Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 37 – Wistal

Author's POV

TRANGG–

"Aruji!" Zen yakin ia hampir saja jatuh dari kudanya ketika ia mendongak dan mendapati Obi meluncur jatuh dari menara tinggi di hadapannya itu.

"Lama tidak berjumpa, Kiki-jou. Jadi, darimana pasukan berkuda ini?" Kiki yang berada di belakang Zen mengangguk singkat, lalu kembali bergabung bersama Mitsuhide dan pasukan untuk memukul mundur orang-orang berjubah itu. Tidak butuh waktu lama sampai pasukan Chou menyadari bahwa mereka kalah jumlah dan terpaksa untuk mundur atau dilucuti senjatanya.

"Yo, anak muda! Kulihat kau baik-baik saja walau kau … menggunakan pakaian yang aneh."

"P-PAMAN?!" Obi bahkan tidak menghiraukan komentar pria tua itu akan baju yang ia kenakan. Dan seakan belum cukup, ia kembali menjumpai hal yang mengagetkan.

"O-Obi-san!"

"K-KAU?!" Lagi, Obi kembali dikejutkan dengan fakta bahwa Shun, bocah ingusan yang dulu mengikuti Leva seperti tikus itu, juga ada di sini. "Aruji, dari mana kau mengumpulkan semua orang ini?!"

Zen langsung menjitak Obi tepat di dahi. "Dimana Leva?" Membuat sang pengantar pesan sadar dan langsung menoleh ke atas, mendapati nonanya terlihat terpojokkan. Netranya menyipit dan tanpa sadar ia langsung melempar senjatanya tepat di tengah-tengah kedua bersaudara itu; tanpa ada keraguan sedikit pun pada kemampuannya dan kemungkinan kecil untuk senjata itu bisa saja mengenai Leva.

Zen mengikuti arah laju senjata Obi. Sejenak netranya terpaku pada sosok berjubah di hadapannya, dan seberkas warna merah yang sedikit terlihat di sana.

Rambut merah?

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

.

Tidak banyak waktu yang bisa Zen habiskan untuk mempersiapkan dirinya. Terutama setelah ia mendapatkan surat menyebalkan dari adik perempuannya yang sudah lama tidak ia temui. Jujur saja, walaupun ia lega gadis itu terdengar baik-baik saja, ada rasa kesal yang sedikit menguar dari sana.

"Bisa-bisanya ia baru mengabariku seperti ini."

Beberapa hari ini adalah hari yang cukup membingungkan bagi Zen dan orang-orang di sekitarnya. Namun, ia sedikit terbantu dengan kenyataan bahwa ada orang yang memutuskan untuk memberi dukungan padanya. Well, lagipula ia di sini juga bersama Mitsuhide dan Kiki, apa yang perlu dikhawatirkan?

Satu hal yang tidak Zen kira sebelumnya, tentu saja, adalah kehadiran keluarga Viscount yang entah bagaimana kini menjadi sekutunya. Lagi-lagi ia dikejutkan dengan kenyataan bahwa Leva sudah membantunya, lagi, dengan hal yang tidak ia duga.

TOK–TOK–

"Zen, aku sudah kembali."

"Masuklah."

Kiki membuka pintu kediaman Zen dengan perlahan, pangeran muda itu ada di sisi lain ruangan–berdiri menghadap jendela yang mengarah pada laut lepas–dan menoleh ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Wajahnya yang biasanya terpancar semangat kini terlihat sedikit lebih tertekuk daripada biasanya, terkesan lelah. "Bagaimana pertemuannya?"

"Lancar. Dia orang yang bisa dipercaya, setidaknya terlihat begitu."

Zen terkekeh. "Aku tidak mengira bahwa orang dibalik parfum kesenangan Ibunda justru akan membantu kita kali ini."

"Well, bagaimanapun juga aku setuju dengan perkataan Shun. Kita harus menjauhkan fokus Duke dan Duchess dari Leva sejauh mungkin, artinya menjauhkan fokusnya dari faksi abdi Tuhan."

"Dan Ariana Barlent adalah jalan keluar kita."

DRAPP–BRAKK–

"ZEN!" Sontak kedua orang di dalam ruangan itu menoleh cepat, menemukan Mitsuhide dengan nafas terengah di bibir pintu. "I-Ikut aku! Ada seseorang yang … harus kau temui."

