Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 36 – Past, Present
Author's POV
Untuk kakakku, Zen.
Turunkan royal decree penangkapan kriminal dan barang illegal. Lalu pergi ke titik yang kugambarkan di sini. Kutunggu.
Adikmu,
Levanthine
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
(disarankan untuk mencermati kembali keseluruhan isi cerita pada chapter-chapter sebelumnya untuk pengalaman membaca yang lebih menyeluruh)
.
.
.
Tepat ketika Levanthine, berusia enam tahun–
DRAPP–
DRAPP–
"Dasar lemah." Zen menjulurkan lidahnya ke depan, merasa akhirnya mampu menang setelah mengajak duel berkuda–hal yang sangat ia gemari–dengan adik sepupunya yang serba bisa itu. Levanthine menggembungkan pipinya kesal, merasa tidak adil, kini kedua kaki sudah menapak tanah setelah melompat turun dari kuda kecilnya.
"Tentu saja kau lebih cepat. Kau lebih tua."
"Ha ha, terima saja kekalahanmu, Leva."
Levanthine hampir saja menendang bocah di hadapannya itu jika saja ia tidak menyadari dimana ia kini berada.
Tepat di bagian samping lahan berkuda, Izana menopang dagunya dan berdecak kesal. Lagi-lagi kedua adiknya itu berdebat untuk masalah sepele yang tidak ada habisnya.
"Oy, Izana, mereka bertengkar lagi?" Izana menoleh, membuat surai keemasannya semakin acak-acakan dan terlepas dari kuncirannya.
"Biarkan saja, mereka masih bocah."
Izana bisa mendengar tawa dari partner berbincangnya, dan tanpa sadar kini kedua netranya terpatri pada dua sosok cilik di lapangan berkuda, sedang berdebat bahwa siapa yang mencapai garis finish lebih dulu.
"Hahaha, Leva selalu tidak mau kalah." Izana melirik sejenak sebelum menjawab, "Lebih kepada Zen yang selalu mau menang sendiri."
Izana tidak mendengar jawaban dari sosok di sebelahnya, namun kini ia menyadari Leva telah berlari kemari dengan wajah tertekuk, "Ani-sama! Zen nakal!" Dan pemuda dengan warna mata senada dengan sang gadis itu, terkikik di sampingnya.
.
.
.
"Ani-sama, apakah dengan begini Mama tidak akan merasa kesakitan lagi?" Tanya sang gadis cilik di malam berair itu. Hujan mengguyur deras kediaman Vyriae, seakan merepresentasikan keadaan kebangsawanan Vyriae yang sedang berduka.
"Ya. Ibu sekarang tidak akan merasa kesakitan lagi." Jawab sang kakak dengan senyum anyir di bibir.
.
.
.
Tepat ketika Levanthine berusia tujuh–
Lagi-lagi. Ini sudah yang ke sekian kalinya.
Zen menggeram, kedua kaki kecilnya menghentak dengan keras pertanda bahwa ia sedang kesal. Dan sang gadis di hadapannya, tentu saja hanya tersenyum dengan begitu bangga. Toh hanya di bidang inilah Leva bisa mengalahkan Zen.
"ARGH! Lain kali aku benar-benar akan mengalahkanmu!" dan dengan itu, sang pangeran berlari menuju ruang belajarnya, bertekad untuk mengalahkan adik perempuannya itu di ujian berikutnya.
Leva masih tertawa ketika ia mendapati Izana berjalan mendekatinya dari arah yang berlawanan dengan Zen, mereka hampir saja bertubrukan jika pria bersurai merah tegas di samping Izana tidak menangkap Zen.
"Hati-hati, Pangeran kecil." Zen hanya mendengus dan kembali berlari.
Di sisi lain, Leva terlihat merekahkan senyuman terlebar yang ia miliki, "Ani-sama!" Gadis itu segera berlari dan memeluk sang empunya surai cerah tanpa ragu, membuat sang pemuda mengangkat gadis itu tinggi-tinggi dan bermain-main dengan tawa yang keluar dari bocah pemilik iris keabuan itu.
