Disclaimer: I own nothing but the story and characters themselves. Semua tokoh yang terlibat dalam cerita ini murni imajinasi penulis. Cerita ini dibuat untuk kesenangan penulis semata. Bukan demi kepentingan komersil. Penulis sama sekali tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari cerita ini. Enjoy :)


Chapter 61: The Guarantee

Kemilau cahaya di ujung tongkat Corite berambut perak sepersekian detik butakan mata. Sekali ayunan lengan dari Ariel, disusul mantra yang terucap tenang, "Holy Nova."

FAAK! Mati gua! Tembakan sinar putih kekuningan menjurus tepat kemari! Gimana ini?!

Untungnya, Faranell sigap intervensi jalur tembak cahaya dengan rentangkan telapak tangan kiri yang berselimut force ungu pekat, "Drainage!"

Seketika, sebagian besar pilar cahaya ... terhisap? Entahlah, keliatannya sih. Mantra itu, apa sanggup netralisir kekuatan force segitu masif?!

Peraduan dua kemampuan gokil sukses bikin mulut gua menganga. Pasalnya, kedua spiritualist Aliansi seksi sama-sama enggan kalah. Namun, keliatan jelas Faranell yang berjuang jauh lebih keras hingga deret giginya saling beradu.

"Kreatif seperti biasa, Spellsetter," liat mantranya dinetralisir, Ariel justru memuji.

Di mata gua terpampang jelas mantra cahaya si Corite berambut perak makin berpendar. Faranell perlahan dibuat berlutut sebelah gegara terus tertekan.

"Sayang, kamu nggak akan sanggup mengurai semuanya," ledek Ariel.

Ikatan akar tanaman berbalut es di badan terasa sedikit melonggar berkat usaha Faranell. Tentu, otak gua lambat ambil keputusan karena ragu harus ngapain. Lari, atau tabrak mantra Ariel?

"Lari!" Bentakan Faranell menyentak kesadaran.

Tanpa pikir panjang, gua kerahkan tenaga kedua kaki buat akselerasi menuju perapal mantra cahaya.

"Bukan ke sana!" Omel Grazier berambut ungu

Bodo amatlah! Gua coba pikirkan segala kemungkinan buat lolos berdua, dan inilah kesimpulan yang bisa ditarik otak berpentium rendah.

Lace teriak, "AWAS!"

Ariel tampak kaget begitu liat gua menerjang tiba-tiba.

"Force murni, satu aliran." Di tengah terjangan, gegara nggak bisa pake Accel Walk, benak gua proyeksikan pelajaran kemarin. Berusaha analogikan aliran force dalam jaringan syaraf bagai sungai, "Dari hulu, ke hilir!"

Pas keadaan krusial, dalam tubuh terasa ada sesuatu mengalir dari tiap syaraf, menuju kaki kanan. Sensasi ini ... sama kayak pas pegang twin razer blade! Seakan force gua bergerak tenang!

Kaki gua mulai diselimuti semacam aura transparan seperti efek fatamorgana. Ayunan kaki dari bawah ke atas telak mendarat di gagang tongkat Corite berambut perak yang dilapisi cahaya, sukses melepasnya dari genggaman. Mantra yang lagi mojokin Faranell seketika terhenti.

Tanpa buang waktu, gua lompat untuk rebut tongkat Ariel yang lagi mengambang di udara. Setelah beradu lawan force cahaya, kaki gua terasa panas. Nggak sepanas terbakar api, tapi gua jamin tetap sanggup bikin orang kejang-kejang.

Udah gitu gegara lama nggak terlibat aktifitas intens, ngeri-ngeri sedap mau bermanuver. Tentu, gua berusaha sembunyikan apa yang terasa barusan supaya lawan nggak jumawa.

"Ce-cebol," Faranell terkesiap liat aksi barusan.

Gua todong tongkat di genggaman balik pada leher pemiliknya sembari mengancam, "Stop sinting, mak lampir."

Biarpun gua nggak bisa pake senjata Spiritualist, tapi lumayanlah, masih bisa dipake getok pala.

Bukannya merasa terancam, raut wajah Ariel malah berubah penuh kekesalan, "Beraninya kamu pegang tongkatku."

Ucapan berintonasi rendah, namun penuh tekanan. Letupan force meluap dari tubuh, membuat rambut perak panjang berkibar. Kali ini di kedua kepalan tangan udah menggumpal warna ungu gelap.

Dia masih berniat nyerang walau tanpa senjata?! Enak aja! Mana bisa dibiarkan! Gua langsung ambil ancang-ancang buat menghajar perempuan ini sebelum mulutnya mengucap kalimat penghancur.