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Zen meraih jubah miliknya dan berlari keluar, tentu saja disusul Kiki yang mengekor di belakang. Mitsuhide memimpin tepat di depan rombongan, berjalan cepat seakan ia ingin berlari saat itu juga. "Oy, jelaskan ada apa ini."

Mitsuhide terdiam.

Hari ini ia ditugaskan sebagai pengawal Viscount Barlent dan mengikuti keseharian pria tua itu–sedangkan Grace bersama Shun dan Kiki menjadi perantara dengan Ariana–namun tidak sekalipun Mitsuhide berpikir bahwa sang pemilik marga Barlent itu akan melakukan hal seperti ini.

"Kau harus hati-hati, Zen. Aku tidak tahu apa yang direncanakan pria tua itu." Zen mengangguk, ia sangat sangat sangat tahu untuk tidak menaruh percayanya pada sembarang orang. Sangat tahu.

.

.

.

KLOTAK–KLOTAK–

Leva menghela nafas. "Aku masih tidak paham darimana Zen mendapatkan pasukan sebesar itu di tanah asing." Gadis itu tidak berniat untuk mengungkapkannya secara gamblang, namun rasa ingin tahunya terlalu besar untuk tidak diungkapkan. Kiki tertawa.

Ya. Hari ini, sang tuan putri tidak lagi ditemani prajurit muda bernetra kucing seperti biasanya, karena pria itu memiliki tugas untuk mengawal Zen dan sembari menjadi pengisi kekosongan informasi yang hanya diketahui Obi dan Leva. Sehingga hari ini, Kiki ditugaskan untuk mengantarkan Leva sampai ke Wistant sebelum nantinya mereka kembali ke Wistal bersama pasukan Zen. Lagipula, bagaimanapun juga, Monosoaria berbatasan penuh dengan benteng Liveare yang sangat dekat dengan Wistant. Dan ia tidak bisa kabur dari kenyataan bahwa ia sudah sangat membuat ibu suri khawatir dengan hilangnya yang cukup tiba-tiba.

"Tentu saja kalian tidak membawa pasukan dari Wistant kan? Ataukah mungkin itu pasukan khusus benteng Liveare?"

Lagi-lagi, Kiki terkekeh. "Semua itu milik Duke Monosoaria, Leva-sama."

"HAH?!"

KLOTAK–

Leva berdehem, lalu membenarkan posisi duduknya sebelum ia celaka di dalam kereta kuda yang bergerak cepat ini. "Berterima kasihlah pada Shun Barlent. Dia yang membuat segalanya menjadi mungkin."

Gadis itu berkedip. Shun Barlent? Siapa?

Satu detik. Dua detik. Anak aneh yang ku temui di pasar malam?

"B-Bagaimana bisa?"

Kiki menaruh pedangnya di atas pangkuan. "Dia berhasil menggerakkan Viscount Barlent untuk mendukung faksinya, faksi budaya maksudku. Dan belum lagi koneksi kakaknya dengan sang duchess. Hal itu membuat Duchess Monosoaria bergerak lambat karena Ariana Barlent benar-benar menggenggam erat tangan wanita itu. Keluarga mereka mungkin terlihat kecil dan tidak signifikan, namun sebenarnya mereka punya power yang luar biasa."

Ia … Leva tidak tahu.

"Jika malam itu Ariana Barlent tidak sedang bersama Rosaline, mungkin sang duke juga tidak akan berani bergerak, bahkan mengirimkan pasukan untuk Zen. Di malam Yang Mulia mengirimkan surat kepada Zen, bertepatan dengan malam persiapan pesta royalti dan juga peluncuran aroma baru untuk brand Ariana's Scent. Karena itulah, di hari anda kabur dari tempat itu, duchess Rosaline juga sedang tidak ada di tempat."

Brand parfum besar Ariana's Scent? Wah, Leva tidak pernah menyangka bahwa pemilik benda fenomenal di tengah wajah perempuan bangsawan itu adalah seorang gadis Monosoaria.

