi yang cukup ramai tersebut, Levanthine mendekati Mario dan Aroha yang berada di ambang pintu terluar, kedua tangannya menarik lengan dua rekannya tersebut dan berkata. "Pastikan kalian tetap tidak terlihat dari luar menara, apapun yang terjadi, meskipun kalian mendengar suara dari bawah sini. Tidak ada seorang pun di dalam bangunan ini. Tidak pernah ada siapapun yang masuk ke tempat ini. Ikatkan tali di atas sana pada lonceng dan pintu penutup. Kalian berdua harus memastikan pintu menuju lantai teratas tidak akan terbuka, jangan membukanya pada siapapun, bahkan untukku. Apapun yang terjadi. Apapun yang kalian dengar. Mengerti?"

"Tu–Majime-chan?!"

"Leva-san!"

Levanthine membuka pintu kayu tua di hadapannya, asap menguar dari bagian luar bangunan. Dan ia berhenti. "Sudah kubilang aku tidak akan hanya kabur. Aku akan menghancurkan mereka."

Gadis itu berbalik, sepasang iris keabuan khas miliknya berkilat yakin. "Karena itu, percayalah padaku."

Mario dan Aroha terdiam, menyadari bahwa ada perasaan aneh yang menjalar dengan menatap kedua netra kaca sang gadis. Sebuah perasaan tunduk dan loyalitas janggal yang tidak seharusnya mereka miliki pada seseorang yang baru ditemui beberapa waktu ke belakang. Namun kini, keduanya merasakan degupan jantung yang tidak biasa, adrenalin yang memacu deras pada seluruh sel di dalam tubuh mereka. Karena itulah keduanya mengangguk, membiarkan Levanthine pergi ke luar dari jangkauan, menutup pintu kayu itu rapat-rapat dan berlari ke bagian atas menara.

Pion kedua miliknya sudah melangkah sesuai rencana.

"Obi!"

"Yosha, kita pergi, Leva!" Obi menarik lengan Leva dan keduanya berlari menembus asap, memasuki bagian hutan di timur menara, menjauh dari pintu bawah tanah yang kini sudah tidak lagi berbentuk. "Woah, kau benar-benar meledakkannya."

Obi tertawa di sela-sela langkah cepatnya. "Ha ha ha, aku melakukannya sesuai perintah anda, Hime-sama."

DRAPP–

"Jadi, anda ingin kita berlari sejauh apa?"

Leva menarik nafasnya, berlari saja sudah melelahkan dan kini ia bahkan harus menjawab pertanyaan Obi. "Seberapa yakin kau bisa mengalahkan mereka?"

Ada sedikit rasa tidak yakin dari pertanyaan Leva, dan Obi tidak tahu apakah ia harus menerjemahkan hal itu sebagai ketidak-percayaan atau rasa khawatir. "Apakah anda mempertanyakan kemampuan saya? Ha ha ha. Saya seratus-persen yakin bisa mengalahkan mereka bahkan tanpa berkedip."

Oh, jika saja mereka tidak sedang dalam pelarian, Leva yakin ia akan menjitak dahi sang pemuda keras-keras karena sudah sesumbar seperti itu.

Ada alasannya kenapa ia meninggalkan semua orang tetap di menara dan pergi berlari sendiri bersama Obi. Ada alasannya kenapa ia menggunakan sisa bahan peledak bukannya untuk bentuk pertahanan diri terakhir, namun malah untuk menghancurkan pintu miring menuju bawah tanah itu. Ada alasannya kenapa sejak awal ia memilih langkah ini.

Yang pertama, adalah karena mereka adalah kelompok besar. Kelompok besar akan lebih mudah terlihat daripada dua orang yang berlari menembus hutan seperti ini. Resikonya terlalu besar untuk terus berlari, terutama dengan orang-orang yang tidak ia ketahui seberapa besar staminanya, dengan kemampuan dan bentuk fisik yang berbeda-beda, dengan usia yang juga berbeda-beda. Leva tidak bisa mengambil resiko untuk membawa kelompok besar itu terus kabur.

