Balas review:

SI PALING REVIEW:

(Chap7) set dah gan, mokad ndasmu, author update nya memang lama sih wkwk.

Gak bisa fast up, karena fanfic ini cuma hobi, lebih fokus ke RL :D

Tapi bukan berarti fic ini akan diabaikan. Skenario terburuk, author akan mengadakan pengumuman, kalau misalnya hiatus gak terelakkan :D

(Chap7.2) Soal story line, makasih atas komentar baiknya :D

Alix Nostrand:

Woah, nice review gan :)

Soal watty, udh pernah dipindahin, tapi rencananya author akan membuat alur yg berbeda dari versi fanfic nya :D

Tapi soal up versi watty, ada kemungkinan bakal sangat lama, jadi jangan mengharapkan yg versi watty akan up dalam waktu dekat :D

Guest:

Makasih atas kesabarannya. Ini sudah up :D

MFaizB:

Mantap, makasih support nya, sudah up ini :D

Asuka Ryu:

Yah, bukan kurumi namanya kalau gak agresif, wkwk :D

Soal permintaan kurumi, tentunya akan ada alasan dibalik itu semua, jadi harap bersabar :)

Genesis0417:

(Chap7) sip, udh up ini :D

(Chap6) wokeh, thanks untuk support nya :)

(Chap5) makasih atas kesabarannya :D

(Chap4) sampai end hm? Mari kita lihat nanti v:

(Chap2) hadeh, yah, mau review atau gak terserah sih :v

(Chap1) sudah lanjut nih :D

Guest:

Hanya karena Kurumi ingin 'dibunuh', bukan berarti Naruto akan membiarkannya tentu saja :D

Guest:

hehe

Agam31p:

wkwk, cliffhanger itu nomor satu, untuk author mwehehe :D

Wokeh, sudah up ini :)

Megumin07:

Well, lama atau enggaknya, sebenarnya author nyari waktu yg tepat, hehe :D

Yah, begitulah Kurumi, agresif is number one, walau kencan permulaan :)

Makasih. Kamu juga jaga kesehatan ya :D

Insya allah ampe tamat :D

Ren Haryo1:

Mantap, makasih bro :D

Yah, punya fb, dan kau sudah add pertemanan kita :D

Baiklah, sampai sini saja sesi balas reviewnya :D

Dan seperti biasa, komentar reader-san sekalian gak henti-hentinya membuat author puas saat membacanya, mantap kalian semua :)

Tanpa basa-basi lagi silakan membaca update chapter 8 di bawah ini ;)

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Seirei Ninja

Summary

Menemukan dirinya di dunia lain, ninja pirang itu mencoba hidup dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Akan tetapi kehadiran berbagai gadis unik di kehidupan keduanya perlahan membawa keunikan tersendiri di kesehariannya.

.

.

Disclaimer

Naruto dan Date a Live dimiliki oleh pemilik aslinya. Author hanya meminjam mereka untuk kepentingan fanfic ini.

.

.

Genre

Utama : Romance. Drama. Friendship. Harem.

Selingan : Humor. Family. Action.

Warning : Semi-OOC Naruto.

.

.

Chapter 8

Jam Pengatur Waktu

(Part 3)

.

.

.

Pagi hari tiba.

Kondisi lantai di gedung ini berlangsung tenang. Beberapa ada (yang saling) menyapa dan fokus pada pekerjaan masing-masing.

Naruto mengamati monitor dengan fokus. Layar komputer itu menampilkan halaman, judul, dan jumlah kata (yang telah) terkumpul.

"Aku terkejut kau masih bisa tenang setelah pernyataan cewek di sampingmu ini."

'Bukan berarti aku gak memikirkan kata-kata Kurumi-chan yang kemarin, tapi pikiranku sedang fokus dengan pekerjaan sekarang.'

Nia beralih ke samping.

Nia berkedip.

"Kadang aku lupa betapa pekerja kerasnya kau ini," kata Nia.

Naruto terkekeh.

"Ayolah, Nia-chan, ini hal normal bagiku," ujar Naruto.

Kurumi tersenyum tipis.

"Ara, ara, kau sudah seperti pegawai teladan saja, Naruto-san," kata Kurumi.

"Dan itu fakta yang terjadi di lapangan." (Nia).

"Kenapa aku merasa ada nada keraguan di kata-katamu?" (Naruto).

"Pfft, omong kosong, mungkin itu cuma imajinasimu saja." (Nia).

