Hak Cipta Naruto sepenuhnya milik Masashi Kishimoto. Fanfiksi ini dibuat untuk menambah entri FFA dengan tema Age Gap sekaligus asupan pribadi, bukan untuk kepentingan komersil.


Quest: 90 Days

[Hidden Quest Opened!]


Menjadi seorang perempuan yang masih betah melajang di umur seperempat abad itu ... bisa dibilang, sedikit meresahkan. Apalagi kalau kau dianugerahi seorang ibu yang sensitif pada omongan tetangga dan berjiwa kompetisi tinggi. Begitulah yang dirasakan oleh Naruko Uzumaki.

"Naru dengar? Mantunya Mikoto sudah lahiran. Sasuke dah jadi bapak, tuh! Naru kapan mau ngasih Bunda bayi menggemaskan juga?"

Naruko mendelik pada sang ibu. Pantas saja menu makan malam hari ini dipenuhi makanan kesukaannya. Ternyata yang bersangkutan punya maksud terselubung.

Bagaimana ya? Bukannya Naruko tidak mau punya anak. Tapi 'kan buat anak itu tidak bisa mode solo player. Quest seumur hidup yang tak bisa seenaknya dilakukan pula.

Anak itu sebundel tanggung jawab, bukan mainan yang bisa dibuang begitu saja kalau sudah lelah atau bosan mengurusnya.

"Kalau Bunda emang ngebet banget gendong bayi, bikin aja sama Ayah." Mengabaikan sang ayah yang tersedak gara-gara perkataannya, Naruko menambahkan kalem, "Ayah masih kuat, 'kan?"

Naruko tidak menyesalinya. Ekspresi sang ayah yang langsung meratap dengan wajah merona benar-benar menghibur.

Kembali memusatkan perhatian pada manusia pertama yang ia sayangi di dunia ini, Naruko tertawa singkat. Bundanya tengah merajuk seperti bocah yang tidak jadi dibelikan balon. "Maksud Bunda bukan gitu, Naru sayang! Bunda mau cucu juga!" rengek wanita itu.

"Hm. Nanti aku coba ya, siapa tahu dapat dari give away."

"Naru!"

Naruko memutar bola mata. "Sabar dikit, Bunda. Jangan loncat langsung minta cucu, dong. Mantu aja belum kukasih."

"Kamu gimana mau ngasih Bunda mantu kalau saban hari pacaran sama komputer terus?"

Ouch. Critical hit, Bunda.

Ya maaf-maaf saja kalau Naruko jadi nolep. Bekerja jadi streamer game memang tidak memberi waktu luang untuk bersosialisasi secara luring.

Jangankan mencari jodoh, mencari teman baru saja Naruko tidak sempat.

(Naruko cuma pernah pacaran dan menikah di game. Itu pun bukan karena dia suka atau baper dengan pemain yang bersangkutan, tetapi murni karena mereka mengincar quest dan special item yang cuma bisa didapat oleh karakter dengan affinity couple.)

Toh, Naruko bukan cewek yang kebelet dipinang orang juga. Ya, dia memang jomlo. Tapi dia bahagia, tuh? Tetangga juga tidak bisa nyinyir soal "nikah agar ada laki-laki yang membiayai". Dari lulus SMA, Naruko sudah bisa beli rumah sendiri. Tunai, tidak pakai kredit-kredit segala.

Singkat kata, kalau ada tetangga yang bertanya kapan kiranya Naruko akan melepas masa lajang, cukup dijawab dengan senyum dan kibas-kibas kartu hitam saja. Ehe.

Andai saja ibunya bisa seperti itu juga, aish.

"Kau juga ingin melihat Naruko pakai gaun 'kan, Minato?" tanya Bunda pada Ayah, memutus renungan Naruko soal kehidupan sosialnya yang mantap jiwa.

Ayah menatap Naruko penuh arti. "Naru cari suami yang seperti apa?"

"Jelasnya harus spesies manusia sih."

"Ayah bertanya serius, Naruko." Ayah menghela napas berat.

Naruko jawab begitu bukan karena iseng, sih. Dia juga serius tidak tahu harus menjawab bagaimana.

"Kenapa memang? Tumben Ayah nanya ginian."

"Ayah ingin memastikan kamu tidak asal pilih."

Ho ... begitu rupanya?

Naruko mengangkat bahu. "Kalau gitu Ayah pilihkan saja."

Sejujurnya, Naruko menjawab begitu karena tidak mau memperpanjang obrolan tersebut. Dia sudah lapar dan ingin menyantap makanan yang ada tanpa diganggu dengan obrolan tidak berguna.

