Otonari no Tenshi-sama

Disclaimer: Masashi Kishimoto, Ichiei Ishibumi

Rated: T

Genre: Slice of Life, Romance.

Peringatan keras! Serius deh! Multi-Chap, OOC, EYD Hancur, Typo(s)

Enjoy.

[…]

[…]

[…]

[…]

Chapter 10 – Air mata seorang malaikat.


Gelisah. Itulah yang Naruto rasakan sekarang.

Rasa gelisah ini terus menghantuinya sejak pertemuan terakhirnya dengan Azazel. Ia hanya mengganti saluran televisi terus menerus, berharap menemukan siaran yang dapat menarik perhatiannya guna menghilangkan rasa tak nyaman ini.

"Hei, apakah tak ada hal yang ingin kau lakukan?" Naruto bertanya kepada malaikat yang duduk di sampingnya.

Gabriel menghentikan sejenak kegiatan membacanya. "Hmm… entahlah. Tak ada yang ingin kulakukan sekarang."

Naruto sejujurnya merasa bingung sekarang tentang apa yang harus ia lakukan, lagi-lagi firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Ia tak tahu apa itu, tapi ia merasa ini semua pasti ada hubungannya dengan Gabriel, dan ia sangat yakin akan hal itu.

"Aww, apa-apaan itu tadi."

"Kau terlalu banyak melamun, Naruto-kun."

Gabriel mencubit lengan miliknya, tentu saja Naruto tak merasa sakit, ia hanya merasa terkejut ketika gadis tersebut begitu memperhatikannya.

Detik berikutnya, gadis itu menutup buku miliknya sembari meraih remot yang ada di tangannya.

"Aku pinjam sebentar." Ucapnya singkat.

Naruto hanya membiarkan gadis itu mengambil alih siaran yang sedang ia tonton.

Namun kebersamaan mereka tak bertahan lama karena ia merasakan ada seseorang yang datang, dan tepat ketika ia merasakan hawa tersebut sudah sangat dekat, Gabriel seketika membeku di tempat. Raut wajahnya berubah serius. Naruto tak suka itu.

"Kau kenapa?"

"Tolong maafkan aku, aku harus kembali sekarang dan mungkin aku tak akan bisa untuk memasak makan malam, jadi tolong maafkan aku."

Gabriel dengan cepat bangun dari tempat duduknya dan membereskan barang-barangnya, sebelum akhirnya melenggang pergi meninggalkan apartemen milik pemuda tersebut. Kejadian itu begitu cepat hingga Naruto tak memiliki waktu untuk bertanya lebih lanjut.

'Kenapa ia tiba-tiba bersikap aneh?'

Pasti hawa yang ia rasakan tadi adalah pemicunya.

'Kau mengkhawatirkannya?'

'Aku berbohong jika mengatakan tidak.'

Ia kemudian mengambil mantel miliknya dan segera pergi dari apartemen miliknya.

[…]

Cuaca hari ini begitu buruk, sangat cocok dengan suasana hatinya sekarang.

Langit terlihat begitu gelap, awan terlihat menutupi seluruh langit, bahkan tak ada cahaya matahari yang terlihat. Hanya tinggal menunggu waktu untuk hujan turun dengan deras sekarang.

Ia saat ini tengah membeli makan malam, ia menduga, besok gadis tersebut pasti tak akan datang untuk memasak makan malam. Naruto sangat akan hal itu ketika ia melihat ekspresi serius yang dikeluarkan oleh Gabriel.

Bahkan saat perjalanan pulang, wajah gadis tersebut masih terbayang-bayang di pikirannya.

Saat ia tiba di koridor menuju ke apartemennya, ia merasakan hawa lain yang tadi datang masih berada di sana. Ia kemudian segera bersembunyi dan berniat mengintip. Ia tahu ini bukan perbuatan yang sopan, tapi ia tak punya pilihan lain. Rasa penasaran ini mengalahkannya.