Naruto (sweatdrop).

Kurama terkekeh.

'Sebelum kau bilang apapun, ketahuilah hal ini; kau bajingan.'

"Heh, kedengarannya seperti pujian bagiku."

'Terserah.'

Namun, meski demikian, kenyataannya Naruto masih memikirkan perkataan Spirit itu semalam.

Naruto berkedip.

"Permintaan untuk membunuhmu… kau bilang?"

Kurumi mengangguk.

"Ya."

Naruto mengerutkan alis.

"Persoalan ini… aku rasa mustahil untuk aku jawab sekarang."

Kurumi tertawa kecil.

"Ufufufu, tentu saja kau gak perlu menjawabnya sekarang." Kurumi menambahkan. "Aku akan memberikanmu waktu, paling lama tiga hari, bagaimana menurutmu?"

Naruto mengangguk.

"Itu sudah cukup bagiku."

Kurumi berseri.

"Bagus. Kalau begitu sampai jumpa lagi esok."

"Ya, sampai jumpa lagi esok."

"…"

Naruto kehabisan kata-kata.

Mengapa dia bisa semudah itu meminta hal tersebut kepadanya?

Atas dasar apa?

Apakah karena masa lalunya?

"…"

Naruto berdiri.

"Kau mau ke mana, Naruto-san?" tanya Kurumi.

"Oh, aku pengen ambil minum," balas Naruto.

Kurumi berkedip.

Kurumi mengangguk. Pandangan gadis itu kembali pada layar komputer.

Naruto melangkah ke mesin minuman.

Naruto menyelipkan koin ke slot, menekan tombol tertentu, dan duduk di kursi.

"Kenapa aku merasa kau sudah temukan solusi dari masalah ini."

Naruto membuka penutup kaleng.

'Kurang lebih, tapi belum tentu ini benar atau bukan, masih dugaan untuk saat ini,' balas Naruto.

Kurama menyeringai.

"Setidaknya kau sudah punya arah yang pasti sekarang ketimbang sebelumnya," jawab Kurama.

Naruto menahan senyumnya.

'Ya, begitulah.'

Naruto minum sejenak.

Setelah minum, dia kembali ke tempat duduknya, dan sempat membuang kaleng itu.

Naruto merasakan saku celana(nya) bergetar dan mengeluarkan ponsel. Ada sebuah pesan masuk ke nomor kontaknya.

Nia:

Naruto-kun, ada hal yang mau kubicarakan, ini menyangkut Kurumi-chan.

Naruto berkedip.

Naruto mengetik balik.

Naruto:

Nanti kita bicarakan ini di rumah khusus Spirit.

Naruto menekan tombol kirim.

Pesan lain datang beberapa saat kemudian.

Nia:

Roger ^_^

Naruto mengembalikan ponsel ke tempat semula.

Naruto tersenyum tipis.

'Ada-ada saja dia itu.'

Naruto kembali berjalan ke meja(nya).

Naruto duduk.

Nia melirik ke arahnya.

"Kau tadi habis ngapain?" tanya Nia.

Nada bicaranya terdengar penasaran.

"Oh, aku cuma beli minum," jawab Naruto.

Nia menyengir.

"Kirain abis goda pegawai dari divisi lain."

"Kalau aku lakukan itu, maka ingatlah kalau kau adalah salah satu targetku, Nia-chan."

Nia memerah wajahnya.

Nia kembali memperhatikan komputer(nya) dengan raut serius.

"Gak ada balasan?" (Naruto).

"Berisik." (Nia).

Kurumi mengamati interaksi keduanya.

"Ufufufu, apa ada rahasia dibalik kedekatan kalian?" tanya Kurumi.

Nia berkedip.

"Ah, benar juga, kau masih baru di sini jadi wajar saja kau gak tahu." Nia menambahkan. "Bisa dibilang saat Naruto-kun awal datang kemari, aku diberikan amanah dari atasan untuk mengarahkannya."

Kurumi tertarik.

"Jadi ini yang dimaksud Mathers-san rupanya."

"Eh? Dia sempat bicara hal ini juga padamu?"

"Ya, sebelum Naruto-san tiba, beliau sempat menceritakan beberapa hal kecil tentang Naruto-san."

"Seperti kebiasaan ngupilnya?" (Nia).

"Oi, jangan ungkit lagi kejadian yang sudah lama terjadi." (Naruto).

"Lebih ke tingkah laku dan keseriusannya dalam bekerja." (Kurumi).