"Ani-sama, jadi kembali ke rumah?" Pemuda dalam genggaman tangannya mengangguk, netranya menipis hingga tersisa satu garis sementara bibirnya tersenyum menanggapi sang adik. "Kau ingin aku membawakan apa ketika kembali kesini?"
"Almond Tofu!"
.
.
.
BRUAKK–
Izana tidak tahan lagi. Ia menarik dirinya, keluar, dan membanting pintu besar itu kuat-kuat; walau tidak menimbulkan perbedaan berarti tatkala suara pintu itu saja sudah sangat keras sendirinya. Kedua kakinya menapak cepat, pergi dari kediaman tunggal ayahnya, dan berlari menuju kastil sayap kiri–tempat kedua adiknya menunggu kehadirannya–dengan langkah yang pasti.
Ketika ia sampai di ruangan besar itu, kedua bocah di dalam sedang saling menginjak kaki satu sama lain di kelas dansa mereka sembari bertukar kata rutukan yang kurang pantas diucapkan mulut bangsawan. Senyum terkembang dari sudut bibirnya, membentuk satu lengkung lembut yang menghiasi wajah paripurna sang pangeran mahkota.
"Ah, Aniue/Izana-sama!" Zen berlari menuju kakaknya yang berada di ambang pintu, Leva tidak mau kalah.
"Aku tidak mau berlatih dengan Zen terus menerus! Jika aku terus berlatih dengan Zen aku akan terlalu terbiasa dengan tinggi tubuhnya dan hanya bisa menari dengan Zen!" Leva mencibir, dan sang pangeran muda kembali memelototinya.
"Siapa juga yang mau mendampingimu di pesta ulang tahunmu?" Zen membalas tidak kalah sengit, dan lagi, Leva menginjak kakinya–membuat Zen mengerang kesakitan dengan dramatis.
Izana tertawa, kedua tangan di pucuk kepala adik-adiknya, "Siapa yang kau inginkan untuk mendampingimu di pesta ulang tahunmu?"
Tanpa ragu, bayangan surai merah itu terpatri di benak Leva. "Ani-sama!"
Dan hati Izana mencelos, seraya senyum masih menutupi. Namun bagaimanapun juga fakta adalah fakta, dan semengerikan apapun itu Leva harus tahu kebenarannya.
Izana berjongkok di hadapan sang gadis kecil, kedua mata sejajar dengan netra kaca miliknya. "Leva, maafkan aku. Maafkan aku, Leva–"
"Izana-sama?" Kedua tangan ia letakkan pada pundak kecil Levanthine yang masih melempar tatapan tidak paham. Zen yang awalnya berada di sudut lain ruangan akhirnya mendekat. "Maafkan aku, Leva. Al, kakakmu, tidak kembali."
Kedua netra keabuan itu berkedip. Kebingungan. "I-Izana-sama? Apa m-maksud anda?"
"Terjadi kebakaran di kediaman Vyriae. Dan … tidak ada yang selamat. Tidak satupun. Bahkan Algernon."
.
.
.
"Hahh–Haahh–AGHHH–"
Izana berlari memasuki ruangan adik perempuannya itu dengan wajah khawatir, diikuti Zen dengan kaki kecilnya di belakang. Sang pangeran kecil segera melompat ke ranjang sang gadis dan mengetuk tubuhnya agar gadis itu terbangun.
"Leva… Leva bangun…"
GASP–
Leva terkesiap. Dadanya bergerak naik turun dan air mata jatuh deras dari kedua netra keabuan miliknya. "A-A-Ah Zen, Izana-sama–"
Ia bermimpi buruk, lagi. Bayangan mimpi buruknya terus mengikuti bahkan ketika ia sudah terbangun. Kedua pupilnya mengecil, Izana menggigit bibirnya. Pangeran muda itu menarik kedua adiknya, merengkuh keduanya dalam satu pelukan hangat.
"Tidak apa-apa, Leva. Tidak apa-apa. Bukan hanya kau yang merasakan kehilangan. Kita semua merasakannya. Jadi, tidak apa-apa. Menangislah. Karena mulai besok kau harus hidup sebagai Levanthine Wisteria dan membuang nama lamamu. Jadi untuk sekarang, tetaplah menjadi Leva yang kita tahu."