"Lalu–maksudmu dengan duke tidak akan berani bergerak?" Jujur saja, hingga detik ini, Leva masih tidak mempercayai duke licik yang tidak pernah ia temui itu. Ia bisa mengira bahwa Rosaline memang adalah penjahatnya di sini, namun ia selalu berpikir bahwasanya sang duke juga sama bersalahnya.

"Anda tahu bukan bahwa Tuan Duke Monosoaria berhasil naik ke tahtanya yang sekarang karena andil dari kaum faksi abdi Tuhan?"

"Ya …." Itu cerita yang sudah menjadi rahasia umum. Tentang penggulingan penguasa Monosoaria sebelumnya–yang merupakan kakak sepupu sang duke–dan bagaimana lelaki itu bisa naik hingga posisinya saat ini.

"Namun, sepertinya hal ini dimanfaatkan oleh duchess, dengan alasan beliau adalah isteri dari sang duke, dan menggunakan monopoli kekuasaan pada faksi ini–menggunakan mereka sebagai tameng pribadinya." Sekali lagi, Leva benar-benar ingin memaki wanita gila itu. Memang wanita mengerikan, Rosaline Monosoaria. "Lambat laun, Duke Ellen mulai condong pada faksi budaya yang berisi anak-anak muda yang cemerlang dan memiliki visi yang sama dengannya. Namun, bagaimanapun juga, ia yang sudah menjanjikan posisi kementerian pada faksi keagamaan akhirnya tidak bisa berkutik."

"Dia seperti raja boneka." Leva menanggapi.

"Karena itulah, akhirnya beliau memutuskan untuk diam-diam menghubungi Zen melalui Viscount Barlent dan melayangkan pukulan telak pada faksi tersebut dengan mengirimkan pasukan atas dasar royal decree yang diturunkan Zen."

Ah, Leva mulai paham. Itulah mengapa tahta dan kekuasaan tidak seharusnya diperoleh dengan bantuan orang lain. Bahkan walaupun itu untuk menggulingkan saudara sendiri. Mendadak Leva bergidik ngeri, membayangkan jika Zen dan Izana berseteru untuk tahta, ia harus memilih siapa?

Cepat-cepat gadis itu mengalihkan pikirannya dengan menggelengkan kepala dan kembali membuka pembicaraan dengan Kiki.

"Jadi … duke tidak pernah tahu tentang segala hal yang dilakukan isterinya?" Kiki menggeleng. "Tidak ada yang tahu. Tapi, bagaimanapun juga mereka suami istri, tidak mungkin ia tidak mengetahui apapun. Mungkin dia hanya … enggan untuk bertolak belakang dengan istrinya. Lagipula tuan duke Monosoaria juga tidak semudah itu bisa melakukan sesuatu dengan faksi-faksi yang runyam di antara dirinya dan kursi tahta Monosoaria."

Membayangkan bahwa seorang duke yang tersohor itu enggan untuk bergerak karena istrinya saja sudah terdengar aneh bagi Leva. Namun, kembali lagi, ia tahu di dunia ini ada banyak hal yang tidak wajar dan tidak seharusnya. Anomali-anomali yang terjadi karena perbedaan watak manusia dan berbagai bentuk emosi yang tidak sepenuhnya ia pahami. Ya. Seperti halnya bagaimana kakak laki-lakinya, Algernon, bisa hidup kembali.

'Buku itu juga, aku harus segera membacanya.'

Kedua netranya memandang jauh keluar jendela. Tangan kanan bersandar pada dagu yang semakin lama terasa semakin berat. Ia lelah.

"Tidurlah, Yang Mulia. Akan kubangunkan saat kita memasuki perbatasan Wistant."

.

.

.

"Saya benar-benar marah! Kali ini anda benar-benar sudah keterlaluan!"

Jika saja tidak ada satu berkas rasa bersalah dalam diri Leva, dia benar-benar akan menyumpal telinganya saat itu juga–karena nada suara Aira yang begitu melengking dan menyebalkan. Namun, melihat ekspresi dan wajah gadis di hadapannya yang hampir menangis itu bagaimana mungkin ia tidak merasa bersalah?

"Ya, ya, aku tahu. Simpan ocehanmu untuk nanti, sekarang bantu aku bersiap untuk bertemu Yang Mulia." Namun tentu saja, tipikal Tuan Putri Leva, ia tidak sedikitpun menggambarkan emosi di wajahnya.