Nia menghela nafas.

Nia beralih ke layar komputer(nya).

"Mengecewakan," ujar Nia.

Naruto terkekeh.

"Dan aku berpikir sebaliknya," ujar Naruto.

Kurumi tertawa kecil.

Naruto melirik ke arahnya.

Kurumi menyadari hal ini.

"Ara, apa kau ada keperluan denganku, Naruto-san?"

"…"

Naruto tersenyum.

"Kalau kau butuh bantuan dengan pekerjaanmu, jangan sungkan datang kepadaku," kata Naruto.

Kurumi berseri.

"Ufufufu, akan kuingat baik-baik tawaranmu ini."

"Bagus kalau begitu."

Mereka kembali fokus ke pekerjaan masing-masing.

Namun, ekspresi keduanya terlihat serius, lalu berubah menjadi tenang lagi.


Terletak dalam ruangan minim penerangan, sebuah meja bundar melengkapi tempat ini dengan beberapa kursi mengitari meja itu.

Namun, ketimbang manusia asli, proyeksi hologram pria dan wanita (yang mengisi) semua kursi tersebut.

Mereka semua adalah orang-orang penting di [Ratatoskr]. Saat ini mereka sedang membahas perihal aktivitas [Fraxinus] selama ini.

"Kuakui, aku tidak menyangka kita bisa sampai sejauh ini," kata seorang pria.

"Ini hal yang wajar, dengan bantuan dana dan teknologi dari kita, misi menyelamatkan Spirit bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan," sahut seorang wanita.

Salah satu hologram pria beralih pada seseorang.

"Omong-omong, bagaimana keadaan dengan keadaan [Nightmare] saat ini, Komandan Asahiko?"

Maria (dengan seragam komandan-nya) menunjukkan ekspresi tenang. Gadis ini berdiri di sisi lain meja.

"Untuk sekarang kami masih dalam proses pendekatan dengan [Nightmare]. Namun, aku optimis kami bisa meyakinkan Tokisaki Kurumi untuk mempercayai [Ratatoskr], sama seperti [Princess] sebelumnya," jelas Maria.

Mereka semua mengangguk.

"Aku baru ingat, tentang kandidat yang cocok untuk berinteraksi dengan Spirit, bagaimana kalau diganti saja?" usul seorang pria.

Maria berkedip.

"Maaf jika ini terdengar lancang, tapi atas dasar apa usulan tiba-tiba ini?" tanya Maria.

"Begini, Komandan Asahiko, kami menilai performa yang ditunjukkan Uzumaki Naruto tidak sehebat yang kamu dan Mr. Woodman bilang, untuk itu, penggantinya harus segera dicari secepat mungkin," ujar seorang pria.

"Kalian tidak perlu cemas, putraku yang multi-talenta seharusnya bisa jadi pengganti yang cocok," ucap seorang wanita.

Nada bicaranya terdengar bangga.

Sebagian hologram pria menggangguk.

"Benar."

"Aku setuju."

"Memang sudah sepantasnya kita serahkan ini pada yang lebih layak."

Maria matanya menyipit.

Namun, untuk sesaat, pandangan matanya kembali normal.

"Akan tetapi, berkat bantuan dari Uzumaki Naruto, [Princess] dapat terselamatkan. Terlebih, aku rasa keputusan ini terlalu mendadak dan perlu dilakukan diskusi terlebih dahulu," sela Maria.

Hologram wanita itu menggeram.

"Jadi maksudmu, anakku yang sempurna itu kalah dari seseorang yang jelas-jelas cuma penulis buku murahan-"

"-sepertinya ada kesalahpahaman di sini."

Hologram wanita itu beralih ke samping.

"Apa maksudmu, Mr. Woodman?"

Hologram pria dengan kacamata tersenyum pada Maria.

"Maksudku, mengingat betapa sibuknya jadwal yang dimiliki putramu, mungkin akan lebih baik kalau dia fokus saja ke pendidikannya di luar negeri. Bukankah begitu, Komandan Asahiko?"

Maria perlahan mengangguk.

"Ya, itu.. yang kumaksud barusan."

Hologram wanita itu nampak bersalah.

"Oh, kuharap kau memaafkan kata-kataku barusan, Komandan Asahiko. Tidak sepantasnya aku bicara seperti itu padamu."

Maria tersenyum.

"Dengan sepenuh hati aku terima permintaan maafmu."

Hologram wanita itu ikut tersenyum.