Gigi menggerutuk, genggaman tangan makin erat, sadar kalo telat sedikit aja, gua yang bakal abis duluan. Tongkat di tangan lagi menghujam deras saat sebuah lingkaran sihir hijau tua terbuka di samping gua. Dari dalamnya, keluar sebuah tangan animus yang begitu kekar. Dentingan keras menggema begitu serangan gua ditangkis.

Sialan! Gua lupa kalo dia juga bisa pake animus!

"Senang berkenalan denganmu." Tangan berbalut force kegelapan siap muntahkan segala daya buat lenyapkan musuh depan mata. Oh shite! "Shadowkeep."

Mendadak, lingkaran hijau tua tadi berpendar. Sosok tangan kanan kekar animus yang lagi tahan serangan tongkat di tangan gua berganti jadi genggaman ramping ciri khas wanita. Gua salah sangka, ternyata itu Animus milik Grazier berambut ungu. Dia bertukar tempat dengan animus sendiri.

Dengan cepat, tangan kirinya yang bebas meraih pergelangan tangan Ariel, "Drainage!"

Aliran force Ariel yang tadinya begitu besar dan menyesakkan dada, kini teredam. Faranell sukses antisipasi dua serangan sekaligus!

Kekesalan yang dari tadi tertahan seketika meluap lewat satu teriakan, "Kenapa kamu selalu jadi pengganggu, Faranell?!"

"Aku nggak mau temanku saling melukai."

Gua tersentak dengar omongan Grazier berambut ungu, dan malu begitu pikirkan tindakan yang baru aja gua lakukan. Tanpa pikir panjang pilih kekerasan supaya diri sendiri nggak tersakiti. Sedangkan, dari awal datang, Faranell cuma berusaha menahan tanpa niat balik menyerang. Kuda-kuda gua mulai rileks.

"Teman? Kamu anggap dia teman?" Ariel bertanya lirih. Suaranya terdengar sedikit bergetar, "Akulah temanmu! Raha, Sada, kamilah yang harusnya kamu anggap teman! Bukan dia! Sekarang lepaskan tanganmu, dan biarkan aku kasih salam perkenalan sedikit aja!" Ariel menyentak pergelangan tangannya, berusaha berontak dari pegangan Faranell.

"Ji-jinakkan kegelapanmu. Kamu bukan Spiritualist yang mudah sakiti orang lain," balas Faranell sembari susah payah menahan supaya Ariel nggak bisa pake force mengerikannya.

"Oh, tenang aja, kegelapanku belum pernah sejinak ini. Jadi aku nggak butuh peringatan dari bocah bau kencur macam kamu."

"Aku tau, kamu lebih berpengalaman. Kamu pasti udah alami ... dan mungkin kehilangan lebih banyak dariku. T-tapi aku yakin, kita masih punya pertanyaan yang sama seperti kala itu, 'kan?" Faranell belum menyerah, "Kita paham betul pahitnya rasa kehilangan, tapi kenapa masih terus bertempur?"

Rontaan Grazier berambut perak melemah, menunduk, kerapuhan yang terselip di suaranya makin jelas terdengar.

"Aku ... capek. Lelah harus terus pikul beban ini. Aliansi melabeliku Master Spiritualist, Grazier terbaik, padahal sebenarnya bukan. Aku terus hancurkan, hancurkan, dan hancurkan musuh di garis depan. Aku mampu bertahan, tapi orang-orang kesayangan di sekitarku nggak. Kamu tau gimana rasanya?" Dia cengkram balik bahu kawan sesama Grazier sambil menatap penuh amarah tertahan.

"A-Aku-" lidah Faranell mendadak kaku.

"Freakin ... hurt."

Faranell menatap pilu mata biru safir Ariel yang berubah lesu dan berair. Jawaban penuh amarah, tapi entah kenapa, diselimuti putus asa. Seakan mau minta tolong, namun nggak tau harus ke siapa.

Gua bukan prajurit terbaik, tapi sedikit banyak paham gimana rasanya mengemban ekspektasi kamerad di medan tempur, dan akibat yang menyusul setelah nggak mampu penuhi ekspektasi tersebut. Apalagi bila kamerad itu harus gugur duluan, sementara kita masih terus lanjutkan pertempuran.

Pahit.

Faranell langsung mendekap tubuh Ariel dan mengusap-usap punggungnya begitu dengar kalimat itu terlontar. "Entah apa yang udah kamu lalui, tapi ingatlah ... kamu nggak sendiri."

Bendungan di mata biru safir akhirnya jebol juga, deras mengalir di bahu Grazier berambut ungu.