Pelayan muda itu menahan air matanya. Dan meskipun rasa kesal masih mengganjal di dadanya, kedua tangannya tetap bergerak cepat menyiapkan sang nona. "Anda benar-benar harus menceritakan semuanya pada saya, semuanya, benar-benar tidak boleh terlewatkan."

Leva mendengus. "Hari ini kau banyak mengatakan 'benar-benar'. Menggelikan."

Aira hampir saja jatuh pada jebakan itu dan tertawa, namun cepat-cepat ia membuang mukanya agar sang tuan putri tidak lagi mencoba berkelakar padanya. Kali ini ia benar-benar akan menunjukkan kalau dia marah pada sang empunya surai merah muda pucat itu.

Sembari ia mengantarkan nona mudanya–berjalan tepat tidak lebih dari 3 langkah di belakang–gadis dengan surai kecoklatan itu hanyut dalam angan-angan dan benaknya. Kepangannya terlihat tidak serapih biasanya, dan kantung mata yang sedikit membengkak membuktikan bahwa memang ia tidak baik-baik saja. Jujur saja, ia selalu tahu, bahwa sekeras apapun gadis itu berusaha meraih sang tuan putri, sekeras itu pula tembok baja yang mengelilingi keduanya, seakan menjaga jarak aman agar sang gadis pelayan tidak melangkah lebih dekat. Namun, kendati demikian, Aira selalu berpikir bahwa ia adalah eksistensi yang paling dekat dengan nonanya.

Ya. Sampai hari itu tiba. Dimana ia menemukan nona yang selalu ia layani, tidak mengatakan apapun dan pergi begitu saja.

Ia tidak paham. Ia tidak pernah bisa memahami apa-apa yang dipikirkan oleh perempuan yang sedikit lebih tua itu. Dan seakan segalanya sudah tidak membingungkan baginya, kini ia mendapati nona itu semakin dan semakin jauh dari tempatnya berdiri. Dinding yang melingkupinya semakin tebal. Dan Aira hampir saja menyerah untuk mencoba merobohkannya.

Tuan putri Levanthine, begitu dingin dan bersinar. Hingga bahkan satu berkas senyum saja yang keluar dari bibirnya, bisa membuat seluruh dunia milik Aira menjadi hangat. Ya. Memang begitu seharusnya. Aira hanya perlu terus dan terus mengikuti Leva, hingga pada akhirnya perempuan itu sendiri yang akan membuka hatinya pada sang gadis pelayan.

"Umumkan kedatanganku."

KRIETT–

"Tuan Putri Levanthine Wisteria telah datang!"

'Mari kita segera selesaikan ini dan kembali ke kamar. Ada hal yang harus kubaca.'

.

.

.

Page One

Hari ini akhirnya aku sampai di desa Thiery di sebelah Selatan daerah kekuasaan Vyriae. Suamiku mengirimkan buku ini untukku menuliskan jurnal keseharianku dan juga untuk kesehatan penghuni desa. Aku akan merindukan putra-putriku untuk beberapa hari ke depan.

07-01
Sayona Vyriae

Page Two

Aku tidak mengira penyakitnya akan menyebar secepat ini. Aku harap orang-orang yang mengikutiku kemari tidak akan bekerja terlalu berat. Ahh, seharusnya aku memaksa meminta Naomi-san tinggal saja dan menemani putriku di rumah, bukannya mengijinkannya ikut kemari.

08-01
Sayona Vyriae

Page Three

Matahari pagi hari ini cerah, tidak ada seberkas pun hujan yang turun. Namun, kenapa ya aku justru merasa dingin? Apakah karena musim dingin sudah dekat?

09-01
Sayona Vyriae

Page Four

Setelah beberapa hari, aku mulai bisa melihat kesegaran muncul di wajah-wajah yang semula tertekuk. Sepertinya tidak lama lagi aku bisa kembali ke mansion.

10-01
Sayona Vyriae

Page Five

Aneh. Padahal kemarin semua baik-baik saja, semua orang yang sakit mulai terlihat sembuh. Namun, kenapa hari ini kondisi mereka kembali memburuk?