Ia melihat seorang laki-laki tengah menghadap ke arah Gabriel, ia terlihat berbicara beberapa kata sebelum akhirnya melangkahkan kakinya pergi meninggalkan gadis tersebut. Ia tak berniat menyembunyikan dirinya dan hanya memilih berjalan melewati laki-laki tersebut.

Ketika mereka berpapasan, laki-laki tersebut hanya melirik sebentar ke arah Naruto sebelum akhirnya pergi tanpa mengatakan sesuatu.

'Apa yang dilakukan salah satu seraph surga itu kemari?'

'Pastinya bukan sesuatu yang bagus.'

Naruto sangat yakin akan pemikirannya tersebut. Ia melihat Gabriel berdiri di sana dengan wajah berantakan, ia bisa merasakan aura putus asa dari gadis tersebut. Salahkan saja Kurama, berkatnya ia dapat merasakan aura seseorang dengan begitu mudah.

Saat ia melihat gadis tersebut akan melangkah masuk ke dalam apartemennya, ia dengan segera mempercepat langkah kakinya dan menahan daun pintu apartemen milik Gabriel. Gabriel yang melihat itu tentu saja terkejut namun sedetik kemudian ia segera memperlihatkan senyum miliknya.

Naruto yang melihat itu tak dapat menahan emosi miliknya, ia dengan cepat meraih tangan Gabriel dan membawa gadis itu untuk ikut bersamanya.

"Maaf, tapi tolong ikut aku sebentar."

Gabriel tak melawan dan hanya mengikuti ke mana pemuda tersebut akan membawanya. Naruto membawa gadis itu ke apartemen miliknya. Setelah mereka berdua tiba di apartemen milik pemuda tersebut, Naruto membawa gadis ini ke arah sofa yang ada di ruang tamu miliknya dan mendudukkan gadis itu di sana.

Ia menunjukkan senyum lemah, terlihat begitu rapuh. Poni miliknya terlihat menutupi wajah cantik itu. Naruto dengan lembut mengeratkan genggamannya pada tangan Gabriel.

"Maukah kau mendengar ceritaku?"

Butuh waktu setidaknya 15 menit hingga gadis tersebut mau berbicara.

"Kakakku menghilang saat sedang menjalankan tugasnya. Satu-satunya keluarga yang kumiliki sekarang menghilang."

Gabriel akhirnya menceritakan kenapa ia terlihat begitu hancur. Tentu saja ia tahu siapa orang yang dimaksud gadis ini. Tapi Naruto hanya memilih untuk diam dan mendengarkan cerita gadis ini.

"Kau masih ingat saat kau memberikan payungmu padaku di taman waktu itu?"

Naruto hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Saat itu aku merasa begitu merindukan Ayah, hingga aku tak sadar bahwa saat itu hujan turun dengan deras."

Setelah mendengar kata-kata itu, Naruto akhirnya mengerti mengapa gadis ini berada di bawah guyuran hujan waktu itu. Ia mengetahui dari Azazel bahwa Tuhan di dunia ini sudah meninggal dalam Great War.

Ia mengerti kenapa Gabriel terlihat begitu terguncang. Ia seperti tak memiliki tempat untuk pergi, dan menunjukkan wajah menyedihkan itu. Sebagai salah satu pemimpin surga, ia pasti dituntut untuk menjadi contoh bagi malaikat lainnya.

Tapi sesungguhnya, jauh dalam dirinya, ia hanyalah seorang gadis biasa yang membutuhkan kasih sayang dan juga perhatian. Ia tahu itu egois, maka dari itu ia tetap memendam sendiri perasaan ini.

Ia terlihat begitu sempurna guna menutupi dirinya yang rapuh, karena tak bisa meminta bantuan kepada siapa pun. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia menangis, karena tak mampu melampiaskan semua perasaan ini.

Tak baik memang jika ia mencampuri urusan keluarga gadis ini, tapi kalimat yang Michael ucapkan tempo hari membuat ia sadar, gadis ini butuh bantuan, ia butuh tempat bersandar, tempat di mana ia dapat mengeluarkan semua isi hatinya.