Gua dan Lace cuma diam nonton pergelutan dua wanita corite super bahenol itu. Pemandangan yang cukup menyegarkan. Kalo lu nggak terlibat di tengah. Haha.

Tapi serius, gua nggak berbuat apa-apa gegara lebih ke bingung harus ngapain. Kekerasan yang jadi pilihan gua sebelumnya, jelas bukan opsi optimal buat hentikan keinginan kami saling baku hantam. Tampaknya, Faranell lebih tau apa yang harus dilakukan.

Beberapa menit kesunyian hadir. Ariel tampak lebih tenang dibanding pas awal kita ketemu.

"Okay, cakep. Sekarang, kalo lu berdua udah baikan, bisa nggak lepas mantra ikatan ini? Kaki gua mulai keram," gerutu Lace memecah keheningan. Oh iya, kesian juga tuh anak dari tadi.

"Aku nggak bisa. Kayaknya aliran force mantramu makin kompleks aja, Faranell," tukas Ariel.

"Ah, nggak ju-" Faranelll beranjak mendekat untuk batalkan mantranya.

"Tunggu!" Seruan gua hentikan langkahnya. "Sebelum itu, serahkan senjata lu. Semuanya."

Mereka bertiga terperangah, "Apa?"

"Lu pikir gua bakal percaya gitu aja sama lu pada?" Tanya gua sarkas.

"Gua nggak bakal kasih apapun," balas Lace.

"Kalo gitu selamat berkeram ria."

"Kamu nggak mau kembalikan tongkatku?" Gantian Ariel bertanya.

"Nggaklah. Gua nggak dungu ya."

"Bol, kamu kelewatan."

"Kelewatan? Faranell, Bellatean yang di sana itu mukul muka gua. Masih berasa nih di sini." Gua menunjuk pipi kiri, "Dan teman sinting lu itu berapa kali napsu banget pengen gua mati. Gua bukan kelewatan, tapi waspada."

"Oh ayolah, kita 'kan udah damai. Tadi perasaanku cuman sedikit galau aja kok. Sekarang udah enakan," Ariel masih cari pembenaran.

"Lu sanggup bikin Faranell bertekuk lutut. Entah sampe kapan dia sanggup meredam lu, gua ogah ambil resiko," balas gua.

"Jangan uji kesabaranku, Uban." Nada mengancam yang dingin dan tajam kembali terlontar dari mulut Ariel.

Gua jalan ke pinggir tebing yang di bawahnya bergolak ombak, dan bentangkan tongkat si rambut perak.

Jari yang jadi pencegah supaya tongkat ini nggak jatuh cuma manis dan kelingking. "Harusnya gua yang bilang gitu."

Wajahnya langsung panik, "D-don't! Tongkat itu terlalu berarti buatku!"

Mata merah agen intel jelas pancarkan kejengkelan luar biasa. Dia tau nggak ada pilihan lain. Tangan kiri yang masih genggam busur hitam kebiruan, perlahan meregang dan lepas sepenuhnya.

Gua segera ambil busur tersebut dan menelisiknya lebih dekat. Pendar biru bercampur hitam di bagian leher busur yang berbentuk sayap, ciri khas busur Hora sungguh bisa menghipnotis siapa aja yang liat. Begitu memanjakan mata.

"Percuma sita senjata. Lu nggak bakal bisa pakenya," ejek Lace.

"Minimal gua masih bisa ubah struktur muka lu. Lepasin tangannya dulu, Faranell."

Akar-akar tanaman di sekujur lengan Lace mulai bergerak dan perlahan kendurkan ikatan.

"Serahkan senjata dan amunisi lu yang lain."

"Apa?! Wah, dikasih hati malah ngelunjak lu ya!"

"Gua tau seberapa bahaya lu, dan gua nggak mau jatuh ke lubang yang sama! Sekarang pilih, senjata plus amunisi atau nginap di sini seharian."

"Son of a-," umpatnya sembari keluarkan pisau tentara, pistol beam beserta amunisi, beberapa granat asap, ledak, dan cahaya dengan sangat nggak rela.

"Nitip." Gua serahkan pisau dan granat pada Faranell supaya bisa disimpan di inventorinya. "Mana anak panahnya?"

"Nggak ada," jawab Lace ketus.

"Jangan bohong."

"Bol, dia nggak bohong." Faranell menepuk bahu gua, "dia menembakkan force kegelapan."

Otak gua seakan nggak mau percaya omongan Faranell barusan. Nggak salah dengar nih? "Jangan bercanda sekaranglah."