11-01
Sayona Vyriae

Page Six

Sudah beberapa hari aku tidak menulis. Semuanya sangat sibuk, dan aku tidak mungkin diam saja. Keadaan semakin kacau, dan Naomi-san … mulai menunjukkan gejala yang sama.

14-01
Sayona Vyriae

Page Seven

Situasi semakin tidak terkendali. Tim medis yang datang bersamaku mulai berjatuhan satu per satu. Semakin banyak pasien yang tidak tertangani. Ini sudah bukan penyakit menular biasa. Ini … aku yakin, ini adalah tanda-tanda awal epidemi.

18-01
Sayona Vyriae

Page Eight

Aku sudah mengirimkan surat kepada kakakku di Ibukota. Aku berharap ia bisa memikirkan jalan keluar sebelum penyakit ini semakin meluas.

19-01
Sayona Vyriae

Page Nine

Gejala awal:

Ruam-ruam yang muncul di sekujur tubuh, pada beberapa individu terasa gatal. Mata memerah, bola mata tidak terlihat jernih. Dilanjutkan dengan demam berkepanjangan dan tubuh yang mulai terasa mati rasa.

Beberapa saat kemudian, rasa sakit tersebut menghilang. Seakan tidak pernah ada. Dan malam berikutnya, darah, ya, muntah darah. Setelah kehilangan begitu banyak darah, nyawa pasien tidak bisa diselamatkan.

[Record kasus no.1]

p.s Naomi-san sudah tiada.

20-01
Sayona Vyriae

Page Ten

Kakakku mengirimkan balasan. Hari ini resmi desa Thiery ditutup dari dunia luar. Tidak ada yang boleh masuk, dan tidak ada yang boleh keluar. Aku harap semua ini segera usai.

22-01
Sayona Vyriae

Page Eleven

Saat ini sudah lebih dari separuh penghuni desa terjangkit penyakit ini. Tim medis tidak akan bisa bertahan. Apakah akan ada bantuan dari ibukota? Sebenarnya penyakit apa ini? Dari mana datangnya?

23-01
Sayona Vyriae

Page Twelve

Tidak ada pintu yang terbuka di tempat ini. Semua orang menutup pintunya rapat-rapat. Bahan makanan mulai menipis dan pasokan kain bersih untuk masker sudah hampir habis. Aku harus segera menulis surat lagi untuk kakak.

25-01
Sayona Vyriae

Page Thirteen

Ah, akhirnya. Bahan makanan dan logistik datang. Tapi … tidak adakah bantuan medis? Kakak, aku butuh tenaga medis. Tim milikku sudah tidak lagi tersisa.

28-01
Sayona Vyriae

Page Fourteen

Semakin lama, tempat ini semakin terasa seperti desa yang mati. Padahal hari ini salju pertama turun. Putriku, maafkan aku karena tidak bisa menepati janjiku untuk melihat salju pertama tahun ini bersamamu.

30-01
Sayona Vyriae

Page Fifteen

Kita mulai kehabisan tanah untuk mengubur jenazah pasien. Harus ada rumah yang dikorbankan untuk menjadi tempat menampung jenazah. Suhu semakin dingin. Dan lagi-lagi, bantuan logistik semakin menipis.

Oscar … aku takut. Mulai muncul ruam di tubuhku.

05-02
Sayona Vyriae

Page Sixteen

Aku merasa pusing. Tidak bisa dipungkiri lagi, penyakit itu akhirnya menyerangku. Aku harus menutup erat-erat pintu kamarku. Tidak boleh ada satupun yang masuk kemari.

06-02
Sayona Vyriae

Page Seventeen

Sepertinya aku akan sering menulis haha. Lagipula tidak ada yang bisa kulakukan selain menulis. Aku masih penasaran, asal penyakit ini … darimana?

07-02
Sayona Vyriae

Page Eighteen

Di kamarku tidak ada jendela. Aku tidak tahu apakah ini sedang bersalju atau tidak, atau apakah hari sudah pagi atau tidak jika bukan karena suara ayam berkokok di luar. Oscar, kau tahu? Bahkan aku tidak bisa merasakan lapar lagi.