Hologram wanita itu berkedip.

"Oh, aku baru ingat, kenapa kau tidak segera menjadikan Uzumaki Naruto sebagai milikmu seorang?"

Maria tercengang. Wajah gadis itu sempat memerah.

"H-Hah? Hal semacam itu, aku…"

Sebagian hologram pria itu berdiskusi dengan serius.

"Aku tahu lokasi liburan yang cocok untuk pasutri muda. Bagaimana denganmu?"

"Mari kita bicarakan dulu soal biaya melahirkan, tentunya ini pembicaraan privasi dengan kita saja, jadi Komandan Asahiko tidak perlu ikut."

Hologram pria dengan kacamata menyela percakapan mereka.

"Sudah-sudah, kalian ini, berhenti menggoda Komandan Asahiko. Kita sedang rapat serius saat ini," ujar pria ini.

Percakapan mereka terhenti.

Maria tenang.

Hologram pria kacamata itu tersenyum.

"Mengingat informasi yang kami ketahui tentang [Nightmare] juga sedikit, kami gak bisa membantu banyak." Dia masih bicara. "Meski begitu, jika [Fraxinus] butuh sesuatu, [Ratatoskr] akan dengan segera menyediakan bantuan yang kalian perlukan. Baik dalam bentuk dana, teknologi, maupun tenaga kerja."

"Kami mengapresiasi bantuan yang diberikan dari pusat," jawab Maria.

Hologram lainnya bersuara.

"Waktunya sudah habis."

"Teruskan perjuanganmu, Komandan Asahiko."

"Kami akan mendukung kalian dibalik layar."

Sebagian besar hologram mati satu demi satu. Hanya hologram pria dengan kacamata (yang masih) aktif.

Hologram pria kacamata itu tersenyum pada Maria.

"Kuharap kau bisa bersabar dengan sikap rekan-rekanku tadi, Komandan Asahiko."

Maria mengangguk.

"Ini bukan masalah besar, Mr. Woodman." Maria masih bicara. "Lagi pun, ini bukan rapat pertamaku dengan mereka, jadi aku sudah terbiasa dengan hal semacam itu."

"Begitukah? Tapi entah kenapa saat yang lain membahas hal buruk soal Uzumaki Naruto-kun, kau tampak kesal, apa ada maksud tertentu dari perilakumu itu?"

Maria berdeham.

"Soal itu… fakta aku kesal memang benar, tapi itu karena saya paham kinerja dan kapasitas Uzumaki Naruto. Tidak lebih dan tidak kurang," balas Maria.

"Jika kau bilang begitu, maka aku gak akan membahas topik ini lebih lanjut."

Maria bernafas lega.

"Aku pamit undur diri. Jaga diri kalian baik-baik."

Hologram pria kacamata itu mati.

Lampu di ruangan ini menyala.

Maria berjalan ke sebuah pintu.

Pintu ini terbuka.

Maria melangkah keluar.

Pintu ini tertutup secara otomatis.

Maria bergerak di lorong kapal sendirian. Hanya dia seorang (yang berada) di [Fraxinus] saat ini.

'Beban jadi komandan memang berat, tapi meski begitu, aku gak akan menyerah begitu saja.'

Sebenarnya, dia sudah lama menyiapkan diri untuk menjalani tugas ini, dan paham konsekuensinya jika misi mereka gagal.

Tentu saja Maria mengakui kalau bukan karena bantuan dari kru kapal, terutama Naruto, maka tujuan "Menyelamatkan Spirit." hanya imajinasi belaka.

'Tetapi… sampai ada yang meragukan kapasitas Naruto ku… itu cukup menyebalkan.'

Maria berkedip.

Maria merona.

'Kenapa aku malah berpikir ke arah situ?! Dasar pikiranku yang aneh dan menyebalkan.'

Maria menepuk pipinya.

'Fokus, pikirkan hal lain, jangan Naruto terus… ah mou!'

Maria mengepalkan tangannya.

Maria meninju wajahnya sendiri.

Dia menggeleng.

"Haah, begini lebih baik," gumam Maria.

"…"

Maria menghembuskan nafas.

"Mumpung gak ada kegiatan lain, kurasa aku akan bersantai saja di rumah."

Sebuah sinar menyelimuti gadis itu.

Maria lenyap dari tempatnya berdiri.


Minowa penasaran.

"Jadi, kau ingin membahas apa dengan kami, Tenka-chan?"

