Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 38 – Wistal
Author's POV
KLOTAK–
Ia meraih lemah tangan Kiki dan menaiki kereta kuda. Tidak ada satu berkaspun emosi tergambar di wajahnya. Kendati demikian, Kiki tahu ada yang salah. Terutama dengan mata yang membengkak itu.
"Leva-hime?"
Tidak ada jawaban.
Ia menutup perlahan pintu kereta kuda dan menoleh kepada pelayan pribadi sang tuan putri yang berada di belakangnya, tatapan bertanya dilempar pada sang pemilik surai coklat. Namun Aira, sang pelayan, menggeleng sebagai jawaban.
Ia sudah seperti itu sejak Aira menemukannya tertidur menekuk tubuhnya di lantai pagi hari tadi. Dan tidak ada satupun jawaban yang dilontarkan oleh sang nona muda pada pelayannya walau berapa banyakpun pertanyaan yang dilontarkan. Sesuatu telah terjadi, kemarin malam, setelah Aira membiarkan nonanya untuk beristirahat. Namun, gadis itu tidak tahu apa.
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
.
"Kiki-jou!"
Gerbang kastil Wistal sudah di depan mata, dan sepertinya rombongan dari Monosoaria sampai lebih dulu daripada mereka. Kiki menarik tali kudanya untuk bergerak lebih cepat, menghampiri rekan-rekan kerjanya yang berada tepat di bibir gerbang. Ia bisa melihat Grace melambai sejenak sebelum kembali berbincang dengan prajurit penjaga gerbang.
"Dimana Zen?"
Mitsuhide mengambil tali kendali kuda sementara Kiki melompat turun dari kuda miliknya, pemuda itu menjawab. "Zen sudah masuk lebih dulu, kita sudah sampai dari tadi pagi, asal kau tahu."
Kiki menonjok ringan perut rekannya dengan siku, lalu tersenyum. Keduanya kembali berbincang ringan dan saling menanyakan kabar, bahkan Kiki hampir tidak menyadari ketika Obi sudah melesat menuju kereta kuda tertutup yang kini berhenti tepat di depan gerbang pemeriksaan.
"Leva-hime!"
"Tunggu–"
SRAKK–
Kereta kuda dibuka, namun bukannya wajah masam sang tuan putri yang ia temukan, justru sang gadis yang tengah terlelap dengan bersandar pada dinding kereta. Obi berkedip, satu kali, dua kali, lalu mendapati dirinya dipukul keras-keras dari belakang oleh seseorang.
BUAGH–
"ARGH–sakit!"
Pemuda itu menoleh, mendapati pelayan yang dulu menemaninya ketika dia mengunjungi Wistant tempo hari. "Eh?"
"Ah? Anda … tuan pengantar pesan?"
Ah, benar juga. Dulu kan, Obi sok-sok an tidak mengenal Leva. Ia lupa.
"Obi, bawa tuan putri ke kamarnya. Pastikan beliau tidak terbangun."
Wah, apa-apaan ini, kenapa Kiki-jou melihatnya dengan tatapan membunuh seperti itu? "Sesuai perintah anda."
.
.
.
"Ehem."
Zen menahan nafas. Benar-benar … semenjak kakaknya ini naik tahta, entah kenapa wibawanya juga jadi semakin besar dan ia semakin merasa berat apabila harus berhadapan dengannya seperti ini.
"Jelaskan." Izana menopang dagu dengan kedua tangan, bertumpu pada meja kerja di ruangannya yang dua kali lebih besar dari milik Zen. "Jelaskan kenapa Levanthine bisa ada di sana."
Zen menelan ludah. Urgh.
"Akan lebih bijak bagi kita untuk menunggu Leva menyampaikan sendiri alasannya, aniu–Yang Mulia."
Izana tertawa kecil. "Dengan kata lain, kau tidak tahu alasannya."
Cih, ketahuan juga. Tapi memang, Zen tidak punya waktu untuk berbincang dengan Leva sejak kemarin. Setelah segara keributan di menara mala hari itu, Zen hanya bertemu Leva sebanyak dua kali sebelum akhirnya langsung mengirim gadis itu kembali ke Wistant bersama Kiki. Ia hanya mengetahui beberapa hal dari laporan Obi–yang entah kenapa tidak sedetil biasanya–namun, bahkan Zen sendiripun tahu ada hal-hal yang ditutupi Obi dari laporannya.
Hal-hal yang mungkin menurutnya lebih baik untuk ditanyakan secara langsung kepada Leva.