Kedua, alasan ia meledakkan pintu bawah tanah itu. Jujur saja, sampai akhir, hal itu adalah sebuah perjudian dalam rencana Levanthine. Dan baru bisa ia yakinkan ketika ia melihat pasukan berjubah merah itu keluar dari pintu itu, bukan dari tempat lain. Sejak awal, Leva sedikit banyak menyadari bahwa pasukan chou ini tidak bisa bergerak dengan sebegitu lugasnya. Mereka tidak bebas, bukan pasukan yang bisa bergerak sesuka hati. Selalu entah berada di balik nama 'pengawal' faksi Abdi Tuhan, atau bergerak di dalam bayang-bayang. Dan inilah yang menjadi pertaruhan Leva. Jawaban dari pertaruhannya keluar bersamaan dengan munculnya pasukan itu dari bawah tanah.

Benar sekali. Jawabannya adalah mereka bergerak secara sembunyi, di bawah tanah. Itu artinya tidak akan mudah untuk meminta bantuan jika jalan mereka bergerak dihancurkan. Itulah alasan Leva meminta Obi untuk menghabiskan sisa bahan peledaknya untuk meluluh-lantakkan pintu berat itu rata dengan tanah.

Yang terakhir adalah alasan Leva memilih menara yang begitu dekat dengan titik awal mereka dan bukannya tempat apapun yang mungkin lebih layak untuk menjadi persembunyian; adalah karena surat yang ia kirimkan kepada Zen melalui burung pengirim surat Clarines tepat kemarin malam. Leva tidak ingin memberikan satupun petunjuk pada musuh. Karena itulah ia tidak bisa menggunakan burung pengirim pesannya untuk menunjukkan tempat ia berada pada Zen. Tidak boleh ada sedikitpun petunjuk yang bisa dilihat musuh, tidak boleh ada satupun hal yang membuat rencana Leva gagal. Dan dengan alasan itulah, Leva sudah menitikkan tempat itu, menara itu, lahan besar itu, sebagai finish line miliknya.

Karena hal itulah, Leva menarik perhatian sisa pasukan chou yang berada di lahan itu untuk pergi dari tempat itu. Untuk memberi kesan bahwa kelompok besar itu sudah bergerak jauh, pergi sejauh mungkin dari titik pertama.

Dan checkmate–

saat ini, semua pion musuh bergerak sesuai perkiraannya.

DRAPP–

DRAPP–

"Sudah saatnya, Leva." Langit benar-benar sudah berwarna gelap ketika gadis itu mengangguk, membiarkan Obi mengeratkan genggaman tangan mereka sembari langkahnya semakin memelan, sampai keduanya berhenti berlari.

Leva tidak percaya ia benar-benar berlari kesana-kemari hari ini dan kini bahkan ia tidak punya waktu untuk merasa lelah. Tidak ketika kini sekelilingnya sudah penuh dengan orang-orang berjubah kemerahan itu. Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Obi menarik Leva ke belakang tubuhnya, menutupi hampir keseluruhan tubuh kecil gadis itu dengan miliknya. "Bagaimana ini, Leva, kau ingin kunaikkan ke atas pohon dulu agar tidak terlibat pertarungan?"

Leva tidak percaya, bisa-bisanya partner nya ini masih sempat bercanda di saat seperti ini. "Kau pikir aku tidak bisa bertarung?"

"Ha ha! Tidak, tidak. Anda adalah satu-satunya tuan puteri dengan tendangan paling kuat yang saya kenal!"

Obi melepaskan genggamannya, netra berkeliling, menghitung tepat tiga belas lawannya. "Kalau begitu, persilahkan saya."

Kalau perhitungannya tidak meleset dan semua berjalan sesuai simulasi yang ia putar di dalam otaknya, setelah Obi mengalahkan sisa pasukan chou di hadapannya ini, mereka bisa diam dan menunggu sampai Zen datang dengan surat penangkapan resmi untuk penggerak tambang ini. Dan dengan begitu, seharusnya, seharusnya semua akan selesai dengan tanpa pertempuran yang berarti. Ya. Ia harus yakin, Leva harus yakin pada rencananya sendiri. Tidak akan ada yang salah.

BUAGH–

Leva benar-benar hampir tidak perlu melakukan apapun selain sedikit menghindar karena kemampuan pertarungan tangan kosong Obi yang benar-benar di atas rata-rata. Bahkan gadis itu hanya perlu satu kali berkedip dan Obi sudah menyelesaikan satu lawannya, begitu terus hingga ke-tiga-belas pasukan berjubah itu sudah jatuh tidak sadar di tanah.