Mereka sekarang tengah berada di sebuah kafe. Kebetulan Spirit itu sendiri (yang memilih) tempat ini sebagai lokasi pertemuan mereka.

"…"

Shiizaki tersenyum.

"Kalau kau merasa gugup, tarik nafas sejenak, lalu keluarkan dengan perlahan," saran Shiizaki.

"Um, aku mengerti," kata Tenka.

Tenka menarik nafas lalu membuangnya perlahan.

"Aku…"

Minowa dan Shiizaki menunggu dengan sabar.

"…merasa aneh saat di dekat Naruto."

"…"

"…"

Minowa mendadak memeluk Spirit itu setelah pindah ke sampingnya.

Tenka tercengang.

"H-Hey, Minowa…"

Minowa menatap wajahnya.

Minowa tersenyum lebar.

"Dari lubuk hatiku terdalam, aku benar-benar bangga padamu," ujar Minowa.

Shiizaki menghela nafas.

"Minowa, ini pembicaraan serius, jadi tolong jangan anggap sepele hal semacam ini." (Shiizaki).

"Hehe, maaf, maaf, aku cuma bercanda saja tadi." (Minowa).

"Ada-ada saja kau ini." (Shiizaki).

"Tehee." (Minowa).

Shiizaki beralih pada Spirit itu.

Shiizaki tersenyum simpul.

"'aneh' yang kau bicarakan ini, seperti apa rasanya?" Shiizaki menambahkan. "Enggak perlu tergesa-gesa. Coba jelaskan secara perlahan."

Tenka mengangguk.

"Entah gimana… ini terjadi beberapa hari setelah Naruto menyegel kekuatanku."

Mereka menyimak penjelasan dia.

"Mula-mula, gak terjadi apa-apa, tapi ketika Naruto terus-menerus memberiku perhatian khusus, entah kenapa…"

Tenka terdiam sejenak.

"…ada sesuatu… yang hangat kurasakan saat di dekatnya. Hal ini gak terjadi sekali atau dua kali, melainkan beberapa kali." Tenka masih bicara. "Namun, saat aku lihat Naruto berduaan dengan Spirit lain, rasanya… ada sesuatu yang sakit di dalam diriku."

Dia menatap Shiizaki dan Minowa.

"Sebenarnya… apa yang kurasakan ini?"

"…"

"…"

Shiizaki tersenyum.

"Itu berarti, kau menganggap Naruto lebih dari sekedar teman," kata Shiizaki.

"Seperti saudara?"

"Lebih dari saudara."

Tenka terdiam.

"Kedengarannya cukup rumit."

"Kau pasti pernah dengar kata keluarga, bukan?"

"Oh, kalau soal itu aku tahu." Tenka masih bicara. "Keluarga terdiri ayah, ibu, kakak, adik, dan saudara maupun saudari, 'kan?"

Shiizaki mengangguk.

"Itu benar, tapi, apa kau tahu, sebelum seorang ayah dan ibu disebut, mereka dipanggil apa sebelum kedua itu?"

"Oh, aku gak tahu soal ini," kata Tenka.

"Jawabannya adalah sepasang kekasih," balas Shiizaki.

Tenka penasaran.

"Sepasang kekasih katamu?"

Minowa minum sejenak.

"Benar, dan sebelum sepasang kekasih, mereka adalah teman," ujar Shiizaki.

"…"

"Um, gitu rupanya, aku mulai paham sekarang."

Shiizaki puas.

"Bagus kalau begitu."

Tenka beranjak dari kursi.

Tenka tersenyum pada keduanya.

"Sisanya aku akan cari sendiri. Makasih atas bantuan kalian."

Tenka melangkah keluar.

Minowa dan Shiizaki mengamati kepergiannya.

"Aku penasaran kenapa Tenka-chan gak cari hal ini di internet saja." (Minowa).

"Mencari dari sumber lain bukan ide buruk. Terlebih gak semua yang ada di internet itu sesuai kenyataan." (Shiizaki).

"Huh, kau benar juga." (Minowa).

Minowa berkedip.

Minowa melirik ke arahnya.

Shiizaki mengerutkan alis.

"Apa?"

Minowa menyengir.

"Jadi… kapan kau mau ungkapkan perasaanmu pada…"

Shiizaki merona.

"M-Minowa."

Dia tertawa.


Sore hari tiba.

Ia tengah berada di sebuah restoran. Pakaian (yang dikenakan) lelaki itu nampak santai tapi bagus.