08-02
Sayona Vyriae

Page Nineteen

Aku … tidk bisa … mengerakkn tngank

09-02
Sayna Vyre

Page Twenty

Sudah lebih satu bulan aku berada di sini? Iya kan? Aku merasa lebih segar hari ini. Dan aku bisa menggerakkan tubuhku dengan baik. Aku … boleh berharap kan? Aku akan sembuh kan?

11-02
Sayona Vyriae

Page Twenty One

Aku jadi ingat kali pertama kau mengajakku kemari, Oscar. Desa ini memang kecil. Namun, di bagian atas tebing di sisi timur kita bisa melihat matahari terbit dengan sangat indah. Kau bilang kau akan mendirikan vila musim dingin untuk keluarga kita kan di sana? Ah, aku sangat menantikannya. Malam semakin dingin di sini, namun memikirkan hal itu membuatku merasa sedikit hangat.

12-02
Sayona Vyriae

Page Twenty Two

Oh, tidak. Tidak. Tidak. Oscar. Aku melihat darah. Aku takut, Oscar. Aku sangat takut.

13-02
Sayona Vyriae

Page Twenty Three

Sakit. Oscar, ini menyakitkan.

Naomi-san apakah kau juga merasakan ini?

14-02
Sayona Vyriae

Page Twenty Four

Oscar, Algernon, Levanthine. Aku sangat merindukan kalian. Aku mencintai kalian. Aku ingin pulang, Oscar, sangat ingin pulang. Aku ingin melihat wajah anak-anakku. Aku ingin menepati janjiku pada Leva untuk melihat salju pertama bersama putri kecilku. Aku ingin melihat Al melakukan sumpahnya pada Pangeran Izana. Aku ingin melihat vila musim dingin yang ingin kau buat. Kumohon, Oscar, kumohon.

Tuhan … tolong aku. Tolong aku.

15-02
Sayona Vyriae

Page Twenty Five

Ah, maafkan aku, Oscar. Maafkan aku.

16-02
Sayona Vyriae

.

.

.

Tangannya menyentuh permukaan jurnal kulit yang kasar itu. Pada halaman-halaman terakhir yang ia baca, ia bisa melihat dengan jelas warna merah yang memudar. Darah kering yang mulai tak terlihat namun tak akan bisa menghilang. Bergetar. Seluruh jemarinya, seluruh tubuhnya, bibirnya, semua bergetar.

"A-A-Ah … I-Ibu …."

Dengan cepat ia meraih bagian kerah bajunya, menggigit keras-keras. "URF–"

Kini, gadis itu sudah jatuh terduduk di lantai, tangan kanan memeluk erat jurnal di dada, tangan kiri berusaha keras mempertahankan kerah pakaian di dalam mulutnya untuk menahan isak tangis yang keluar dari sana. Dadanya sakit, sesak, ia hampir saja mengira dirinya tidak lagi bisa bernafas. Air mata tak henti-hentinya mengalir, dan dalam gemerlap lampu kamar tidur yang ia padamkan ia cukup bisa melihat bayangan dirinya melalui cahaya rembulan yang menelusup dari celah jendela.

"Ibu … maafkan aku … Ibu …."

Ia tidak pernah tahu.

Levanthine tidak pernah tahu bahwa ibunya sendirian, ibunya kesepian. Pada malam-malam yang dingin itu, ibunya menahan rasa sakit seorang diri, tanpa ada satu orang pun yang bisa meringankan rasa sakitnya. Dan selama ini, selama belasan tahun ia tidak pernah tahu. Yang ia tahu justru adalah ibunya meninggal dalam kecelakaan kereta kuda ketika pergi melakukan ekspedisi. Bagaimana bisa … ia tidak tahu?

Padahal ibunya begitu berjuang. Padahal ibunya begitu kesepian. "A-A-Ibu maafkan Leva, maafkan Levanthine, Ibu."

Dan saat ini, ketika gadis itu membutuhkan sang pemuda bernetra kucing tepat di sampingnya, sosok itu tidak ada untuk bersamanya.

"Ibu …." Hatinya mencelos, dan ia yakin tidak akan bisa berhenti menangis untuk sisa malam hari ini. Masih dengan memeluk jurnal sisa-sisa kehangatan ibunya tepat di dada.

.

.

.

tbc

n.b. guys jujur, aku nulis ini sambil nangiss wkwk