Haah, padahal Obi bawahannya bukan bawahan Leva.
"Harusnya rombongan dari Wistant akan segera tiba, aku akan langsung mengatur kedatangannya nanti kemari."
"Ya. Aku sibuk, sekarang pergilah."
Zen melempar tatapan tidak percaya pada kakaknya. Pada akhirnya ia hanya bisa mendecih dan berbalik, berjalan menuju pintu besar di ujung ruangan, sebelum akhirnya mengingat sesuatu dan berhenti, berbalik untuk menatap mata sang kakak.
"Satu hal yang jelas, Obi mengatakan bahwa Samuel Cronvell terlibat … dengan apapun yang terjadi di Monosaria."
"Cronvell? Orang gila itu?"
'Ahahah, raja mana yang bisa-bisanya berkata 'gila' seperti itu di depan orang lain?' Well, secara teknis Zen bukan sekedar orang lain sih.
"Pada akhirnya aku harus memanggil Grand Duke Ellen kemari. Ia harus menyelesaikan apa yang sudah ia mulai."
"Tentu saja, Yang Mulia."
Zen membungkuk, berbalik, dan kini benar-benar berjalan keluar dari ruang kerja Raja Muda Clarines.
.
.
.
SRETT–
Merasakan kulitnya menyentuh kain selimut membuatnya sedikit demi sedikit terbangun dari tidur lelapnya, dan ketika kedua matanya sudah terbuka dengan lebar barulah ia menyadari matahari mulai terbenam. Netranya berkeliling, mendapati kini ia kembali pada ruang pribadinya di kastil Wistal, masih tidak berubah sedikit pun. Tidak ada seorang pun selain dirinya di dalam sini, dan sepertinya Aira menepati permintaannya untuk tidak membuka tas pribadinya.
Buku itu ada disana. Buku diary milik Sayona Vyriae. Milik ibunya.
Kini setelah ia akhirnya merasa tenang, tidak lagi merasa sesak dan tertekan. Gadis itu mulai bisa berpikir dengan jernih.
Bukannya Levanthine meragukan isi buku itu, ia yakin seratus persen bahwa tulisan tangan itu milik ibunya, tidak mungkin salah. Namun, jika benar kejadian sebesar itu pernah terjadi di Clarines, bagaimana mungkin Leva tidak pernah sekalipun mendengarnya? Bagaimana mungkin hal itu tidak disinggung sedikitpun dalam sejarah? Sebuah epidemi, yang bahkan menewaskan salah satu anggota kerajaan. Dan tidak tercatat sedikitpun dalam buku sejarah istana? Aneh. Semuanya terlalu bias, seakan kepingan puzzle yang tidak memiliki pasangan.
Gadis dengan surai merah muda pucat itu menghela nafas, kini mendapati cahaya matahari benar-benar pudar; ruangannya begitu gelap. Ia membuang nafasnya keras-keras melalui mulut, meyakinkan dirinya.
'Aku harus menemui Obi.'
Benar. Sebelum semua ini jelas, sebelum semuanya terpasang dengan sempurna, hal ini tidak boleh keluar dari ruang tidur Leva, apalagi sampai ke telinga Izana. Baik buku usang itu, makna nama 'chou' dari sindikat yang membelakangi Monosoaria, dan kenyataan bahwa sosok surai merah itu ada di sana.
Ia beranjak dari ranjang tidurnya, membasuh mukanya dengan air dingin yang disediakan Aira di sisi ranjangnya, dan bergerak cepat menuju pintu kamarnya.
Tok–Tok–
"Aira?"
"Y-Ya, Yang Mulia."
Suara lirih sang pelayan terdengar di balik pintu besar, entah kenapa menyadari bahwa gadis itu benar-benar tidak meninggalkan sisi kamarnya membuat sang tuan putri merasa sedikit lebih baik.
"Panggil Obi. Suruh dia segera menemuiku."
"Obi-san?" Ia bisa mendengar nada ragu di sana, namun sedetik kemudian, Aira kembali menjawab. "Akan segera saya lakukan."
Akhirnya.
Meskipun Obi tidak mengira bahwa sang gadis akan memilih untuk menemuinya dengan cara ini, namun akhirnya Obi memiliki alasan untuk bertemu dengannya. Apapun caranya, ia tidak peduli.
Tepat di depan pintu kamar sang tuan putri–yang mana jarang sekali Obi temui kendati ia selalu memilih untuk memasuki kamar nonanya ini melalui jendela–Aira berhenti secara mendadak, berbalik, dan memelotot kepada sang tuan pengantar pesan.