"Aku serius! Drainage adalah mantra yang mengurai aliran force. Kamu liat sendiri 'kan tadi panahnya menguap pas kutangkap?"

Gua udah tau kenyataan itu karena terpampang jelas depan mata, tapi berusaha menolak.

Pas gua bilang 'kita punya banyak kesamaan', itu bukan sekedar kata-kata tanpa dasar.

Kita nggak jauh beda.

"Dia juga setengah Corite. Sepertimu," ungkap Faranell.

Mata ungu menatap mata merah. Bibir Lace menyungging senyum congkak seakan sanggup baca apa yang baru aja terlintas di benak. "Udah gua bilang, gua nggak bohong."

"Kita nggak sama," balas gua.

Sesaat setelah gua bilang gitu, mendadak ada dua bongkah tabung kecil perak bergaris hijau mendarat di dekat kaki.

Granat?!

Asap kelabu tebal nan pekat langsung membungkus area kami berpijak dengan radius sekitar 15 meter begitu dua tabung tersebut meletup, gangu penglihatan serta pernapasan. Granat siapa nih?! Perasaan yang gua sita tadi belum diapa-apain.

Napas sesak, mata pedih, kuda-kuda gua kembali siaga. Waspada terhadap siapapun, atau apapun yang bakal menyergap.

Namun terlambat, suara kokangan senjata terdengar di depan muka diiringi perintah, "Jangan bergerak."

E-eh? Suara ini?

"Whirlwind!" satu mantra angin dari Faranell sukses menyapu delapan penjuru, hembuskan asap yang tadi mengepung jauh-jauh.

Sekarang, terpampang jelas sebuah moncong beam gun tepat di depan mata. Sosok ranger berambut denim yang nggak asing berdiri tegak.

Dia kaget begitu liat gua, "Kuya?!" Dan langsung celingak-celinguk sekeliling. Pandangannya terpaku beberapa saat pada dua perempuan mulus, "Wuanjir. Bidadari."

Ariel pasang kuda-kuda siap tempur tangan kosong gegara tongkatnya masih di gua. Padahal lagi berhadapan dengan prajurit bersenjata, tapi muka pedenya itu lho, gemesin.

Buru-buru gua tampar pipi sendiri supaya nggak tertipu dengan tingkah menggemaskan para perempuan Corite.

Belum ada sejam dia ngotot ngirim lu ke akhirat, blok! Dalam hati gua membentak.

Bunyi tangan ketemu pipi teramat keras bikin fokus semua pasang mata tertuju ke gua.

"Lu ngapain?" Tanya Alecto usai melongo sejenak, "Eh tunggu! Gua kira lu ditawan dan disiksa Aliansi buat informasi, terus mayat lu dibakar nggak bersisa."

Si bangsad. Datang-datang bukan bawa hadiah, malah bawa kelakar malapetaka.

Gua tepak tangannya yang masih nodong senjata dari tadi. "Mana ada, bedebah! Bukan disiksa! Justru gua 'diculik' supaya Grazier di sana itu bisa selamatkan gua dari kelumpuhan." Telunjuk gua mengarah ke Faranell.

"Siapa lagi ini?" Tanya yang ditunjuk.

"Tenang, dia teman lama."

"Jadi, coba gua perjelas. Tujuh bulan lu 'dirawat' dua suster bohay Corite? Menang banyak, si kunyuk!" Makinya sembari mengapit leher gua di ketiak dan menggesek keras kepalan tangan ke kepala kelabu.

"Sakit, woy!" Gua berontak dari kuncian dengan satu dorongan sekuat tenaga, "Menang banyak, betis lu beminyak! Satu di antara 'bidadari' itu jelas nggak pengen merawat gua. Lu sendiri? Ngapain di sini?"

"Gua ikutin suar darurat Conquest Lace. Jarang-jarang dia pake, makanya gua kaget dan langsung kemari." Oh iya, kadang gua suka lupa kalo Alecto bagian dari Badan Intel Pusat.

Tunggu. "Conquest?"

"Baru naik 2 minggu lalu," jelas Alecto.

"Siapapun ... bisa nggak, LEPASIN IKATAN SIALAN INI?! Enak-enak lu pada ngebacot, gua keram dari tadi, bazeng! Gua udah kasih senjata dan amunisi, apa lagi yang kurang, hah?!"

Faranell tersentak begitu Lace membentak dan buru-buru batalkan mantra Entangle, sedangkan Ariel ketawa liat kawan Bellateannya mencak-mencak.