"Jadi, apa kau akan blak-blakan bilang kau menolak keinginannya?" tanya Kurama.

'Aku punya cara lebih baik sebetulnya.'

"Contohnya?"

'Tipu muslihat.'

Kurama berkedip.

Kurama menyeringai lebar.

"Sejak kapan kau jadi bajingan?"

Naruto menahan senyumnya.

'Menurutmu?' balas Naruto.

"Heh, aku ikut apapun rencanamu."

'Dengan sepenuh hati.'

Beberapa saat berlalu.

Seseorang mendekati meja lelaki itu.

"Aku gak sangka kau akan mengajakku makan lagi."

"Anggap saja ini sebagai balas budi atas makan malam waktu itu."

Kurumi tersenyum tipis.

"Ara, begitu rupanya."

Naruto tersenyum.

Mereka memesan makanan.

Sambil menunggu pesanan, keduanya menerima air mineral secara cuma-cuma dari pelayan, dan itu merupakan cara tempat ini menyambut pelanggannya.

"Oh iya, Kurumi-chan, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Naruto.

"Ufufufu, selama aku bisa menjawabnya, kurasa bukan masalah," jawab Kurumi.

"Makasih, dan apa yang ingin kutanyakan sebenarnya cukup sederhana."

"Apa itu?"

Naruto tersenyum.

"Kurumi yang mana kau saat ini?"

"…"

Kurumi minum sejenak.

"Apa aku salah?"

Kurumi meletakkan cangkir.

Kurumi menghela nafas.

"Enggak, kau sama sekali gak salah." Kurumi menambahkan. "Dan seperti tebakanmu, aku bukanlah yang "Asli."... jika itu yang kau tanyakan."

"Mau "Asli." atau bukan, bagiku kau juga tetaplah Kurumi, dan itu gak akan berubah sampai kapan pun juga," jelas Naruto.

Semburat merah muda nampak di pipinya.

Kurumi berdeham.

"Y-Ya, apa cuma itu saja yang mau kau tanyakan?"

"Jangan tergesa-gesa, untuk sekarang kita makan dulu."

"Baiklah."

Naruto terkekeh.

Pesanan mereka tiba.

Keduanya makan dan minum untuk beberapa saat.

Setelah habis, Naruto membayar, dan keluar dari restoran bersama dengannya.

Mereka berjalan santai di trotoar.

Kurumi penasaran.

"Kita akan ke mana, Naruto-san?" tanya Kurumi.

"Ke taman, jika itu yang ingin kau tahu," balas Naruto.

"Hmm…"

Kurumi tidak bicara lagi setelahnya.

Mereka sampai di lokasi tujuan.

Area ini damai, tidak banyak orang lewat, dan cocok untuk dijadikan tempat berbincang.

"Ara, taman rupanya."

"Begitulah."

Keduanya duduk di kursi.

Mereka melihat ada orang tua membawa anak mereka pergi. Walau beberapa di antara mereka terlihag menangis saat dibawa menjauh.

"Entah kenapa, rasanya lucu melihat anak-anak seperti itu," ujar Kurumi.

Naruto tertawa kecil.

"Pikiran anak-anak masih polos, bermain merupakan hal yang sakral bagi mereka, tidakkah kau berpikir begitu?" tanya Naruto.

Kurumi tersenyum simpul.

"Polos… ya, mungkin kau benar."

Mereka terdiam sebentar.

"…"

"…"

"Naruto-san."

"Ya?"

"Soal permintaanku…"

"Ah, akan kuberitahu jawabanku saat kencan kita nanti."

Kurumi berkedip.

Kurumi tertawa kecil.

"Ara, ara, ufufufu, bukankah kita sedang kencan saat ini?" tanya Kurumi.

Naruto terangkat sebelah alisnya.

"Benarkah? Padahal aku gak berpikir demikian," balas Naruto.

Kurumi tersenyum miring.

Naik ke pangkuannya, dia memastikan lengannya pada leher lelaki itu, tidak lupa mengelus pipinya.

"Kalau begitu… apa yang harus kulakukan, agar ini bisa jadi kencan bagimu?"

Naruto tersenyum, melingkari lengannya pada pinggang gadis itu, tidak lupa menariknya ke depan sehingga wajah mereka berhadapan sekarang.

Kurumi memerah wajahnya.

"T-Tunggu sebentar, ini terlalu…"

"…dekat?"

"Kurasa… begitu."

Naruto menyengir.