"Aku harap anda tidak melakukan apapun yang akan menyakitinya." Obi terkekeh, mengangguk. "Dan langsung keluar begitu beliau selesai berbicara. Hime-sama perlu banyak beristirahat."
" Hai, hai."
TOK–TOK–
"Tuan Obi sudah datang."
"Ya. Suruh dia masuk."
KRIETT–BLEMM–
Bunyi derit pintu yang mengisi kesunyian ruang pribadi sang putri tunggal Clarines itu membuat Obi mengerutkan dahinya. Kedua netra tembaganya mendapati diri kini mengedar dan mencari sosok pucat Levanthine–yang berada di ambang jendela dan membelakanginya–ia bisa melihat peralatan makan yang sudah kosong di meja minum teh di sisi kanan ruangan, sedikit agak jauh dari tempat Leva berdiri yang berjarak lebih dekat dengan ranjang tidurnya.
"Duduklah."
Kalimatnya yang terlepas tanpa nada bicara pasti membuat Obi menegang. Leva tidak sedang dalam keadaan bisa ia ajak bercanda. Sedikit demi sedikit ia mulai merasakan tensi di udara semakin menegang.
"Aruji memintaku untuk sekalian menyampaikan ini, istirahatlah dan temui Aniue besok pagi setelah jam makan."
Obi berhenti, kini menyadari bahwa kedua netranya menatap langsung pada warna abu-abu yang selalu terlihat sebening kaca. Kendati tidak dalam keadaan yang rapih, gadis itu masih tetap terlihat anggun walau hanya dibalut gaun tidur tipis dan selendang rajut yang menutupi bagian atas tubuhnya. Obi menelan ludah. Hampir mengumpat.
'Sial.' Atau sudah mengumpat?
"Ehem." Ia berdehem, berusaha menghilangkan rasa tercekat di tenggorokannya dan duduk di sofa tepat di sebelah piring sisa makan malam Leva, tidak lama Leva beranjak dan duduk di seberang Obi.
Kini, ketika mereka sudah sedekat ini, barulah Obi sadar betapa buruknya kondisi Levanthine saat ini. Kantung mata yang terlihat menghitam dan begitu berat, bibirnya yang terlihat terkoyak secara tidak sehat, air mukanya yang lambat laun semakin terlihat pucat. Jelas ada hal yang tidak beres selama Obi tidak berada di sampingnya beberapa hari ke belakang. Lagipula, tidak biasanya Leva menjaga jarak sejauh ini dengan Obi, dan Obi tidak menghabiskan waktunya selalu melempar candaan pada Leva hanya untuk berakhir dengan tensi seberat ini di udara.
"Him–"
"Aku ingin meminta tolong padamu." Namun, sorot mata itu masih ada di sana, dan sedikit Obi mulai merasa tenang.
"Apapun, Leva, apapun." Senyum tercetak di sana, hingga membuat kedua matanya begitu tipis akan tulus yang tergambar dari senyum sang pemuda. Sedetik, Leva hampir saja mencurahkan semuanya, namun cepat-cepat ia menahan dirinya dengan mengepalkan kedua tangan erat-erat.
"Biarkan aku yang menjelaskan sisa kejadian di Monosaria pada Yang Mulia Izana dan Zen. Aku hanya ingin … kau … err … katakan saja untuk menanyakan padaku jika ada siapapun yang bertanya padamu tentang kejadian kemarin."
Hampir saja Obi terlena dan mengiyakan seluruh keinginan Leva, apapun itu, sebelum ia akhirnya sadar. "Hime-sama? Dan untuk orang itu–"
"Aku akan menyelidikinya lebih dahulu. Beri aku waktu … sebentar saja … biarkan aku."
Obi menahan nafasnya. Ah, inilah kenapa aku lemah jika sudah berurusan dengannya.
"Akan saya lakukan, Yang Mulia."
Obi menyukainya, segala hal dalam diri Levanthine Wisteria, mulai dari dia yang terlihat kuat hingga dia yang terlihat lemah, Obi menyukai segalanya.
.
.
.
13 tahun yang lalu–
"Ani-sama!"
Leva berlari cepat, menerjang kakak laki-lakinya yang kini sedang bermandikan keringat, seusai latihan pedang dengan salah satu prajurit keluarganya.
