Disclaimer : Masashi Kishimoto, Ichie Ishibumi, and Others.

Rating : T-M

Genre : Fantasy, Adventure, maybe Romance

~•~

Tampa terasa, sudah sekitar 5 tahun berlalu semenjak sobatku ini, Roku Lee, memantapkan dirinya untuk mengikuti pelatihan Body Enchantment dan bela diri dari kedua orangtuaku. Bisa dibilang, dia memiliki afiliasi yang bagus dengan keduanya, meskipun membutuhkan waktu cukup lama baginya untuk membangkitkan kemampuan itu.

Bisa dibilang, dia adalah maniak seni beladiri tangan kosong. Lee benar-benar menyukai sesi latihan tempur jarak dekat ini, tubuhnya lentur disokong dengan toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit, untuk ukuran anak-anak, membantunya terus berkembang seolah tampa henti.

Meskipun hanya mampu mengaktifkan dasar dari sihir penguatan fisik yang jadi keahlian ibuku akibat keterbatasan Mana, itu sudah cukup baginya untuk menunjukan potensi yang tertanam dalam teman berambut mangkok-ku ini.

Sudah puluhan, bahkan ratusan kali aku menjejali duel dengannya, dan tak pernah sekalipun itu jadi membosankan. Buktinya kali ini, aku, Namikaze Naruto, bersama dengan sobatku tengah berdiri berhadapan dengan kuda-kuda bertarung masing-masing. Keringat membasahi diri kami, akibat sesi latihan sore yang kita lakukan dibawah bimbingan ayahku, Namikaze Minato sebelumnya.

"Aku datang!."

"Kemarilah!"

Dia datang dengan kecepatan tinggi, sementara aku menyongsongnya, menyiapkan counter untuk tendangan kaki yang jaraknya sudah amat dekat dengan kepalaku.

Duakh!

Tendangan yang aku yakin mustahil dilakukan oleh anak manusia dengan usia 10 tahun. Aku cukup sering menyaksikan saudara-saudara di panti-ku dikehidupan dahulu yang punya background beladiri, namun tak satupun dapat menggambarkan apa yang Lee presentasikan.

Namun tentu, aku bukan orang yang sama lagi. Lahir sebagai putra tunggal sepasang manusia super tentu, membuatku mewarisi darah overpower mereka.

Aku berhasil menangkis sempurna tendangan roundhouse tajam itu, kemudian menangkap tungkai panjang Lee. Dia terjebak, ku-manfaatkan momentun itu untuk melancarkan straight kanan.

Tap!

Tentu saja, itu hanya pukulan biasa yang dengan mudah dia tangkap layaknya jeruk. Namun, itu hanyalah set-up untuk serangan-mu yang lain.

Sementara dia masih fokus mengantisipasi seranganku yang lain, aku mencondongkan badanku mendekatinya, membuatnya sedikit tercekat dan melepaskan tanganku. Segera, ku-sambar balik tangannya lalu ku-tahan dengan sekuat tenaga.

Kini giliran dia yang menggelepar panik mencoba meloloskan diri. Keseimbangan kakinya hilang, aku tarik tubuhnya sambil menjatuhkan diriku. Kaki kananku sudah siap, menargetkan dadanya yang akan bertabrakan seusai berhasil menjatuhkan tubuhku nanti.

Wush!

Bugh!

Sukses! Seranganku menghantamnya dengan telak, matanya mendelik kesakitan ketika telapak kakiku menghentak dadanya. Tak berhenti disana, kakiku melanjutkan rentetan kombinasi serangan, melempar tubuh Lee ke udara sambil berputar tanpa kendali, lalu mendarat dengan punggung terlebih dahulu.

Aku lanjutkan dengan roll kebelakang, lalu melancarkan sapuan kearah kepalanya yang masih ada di tanah.

"Tak semudah itu!"

Dia me-lentingkan badannya, bangkit layaknya posisi kayang, sekaligus menghindari kakiku yang tinggal beberapa jengkal lagi menyambar kepalanya.

"Hoho! Gerakan bagus Lee! Tapi coba dengan yang ini!."

Aku bangkit menerjang dengan memfungsikan lutut-ku sebagai kepala rudal. Lee menghindarinya dengan meliuk kesamping. Tentu saja, bukan itu serangan utamaku, aku tak akan melesat hanya dengan satu rencana.

Dahgh!

Eh?! Dia cepat juga, menangkis reverse roundhouse-ku dengan menyilangkan kedua tangannya didepan wajah.

Kami menjauh sejenak, menyiapkan strategi tempur kami masing-masing. Matanya yang biasanya bulat, kini sedikit meruncing menandakan fokus yang tinggi.

Sedikit demi sedikit, Lee dan diriku mempertipis jarak dengan langkah kecil secara memutar. Kuambil inisiatif terlebih dahulu dengan melancarkan combo 1-2 kemudian tendangan tinggi yang menyasar kepalanya. Tentu, semuanya dapat dihindari dengan bantuan kelenturan tubuh Lee.

Dia lantas mundur beberapa langkah, mengirimkan tendangan samping yang bisa ku tangkis dengan tangan menyilang. Kombinasi itu belum berhenti, dia dengan cepat melanjutkan Flying Spinning Hook Kick yang-

Duakh!