Tangisnya pecah. Namun, rengkuhan itu semakin kuat. Ya. Karena Izana juga kehilangan. Ia kehilangan seorang partner, orang yang paling ia percaya untuk menjaga punggungnya. Dan saat itulah ia berjanji akan melindungi semua keluarganya, adik-adiknya, agar ia tidak perlu lagi merasakan rasa 'kehilangan.'
Algernon Vyriae, tangan kanan Izana dan orang pertama yang berjanji untuk mengabdikan pedangnya pada Izana. Kakak laki-laki dari Levanthine Vyriae, dan juga satu-satunya sepupu laki-laki Zen. Hari itu, mereka bertiga meringkuk bersama, saling memeluk kehilangan yang begitu kentara untuk melupakan fakta bahwa hari esok sosok dengan surai merah tegas itu tidak akan lagi bisa mereka temui.
.
.
.
Back to present–
"T-Tidak mungkin–"
Tepat di sebelah sang empunya surai kemerahan, dan juga telah membuka tudung jubahnya untuk memperlihatkan paras yang sangat mereka berdua kenali. Kedua tangan Obi mengepal kuat, karena tidak mungkin Obi bisa melupakan wajah itu, surai gelap itu.
"Samuel Cronvell."
Obi tidak paham, ada hal yang membuat nona mudanya lebih shock daripada melihat mantan abdinya, Sam. Dan pria dengan bekas luka bakar itu adalah penyebabnya.
"Bagaimana Leva? Kau suka hadiah dariku?" Pria itu berjalan maju, satu langkah, dua langkah. "Festival. Pencuri. Racun. Dia sudah mati bukan?"
'Rohan!'
"A-A-Ah–" Leva tidak tahu harus berkata apa. Akal sehatnya seakan diputar balik dan ia merasa pusing, mual, ada perasaan aneh selain kebingungan yang menyelimuti dirinya. Dan ia yakin, jika saja Obi tidak menopang beban tubuh gadis itu, saat ini ia pasti sudah tersungkur di tanah.
Netranya tak lagi beralih pada tanah, semua terasa buram, matanya terasa buram; ia menolak bertukar kontak dengan sang empunya surai ikal, Aroha. Tidak setelah ia menyadari bahwa fakta kematian ayahnya adalah karena salahnya. Leva masih sangat ingat, masih sangat ingat sosok yang menyelamatkannya dari terjangan Rohan kala itu. Kini ia tahu, ia mengetahui kenapa suara yang ia dengar kala itu terasa sangat familiar, dingin, namun membuatnya bergetar akan rasa yang begitu ia rindukan.
Harusnya ia tahu, harusnya Leva tahu.
Tidak. Bagaimana mungkin ia bisa tahu. Karena sosok itu harusnya sudah lama mati terkubur di masa lalu.
"Hime-sama, mundurlah." Ia tidak mendengarnya. Ia tidak mendengar apapun. Yang bisa Leva dengar hanya suara dentuman detak jantungnya yang begitu keras dan rasa pusing yang berputar di kepala. Bahkan air mata yang mengalir deras itu tidak lagi ia rasakan. Tidak lagi. Ia merasa lelah, ia ingin berhenti.
'Pusing.'
PATS–
Sampai ia merasakan kehangatan itu di sana. Hangat yang mengalir dari tepukan halus di pundaknya. Hangat yang semakin menguar ketika ia mendongak dan mendapati irisnya menemukan jalan kepada senyum yang terpatri di sana. Bibir pemuda itu terbuka, berbisik, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan sedikit demi sedikit, buram di sepasang matanya mulai meredup, detakan jantung yang serasa dentuman meriam tak lagi terdengar, getar dan dingin di tiap inci permukaan kulitnya tak lagi menjadi rasa yang dominan. Kepalanya sudah tak lagi bias dan setelah ia merasakan ketenangan kembali merayap dalam dirinya, gadis itu mulai berani untuk tak lagi menghindari kontak dengan sang pemilik surai kemerahan.
Leva mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak akan roboh semudah itu.