Naruto menurunkan lengannya.

Kurumi kebingungan.

"Aku cuma bercanda, jangan terlalu dibawa serius, Kurumi-chan."

"…"

Kurumi kembali duduk di sampingnya.

Kurumi tertawa geli.

"Ufufufu, Naruto-san ini, semaunya saja ya."

Naruto terkekeh.

"Yah, itulah aku."

Mereka mengamati matahari mulai tenggelam.

Kurumi tersadar.

"Ah, benar juga, aku lupa harus beli kebutuhan harian di dapur."

Kurumi berdiri.

Kurumi tersenyum padanya.

"Aku gak sabar menanti kencan kita nanti," kata Kurumi.

Naruto puas.

"Waktu dan tempat ketemuan akan kuberitahu lewat pesan," balas Naruto.

Kurumi tersenyum tipis.

"Kalau begitu, aku pamit undur diri."

Naruto mengangguk.

Kurumi pergi ke arah lain.

Naruto berdiri.

"Sebelum ke sana, ada baiknya aku pulang dulu," gumam Naruto.

Naruto berjalan keluar area taman.

"Ingatkan aku kenapa kau gak mudah tergoda?"

"Beberapa kunoichi yang kukenal juga cantik, dan aku pernah kehilangan waktu pertamaku dengan wanita yang dipanggil petapa genit, terlebih…'

"Apa?"

'…kau gak ingat teknik Oiroke no Jutsu?'

Kurama berkedip.

Kurama menyeringai.

"Kurasa ada beberapa hal yang sempat kulupakan."

Naruto melangkah ke trotoar.

'Itu wajar. Efek samping dari bertambahnya usia.'

"Kau benar."

Kurama berkedip.

Kurama menggeram.

"Aku gak setua itu!"

'Iya, iya, teruslah menolak kenyataan, Kakek Rubah.'

"NARUTO!"

Naruto menahan cengirannya.


Pada malam hari.

Naruto sekarang berada di rumah para Spirit. Kebetulan ada hal (yang ingin) dibicarakan dia dengan gadis itu.

"Jadi, kau ingin bicara apa?" tanya Naruto.

Mereka duduk berhadapan di lantai kamar.

"Ini tentang Tokisaki Kurumi," ujar Nia.

"Ada apa dengannya?"

"Dia… maksudku kami, sempat berbincang." Nia masih bicara. "Dan dia bilang apakah kita bisa selamatkan seseorang… yang jelas-jelas gak mau di selamatkan. Katanya."

Naruto mengerutkan alis.

"Dia bilang gitu padamu?"

"Ya, kurang lebih begitu."

"Kapan?"

"Semalam. Pas aku lagi di ruang lab kapal."

Maria dan Tenka masuk.

Keduanya membawa minuman dan makanan ringan.

"Dia datang dengan menyusup, itu maksudmu?" tanya Maria.

Tenka memperhatikan tempat di samping Naruto. Wajah Spirit itu mendadak aneh.

Tenka mendadak pindah ke sebelah Nia.

Maria berkedip.

Maria memilih duduk di samping Naruto.

Lelaki itu kebingungan.

'Hmm, terasa ada yang aneh di sini,' pikir Naruto.

Naruto penasaran.

Walau sekilas, dia sempat melihat warna merah muda di pipi Spirit itu, dan itu tampak mencurigakan.

Kurama terkekeh.

"Mungkin dia sudah sadar perasaannya padamu," kata Kurama.

'Huh, berita bagus kalau gitu.'

Kurama (sweatdrop).

Nia menggaruk pipinya.

"Ya... begitulah."

"Gak ada konflik di antara kalian... bukan?"

"Untungnya bisa dicegah."

Maria lega.

Tenka berkedip.

"Aku enggak paham. Kenapa dia gak mau diselamatkan?" tanya Tenka.

Nada bicaranya terdengar kebingungan.

"Dia mungkin punya alasan atas keputusannya." Maria masih bicara. "Tapi meski begitu, kami gak akan menyerah, dan akan terus berusaha menyelamatkannya."

Tenka mengerutkan alis.

"Aku ingin coba bantu membujuknya… tapi, aku gak tahu apakah ini akan berhasil."

Maria tersenyum simpul.

"Pasti akan ada hari di mana kami butuh bantuanmu. Untuk sekarang, anggap saja waktunya belum tepat," jelas Maria.

"Aku mengerti."

Nia mengunyah biskuit perlahan.