Meski bisa ku-tangkis, namun dorongan energinya masih membuatku kehilangan keseimbangan. Dia memanfaatkan celah itu, melakukan takedown dengan menabrak abdomen-ku layaknya banteng, mengangkat tubuhku dengan mengungkit pahaku, membuatku terjerembab dengan Lee yang memegang kontrol atas.

Lee mulai menjejaliku dengan pukulan bertubi-tubi dari atas, sementara aku dengan susah payah menangkis tangannya itu.

"Eh? Ugh!"

Aku tak membiarkan itu berlangsung lama, sebab segera Lee berhasil ku-singkirkan dengan me-lentingkan tubuhku sekuat mungkin. Segera kulakukan roll ke samping dan mengatur ulang strategi.

Lee, bakat bocah ini dalam baku hantam memang tidak main-main. Serangannya selalu terarah dan penuh power. Dia lincah, lentur dan cekatan. Andai saja manusia seperti dirinya eksis di Bumi, duniaku dahulu, ku-pastikan dia akan menjadi sosok besar dalam olahraga combat.

Aku tak boleh main-main. Meskipun ini hanya sebuah sparring, tak akan kubiarkan Lee meraih kemenangan dengan mudah. Ini juga termasuk demi harga diriku. Ayolah, kendati lahir kembali, lalu hidup di Magiki dengan usia 10 tahun, aku masihlah pria dewasa. Tak mungkin aku biarkan anak dibawah 11 tahun menendang bokongku, meskipun dia adalah manusia berkekuatan super.

"Huft... Bersiaplah Lee!"

"Majulah!"

Aku berlari zig-zag, memotong jarak dengan cepat. Matanya bergerak liar berusaha mengantisipasi apa yang akan jadi gerakan lanjutkan dari manufer cepatku.

Naruto menembakkan sebuah tendangan belakang sebagai akhir dari terjangannya. Lee berhasil menghindarkan perutnya dari hantaman itu, meskipun sangat tipis hingga dorong angin dari serangan itu masih terasa.

Naruto melanjutkan dengan tendangan kait belakang yang dia arahkan ke-

Duakh!

Kepala Lee, sukses mengenainya dengan telak.

Naruto tak menargetkan kepala Lee secara langsung, namun dia membaca kecenderungan Lee duck-ing kebawah sebagai antisipasi tiap serangan kaki Naruto yang menargetkan bagian atas. Namun untuk meng-counter mekanisme pertahanan Lee, Naruto merendahkan targetnya, hingga sejajar dengan bahu Lee.

Voila, Lee yang menghindar ke arah bawah malah terkena tendangan amat telak hingga terhuyung.

Namun bukan 'Maniak' namanya jika itu langsung bisa buat Lee kalah. Dia melakukan backflip dengan cekatan bahkan, sebelum tubuhnya jatuh ke tanah. Memberikan Lee jarak sekaligus kesempatan bernafas.

"Tidak kubiarkan!"

Naruto lanjut merengsek maju, tak membiarkan Lee recovery dengan gratis. Bocah pirang itu melakukan serangan-serangan dengan formula sama, satu serangan pancingan, diikuti serangan inti yang selalu bisa memberikan hantaman telak kepada Lee hingga dia kewalahan.

'Naruto selalu bisa membaca caraku menghindar. Tak ada cara lain, strategi yang meng-counter sebuah strategi, ya harus dihadapi tampa strategi' Pikir Lee jengah.

Bugh!

Duagh!

"Hoho! Jadi kau mau adu jotos rupanya? Marilah!." Naruto dengan cepat memahami niat Lee yang secara spontan merubah cara bertarungnya. Tak ada lagi strategi, yang ada hanya baku pukul yang beringas.

"Heaaaah!"

"Ora! Ora! Ora! Ora!"

Swing and bang baby!

Sementara kedua anak laki-laki itu sedang saling melukai, tampak sepasang pria dan wanita menatap mereka dari balik jendela. Yang satu, pria pirang tampan yang memandang ngilu kegiatan yang cukup 'rutin' Naruto, alias anaknya lakukan bersama temannya.

Sementara lain, si wanita cantik berambut merah yang juga sekaligus ibu dari Naruto malah menunjukkan ekspresi bersemangat akan kegaduhan dari latihan dua bocah asuhnya tersebut.

"Hohohoho! Ini gila!" Ujarnya sembari menyeruput segelas minuman hangat.

~•~

"Jadi hari ini Naruto, kau ingin aku membawamu kemana?"

Le bertanya kepada sobat pirangnya itu. Keduanya tengah berjalan beriringan, menikmati suasana pagi cerah Konoha.

Kebetulan, hari ini mereka sedang libur latihan. Baik Minato maupun Kushina sedang memiliki kesibukan, jadi kedua pasutri itu membiarkan putra dan teman putranya itu berkeliaran.

"Sebenarnya, aku kurang tahu wilayah Konoha. Ya, soalnya aku lebih sering menghabiskan waktu dirumah dan berlatih."

Benar adanya, Naruto lebih memfokuskan waktunya untuk berlatih dan belajar. Layaknya seorang kutu buku akut yang membuat kegiatan keluar rumah menjadi sesuatu yang langka.