"Kenapa … kenapa harus kau yang mengkhianatiku? Kenapa harus kau yang pergi?! Kau seharusnya selalu berada di sisiku. Kau sendiri yang bilang bahwa kau tidak akan pergi seperti yang lain!"
"S-Saya … tidak pernah sekalipun mengkhianati anda, Leva-sama. Semua ini untuk anda. Untuk Vyriae."
Segera setelah ia merasakan kakinya terasa kuat, ia mulai beranjak dan berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Sepasang matanya tak lagi ragu untuk menatap tajam pemilik marga Cronvel itu, orang yang dulunya adalah satu-satunya abdi yang ia percaya. Orang yang dulunya ia tolerir untuk berada di sekelilingnya, bahkan jauh sebelum ia membuka diri pada orang lain.
"Jelaskan semuanya. Siapa dia dan apa yang sudah kau lakukan hanya untuk membuat kebohongan bahwa ia masih hidup?! Jelaskan semuanya padaku, Samuel!"
"Saya bukanlah orang yang layak untuk menjawab semua itu."
Samuel melepas kontak mata itu, mematahkan kedua pasang yang saling menelusuk satu sama lain dan memilih untuk mundur ke belakang. Ia tidak akan pernah menang dari sang tuan puteri, bahkan dalam permainan mata sekalipun.
"Kenapa, Leva? Jangan bilang kau sudah lupa suaraku–"
"Kau hanyalah imajinasi. Kau sudah mati. Kau sudah pergi, kau meninggalkanku malam itu." Tidak lagi Leva menahan diri dengan menggunakan kalimat formal. Karena sosok di hadapannya tidak mungkin nyata, tidak mungkin orang yang sudah mati akan kembali.
Seringai terlukis di sana, begitu lebar hingga sedikit menyentuh bagian wajahnya yang tertutup luka bakar. "Kau mempercayai kebohongan itu?"
DEGG–
Keringat dingin menetes. Leva menenggak ludahnya dengan kaku. "Kau yang jauh lebih tau siapa aku. Bukankah begitu, Levanthine, adikku yang manis?"
"BERHENTI!"
Bibirnya bergetar, kedua netra terbelalak lebar. "Kau tidak nyata. Kau tidak mungkin nyata."
"Ini aku, Leva. Algernon. Kakakmu, Al."
Leva bahkan melupakan fakta bahwa ia sedang berada di tengah-tengah medan konflik, di tengah-tengah orang yang seharusnya ia bebaskan. "TIDAK!"
"Al–Tidak. Kau bukan dia. Kau tidak mungkin dia. Kakakku, Algernon, bukanlah orang yang seperti ini. Ani-sama bukanlah orang yang akan melakukan hal sekeji ini."
Tak lagi seringai ada di sana. Kini ekspresinya begitu datar. Datar yang terasa membunuh, datar yang terasa begitu mencekat dan membuat seluruh atmosfir ikut turun jauh.
"Diam."
…
…
…
"Kau bukan kakakku."
"SUDAH KUBILANG DIAM." Algernon bergerak maju, satu langkah, dua langkah. Hingga jaraknya hanya tinggal beberapa meter dengan sang empunya surai merah muda pucat. "Berhenti merengek."
Levanthine menahan nafasnya. Takut. Ia sangat takut.
Obi sudah tidak bisa bersabar bahkan untuk satu detik lebih lama, ia tidak tahan lagi, kakinya bergerak cepat dan menendang pria dengan iris keabuan itu; tepat di pinggang dan membuatnya tersungkur jauh ke belakang–hampir menabrak lonceng besar yang terasa berat itu.
"Master!"
"Mundur!" Sam tidak bergerak. Tanpa menunggu lagi, Obi mendorong Leva untuk berlindung di balik tubuhnya, di waktu yang sama Algernon menarik pedang besarnya dari balik punggungnya dan tanpa ampun menghunuskan senjata tajam itu tepat pada Obi dan membuat semua orang di sana menjerit akan rasa takut.
TRANGG–
"AAAAA–"
"GYAA–"
"ARGH–"
Hanya untuk mendapati ujung pedangnya bertemu dengan dua pisau kecil Obi yang bersilang di sana. Netranya mengecil, pedang besarnya? Dihentikan hanya oleh dua pisau yang terlihat seperti pisau buah itu?