"Mungkin cara gua yang terlalu serampangan sebelumnya salah dan malah memperunyam keadaan," ujarnya di sela gerakan peregangan, "jadi gua akan ulang dari awal. Gua Infiltrator, Conquest Lace Lachrymose, saat ini ditugaskan untuk cari tau keberadaan Captain Elkanafia Yeve Nordo dan bawa dia ke Pengadilan Tinggi Militer Federasi."

Raut muka gua kembali jengkel. "Kenapa?"

Lace menyapu layar log misi beberapa kali. Layar hologram persegi muncul di atas fisik log misi dan memutar kompilasi video dari sudut pandang Lace dan rekaman cctv.

"Gua selalu pasang kamera mikro di sini pas misi," jarinya menunjuk pelindung kepala, "jaga-jaga."

Lace nggak berkata apapun lagi dan biarkan kami yang ada di situ nonton dan nilai sendiri. Video itu dimulai sejak Elka berpisah dengan gua, Faranell, dan Gann, sampai hancurnya sebagian ruang perawatan akibat ledakan pelontar granat Eznik

Terpampang jelas di mata kami semua, gimana perubahan sikap Elka dimulai begitu pertama kali Eznik mengucap untaian kata-kata aneh.

"Dia nggak patuhi perintah langsung senior, bahkan sampai melawan, mengancam dan membahayakan nyawa rekan, kawan dekat yang paling berharga bagi gua, juga diduga terlibat dalam aksi organisasi Ultimatum yang merusak ruang perawatan Benteng Solus. Rentetan tindakan nggak bertanggung jawab ini udah cukup buat nyeret dia ke bui."

"Kata-kata yang diucapkan orang itu ... mantrakah?" Faranell bertanya, penasaran dengan omongan Eznik yang jadi penyebab perubahan Elka.

"Kami belum tau pasti. Pas kami cek kondisi tubuhnya, nggak ditemukan anomali force sama sekali," jawab Lace.

Yelana? Ultimatum? Elka bagian dari proyek Reaper? Maksudnya apa?!

Mata gua beralih pada Alecto. "Lu tau tentang hal ini, Lec?"

"Udah banyak yang tau. Conquest Lace 'kan juga atasan gu-" Alecto keceplosan. Dia langsung tutup mulut pake tangan kiri.

"Lu di pihak dia?" Emosi yang sebelumnya sempat tenang, kini mendadak naik lagi. Gua renggut kerah Armor ranger berambut denim. "Bukannya bantu, lu malah mau jeblosin Elka ke penjara?! Teman lu sendiri?!"

Alih-alih jawab, Alecto cuma pencet tombol log misi dengan tenang dan kasih liat foto dua orang terpampang jelas di layar dengan nama, pangkat, dan satuan tugas, dan keahlian.

Gua terperangah bukan main seolah jantung skip beberapa detakan, nggak percaya pada gambar yang tertangkap mata.

Pasalnya, satu foto adalah Elka dengan angka 530 juta dalant, satunya lagi ... foto muka lelaki berambut kelabu ngeselin yang selalu gua liat di pantulan cermin plus nominal 260 juta.

"Lu berdua dibounty. Gua bisa apa?"

Leher gua tetiba serasa terikat, tempo napas meningkat, cengkraman tangan di kerah armor Alecto perlahan mengendur sebelum lepas sepenuhnya. Kaki mundur teratur, berharap semua ini cuma halu tingkat tinggi.

"Gua berjuang demi mereka," mata ungu menatap Lace dan Alecto bergantian. "Gua hampir mampus mempertahankan tanah kalian! Apa yang gua dapat?! Dibayar lebih?! Naik pangkat?! Previlege?! Nggak! Fuckin' bounty!"

"Cebol, tenangkan emosimu!" Faranell menegur.

"Mana bisa gua tenang kalo diperlakukan macam sampah gini?! Lu liat sendiri sekeras apa gua tempur di Solus!"

"Masalahnya adalah; lu bersama mereka!" Potong Lace nggak kalah sengit sambil menunjuk Faranell.

"Ngaca! Lu juga! Apa bedanya?!"

"Bedanya, gua nggak goblok! Medan perang bukan cuma pertempuran fisik, tapi juga politik dan birokrasi! Cara lu kurang halus dan kelewat terang-terangan!"

Gegara kekesalan nggak tertahan, tangan gua reflek mukul batang pohon sampai sakit sendiri. "Fuck!"

Di saat gua pikir keadaan nggak bisa memburuk, ternyata malah sangat bisa. Gua mondar-mandir nggak jelas sambil acak-acak rambut kelabu panjang dan kibas-kibas tangan yang tadi numbuk pohon, berusaha cari solusi terbaik, tapi belum ada satupun ide muncul.