Namun jangan berburuk sangka dahulu, tindakannya itu semata-mata sebagai sebuah strategi untuk mem-boost perkembangannya. Baik Space Magic dari sang ayah, atau Body Enchantment dari sang ibu. Oh ya, termasuk juga bimbingan ekstra untuk Lee dan dirinya dibidang beladiri tangan kosong yang juga, khusus Kushina dan Minato berikan.

Lagian, menghabiskan waktu dengan anak-anak lain, selayaknya bocah normal amat sangat mustahil Naruto lakukan. Ayolah, memaksa pria dewasa bermain jungkat-jungkit dengan gerombolan anak-anak cengeng menyebalkan terdengar seperti sebuah perkara bagi Naruto.

So, lebih baik alokasikan waktu berhargamu semaksimal mungkin layaknya pria dewasa yang normal, dalam standar Magiki tentunya.

"Hum... Bagaiman kalau kita ke kuil? Aku cukup sering kesana untuk berdoa dan bertemu Ibu Himejima dan anaknya."

"Terdengar bagus. Yosh, kita kesana."

"Okay, kau pasti senang disana, tempatnya tenang dan bersih. Ibu Himejima juga anaknya sangat baik."

Naruto sedikit tertarik dengan orang-orang yang Lee sebutkan.

"Apa mereka penjaga kuil disana?"

"Ummu."

Perjalanan tak memakan lebih dari 20 menit. Keduanya disambut pemandangan sebuah kuil ala Jepang yang menjulang, ditambah dengan tanah sekitarnya yang dibuat lebih tinggi, bangunan itu tampak megah.

Untuk mencapai pintu kuil yang jadi jalan masuknya, wajib menjejaki beberapa puluh anak tangga yang sepertinya dibuat dari campuran semen dan batuan. Daun-daun kuning menghiasi area itu, namun tampak tengah disapu oleh seseorang.

Naruto memandang lekat gadis yang tengah membersihkan daun-daun tersebut. Seorang gadis cantik bersurai hitam panjang hingga ke pahanya. Rambut indah yang ditata kuncir tunggal kebelakang, sementara bagian depannya dibiarkan membentuk poni, menunjukkan samar manik ungu jernih yang tampak fokus. Yang dia kenakan adalah pakaian khas gadis kuil berwarna putih, dengan bagian lengan yang dilipat agak tinggi, mungkin bertujuan memudahkan aktifitasnya.

"Selamat pagi, Akeno."

Dia menoleh, kemudian melambai sementara tersenyum manis. Jujur, dia mungkin salah satu gadis tercantik yang pernah Naruto jumpai.

"Ah? Lee? Selamat pagi dan um..."

" Naruto, Namikaze Naruto senang berkenalan denganmu."

"Naruto kau begitu, semoga harimu menyenangkan. Dan Lee, tumben sekali kamu kemari, kemana saja?."

"Hehe, kebetulan aku dan Naruto selalu melakukan latihan tanding setiap selesai latihan. Makanya, jarang ada waktu luang." Terang Lee

Seperti yang dia katakan, Naruto dan Lee memang menggenjot latihan tanding mereka akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti mereka tidaklah gemar melakukan sparring sedari dulu, saling adu jotos dalam latihan adalah hal yang amat rutin dilakukan. Hanya saja, memang intensitasnya jadi lebih masif akhir-akhir ini.

"Eh begitu ya..."

"Sepertinya kalian kenal dari lama ya?"

"Ummu/tepat sekali!" Sahut keduanya serentak.

"Lee dan aku akrab Karna kakak penjaga panti sering kesini untuk berdoa bersama anak-anak panti. Makanya, aku jadi kenal Lee dan anak lainnya. Tapi Lee jadi agak jarang kesini, dia bilang sibuk latihan, aku jadi kesepian..."

Ratap gadis itu dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat. Itu mengundang respon berbeda, cengengesan ala Lee, serta ekspresi sweatdrop dari Naruto.

"Uhmm..."

"Ngomong-ngomong, bagaiman kabar bibi Himejima?"

"Ibu sehat kok. Oh ya, bagaimana kalau masuk kedalam, akan aku buatkan teh. Kalian mau?."

"Naruto dan Lee saling pandang, kemudian mengangguk mengiyakan. Mereka lantas memasuki lebih dalam areal kuil dengan tuntunan gadis cantik itu. Samar-samar, Naruto mencium aroma teh yang luar biasa harum.

"Ibu, Lee dan Naruto datang berkunjung."

"Ara? Nak Lee rupanya lama tidak bertemu. Dan, Nak Naruto kah?."

Naruto terpaku dihadapan wanita luar biasa cantik yang kini berjongkok dihadapan keduanya. Dia bagaikan Akeno versi dewasa, lengkap dengan nada suara anggun serta tubuh luar biasa indah.

"S-s-seksihh... Ups!"

Naruto menutup mulutnya dengan kedua tangan sadar akan apa yang keluar dari bibirnya. Sontak itu mengudang ekspresi tertarik dari sang wanita cantik. Dia terkikik geli dengan tawa yang merdu.

"Ara? Terimakasih tapi, apa menurutmu ibu-ibu ini masih menarik? Hum?." Godanya dengan ekspresi geli. Dia memutar tubuhnya, seolah sedang menunjukkan lekuk itu kepada Naruto. Sayangnya, kedua bocah yang lain gagal tanggap dengan tingkah dua orang ini.

"Tentu! Kau sangat cantik, eum seksi... Bibi?."