BUAGH–

SREKK–

"Wow, aku tidak mengira akan semudah ini–"

Obi tertawa, berjalan mendekati Levanthine yang sedang berdiri bertumpu pada pohon di belakangnya. Tanpa ia sadari, tangannya bergerak meraih helaian pucat sang gadis, memainkannya sejenak di jemarinya yang tak lagi berbalut sarung tangan khas, sebelum menyelipkannya ke belakang telinga–membuat rasa panas merayap pada kedua pipi sang gadis.

"Ayo kita selesaikan semua ini, Leva. Mengakhirinya dan segera kembali ke kastil, ke rumah."

'Hangat.'

Levanthine menggigit bibirnya, entah kenapa ia merasa kedua matanya memanas. Gadis itu mengangguk, "Ya."

.

.

.

TAPP–TAPP–

"AH–"

Leva hampir saja terjungkal ke depan jika Obi tidak dengan cepat melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu. "Hati-hati, Hime-sama."

Mereka sudah keluar dari barisan pohon dan kembali pada lahan lebar tanpa bangunan itu ketika malam semakin dingin. Namun Leva tidak mungkin merengek akan hal itu, ia tidak punya waktu untuk memusingkan rasa dingin yang menusuk kulitnya, pun dengan rasa kaku yang ia rasakan di kedua kaki. Indera penglihatannya akhirnya menangkap menara tinggi itu tinggal berjarak beberapa meter dari tempatnya kini berdiri, dengan tanpa terlihat ada hawa kehidupan apapun di dalam sana, dengan pintu kayu yang terlihat tetap tertutup rapat dari luar; tidak terlihat ada bekas pertempuran apapun di lahan bebas itu selain sisa ledakan yang Obi sebabkan tepat beberapa jam yang lalu.

Rasa lega menyesap di dalam hatinya dan hampir saja Leva membiarkan rasa lelah menguasai tubuhnya. Ya, hampir saja. Sampai ia menyadari tidak ada tali yang terlilit di lonceng besar itu, tidak ada tali yang menjulang dari lonceng tua di tengah menara itu.

DEGG–

"O-Obi, ada yang salah."

Tidak, tidak. Mungkin saja mereka memang sejak awal tidak memasangnya. Mungkin saja sejak awal tidak ada apapun yang terjadi dan kini mereka semua baik-baik saja, bahkan mungkin tertidur pulas karena rasa lelah yang dirasakan. Atau lebih baik lagi, mungkin saja Zen sudah tiba dan kini mereka sudah berada di tangan yang tepat.

Kedua kakinya yang tak lagi merasa lelah kini terpacu cepat, menolak untuk menyadari otot-otot yang berteriak keras kesakitan. Membuat Obi yang tidak tahu apa-apa ikut berlari di belakang sang nona muda. Leva hampir saja kehabisan nafas ketika keduanya mencapai pintu kayu yang tetap terlihat sama seperti ketika mereka meninggalkannya.

Gadis itu menarik nafas, panjang, sembari menutup matanya sejenak. Ia meyakinkan dirinya sendiri, tidak ada apa-apa, tidak akan ada apapun yang terjadi. Setelah ia merasa siap, ia mendorong keras pintu kayu tersebut, membuatnya terbuka dengan bunyi krieett yang menambah rasa cemas dalam dirinya.

Kedua netranya bergerak cepat untuk mencari apapun yang aneh namun ia tidak menemukan jejak satu pun hal yang janggal. Hanya pantulan bayangan miliknya dan Obi yang terkena cahaya bulan yang bisa ia lihat. Leva mengepalkan tangannya, bahkan tidak sedikitpun meminta persetujuan Obi seperti yang biasa ia lakukan, dan langsung bergerak menaiki tangga. Perlahan dan penuh kehati-hatian.

Anak tangga pertama. Kumohon, jangan ada apapun yang salah.

Anak tangga kedua. Tidak ada yang terjadi. Semua baik-baik saja.

Semakin tinggi ia berjalan, semakin berat pula tensi yang ia rasakan di udara. Semakin berat pula langkahnya.