Celetukan Alecto bikin gua berhenti. "Lake, kami datang buat kesepakatan. Lu tau 'kan regulasi bounty? Tiap prajurit yang ketemu buronan berhak menyerang, bahkan menghabisi bila dibutuhkan. Prajurit macam Elka, nggak mungkin bakal ikut sukarela. Prajurit Federasi lain bakal nyerang dengan niat mengakhiri hidupnya. Buronan harus 'diadili' dengan segala cara. Harusnya sekarang kami langsung lumpuhkan dan bawa lu balik buat dipajang di balik jeruji besi, tapi kami nggak akan begitu, asal lu koperatif. Bantu kami lacak keberadaan Elka dan bawa dia kembali. Kami bakal usahakan segala cara supaya status bounty lu dicabut."

Gua tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan semuanya sekaligus biar pikiran nggak makin semrawut. Tangan kanan gua lempar tongkat balik ke sang pemilik. Ariel tampak amat senang sampe memeluk dan mengelus senjatanya.

Setelah itu, gua dekati Alecto yang masih menunggu respon. Begitu jarak kami kurang dari semeter, gua tendang sisi kepalanya sekuat tenaga! Jelas si rambut denim nggak nyangka bakal dapat serangan dadakan, langsung tersungkur di tanah.

Emosi meledak saat itu juga, gua tahan dadanya pake busur Lace. Tangan yang bebas udah ancang-ancang mukul muka si rambut denim.

"Lu, dari sekian banyak orang di planet ini, harusnya paling tau gua nggak akan pernah mau! Cukup orang lain aja yang brengsek ke gua, Lec! Jangan lu!"

Faranell mau beranjak buat hentikan gua, tapi Ariel sigap mencegah.

"Liat baik-baik, Faranell Trinyth. Itulah seorang Grymnystre," ungkap Lace, "mereka akan selalu utamakan kekerasan."

Setelah dapat tendangan telak, Alecto masih nggak melawan, malah buka pelindung kepala dengan penuh kepasrahan. Ratap penyesalan mata kelabu nggak lagi sanggup disembunyikan saat tinju gua meluncur deras.

Seketika, ekspresi Si Kuya memicu kembali ingatan pas pertama kali kita kenalan.

.

Saat itu tahun pertama kami jalani pendidikan. Elka sering maksa buat ditemani lari pagi, padahal gua masih pengen tidur. Alhasil, suatu pagi kami jogging santai di stadion serba guna markas pusat, tempat yang juga selalu dipakai buat festival olahraga.

Keterampilan gua nggak bagus-bagus amat, nggak punya banyak teman, nggak merasa pandai juga bersosialisasi, jadi kala itu cuma Elka yang selalu mendampingi.

Siapa yang nggak iri, ya 'kan? Prajurit pas-pasan nggak jelas yang paling sering dihujat gegara kemampuan nggak sesuai dengan nama keluarga, bisa punya hubungan dekat dengan ranger hebat macam Elka? Makin-makinlah gua dijauhin plus digunjing orang.

Tau-tau, seseorang berlari mendekat dan menepak bahu gua dari belakang,

"Yang pertama dapat 5 putaran, berhak macarin Elka!" Serunya berlalu cepat.

Kaget gegara tindakan absurd tersebut, gua sempat cengo sejenak menatap jaket kuning-hitam berlambang Ranger Corps di punggung, berkibar gegara nggak diresleting makin menjauh, baru kemudian tersadar. "Hah?! Sembarangan!"

Pas gua tengok ke samping, Elka lagi menatap tajam. "Menang, atau gua nggak akan masak buat lu. Dua bulan."

Ugh, seperti biasa. Anak ini paling tau cara ampuh buat ngancam gua. "Ah, elah!"

Akhirnya, gua ladeni tantangan si rambut denim. Cuman, gegara start duluan, dia udah jauh lebih unggul. Dari dulu kekampretannya udah mendarah daging emang.

Ada kali 4 putaran gua ngejar pantat. Sialan! Biar kata badannya lebih kekar dan berisi, tapi ranger tetap ranger. Urusan lari dan atur napas bukan kaleng-kaleng.

"Apa lu selalu selambat ini? Haha, Kuya!" Ledeknya.

Begitu putaran kelima sisa 200 meter, gua buka jaket dan tingkatkan laju adrenalin sebagai upaya terakhir.

"Accel walk." Deru napas makin memburu, kinerja otot meningkat drastis dalam sekejap. Langkah kaki berusaha gua lebarkan semaksimal mungkin buat pangkas jarak dalam waktu singkat. Begitu posisi kami sejajar, gua balas tepak bahunya.