"Woah, anda tidak seharusnya mengayunkan senjata berbahaya itu di tempat sesempit ini, Tuan." Obi bersiul, lagi kaki kanannya bergerak memutar ke atas dan menendang pedang besar itu untuk membuat sang pemilik terpukul ke belakang. Tidak sampai di situ saja, Obi mulai menyerang dengan ganas, cepat, dan khas cara bertarungnya yang tidak pernah bisa dibaca.
"Sialan."
"Oh, aku akan lebih menghargai jika anda tidak berkata kasar di depan nonaku. Kau tahu, tuan puteriku ini sangaaaat sensitif dengan kata-kata yang kurang baik."
Leva bisa merasakan berat sebelah dari pertarungan ini. Obi jelas ada di atas angin, bahkan dengan tawa dan celotehan tanpa adab dari pemuda itu. Di lain pihak, kakaknya–bukan–pria bersurai merah itu sedikit demi sedikit mulai terpukul mundur ke belakang dan semakin jauh dari titik Leva berdiri saat ini.
TRANGG–
BUAGH–
'Kuserahkan padamu, Obi.'
Gadis itu mulai bergerak cepat, kedua tangannya meraih sisa pecahan gelas yang terbesar dan mulai membebaskan satu per satu tali yang menggerogoti tiap-tiap orang di atas menara ini, dimulai dari orang yang paling mungkin bisa membantu mereka saat ini, Mario.
"Sankyuu, Majime-chan, ah tidak tidak, Hime-sama."
Leva mendengus.
Malam semakin pekat ketika Algernon hampir saja membanting pedangnya keras-keras. Siapa pemuda itu? Ia tidak tahu bahwa ada orang dengan kualifikasi seperti lawannya ini di sisi Leva, di sisi Izana. Orang yang bahkan mungkin bisa bertarung satu lawan satu dan imbang dengan Samuel yang merupakan pemilik gelar petarung terbaik Clarines pada masanya. Dan ketika pria itu mulai merasa ia akan berada di sisi yang dirugikan jika pertarungan ini terus berlanjut ia mulai menggertakkan giginya dengan kesal.
"SAM!"
Tanpa berkata apapun, keduanya bertukar posisi, dan Obi lagi-lagi mengeluarkan kikikan khasnya. "Yo, akhirnya kita bertemu lagi, tuan topeng."
Keduanya, lagi-lagi, untuk yang ketiga kalinya kini bertukar tinju. Saling bertarung dengan tangan kosong. Tendangan satu dibalas dengan tendangan lain, tinju satu dibalas tinju lain. Saling berbalas, saling bersahutan, tanpa celah dan tanpa henti. Algernon tertahan, memang benar apa yang tadi ia pikirkan, pemuda itu benar-benar bisa menandingi Samuel. Baik kekuatan, kecepatan, hingga teknik. Keduanya sama-sama saling berseberangan, namun sama-sama tidak bisa mengungguli satu sama lain.
Menyadari bahwa kini ia tidak lagi terhalangi, kedua kakinya bergerak cepat mendekati Leva yang berada di sisi lain menara. Leva mundur beberapa langkah, kini punggungnya menempel erat pada bagian pinggiran menara yang hanya setinggi pinggangnya itu. Sejenak ia melirik ke bawah dan hampir saja terjungkal dengan apa yang kini ada di bawahnya.
Pasukan penuh dengan jubah merah benar-benar berada di bawah kakinya.
"Dasar orang-orang gila." Leva berbicara tepat ketika Algernon sudah berada satu jengkal di hadapannya. Gadis itu melirik sejenak pada Mario yang terlihat khawatir sebelum mengangguk, mengingatkan sang pemilik surai kehijauan pada kesepakatan mereka tadi ketika Leva membukakan talinya.
'Segera setelah fokus pria dengan bekas luka bakar itu beralih padaku, kau harus segera membantu Obi. Sam, ehem, pria itu kuat. Bahkan Obi pun tidak akan bisa mengalahkannya sendirian.'