"Fufufufu... Kau pasti putra dari Tuan Minato kan? Sudah sebesar ini rupanya. Oh ya, nama bibi, Shuri, Shuri Himejima. Ayo Akeno, ajak temanmu masuk, akan ibu ambilkan cemilan.". Ujarnya seraya mencubit gemas pipi Naruto.

Sentuhan wanita itu membuat otak Naruto shot down, dia mematung dengan wajah memerah. Kepulan asap imajiner muncul dari kepalanya.

"Haish, jangan menggoda temanku ibu. Lihat, dia merah seperti tomat."

"Ara Ara? Ufufufu... Tapi dia manis sekali kan sayang?"

Sejatinya, Naruto bukanlah lelaki yang tak memiliki pengalaman dengan wanita. Tentu, dikehidupan sebelumnya, dia sudah pernah menjalin hubungan dengan beberapa gadis, hanya saja semua tak berlangsung lama. Salahkan sikap workaholic yang dia miliki, sehingga Naruto memutuskan mengakhiri setiap hubungan, dan menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan.

Dan jujur, menyaksikan seberapa 'indah' wanita itu membangkitkan kangen Naruto terhadap wanita yang dihalangi oleh situasi. Entah usianya, kelahiran kembalinya atau yang lain.

Shuri Himejima benar-benar simbol dari keindahan seorang wanita Asia. Rambut hitam panjang yang ditata persis layaknya Akeno, hanya saja pita yang ia kenakan senada dengan warna mata anaknya, ungu. Tinggi semampai, dengan kulit putih mulus yang sehat. Body super feminim, dengan perut kecil, bokong berisi, pinggul lebar, dan jangan lupakan, dada yang ukurannya amat diatas rata-rata.

'ugh, sayang sekali dia istri orang... Huhuhu :(' Naruto membatin pedih.

"Haish sudahlah ibu. Ayo masuklah, teh ibuku sangat enak, kuenya juga. Ayo!" Ujar sang gadis bersemangat, menggaet tangan Lee dan Naruto, sekaligus menyadarkan si bocah pirang dari bengongnya.

Bangunan yang mereka masuki, yang juga tempat tinggal Akeno berada tak jauh dari kuil utama. Eksteriornya masih senada dengan kuil yang tampak sangat tradisional dan oriental, berbeda dengan rumah Naruto yang menurutnya, sangat ke barat-baratan.

Interiornya tampak elok, dengan beberapa furniture berjejer manis menghias sudut ruang tamu. Berlantaikan kayu, dengan pintu dorong yang terbuat dari kayu kokoh. Dinding yang dihiaskan berbagai lukisan, dan kaligrafi dengan aksara Magiki.

Dikelilingi itu semua, sebuah meja berukuran sedang diletakkan ditengah. Kaki meja itu amat pendek, sehingga orang yang ada didepannya harus duduk bersimpuh, atau bersila diatas bantalan yang sudah disediakan. Tak jauh sana, ada pintu terbuka yang sepertinya adalah dapur.

Ketika Naruto melirik sejenak, ia dapat melihat sang wanita Himejima berdiri membelakangi. Dia tengah sibuk dengan sesuatu yang Naruto tebak, kudapan serta minuman hangat untuk mereka. Sayup terdengar senandung halus dari Shuri, dia tampak menikmati kegiatannya.

"Ayo duduk disini." Ujar Akeno sambil menunjukkan bantalan untuk duduk yang ada di seberang posisi duduknya yang tengah membelakangi meja.

Naruto dan Lee segera mengambil posisi nyaman. Lee cukup terbiasa dengan posisi bersimpuh, sementara Naruto tampak sedikit kesulitan karena semenjak dilahirkan di Magiki, iya tak lagi pernah melakukan seiza.

Tak berselang lama, sang wanita penjaga kuil datang dengan benda manis berbau harum.

"Ini dia, silahkan dinikmati." Ujarnya seraya membagikan cangkir teh, laku menuangkannya dengan teko kecil. Beberapa kue dalam piring-piring kecil sudah ada didepan anak-anak itu.

"Ah, terimakasih bibi/terimakasih ibu Himejima!."

Naruto mengikuti Lee yang sudah terlebih dahulu menghajar jamuan kecil itu. Dan jujur, menurut Naruto rasa dari kue-kue itu sangatlah lezat. Tapi yang paling hebat, tentu saja teh itu. Aroma dan rasa cairan nikmat itu tak pernah Naruto temui dari minuman macam apapun. Teh ini, berada di levelnya sendiri!

"Ara? Sama-sama... Jadi Lee, bagiamana latihan kalian akhir-akhir ini? Kau jadi jarang kesini ya?..."

"Ugh, enak sekali Ibu Himejima! Oh ya! Aku dan Naruto menambah latihan kami dengan lebih banyak sparring, hehe! Maaf jadi jarang mampir. Tapi serius, latihan bersama Naruto, nona Kushina dan tuan Minato sangat hebat!" Cerocosnya dengan penuh semangat.

"Wah begitu ya, lalu kalian berdua latihan apa saja? Um Nak Naruto?."

Naruto tercekat, tak berani menatap wanita cantik itu. Asap sekali lagi mengepul dari kepalanya, membuat Shuri gemas dan mencubit kecil pipi Naruto seraya 'fufufu...' tawanya.