Dia yang hampir sampai finish, yaitu titik Elka berdiri, jelas kaget setengah mampus tapi nggak mampu berbuat banyak pas gua lewati. Tipis jarak antara kami, nyaris aja kalah kalo gua nggak pake cheat.

Elka tersenyum dan tepuk tangan kecil, "Keren."

Lari sprint 5 putaran penuh berat juga ya. Napas kami berdua udah semaput, seakan dikit lagi ajal menjemput.

"Udah gua duga, nggak mungkin lu nggak bisa apa-apa," katanya sembari nyengir puas di antara napas terengah, dan ulurkan tangan, "Alecto Adastan. Kecepatan yang edan."

"Lake. Lu yang Kuya." Dia ketawa dengar respon gua.

.

Tinju kanan berhenti gegara gua tangkap sekuat tenaga pakai tangan kiri yang lagi pegang busur juga. Gigi menggertak dalam diam, nggak mampu berkata-kata.

"Nggak usah ditahan, Kuya. Tolong, bebaskan gua dari rasa bersalah ini."

Mana mungkin gua sanggup mukul setelah liat ekspresi itu. Di lubuk hati terdalam, gua paham, nggak guna juga luapkan kekesalan padanya. Semua dia lakukan gegara terpaksa mengemban tanggung jawab sebagai prajurit Federasi.

"Gua tau seberapa besar keinginan lu untuk bawa Elka kembali," potong Lace, "rintangan di hadapan lu bukan cuma Ultimatum, tapi juga kami kalo lu menolak kerjasama."

Gua bangkit dari badan Alecto dan memijat batang hidung sendiri. "Shite. Maksud lu, gua nggak punya pilihan selain kalian?"

"Gua nggak nawarin pilihan, tapi jaminan," jawab Lace dengan tatapan serius.

"Apa jaminannya?"

"Di tangan lu. Senjata terkuat gua," ujar Lace yakin, "plus karir kami. Sekarang, gua tanya sekali lagi. Di mana Elka?"

Gua tatap dalam-dalam mata semua orang yang ada di situ. Mulai dari Lace, Ariel, Alecto, dan Faranell. Semua mata seakan penasaran, respon apa yang bakal gua berikan.

"Faranell, log misi dan armor gua mana?"

"Ah, aku simpan di inventori. Kayaknya rusak semua deh," katanya seraya keluarkan peralatan tempur Bellato yang udah nggak karuan kondisinya.

Tsk, benar. Log misi nggak bisa nyala padahal udah gua geprak beberapa kali. Barang-barang gua serahkan ke Alecto walau jujur, tangan ini belum sepenuhnya rela melepas.

"Gua sempat nempelin alat pelacak di bagian dalam sol sepatu Elka pas gua dihajar. Kalo log misi ini bisa nyala, harusnya kita bisa dapat petunjuk. Bawa ke Dzofi, minta buat diservis semuanya. Dia tau apa yang harus dilakukan," kata gua.

Mata kelabu Alecto kedip cepat beberapa kali. "Duitnya? Lu tau 'kan tuh bocah koretnya macam emak-emak belum dapet setoran suami di tanggal muda? Mana mau garap projek gratisan."

"Pake duit lu dululah. Gua kena bounty, Kuya! Aset gua pasti dibekuin semua!" Asli, harusnya tadi gua tampol aja sekalian ni anak.

"Bor, gua lagi bokek, sumpah."

Lace yang makin gondok gegara permasalahan ini nggak kelar-kelar, ikut nimbrung dengan ngasih uang kontan seratus dua puluh juta. "Tomplokin ini ke mukanya, bilang, nggak usah banyak bacot!"

Setelah serah terima barang selesai, Lace menghampiri gua dan kasih perangkat kotak kecil yang biasa disebut texter, "Bawa nih. Kami bakal kontak saat log misi lu selesai diservis."

Pas gua ambil, tangan kanan Lace masih bertahan di hadapan gua dengan gestur menjabat. Ada kali 5 detik gua cuma diam menatap tangan itu sebelum putuskan buat menyambut gestur baiknya.

Tetiba, akal bulus bekerja. Gua tarik sampe dia terjungkal ke depan, disusul tinju kiri menghantam mukanya teramat keras!

"BAZENG!"

"Sekarang, kita impas," gua bilang dengan penuh kepuasan. Bodolah masalah hirarki pangkat. Udah terlanjur basah, mending kecebur sekalian.

Saat Alecto dan Lace hendak beranjak balik ke markas, Ariel sempatkan diri buat peluk Faranell sekali lagi.