Naruto melepaskan mantel yang ia gunakan untuk menutupi tubuh gadis malaikat tersebut. Ia kemudian menarik tubuh mungil tersebut ke dalam pelukannya. Ia mendekap gadis tersebut dengan erat, memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan.

"Na-Naruto-kun?"

"Aku mengerti apa yang kau rasakan, karena aku juga pernah merasakannya."

Naruto pernah berada di posisi Gabriel sekarang, sendirian di dunia ini tanpa orang tua, saudara, ataupun teman.

Ia hanya dapat bertahan, jika ia menunjukkan kelemahannya, tak akan ada orang yang dapat ia ajak untuk berbagi cerita. Jadi pada akhirnya gadis ini hanya bisa diam membisu, tanpa bisa meminta bantuan pada siapa pun.

"Aku akan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Jadi menangislah sesukamu, keluarkan semua emosi yang kau pendam selama ini tanpa tersisa sedikit pun."

Sejujurnya Naruto tak ingin melihat gadis ini menangis, tapi jika ia tetap membiarkan semua beban itu menumpuk, cepat atau lambat gadis ini akan hancur menjadi serpihan kecil yang tak bisa ia satukan kembali.

Naruto ingin gadis ini menumpahkan semua emosi miliknya saat ini. Jika ia merasa kesepian, Naruto ingin menjadi orang pertama yang menemaninya, jika ia merasa sedih, Naruto ingin menjadi orang pertama yang menghiburnya.

Sesungguhnya ia merasa terlalu percaya diri, tapi semua pikiran itu terbantahkan ketika ia merasakan tangan milik Gabriel mulai bergerak dalam pelukan mereka.

"Aku harap kau bisa menjaga rahasia."

"Tentu."

"Terima kasih."

Naruto mengeratkan pelukannya begitu mendengar suara Gabriel yang bergetar diikuti suara isakan yang terdengar samar. Suara itu tak begitu keras, tapi ia dengan jelas mendengar suara isak tangis milik gadis itu.

Gadis ini menangis, ia benar-benar menumpahkan semua emosi yang ia pendam selama ini, Naruto merasakan dadanya basah oleh air mata malaikat ini.

Gabriel mendongak, matanya masih terlihat lembab, tapi raut wajahnya berubah, matanya memancarkan kehidupan tak seperti sebelumnya.

"Naruto-kun."

"Ada apa?"

"Terima kasih banyak."

Belum sempat pemuda itu membalas ucapan terima kasih milik Gabriel, gadis ini kembali memeluk pemuda tersebut dengan erat.

"Biarkan aku seperti ini dulu."

Naruto tak membalas ucapan tersebut dan hanya mengeratkan pelukannya pada Gabriel.

'Kau sudah bekerja sangat keras. Kau bisa menjadi dirimu sendiri di depanku, Gabriel.'

Ia membelai lembut mahkota pirang tersebut, memberikan kenyamanan hingga gadis itu merasa tenang dalam pelukannya.

Ketika suasana hatinya sudah sedikit membaik, Gabriel menatap pemuda tersebut dengan pandangan ingin tahu.

"Apa yang harus aku lakukan mulai sekarang?" Gabriel bergumam pelan, menunjukkan raut wajah gelisah miliknya.

"Lakukan apa yang menurutmu benar, jangan pernah memendam perasaanmu sendirian lagi. Jika kau butuh seseorang untuk diajak bicara, kau bisa mengandalkanku."

"Apa kau benci melihatku menangis?"

"Ibuku selalu berpesan untuk tidak membuat seorang gadis menangis. Tapi jika itu membuatmu merasa lebih baik, maka aku dengan senang hati melanggar permintaannya."

"Jadi kau suka jika aku menjadi cengeng?"

"Dari mana kesimpulan itu datang?"

Sekali lagi, Gabriel membenamkan wajahnya kembali ke dada pemuda itu, menikmati setiap inci kenyamanan yang diberikan oleh pemuda ini. Tanpa sadar ia kembali terisak, meneteskan air matanya.

"He-hei, kenapa kau malah menangis lagi."

"Karena aku merasa senang…"

Naruto dibuat bingung sendiri dengan tingkah laku gadis ini.