"Aduduh," pemuda itu jatuh terduduk, kini adik perempuannya sudah duduk di atas tubuhnya, tertawa kecil. "Aku bau keringat, Leva." Namun tetap ia tidak sedikitpun menolak terjangan afeksi dari sang adik. Diletakkannya pedang tipis itu di meja keramik di sebelah kirinya dan tangan kanan mengangkat gadis cilik dengan iris senada miliknya itu. "Jadi, bagaimana kelas pertamamu hari ini?"
Benar sekali, ini adalah hari pertama Leva mengikuti kelas kerajaan bersama Zen, dan jujur saja ini bukan awalan yang cukup baik baginya. Zen seperti biasa, bersikap menyebalkan, dan guru-gurunya tidak terlihat begitu menyukai Leva. Well, ia jujur jika berkata bahwa itu pun juga karena sikapnya yang arogan.
"Aku tidak suka." Leva cemberut. Kakaknya, Algernon, tertawa renyah. "Kau akan terbiasa nantinya."
Algernon adalah putra sulung dan pewaris keluarga Vyriae, yang nantinya akan bergelar Earl Vyriae. Usianya yang berdekatan dengan putra mahkota Clarines juga menyebabkan keduanya mengenyam pendidikan di waktu yang sama, dengan pendidik yang sama dan kelas yang sama. Karena itulah semua orang sudah mengenal Al sebagai orang yang nantinya akan menjadi ajudan Izana ketika pemuda itu naik tahta.
Berbanding terbalik dengan kakaknya yang bersifat supel dan murah senyum, Levanthine sejak kecil memiliki bakat untuk berwajah masam. Dan lagi-lagi seakan mereka terbuat dari terbaliknya satu mata koin, Leva tidak suka dan tidak bisa berbasa-basi, itulah mengapa kedua kaki kecilnya selalu menemukan dirinya untuk berlindung dibalik tubuh kakak-kakaknya.
"Oiya, Leva kenalkan, ini Samuel Cronvel, salah satu dari lulusan akademi keprajuritan yang memilih untuk nantinya mengabdi pada keluarga Vyriae."
Leva turun dari gendongan kakaknya, menatap lekat-lekat pada figur yang jelas jauh lebih tua daripada kakaknya itu.
"Dan Samuel, ini adikku, Levanthine."
.
.
.
Sudah seharian penuh sejak terakhir kali ia bertemu dengan Izana, dan itupun hanya terhitung beberapa menit dikarenakan kesibukan yang melanda sang raja muda. Kendati demikian, pria muda itu tetap menyempatkan diri untuk melihat apakah adik perempuannya dalam keadaan baik-baik saja atau tidak, dan melihat Leva yang masih bisa meloncat kesana kemari membuatnya sedikit lebih tenang.
Dengan segala hal di dalam benaknya yang sungguh berkecamuk menjadi satu, membuat Leva merasa harinya terasa begitu pendek, dengan matahari yang kini tak lagi terlihat dan malah memunculkan pantulan cahayanya melalui bulan. Lagi-lagi, putri tunggal Clarines itu menemukan dirinya kembali memeluk dirinya di dalam ruang pribadinya. Berat pada dadanya tidak berkurang sedikitpun bahkan ketika ia sudah merebahkan diri di atas ranjang. Ia telah berbohong, pada orang yang menyelamatkannya setelah kehilangan seluruh keluarganya, Levanthine telah berbohong. Namun memangnya ia setega itu untuk mengatakan segalanya begitu saja?
Berbeda dengan Zen dan Leva, Izana dan kakaknya adalah dua orang yang tidak bisa dipisahkan. Sejauh yang Leva tahu, keduanya menggenggam percaya pada satu sama lain, mungkin lebih daripada Leva sendiri. Dahulu, mereka seakan selalu berjalan beriringan dengan punggung yang saling memikul. Karena itulah, kejadian malam hari itu, ketika wisma Vyriae terbakar habis, membuat Izana lebih terpukul daripada siapapun. Algernon adalah orang yang Izana percaya akan menjadi ujung tombaknya ketika ia menjadi raja, dan orang itu menghilang di tengah lahapan api.
Bagaimana mungkin Leva bisa begitu saja mengatakan pada Izana bahwa orang yang sama masih hidup dan menjadi sumber kekacauan Clarines satu tahun terakhir ini?
Algernon bukanlah orang yang bodoh, semua yang ia lakukan pasti sudah melalui perencanaan yang matang-matang. Terbukti dari bagaimana Samuel masih berada di sisi Leva hingga satu tahun yang lalu. Al adalah pemimpin dari chou, dan chou adalah sumber dari seluruh masalah yang selama ini terjadi.