"Um... Ibu melatih kami berdua dengan Body Enchantment, ayah mengajari kami seni beladiri tangan kosong. Dan, dia juga mengajari Space Magic padaku."

"Ummu!"

"Wah! Mengagumkan. Itu adalah sihir yang sulit dipelajari, kalian berdua keren." Puji Shuri sambil menaruh kedua tangan ber-jemari lentiknya didepan bibir.

"Tentu saja Ibu Himejima! Tapi sayangnya hanya Naruto yang bisa melakukan Space Magic. Aku tak bisa melakukannya, jadi aku fokus sama Body Enchantment saja. Tapi tak apa, aku sangat menyukai itu! Membuatku selalu bersemangat!."

"Ara? Begitukah?."

"Iya bibi. Ayah bilang, hanya Mana milikku yang cocok dengan Space Magic, makanya dia hanya mengajarkan bela diri disaat latihan bersama."

"Begitu rupanya. Tapi itu sudah hebat lho... Body Enchantment saja sudah sangat sulit dipelajari, jika kalian menguasai itu, kalian bisa menjadi laki-laki yang hebat dan kuat nantinya."

"Ummu! Tentu saja! Meskipun membuatku pingsan berkali-kali, tapi latihan bersama nona Kushina sangat menyenangkan. Baiklah! Aku pasti akan berlatih lebih keras lagi!."

Lee menjawab dengan gaya khasnya. Naruto mengamati bahwa Lee merasa sangat nyaman disini, sehingga sikap aslinya, yang sudah dia kenali dengan baik, keluar dengan polosnya. Dapat dia tarik kesimpulan, baik Shuri maupun Akeno, selalu memperlakukannya dengan baik, hingga tak ada sedikitpun keraguan dari Lee untuk berekspresi.

Mendengar itu, Naruto jadi teringat saat-saat Kushina pertama kali memberikan bimbingan Body Enchantment kepada Lee. Sungguh disayangkan, anak itu memiliki kapasitas Mana yang tak begitu besar, meskipun masih mungkin untuk mempelajarinya.

Seperti yang diduga, Lee harus merasakan tumbang, jatuh bangun tiap kali mengaktifkan sihir atau menggunakannya. Setiap kesalahan yang dia perbuat, akan di-punish dengan sangat brutal oleh tubuhnya. Namun, tekad dan semangat bocah itu membuat Kushina semakin bersemangat untuk membimbing si bocah mangkok hingga sekarang, mampu mempergunakan kesakitan itu meskipun harus ekstra hati-hati.

"Ara? Ufufufu... Mohon jaga Lee terus ya, nak Naruto. Oh ya, kalian sering-seringlah main kesini, Akeno pasti senang jika temannya datang. Betul sayang?."

"Ah! Iya! Naruto, Lee, sering datang ya. Dan aku juga belajar sihir, ibu mengajariku Elemental Magic, Lightning." Akeno berkata dengan riang.

Naruto nampak tertarik dengan itu. Dia jarang mendapat eksposure tentang Elemental Magic di Konoha selama ini. Tatkala terlalu fokus berlatih, dan lupa menjelajahi sekitar. Mungkin inilah kesempatan baginya mengenal lebih jauh Magiki dan penghuninya yang lain secara langsung.

"Ummu! Pasti!/ Tentu!"

~•~

Ini adalah kali keempat bagi Naruto dan Lee mampir di kuil Konoha. Sepertinya lokasi itu sudah menjadi pangkalan baru bagi kedua anak laki-laki itu. Selain bisa membuat mereka terhindar dari tingkah berisik anak-anak lain yang sibuk bermain di taman, disana Naruto juga bisa menikmati waktu santai sementara memandangi bok- ekhem!

Naruto menepuk pipinya, mengenyahkan pikiran aneh yang nyaris hinggap dengan manis. Tentu, itu mengundang respon penasaran dan aneh dari Lee. Pasalnya, temannya itu berkali-kali melakukan hal yang sama. Apa leher si pirang itu keram? Entahlah Lee tak memahaminya.

Tapi disamping itu, disana Naruto juga kadang bisa menyaksikan latihan sihir yang teman barunya, alias Akeno itu lakukan bersama ibunya, Lightning Elemental Magic.

Ayahnya menjelaskan, bahwa sirih elemen itu diklasifikasikan dengan berbagai jenis manipulasi unsur bumi. Baik unsur-unsur populer yang juga Naruto pernah baca dari bukunya, seperti petir, api atau Flame, tanah atau Terra, angin atau Wind, dan dan beberapa lagi yang lainnya. Ada juga beberapa elemen unik yang khusus dimiliki beberapa orang saja, seperti Elemental Magic eksklusif milik teman ayahnya, Lava.

Bukan, ini bukan seperti sihir api yang dipakai untuk membakar batu hingga meleleh. Melainkan, sebuah kemampuan memanipulasi Mana tingkat tinggi, hingga penggunanya, yang sayangnya Naruto lupa namanya itu, bisa menciptakan batuan cari bersuhu ribuan derajat itu secara langsung, hingga ketitik dimana dia bisa mempergunakannya, bahkan menyentuhnya tampa menimbulkan luka bagi dirinya.

Luar biasa...