"... Aku tahu ini permintaan yang egois. Tapi tolong, tetaplah berada di sisiku."

"Aku akan tetap berada di sisimu… selamanya."

Begitu Naruto mengatakan itu, Gabriel memeluk Naruto dengan erat, membenamkan dirinya dalam pelukan hangat milik pemuda tersebut. Jantungnya berpacu begitu cepat. Ia merasa seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan. Naruto dengan segera membuang pikiran itu jauh-jauh, dan balas memeluk tubuh malaikat itu sekali lagi.

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

To Be Continued


AN: Halo ketemu lagi dengan saya, saya harap kalian semua dalam keadaan baik-baik saja. Seperti biasa chapter kali ini butuh waktu agak lama dari sebelumnya jadi saya mau minta maaf untuk hal itu. Terima kasih karena masih menantikan cerita saya ini, terima kasih banyak atas dukungan kalian semua, berkat kalian saya bisa sejauh ini. Tetap jaga kesehatan kalian, dan sampai bertemu lagi di chapter depan.


[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

[…]

"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?"

"Selalu ke intinya seperti biasa, bukankah begitu?"

Naruto pergi menemui Azazel setelah ia mendapat pesan dari gubernur itu. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan pesan tersebut, tapi ia merasa harus datang karena firasatnya mengatakan ia harus datang.

"Ada orang yang ingin bertemu denganmu, mungkin sebentar lagi dia akan datang."

Tak perlu menunggu lama, orang yang mereka bicarakan muncul. Ia dapat melihat sosok tersebut dengan jelas, tubuh tinggi tegap dengan rambut pirang panjang miliknya.

Ia tahu siapa orang ini, atau lebih tepatnya ia tahu siapa malaikat ini. Tapi yang ia ingin tahu, apa yang malaikat ini inginkan darinya, sampai meminta bantuan gubernur mesum ini untuk menemuinya?

"Perkenalkan, dia adalah Michael-"

"Pemimpin surga saat ini. Benar begitu?"

"Tepat sekali."

"Jadi apa yang diinginkan pemimpin surga menemui manusia sepertiku ini?"

"Haha, tanpa basa-basi dan langsung menuju ke intinya, Naruto-dono. Boleh kupanggil begitu?"

"Tentu."

Michael terlihat berjalan pelan ke arah pinggiran sungai, tempat di mana Naruto serta Azazel duduk.

"Perihal permintaanku untuk bertemu denganmu adalah untuk mengucapkan terima kasih secara langsung kepadamu."

"Aku tak merasa pernah membantumu."

"Memang, tapi kau menyelamatkan adikku, Gabriel."

Naruto merasa kesal, jika pemuda ini tahu adiknya dalam bahaya, kenapa ia tak segera menyelamatkannya.

"Jika kau melihatnya, kenapa kau tak segera menyelamatkannya, sialan!" Naruto sudah tak mampu mengendalikan emosinya lagi.

"Tolong tenangkan dirimu, Naruto-dono. Aku sendiri tak mengetahui adikku diserang saat itu, jika ia tak melaporkannya kepadaku."

"Lalu dari mana kau tahu aku menyelamatkan adikmu, aku yakin saat itu Gabriel tak melihatku sama sekali."

"Benar, tapi ia melihat seorang pemuda dengan jubah berwarna oranye yang dapat menghilang dalam kilatan berwarna kuning-"

"Dan hanya satu orang yang dapat melakukan hal tersebut, kau pasti tahu siapa orangnya."

Azazel memotong penjelasan Michael karena merasa suasana di sini semakin memanas.

"Dengar, aku tahu kau marah karena aku membocorkan identitasmu, tapi aku harus melakukannya ketika mendengar alasannya."

"Karena ia ingin berterima kasih?" Naruto balas bertanya.

"Bisa kau tinggalkan kami berdua, Azazel?"

"Tentu, Michael."