Kebakaran hutan satu tahun yang lalu. Pengkhianatan keluarga Winscott. Penculikan dan perbudakan oleh Flying Dutchmann dan pertambangan itu. Serta tentu saja yang terakhir ini, perselisihan di Monosoaria.
Dan lagi, memikirkan bagaimana kakaknya memilih nama 'chou' dari nama-nama lain di dunia ini. Levanthine tersenyum getir. Chou memiliki makna kupu-kupu, dan sudah sejak lama kupu-kupu menjadi simbol keluarga Vyriae.
"Lucu memikirkan bahwa otak dari semua itu benar-benar Ani-sama."
Leva menutup matanya dengan siku, gigi mulai mengunyah pipi bagian dalam hingga sedikit mengeluarkan rasa getir darah. 'Dan meskipun aku tahu semua itu aku masih tidak bisa mengatakan semuanya pada Yang Mulia.'
"Pengecut." Ya. Aku.
SREKK–
Tubuhnya sontak menegang, mendengar suara gemerisik dari arah balkon kamarnya yang tidak seberapa itu. Secara spesifik Leva sudah meminta Aira untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke kamarnya, termasuk Obi, dan tidak ada orang lain selain Obi yang memasuki ruangannya melalui balkon.
Ia mengangkat tubuhnya, kini duduk di pinggiran ranjang dengan kedua netra menatap harap-harap cemas pada jendela-pintu besar di sudut ruangan itu. Ini bukan berarti ia membenci jika Obi benar-benar nekat menemuinya sekarang, namun bukan berarti ia juga menyukai bentuk empatisme berlebih yang selalu dikenakan lelaki itu tiap kali berhadapan dengannya. Ia hanya tidak dalam keadaan bisa menerima sesitivitas afeksi fana dari pria itu. Tidak ketika ia butuh banyak berpikir di saat seperti ini.
"Haah–" gadis itu menghela nafas, untunglah ia masih belum berganti pakaian. "Aku tidak mengunci jendela. Masuklah."
"Aku tidak tahu bahwa jendela adalah pintu masuk eksklusif."
DEGG–
Suara itu …
"Aku tidak mengira keamanan kastil akan seburuk ini. Kau bahkan masih berada di ruangan yang sama seperti sebelumnya. Atau kau memang tidak melaporkanku kepada Raja, Leva?"
Kembali, seluruh tubuhnya menegang, terutama ketika ia mendapati surai merah dan wajah familiar penuh luka bakar itu kini sudah melompat masuk ke dalam kamarnya. Ada rasa getir yang aneh di dalam dirinya, kesal yang bercampur dengan kenyataan bahwa gadis itu memang sangat merindukan sosok kakaknya–dan ia lebih dari sekedar mampu untuk membuang segalanya dan berlari ke pelukan hangat sang kakak–jika saja Algernon tetap menjadi Algernon yang ia kenal.
Sayangnya tidak. Pria di hadapannya ini kini tak ubahnya kriminal yang mengancam kedamaian Clarines, dan bahkan untuk Leva yang naif pun tahu itu.
'Ani-sama.'
Kata itu tertahan di tenggorokan, ia paksa keras untuk tidak keluar. Bersama dengan rasa sesak yang membuatnya ingin menangis.
"Kau tidak berhak berada di sini."
Lagi, tawa kecil keluar dari bibir itu. Tawa yang sama yang selalu Leva dengar setiap harinya dahulu.
"Aku benci menanyakan ini, tapi aku harus tahu apakah kau sudah membaca jurnal ibu atau belum."
Mulutnya terbuka, namun tidak ada jawaban yang keluar dari sana.
"Aku menganggapnya sebagai iya."
Benaknya dengan cepat kembali mengingat rasa sesak yang ia rasakan malam itu, perasaan sakit yang membuatnya hampir tidak mau terbangun di pagi harinya. Gadis itu menarik nafas, setidaknya kini ia tidak perlu susah-susah mencari sang kakak untuk menanyakan segalanya.
"Bagaimana bisa hal seperti itu tidak tercatat di sejarah?"
Leva bersyukur ia belum mematikan lampu kamarnya sehingga ia bisa melihat dengan jelas ekspresi Al sekarang. Marah. Dan tersakiti.
"Tanyakan saja pada rajamu itu–" kalimatnya terputus. "–itupun jika ia masih hidup di esok hari untuk menjawab pertanyaanmu.
TENG–TENG–TENG–TENG–
"ADA PENYUSUP!"
'Lonceng penyusup!'
.
.
.
tbc