Lagi pula, sejauh yang Naruko ingat, Ayah tak pernah ikut campur urusannya. Pria itu selalu bersedia untuk berdiskusi dan memberi petuah bijak, tapi tidak pernah menggiring Naruko membuat keputusan. Sejak kecil, sang ayah memberinya kebebasan untuk berekspresi dan memilah opsi.

Saat dia memutuskan untuk tetap lanjut bekerja sebagai streamer—mengabaikan diploma perguruan tinggi yang diraihnya atas rengekan Bunda—Ayah mendukungnya penuh.

Maka, ketika seminggu kemudian pria itu mengumumkan bahwa Naruko ia jodohkan dengan anak temannya ... Naruko kira, ayahnya sedang bercanda.

"Foto sama kontaknya sudah Ayah kirim lewat wasap. Besok dia mampir ke rumah. Pagi-pagi kamu harus udah rapi, ya."

Otak Naruko otomatis mengalami buffering. Ponsel diraih ragu, aplikasi dibuka hati-hati. Takut-takut ayahnya mengirimkan video jump scare lagi. (Yang biasa dikirim Bunda dan diteruskan padanya karena sang ayah tak mau jadi korban sendiri.)

Ruang obrolan wasap mereka tidak berisi video jump scare. Ayahnya mengirim dua balon pesan. Satu berisi foto rapi seorang laki-laki. Sisanya sebuah kontak tak dikenal.

"Sebentar! Ayah serius jodohin aku!? Ini bukan becandaan!?"

Ayah tersenyum geli. "Kamu sendiri yang minta Ayah pilihkan."

Naruko menjerit frustasi. Ayahnya ini diam-diam menghanyutkan sekali. Bunda yang dari zaman megalitikum merengek minta mantu saja tidak pernah sekali pun menjebloskan Naruko untuk kencan buta!

"YA TAPI ENGGAK SEMINGGU KEMUDIAN LANGSUNG DIJODOHIN JUGA KALI YAH!"

Untung Naruko tak punya penyakit jantung. Kalau dia langsung KO di tempat karena kaget, nasib channel streaming-nya bagaimana!? Memangnya Ayah bisa mengurus? Main minesweeper saja pak tua itu mana mengerti!

"Ayah sama teman Ayah—Om Sakumo, ingat?—sepakat biar kami saja yang urus soal vendor dan segala macamnya. Nanti kalian cukup urus fitting baju sama pre-wed. Pokoknya kalian punya waktu 3 bulan untuk belajar saling jatuh cinta. Kalian tenang saja."

Tenang?

Ayah menyuruh Naruko untuk tenang?

Yang benar saja, Bambang!

"Tiga bulan apa gak kecepetan!? Cocok apa enggaknya aja 'kan belum tahu!"

"Kalau Ayah lihat-lihat sih kayanya kalian bakal cocok. Apalagi dia juga bekerja di perusahaan developer game. Setidaknya kalian nyambung kalau mau mengeluh soal kerjaan."

... hm.

Satu poin plus.

Naruko menghela napas. Mungkin bisa dihitung dua, mengingat Ayah sudah akrab dengan calon besannya.

"Kita lihat saja. Kalau ternyata tidak cocok, siap-siap ya. Jangan jantungan kalo nanti hari H pernikahan aku kabur ke luar negeri."

Ayah tertawa lepas. "Tak masalah. Asal pulangnya bawa oleh-oleh saja untuk tumbal perdamaian dengan bundamu."

"Beres, Yah!" Tidak usah diminta pun pasti Naruko lakukan. Naruko masih sayang nyawa.

Naruko menatap layar ponselnya lagi. Ia ketuk foto yang dikirim sang ayah, memperbesarnya.

"Namanya Kakashi. Umur 35 tahun. Dia—"

Naruko menganga. "Yah, masa sama om-om!?"

"Om-om apanya? Kalian cuma beda 10 tahun."

"CUMA?"

"Ganteng kok."

"BUKAN ITU MASALAHNYA, PAK TUA!"

"Oh, iya. Kalian juga punya satu persamaan. Sama-sama pernah ditinggal kawin."

" ... aku gak nanya."

Naruko yakin, bagi sang ayah, ini bukanlah jodoh-menjodohkan anak.

Tetapi, balas dendam dengan gaya.

(Apakah kejadian ini membuat Naruko kapok mengusili sang ayah? Tentu saja tidak.)

.

Sementara itu, di sisi lain kota.

Di umur 35 tahun ini, Kakashi sudah cukup puas dengan jalan hidupnya. Bahagia lahir batin.

Dia terlahir tampan, sekarang sudah mapan, dan hidupnya dikelilingi oleh kawan-kawan mengesankan yang terkadang kelakuannya sebelas dua belas dengan setan. Apa lagi yang kurang?