Hingga di anak tangga terakhir, ia berhenti. Dadanya berdetak tidak karuan. Tangannya terasa dingin. Sunyi yang ia dengar terlalu janggal, terlalu terasa dibuat-buat. Dan melihat Leva yang sudah sepucat ini, Obi memberanikan diri untuk menarik gadis itu, berbisik. "Biar aku yang membuka pintunya."

Obi bukannya selalu mengira Leva sebagai sosok yang kuat. Ia selalu tahu, Obi selalu tahu. Di balik angkuh yang menyelimuti tiap-tiap laku sang gadis, ada kelemahan besar yang akan tampak ketika gadis itu merasa rencananya tidak berjalan dengan baik. Dan kini, melihat senyum nanar yang dilemparkan gadis itu untuk membalas perkataan Obi, membuat sang empunya iris tembaga merasa hatinya diremas tanpa aba-aba.

Sakit.

Detik demi detik berlalu dalam ritme yang menegangkan bagi Leva. Dan ketika Obi akhirnya mendorong ke atas pintu menuju bagian luar menara itu, Leva hampir bisa dibilang menahan nafas akan bagaimana mudahnya pintu tersebut terbuka. Tanpa hambatan, tanpa beban apapun. Dan tanpa ada seberkaspun suara menyambut.

Ya. Semua baik-baik saja, mereka semua sedang terlelap.

Tidak. Mereka semua terjaga. Dengan tangan terikat di bagian belakang tubuh, dan mulut tertutup rapat tanpa bisa berkata. Dengan setiap sudut menara kini tertutup jubah merah yang tersebar di mana-mana, tanpa pemilik, tanpa sosok yang memakai. Dengan jelas tengah memberi peringatan pada Leva akan siapa yang sudah melakukan ini.

Rasa takut tergambar jelas di tiap-tiap tatapan yang kini terpaku pada gadis bersurai merah muda pucat itu. Netranya langsung bergerak mencari sosok ikal Aroha dan surai kehijauan milik Mario yang sama sedang dalam keadaan terikat, menolak untuk bertukar kontak mata dengan pemilik iris keabuan. Seakan ada rasa bersalah yang mendalam dari tatapan mata itu.

PROKK–

PROKK–

PROKK–

Leva masih tidak bisa memproses apa yang terjadi ketika ia mendengar bunyi tepuk tangan dari arah tangga, disusul dengan suara langkah yang semakin mendekat.

"Aku tidak menyangka kau bisa memikirkan sampai sejauh ini." Dua orang dengan jubah kemerahan yang sama, kini berada di hadapan Leva dan Obi, tepat di ambang pintu menuju tangga ke bawah. "Tangan kanan Yang Mulia Izana, Tuan Puteri Levanthine Wisteria."

Obi menggigit bibirnya, dengan cepat memposisikan dirinya sebagai tameng di depan Leva. Toh saat ini identitas gadis itu sudah terbongkar dan tanpa ia melihat pun, Obi tahu semua orang yang mereka bawa keluar dari tambang itu tengah dalam keadaan terkejut.

Pun untuk sang gadis yang menjadi alasan utama mereka keluar. Aroha.

'Leva-san … adalah tuan puteri Levanthine?'

Pria berjubah itu membuka tudung jubahnya, menampilkan bekas luka bakar besar pada sebagian wajahnya, menampilkan iris mata keabuan yang menohok sama seperti ketika ia menemui isteri sang penguasa daratan, menampilkan surai kemerahan yang begitu menyala. Netranya menatap tepat pada milik sang gadis yang sama dan serupa, lalu berkata.

"Atau kusebut sebagai Levanthine Victoire Vyriae? Puteri dari Count Oscar Vyriae dan pemilik darah terakhir kebangsawanan Vyriae."

Kini kekuatan benar-benar lepas, hilang dari kedua kakinya. Hancur sudah, seluruh bidak caturnya berantakan. Seluruh rencananya berbalik menyerangnya. Bibirnya bergetar, air mata keluar deras, kedua tangan tidak berhenti berkeringat dingin. Sosok itu. Surai itu. Surai kemerahan dan warna mata yang sama senada dengan miliknya.

"Hime-sama!"

"T-Tidak mungkin–"

.

.

.

tbc