Dan kebetulan, saat ini Akeno tengah berlatih diawasi oleh ibunya yang sek- ekhem! Sedang menyapu halaman kuil.

"Kami datang! Wah! Sedang latihan rupanya! Ayo Akeno! Kobarkan semangatmu!"

"Ahahaha... Apa kami mengganggu kalian?"

"Ara? Kalian rupanya, tidak-tidak, tunggulah disana. Biar bibi selesaikan dulu menyapu sebentar."

"Hay Lee, Naruto, hehe! Lihat-lihat! Zap!"

Dari tangan Akeno muncul kilatan cahaya kekuningan, kemudian cahaya itu menjalar dengan kecepatan kilat, terpusatkan diujung jari si gadis cantik, kemudian kilatan petir kekuningan mencuat, meluncur membuat hangus pagar malang yang jadi sasarannya.

"Whoa! Keren Akeno!" Naruto bersorak sambil bertepuk tangan, sementara Lee mengulurkan jempolnya.

"Ufufufu-awdwuh!swakwit!..." Shuri tiba-tiba muncul dan mencubit pipi putrinya.

"Ya ampun sayang, bukannya ibu sudah siapkan sasaran tembaknya? Kenapa kau menghanguskan pagar? "

"Uhw, mwaaf... Adu, sakit tahu..."

Keduanya terkekeh geli akan interaksi ibu anak dengan rupa serupa itu. Latihan singkat itu berakhir ketika mentari mulai tenggelam. Hari sudah malam ketika Naruto dan Lee memutuskan untuk pulang. Memang, mereka terbiasa pulang ketika hari petang, tapi ini adalah kali pertama bagi keduanya menempuh jalan pulang dalam keadaan malam.

Sebenarnya baik Akeno dan utamanya, Shuri sudah beberapa kali menawarkan mereka untuk menginap di kuil, kebetulan ada kamar tamu yang kosong. Tapi, Naruto dan Lee menolaknya karena belum sempat meminta izin. Naruto khawatir ibunya akan ngomel lama dimeja makan perihal ini. Jadilah, tawaran itu ditolak.

Keduanya dengan pelan menuruni tangga dan mulai menjauh dari areal kuil. Angin malam berhembus lebih kencang dari biasanya, memberikan perasaan tak nyaman yang asing bagi Naruto. Dia cenderung menyukai sejuknya angin malam, makanya dirumahnya pun, ia sering keluar untuk menenangkan diri, atau sekedar menurunkan suhu tubuh.

Namun kali ini berbeda, seolah ada yang berteriak dalam dirinya untuk tidak beranjak, meninggalkan kediaman dua orang perempuan yang akhir-akhir akrab bersamanya. Naruto melirik Lee, dia tampak biasa saja, namun entah mengapa Naruto merasa bahwa temannya itu juga sedang gelisah.

Naluri, naluri yang memaksanya tak melangkah lebih jauh. Atau mungkin keduanya?

"Lee, apapun yang terjadi setelahnya, aku akan menyesali bila pulang sekarang..."

"Ummu! Lalu, bagaimana sekarang. Perasaanku tak enak."

"Lee, kau ingat pelajaran dari ayah, tentang menekan Mana sedalam mungkin? Lakukan itu sekarang, lalu bersembunyilah dibalik semak itu! Jangan turunkan kewaspadaanmu! Aku akan naik kesana."

Naruto memberikan instruksi dengan suara pelan. Mereka segera mematikan lentera yang tadi dibawa, melemparnya acak dan mulai melaksanakan apa yang hendak mereka lakukan. Mereka bisa saja kembali ke rumah Akeno, hanya saja dia benar-benar tidak ingin melakukan itu.

Diawali dengan Lee, yang mulai mengontrol Mana miliknya sedemikian rupa. Menekannya hingga ke titik terendah, memaksa tindakan itu bahkan hingga ketitik membuatnya kesulitan bernafas. Namun tentunya, itu bukan sebuah masalah, dia sampai di sebuah semak didekat kuil dan mengambil posisi tiarap.

Naruto pun melakukan hal yang serupa, hanya saja dia memilih menaiki sebuah pohon yang letaknya persis didepan kuil. Berjaga, menunggu sesuatu yang menggangu keduanya, tampan tahu sebenarnya.

Semenit...

5 menit...

Setengah jam...

2 jam...

Mereka terdiam tak bergerak. Rasa pegal dan dingin menyiksa kedua bocah itu tampa ampun. Namun, tak sedikitpun keduanya bergeming. Perasaan tak mengenakkan itu terus tumbuh membesar, hingga ketahap keduanya merasakan merinding dan bertambahnya irama degup jantung.

Suasana dingin itu tak mampu menghentikan keringat mereka yang terus saja, membasahi pakaiannya masing-masing.

Krasak! Krusuk!

Naruto tercekat ketika segerombolan manusia berpakaian serba hitam muncul begitu saja dari dalam semak belakang kuil. Mereka kurang lebih berjumlah 5 orang, temaram cahaya bulan dengan amat jelas memantulkan kilatan senjata tajam yang jelas-jelas tak disarungi. Satu-persatu, mereka meloncati pagar kuil dengan sigap, mendekati rumah milik Shuri.

Naruto segera turun dari pohon itu, kembali menaiki tangga dengan berusaha sesunyi mungkin, lalu mengintip orang-orang mencurigakan itu dari celah-celah pagar.