Oh, ya. Kurang seonggok pasangan untuk berbagi kebahagiaan. (Courtesy of kawan-kawannya yang tiap kumpul tak pernah lupa membawa "tuyul".)

Hm. Kakashi tidak berniat atau bahkan betah jadi perjaka berkelas, sih. Tuhan memang belum memperkenankan Kakashi bertemu jodohnya. (Tak peduli seberapa banyak jadwal kencan buta yang dilempar kawan-kawan tanpa persetujuannya.)

Jika ditanya kesiapan, Kakashi sudah siap. Tetapi, bukan berarti dia siap mendengar kabar dari sang ayah yang terlalu tiba-tiba.

"Ada yang melamarku?" tanya Kakashi sangsi.

Ini bukan iterasi pertama. (Secara sekilas, Kakashi mengakui dia adalah mantu idaman para ibu rumah tangga. Dia tampan, mapan, dan rupawan; ingat?) Hanya saja, ini pertama kalinya Sakumo terlihat mempertimbangkan lamaran yang diterima.

Biasanya, sang ayah memberi tahu Kakashi sambil tertawa geli.

"Iya. Minato yang melamarmu untuk putrinya."

Mendengar nama tak asing itu disebutkan, Kakashi paham jalan pikiran Sakumo. Minato adalah sahabat karib sang ayah. Pria itu tahu seluk-beluk keluarganya. Satu aspek pertimbangan sudah terjamin aman. Tak akan ada drama-drama tak berguna antarbesan.

Di sisi lain, Kakashi berasumsi ayahnya mulai desperate mencarikan pasangan hidup untuknya. Karena ... yang benar saja?

"Yah, aku pernah mengganti popok rubah kontet itu. Om Minato menjodohkannya denganku, tak salah?"

Rasanya tak mungkin jika anak Om Minato yang meminta. Kakashi yakin seratus persen dia tidak tahu Kakashi ada. Bagaimana pun, terakhir kali bertemu, bocah itu baru belajar melangkah.

"Hm? Kau masih ingat dengan Naru, rupanya?"

"Tentu saja." Kakashi mendengkus.

Sulit untuk melupakan sosok bayi yang hampir selalu menjadikan Kakashi toilet berjalan. Sekarang saja Kakashi masih bisa membayangkan jelas sensasi hangat itu. Ew!

Dan ini membuat Kakashi canggung membayangkan pernikahan.

Jika Sakumo tidak dipindahtugaskan secara mendadak bertahun-tahun lalu, Kakashi yakin dia dan putri Om Minato akan tumbuh selayaknya saudara kandung. Heck, pertama menggendong bayi merah botak itu, Kakashi sudah menganggapnya adik.

Hm. Kakashi tak tahu bagaimana harus menanggapi kabar ini. Haruskah dia membuka buku fiksi incest koleksinya sebagai referensi?

"Kau punya waktu 90 hari untuk mengenalnya, Kakashi."

... huh?

"Kenapa 90 hari?"

"Karena sebanyak itu hari yang tersisa sebelum hari pernikahan kalian."

Kakashi ... punya banyak pertanyaan.

"Ninety days left, as in ... tanggal pernikahannya sudah ditentukan. Dan, kalian tidak mendiskusikannya denganku, karena ... ?"

"Aku dan Minato sepakat untuk mengurus semuanya. Kalian fokus saja saling mengenal dan menyamankan diri."

Itu ... bukan jawaban yang Kakashi butuhkan.

Pada akhirnya, Kakashi memilih untuk diam dan tak banyak berkomentar. It's not worth it.

Dari dulu Kakashi tahu. Om Minato adalah lelaki super jenius yang bisa menempuh jenjang kuliah bersama Sakumo karena mengikuti program akselerasi. Sementara itu, tingkat kecerdasan intelektual sang ayah juga tak bisa diremehkan berhubung dia bisa mengimbangi si jenius.

Tetapi, gabungkan keduanya di luar aspek akademis ... maka hilanglah seluruh logika yang ada. Kakashi yang disebut-sebut sebagai jenius di bidangnya saja tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran keduanya.

Jadi ... sembilan puluh hari.

Kakashi harus mulai dari mana?


Bersambung


(A/N)

Sebenarnya aku agak sangsi soal rating. Soalnya, meski temanya agak serius, aku gak ada niatan buat angkat beban berat. Hidup romcom!

Buat yang baca(EMANGNYA ADA?), jangan lupa tinggalkan jejak! Atau kukutuk kalian jadi perkutut!

(Canda. Bukan maksud ngemis review, tapi belakangan ini aku lagi butuh validasi kalau karyaku tuh ada yang suka [ToT]. So ... yeah. Semoga kalian berkenan? Maap curhat wkwk.)

Sekian terimagaji.

Salam Petok,

Chic White