"Makasih ya udah menenangkan kegelapanku. Beneran deh, mestinya kamu yang dapat gelar Master Spiritualist. Bukan aku," kata Ariel.

Faranell menggeleng halus, "Aku belum sehebat kamu."

"Maaf pertemuan pertama kita terlalu brutal, Uban. Kalo Faranell percaya sama kamu, kayaknya aku juga harus belajar." Setelah itu, dia beralih ke gua dan pamer senyum yang nggak kalah manis dari Faranell.. "Makasih nggak buang tongkatku ke laut."

"Sama-sama, Uban."

Akhirnya, mereka bertiga pergi tinggalkan gua dan Faranell di depan bunker pemulihan. Lucu juga kalo diliat-liat. Dua Bellatean dan satu Corite jalan beriringan. Yah, gua udah pernah ngalamin yang lebih aneh sih. Bellatean, Corite, dan Accretia di satu ruangan. Haha.

Saat mereka udah nggak terlihat, Faranell memecah keheningan, "Kamu yakin dengan keputusanmu? Kupikir, kamu nggak akan terima tawaran mereka."

"Untuk sekarang, ini yang terbaik. Untuk selanjutnya, beda cerita."

"Jalan manapun yang kamu tempuh, kuharap kamu nggak akan menyesal." Dia tutup mata dan tarik napas penuh kelegaan berhasil lewati ketegangan barusan.

Oh ya, gegara kejadian ruwet bin rumit siang ini, gua baru ingat belum minta maap buat yang kemarin.

"Faranell, gua ... minta maap. Kemarin gua hampir- nggak ... gua udah nyakitin lu. Mengecewakan lu. Gua murid yang kebangetan buruk, tapi gua harap lu masih sudi kasih gua kesempatan sekali lagi."

"Kamu ngomong apa sih?" Grazier berambut ungu tampak heran, "Kamu lulus tesku."

Jelas gua terperangah, "Tes yang mana?"

"Kemarin dan hari ini, pasti kamu dengar banyak bisikan hasrat. Walau sempat kelepasan, tapi kamu masih punya kesadaran buat menahan diri. Bagi 'orang luar', segitu lumayan. Apalagi kulihat penguasaan aliran forcemu ada kemajuan." Dia tersenyum tulus, "Ingat, satu kesempatan. Jangan sia-siakan."

"Terima kasih, Master." Reflek, gua kasih sikap hormat Bellatean, menepuk dada kiri dengan kepalan tangan kanan, "Tapi sekarang, gua butuh senjata dan armor."

Senyuman tulus Faranell pudar. Kali ini dia mengapit dagu sendiri dengan telunjuk dan jempol, alisnya mengernyit tanda berpikir keras.

.

.

" 'Semakin dipojokkan, semakin keras dia membalas'. Lu nggak posisikan diri sebagai ancaman supaya dia nggak berontak lebih jauh," ujar Lace pada juniornya, "Keputusan ngajak lu tepat juga ya. Lu benar-benar tau gimana cara menghadapi seorang Grymnystre."

Alecto senyum getir, menatap lekat log misi yang sukses dia dapatkan dari kawan berambut kelabu.

"Belajar dari pengalaman, Conquest."

...

"I'm not offering you options, but guarantee." - Lace (Ch. 61)

...


A/N: 17 Nov 2022.

Halo internet, I'm back. To hiatus. Haha. Apa kabar semuanya? Semoga para pembaca sehat-sehat selalu. Nggak kerasa udah setaun cerita ini nggak update, tapi nggak papalah ya, daripada 3 taun mangkrak kayak cerita-cerita sebelah.

Gua nggak bisa janjiin bakal update cepet, soalnya tiap kali niat update cepet malah kek gini, setaun ya 'kan. Ya udahlah, go with the flow aja.

Oh ya, gua juga nerbitin cerita ini di platform oren wettpad. Ada beberapa hal yang keknya mau gua perbaiki (re: remake) di chapter-chapter awal. Yang mau baca, add gua aja: Mie-Rebus.

Chapter ini banyak callback, nih gua kasih list-nya:

- Lake dan Lace "nggak jauh beda". (Ch. 29)

- Pertemuan pertama Elka dan Eznik (Ch. 48)

- Tindakan-tindakan indisipliner Elka:

a. Menyandera dan membahayakan rekan (Lamia dan Sirvat) (Ch. 50)

b. Melawan atasan (vs Lace), merusak ruang perawatan Solus, membahayakan rekan (Lace dan Sirvat) (Ch. 52)

c. Menghajar dan membahayakan rekan (Lake dan Meinhalom) (Ch. 57)

Aight, thanks for reading! See you all on next chapter.