BUAGH–
"Bagaimana kalau kita hentikan saja ini? Lihat, tidak ada yang akan menang." Sam dan wajah datarnya hanya memberi tatapan tanpa arti sebagai jawaban. Sebelum akhirnya kembali melempar tinju pada pemuda dengan netra kucing itu. Hampir saja Obi bisa menghindar, namun langsung ia disambut dengan tendangan berputar yang membuat pemuda itu sedikit terhuyung ke belakang. Ia masih sedikit kesulitan untuk berdiri ketika Samuel sudah siap dengan serangan selanjutnya.
BAGH–
DUAGH–
"Lawanmu bukan hanya dia." Obi mendongak. "Oh! Brokoli–Mario-san!"
Jika saja keadaan tidak seperti ini, Mario pasti akan menjadi orang yang menendang Obi keras-keras.
Di sisi lain menara, sang pemilik surai merah muda pucat sedang bertukar tatap dengan netra keabuan lain. Aneh rasanya melirik warna mata yang sama pada orang yang terlihat begitu berbeda.
"Berhenti bermain-main, Levanthine." Ia memojokkan Leva tepat di pinggiran dinding. Gadis itu menarik sudut bibirnya. "Berhenti berpura-pura menjadi kakakku."
"Dasar keras kepala. Kau tidak punya pilihan selain mengikutiku. Lagipula, apalagi yang bisa kau lakukan seorang diri? Menunggu kakakmu Zen tercinta itu yang hanya membawa dua abdi lemahnya?" Luka bakar di sisi kiri wajahnya terlihat begitu jelas ketika kini sinar rembulan keluar dengan terangnya. Ia menarik nafasnya. "Ayo kita kembali. Seperti dulu. Bukankah kau selalu bilang bahwa aku adalah kakakmu yang paling kau cintai."
Leva tidak bisa bergerak. Namun, setidaknya ia tahu bahwa orang yang ada di hadapannya ini tidak akan mendorongnya jatuh ke bawah. Jika ia memang orang yang ia pikirkan, pria itu tidak akan mendorongnya.
"Kenapa kau melakukannya?"
"Melakukan apa? Menjadi pemimpin Chou? Winscott? Flying Dutchmann? Atau … Rohan Seria?"
Leva mendorong keras pundak lelaki itu dan merisak. "Jangan berani-berani ucapkan namanya dengan cara kotormu."
"HAHAHAHA!"
Algernon tertawa, begitu keras. "Apa yang sudah terjadi hingga membuat adikku yang begitu manis itu menjadi seperti harimau? HAHAHA."
Tidak bisa. Leva tidak bisa menerima ini. Orang di hadapannya, tidak mungkin adalah orang yang sama dengan yang sudah meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu. Mereka tidak mungkin orang yang sama. Kakaknya adalah seorang pendekar pedang yang luar biasa, seorang prajurit yang kuat dan membenci peperangan. Kakaknya bukanlah psikopat gila yang akan melakukan perbuatan-perbuatan keji seperti itu. Kakaknya bukanlah orang gila yang akan menatapnya dengan netra penuh kebencian seperti ini.
Kakaknya … kakaknya sudah tiada. Ia harusnya sudah pergi. Ia sudah meninggalkannya sendirian bertahun-tahun lamanya.
KWAKK–KWAK–
DRAP–DRAPP–DRAPP–
'Suara kuda?'
Leva melirik ke sisi belakang tubuhnya, ada cahaya yang terlihat dari sana. Ini sudah bukan saatnya untuk menjalankan rencana awal, ia harus berimprovisasi. Sembari tangannya bergerak sangat perlahan masuk ke dalam saku celana, ia melirik pada sisi seberang menara. Dari balik tubuh Algernon yang dibalut jubah, Leva bisa melihat pertarungan di sisi lain sana sudah mulai terlihat hasilnya. Sekuat apapun Samuel–dan Leva tahu itu–pria dengan surai gelap itu tidak akan mampu menandingi dua lawan sekaligus.
Kembali. Kedua pasang netra keabuan saling bertatap.