"Perampokan?..." Gimana Naruto panik, tatkala mereka mulai mengambil posisi dan ancang-ancang. Seolah menandakan, bahwa orang-orang itu hendak menyerang kediaman Akeno.

~•~

Sialan! Sudah kuduga!

Aku meraih benda keramat yang selalu ada dikantongku kemanapun akau pergi. Sebuah benda silinder yang panjangnya sekitar seruas telunjuk orang dewasa. Sebuah suar, atau flare gun disebutnya diduniaku dahulu.

Sebuah barang yang ayahku ingin untuk selalu ku bawa kemanapun. Dia berpesan, hanya gunakan alat ini ketika aku dalam kondisi darurat. Dan kurasa ini sudah termasuk.

Aku menoleh pada Lee yang rupanya sudah berjongkok di bawahku.

"Kita tak punya banyak pilihan, ketika suar ini menyala, ambil jalan memutar dan cari keduanya. Segera menjauh, aku akan menarik perhatian mereka."

"Itu berbahaya Naruto, biarkan aku ber-"

"Tak ada cara lain, lakukan sesuai yang kukatakan. Ayah akan segera datang, aku akan baik-baik saja. Sekarang, bersiaplah."

Le menatap mataku dengan keraguan, sebelum dia mengangguk dan menyetujui perintahku. Aku mengarahkan benda itu keatas, kemudian menarik benang kecil yang ada dibawahnya.

Syuuuut! Boom!

"Siapa?!"

Sontak saja suara layaknya kembang api dimalam tahun baru menciptakan kegaduhan yang mengalihkan perhatian mereka kepadaku.

~•~

Dengan suara suar yang Naruto aktifkan, aku berlari secepat mungkin dari area itu. Mengambil jalan memutar untuk menuju pintu belakang rumah ibu Himejima. Kulirik dari kejauhan, 3 orang dari orang berpakaian serba hitam itu menyerbu Naruto.

Sialan!

Naruto tak memberiku pilihan untuk membantunya. Meskipun, aku jauh lebih memilih untuk tetap disana dan membantu kalau-kalau, Naruto terpaksa melawan mereka. Tapi, aku juga tau, nyawa Akeno dan ibu Shuri dalam bahaya, jadi aku sebaiknya segera menuju mereka, mengamankan situasi, lalu datang lagi membantu Naruto.

Pintu belakang sudah dekat, tampa ragu aku menariknya dengan bantuan Mana milikku.

"L-Lee? Cepat kau pergi! Ibu akan menahannya. Bawa Akeno!."

Dia tengah menembakan sihir petir miliknya untuk menghalau sisa dua orang yang hendak masuk melalui jendela yang sudah dirusak.

"Wanita sialan! Kubunuh kau!."

"Ibu!"

Salah satu dari mereka mampu menerobos masuk dan menerjang bibi Himejima dengan senjatanya.

Sratch!

"Ahk!"

Bahu ibu Himejima dia sabet hingga robek cukup parah. Darah mengucur membasahi gaun tidurnya.

Itu belum selesai, karena dia berhasil menjatuhkan ibu Himejima, keduanya langsung sudah bisa merengsek.

Duagh!

Kepalanya langsung terlontak kebelakang akibat meja teh yang kulempar, mendarat tepat dihidungnya. Maafkan aku! Ini darurat jadi masalah mejanya belakangan ya!

Aku meraih Akeno dan melemparkannya keluar, kearah semak-semak. Lalu kuterjang salah satu dari mereka yang tampaknya sudah siap dengan pedang milik ibu Himejima yang terpajang ditembok. Jujur saja, pedang bukan keahlianku meskipun tuan Minato sudah memberikan pelatihan, hanya saja persetan dengan itu.

"Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan Lee, tapi kita selesaikan dulu sampah ini..."

Luka ditangan ibu Himejima sudah tertutup, dia tampak marah dengan percikan petir menjilat dari dalam badannya. Aku memasang kuda-kuda, bersiap untuk bertarung.

~•~

Sialan!

Gawat!

Mati aku!

Ketiga bedebah itu menyerbuku tampa ragu dengan pedang-pedang berkilat ditangannya masing-masing. Yang terdekat dariku mungkin hanya 5 meter jaraknya, siap dengan senjatanya yang mengeluarkan bunyi mendesing ketika diayunkan.

Shing! Shing!

Dia menyerangku dengan pedangnya membabi-buta, hanya saja semuanya dapat kuhindari entah dengan meloncat mundur, berguling, atau sebatas mengelak.

Aku berhasil sekali-lagi menjaga jarak, kuaktifkan Mana milikku, bersiap untuk bertempur.

"Kesini kau bocah!"

Dia cukup gegabah dengan pergerakannya, mungkin Karna melihat fisikku yang hanya seorang anak kecil.

Scratch!

Aku menendang tanah di depanku, membuat tanah, pasir dan batu-batuan kecil disana terbang berhamburan. Sontak, partikel-partikel itu mengenai mata penyerangku, dan membuatnya terhenti seketika. Dia berteriak kesakitan sambil memegangi wajahnya.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu lalu memutuskan maju.

"Infuse!"

Bhaagr!

Terus terang aku tak pernah mencoba jurusku itu terhadap manusia ketika berlatih. Selain karena larangan dari ibu, aku memang sadar betul potensi dari Body Enchantment, Infuse yang kupraktekkan.