Azazel terlihat beranjak dari tempat duduk miliknya, dan pergi dari tempat itu dengan menggunakan lingkaran sihir miliknya. Setelah kepergian Azazel, Michael juga terlihat bangun dari tempat duduknya dan kemudian merapalkan sesuatu.

"Apa yang kau lakukan?"

"Memasang pelindung, agar tak ada orang yang menguping pembicaraan kita."

Naruto meringis mendengarkan hal tersebut.

"Jadi, hal penting apa yang ingin kau bicarakan denganku?"

Michael menarik nafasnya sejenak, sebelum mulai berbicara.

"Tolong dengarkan penjelasanku dengan baik. Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi setidaknya kau harus mengetahui hal ini."

"Sebagai seorang malaikat, kami lahir ke dunia untuk melayani Ayah atau yang kalian kenal sebagai Tuhan di dunia ini. Sejak Ayah meninggalkan tahta miliknya, sistem surga menjadi tidak stabil yang mana menyebabkan banyak masalah, salah satunya banyak dari kami yang jatuh karena kehilangan arah serta tujuan."

"Langsung saja ke intinya."

"Maaf, akan aku lanjutkan. Kau tahu alasan kenapa Gabriel dikirim ke Kuoh sebagai perwakilan dari fraksi malaikat?"

Naruto hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Sejak kepergian Ayah, Gabriel seperti menjadi orang lain. Ia sering melamun dalam rapat, gadis itu tak pernah bercerita apa pun kepadaku ataupun malaikat yang lain. Jika aku tetap membiarkan dia berada di surga, cepat atau lambat ia akan menjadi malaikat jatuh."

"Jadi kau memutuskan mengirimnya ke bumi?"

"Benar, tapi pada satu titik aku merasakan perubahan pada Gabriel. Entah kenapa ia seperti menemukan kembali cahaya kehidupan miliknya. Sebagai kakaknya, tentu saja aku merasa senang."

Michael menarik nafas sejenak.

"Sebelumnya aku minta maaf karena memata-mataimu. Tapi berkat itu aku bisa menyimpulkan teoriku selama ini."

"Dan apa itu?"

"Kau adalah orang yang spesial, Naruto-dono."

"Maksudmu?"

Naruto tak mengerti, kenapa ia disebut spesial. Ia tak merasa pernah membantu pemuda ini selain menolong adiknya, Gabriel. Apakah dimata-matai membuatnya menjadi orang yang spesial?

"Kau tahu, malaikat tak diizinkan untuk jatuh cinta. Setidaknya, tidak sampai mereka melakukan ritual serta sumpah di atas altar khusus. Tapi kau dan Gabriel berbeda. Normalnya, Gabriel sudah jatuh sekarang karena berhubungan denganmu, tapi itu tidak terjadi."

"Jika memang ini karena kesalahan sistem surga, seharusnya malaikat lain tidak akan menjadi malaikat jatuh ketika mereka jatuh cinta. Tapi tidak, ini bukan karena kesalahan sistem surga dan aku yakin akan hal tersebut."

Terdengar gila memang. Bagaimana malaikat ini bisa menyimpulkan hal serumit ini dengan begitu mudah. Tidakkah ia sadar bahwa adiknya bisa saja menjadi malaikat jatuh, jika ia jatuh ke tangan yang salah.

Michael mengeluarkan sesuatu dari dalam saku miliknya.

"Tolong berikan ini kepada Gabriel ketika kau merasa emosinya sudah stabil."

Michael menyerahkan sepucuk surat kepada pemuda tersebut. Naruto hanya menerima surat tersebut dengan tanda tanya di kepala miliknya. Kenapa pemuda ini tak menyerahkan langsung kepada gadis tersebut.

Detik berikut ia dibuat terkejut.

"Aku titipkan adikku padamu, karena hanya kau yang bisa kumintai tolong."

Michael tersenyum sembari menundukkan kepala miliknya. Ia tak seharusnya merendahkan dirinya seperti ini. Bagaimanapun juga pemuda di depannya ini adalah seorang pemimpin. Demi adiknya sendiri, pemuda ini rela melakukan hal gila seperti ini.

"Aku mempercayakan Gabriel padamu."