"Kau. Kau yang membuatku seperti ini." Leva mengakuinya. Ia tidak akan mengelak lagi. Karena jauh di dalam hatinya, memang dirinyalah yang paling tahu. Luka bakar itu tidak akan membohongi, iris keabuan yang tak lagi mengerling seperti kaca itu bukanlah imitasi, dan suara yang kini tak lagi terdengar lembut itu adalah jawabannya. Orang yang ada di hadapannya adalah kakaknya, kakak kandung satu-satunya Levanthine, Algernon Vincent Vyriae.
KWAKK–KWAKK–
'Sudah semakin dekat.'
Tangan kanannya menggenggam erat batu di dalam saku. "Karena itu, pergilah dari hadapanku."
Ia menarik cepat tangannya, melempar jauh batu hijau dalam genggaman tepat ke luar menara sembari berteriak. "OBI!"
KWAKK–
Tepat burung indah itu langsung menyamber cepat batu yang Leva lemparkan.
Sang pemuda, menyadari namanya dipanggil oleh nonanya bergerak cepat dan menepuk pundak Mario sebagai isyarat 'aku serahkan padamu' dan segera melesat melewati punggung Leva, meloncat ke bagian bawah menara seperti yang sudah ia lakukan sebelum-sebelumnya.
"Bocah gila."
DRAP–DRAP–DRAPP–
Tepat ketika Obi mendarat, derap kuda yang Leva dengar tadi kini sudah berada di jarak pandang, dan gadis itu tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang ada di sana. "Kau salah, Ani-sama. Aku mungkin saja keras kepala, tapi aku tidak gila."
Leva menarik dirinya, kini justru mendekati sang kakak. Ia tersenyum, dan kembali berkata. "Oh, lagipula tidak pernah ada abdi Zen yang lemah. Tidak Kiki, tidak Mitsuhide. Dan tidak juga Obi."
Bersamaan dengan selesainya perkataan Leva, sebuah pisau kecil melesat di antara mereka. Pisau yang sama yang tadi menghentikan hunus pedang besar milik Al.
Ia merapatkan giginya, tidak menunjukkan emosi apapun, lalu memanggil tangan kanannya. "Sam!"
Sang pemilik surai gelap itu kini berhenti bermain-main dengan Mario, memaksakan dirinya untuk menendang pemuda itu keras-keras agar tidak mengganggunya lagi dan segera menjawab panggilan Tuannya.
Atmosfir malam yang semakin pekat kini mulai meredup, memberikan pertanda bahwa hari telah berganti, tepat di titik tengah malam. Algernon merapatkan jubahnya, kedua tangan tertutup dan pedang besar miliknya tidak lagi terlihat, tudung jubah kembali menutup sebagian wajahnya. Segera setelah ia merasakan Sam sudah berada di dekatnya, ia kembali menjorok pada sang adik, berbisik tepat di telinga sembari meletakkan sebuah buku tua di tangan gadis itu.
"Bukankah kau sendiri yang seharusnya paling tahu kenapa aku memilih Chou? Karena pada akhirnya, adikku, kau selalu adalah bagian dari Chou. Dan kau sendiri yang akan kembali padaku."
Levanthine hampir tidak bernafas ketika ia menyadari Samuel dan kakaknya sudah melompat turun dari sisi yang lain. Dan ketika ia menyadari mereka berniat untuk kabur, gadis itu segera berlari turun melewati tangga panjang menara–disusul oleh Mario yang khawatir–hanya untuk mendapati fakta bahwa hingga seluruh keroco Chou di bawah menara itu sudah tidak mampu berkutik, tidak satupun dari Obi bahkan Zen melihat sosok bersurai hitam dan pemilik rambut kemerahan di antara orang-orang itu.
Tidak satupun menyadari keberadaan mereka. Mereka menghilang. Dan yang bisa Leva lakukan hanya menggenggam erat buku tua bersampul kulit itu dan terus mengulang kalimat terakhir kakaknya yang ia dengar. Karena bahkan sampai akhir, Levanthine tidak mendapat jawaban bagaimana sang kakak masih hidup.
.
.
.
tbc
yaampun tembus 3,4k /emot nangis/ keknya aku terlalu bersemangat waktu nulis chapter ini .