Dia yang menjadi sasaran seranganku mendapatkan kerusakan yang fatal. Mataku menangkap jelas bagaimana tubuhnya tertekan hingga bengkok, bersamaan dengan sensari benda patah yang membentur kakiku. Sepersekian detik, dia terlempar jauh, kemudian terkapar tak sadarkan diri.

"K-kurang ajar! Dari belakang!"

Dia mengkomando temannya untuk menyerbuku dari dua arah. Kali ini aku mendapati serangan dengan kekuatan penuh, mereka tak lagi menyerang dengan gegabah, ditambah dengan ekspresi serius yang berbahaya.

Meski tak kulihat, aku merasakan orang yang mengepungku dari belakang juga maju bersamaan dengan yang menyerangku dari depan. Dia yang didepan mengayunkan pedangnya dengan leherku sebagai sasaran, sementara...

Crash!

Paha belakangku tergores dalam!

Dia mengincar bagian yang sama sekali berbeda. Aku menahan nyeri dipahaku dan berguling menjauh, kali ini aku berhasil mendapatkan posisi yang lebih baik, dengan kedua kawanku yang berada tepat di depanku.

Mereka sekali lagi menerjang maju. Serangan kombinasi itu membuatku benar-benar kelabakan, aku mengupayakan segala hal untuk menghindari semua. Mengelak, berlari, meloncat, berguling, tapi seolah tak berguna, mereka selalu mampu kembali mengikis jarak, kemudian melancarkan serangan-serangan cepat yang terorganisir. Jika yang satu menyerang kepalaku, maka rekannya akan menggapai kakiku, jika seorang menyabetku dari kiri, rekannya akan memberikan follow-up dari kanan, saling melengkapi.

Aku sadar, jika terus seperti ini, tinggal masalah waktu saja sebelum aku kembali mendapati posisi terpojok.

"Infuse!" Aku memfokuskan Mana pada area tangan. Lalu kugunakan itu untuk menangkap pedang penyerangku yang ada ditangan, rasa sakit menjalar berbarengan dengan darah yang mulai mengalir. Meski dengan bantuan sihir Body Enchantment, bahkan Infuse, rupanya belum cukup kuat untuk menghindari luka bila diadukan dengan sabetan penuh tehnik dan tenaga miliknya.

Tapi tak apa, aku sudah mendapatkan situasi yang aku mau. Seketika, aku menarik kuat bilah pedang miliknya, sehingga membuat dia yang masih bersikeras mempertahankan senjatanya ikut terpelanting kedepan.

Buagh!

Tampa basa-basi, kepalanya langsung kusambut dengan bogem sekuat tenaga milikku. Dia terpental dan tumbang. Aku tak mengabaikan momen ketika sisa seorang penyerangku itu nampak terkejut dengan apa yang terjadi barusan.

Bugh! Dagh!

Gagang pedang langsung menghantam kepalanya, disusul tendangan penuh energi Infuse yang langsung melumpuhkannya. Setelah memastikan tak ada yang sadarkan diri dari mereka aku memutuskan berlari menuju rumah Akeno yang dari celah-celahnya, memancarkan cahaya kilatan petir.

Tak salah lagi, didalam sana juga terjadi pertempuran. Aku mendobrak masuk dan mendapati suasana kacau didalam rumah, dimana Lee dan bibi Shuri tampak berhasil membereskan dua orang penyusup, membuat keduanya babak belur dan gosong.

"Dimana Akeno?" Tanyaku.

"Aku disini." Dia muncul dari balik pintu dan bergegas mendekati kami.

"Ayo semua kita pergi dari sin-"

Buaghh!

"Naruto!"

"Naruto!"

"Ya ampun, ya ampun... Benar-benar ya? Tak kusangka kau dan anak-anak ini bisa menghajar bawahanku semuanya, baru juga kutinggal makan."

Seorang pria dengan pakaian serupa seperti gerombolan tadi itu muncul dan langsung menyerang Naruto secara tiba-tiba, membuat sang bocah pirang terlempar cukup jauh hingga masuk kedalam semak.

Lee langsung menyerang pria itu dengan segenap kekuatannya, namun setiap pukulan, tendangan, semua yang Lee punya dapat diantisipasi dengan mudah.

Tap! Buagh!

"Ahk!" Lee terlempar hingga menembus tembok.

"Yatuhan... Entah anak muda Himejima jaman sekarang yang terlalu bodoh dan gegabah, atau kalian yang bernasib baik sampai bisa melewati semuanya, dasar lemah. Oh ya, senang bertemu denganmu lagi, Shuri."

Dia membuka topengnya, menampakkan pria bersurai hitam panjang dengan mata oranye. Dia memamerkan seringai mengerikan yang membuat Shuri tercekat mundur, membadani Akeno yang bergetar ketakutan.

"Shumaru? K-kenapa kau?"

"Kenapa? Aku datang untuk membersihkan hama, kakak..."

~•~

Yo wassup, gw kembali lagi membawakan fanfic ini. Akhir-akhir rada susah buat nyempetin waktu buat nulis ini cerita, jadi sorry rada lama.

Mohon di review, author ini selalu menantikan kritik saran yang membangun demi kelanjutan ini cerita. Yaudah, tata .