Nia mengerutkan alis.

"Aku penasaran. Apa data Kurumi-chan yang dimasukkan ke perusahaan bisa dijadikan petunjuk?"

Maria menggaruk pipinya.

"Soal itu, aku pernah coba selidiki." Maria masih bicara. "Hanya saja itu data baru. Mungkin bisa dibilang karangan."

Naruto melipat lengannya.

Naruto teringat sesuatu.

"Nia-chan, boleh kupinjam sebentar komputermu?"

"Oh, pakai saja."

Naruto mengetik sesuatu.

Ketiganya penasaran dengan (yang dilakukan) dia.

Mereka melihat nama "Kurumi & Sawa." di mesin pencarian.

Naruto tersenyum.

"Ini gak semua, tapi aku rasa kita dapat sedikit petunjuk tentang Kurumi-chan," kata Naruto.

Mereka mengamati monitor.

"Berita lokal, dua orang siswi ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan akibat ulah penjahat yang mencoba merampoknya, beruntung aparat keamanan berhasil meringkus komplotan itu usai dua hari pencarian." Maria menambahkan. "Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, diketahui motif pelaku lebih dari sekedar penjarahan, tapi balas dendam akibat orang tua salah satu korban pernah memecatnya dulu. Nama-nama korban di antaranya… Tokisaki Kurumi dan Sawa Yamauchi."

Mereka terdiam sejenak.

"Huh, dengan masa lalu seperti ini… kurasa aku mulai paham alasan kenapa dia menargetkan orang-orang dengan latar belakang kriminal," kata Nia.

Tenka tertarik.

"Berita ini… ada dari 30 tahun yang lalu, bukankah itu berarti… Kurumi awet muda?"

"…"

"…"

"…"

Nia melirik ke arahnya.

"Lihat? Teorimu tentang manusia jadi Spirit terbukti benar adanya. Apakah kau mau mengadakan pesta setelah ini?" tanya Nia.

Nada bicaranya terdengar penasaran.

Naruto (sweatdrop).

"Kedengarannya seperti kau mengharapkan sesuatu padaku."

Nia menyengir.

"Ya.. beberapa klon… bantu penelitian di lab…"

"Gak."

Nia cemberut.

"Jujur saja, aku terkejut kau tahu soal ini, Naruto," ujar Maria.

"Kurumi-chan sendiri yang memberitahuku." Naruto menambahkan. "Tepatnya saat aku makan malam di rumahnya."

Hawa kelam menyelimuti ruangan ini.

"Heeh, makan malam berdua rupanya." (Nia).

"Pasti enak rasanya." (Maria).

"Naruto… kau…" (Tenka).

Naruto (sweatdrop).

'Sepertinya aku salah ngomong, dattebayo.'

Kurama terkekeh.

"Hari di mana kau selalu ngomong benar, adalah hari di mana aku bertelur dan punya anak."

'Berisik. Dasar makhluk yang gak pernah kentut.'

"Oi!"

Naruto menghela nafas.

Naruto tersenyum.

"Omong-omong, apa di antara kalian ada yang ingin kupeluk?" tawar Naruto.

Wajah ketiganya memerah.

"K-Kau ini, sekarang bukan waktunya untuk hal semacam itu." (Maria).

"Aku setuju dengan Maria-chan." (Nia).

"Um, um." (Tenka).

Naruto terkekeh.

"Maaf, maaf, aku cuma bercanda." Naruto menambahkan. "Soal Kurumi-chan, kurasa aku mulai bisa memahaminya."

Maria berkedip.

Maria tersenyum.

"Kalau gitu, kedengarannya ini berita bagus." Maria menambahkan. "Tapi ingatlah kalau kau gak sendirian, [Ratatoskr], dan tentu saja kami, akan selalu membantumu."

Naruto berkedip.

Naruto berseri.

"Ya."

Naruto teringat sesuatu.

"Tenka-chan, bisa kita keluar sebentar? Kebetulan ada hal yang ingin kubicarakan denganmu," kata Naruto.

Maria dan Nia penasaran.

Tenka berkedip.

"Oh, boleh," kata Tenka.

Tenka melirik ke arahnya.

"Jangan terlalu lama," balas Maria.

"Um. Pasti itu," ujar Tenka.

Tenka beralih pada dia.

"Ayo."

Naruto hanya tersenyum.


Seorang gadis mengenakan [Astral Dress] estetik hitam-merah berdiri di atas menara. Mata berbeda warna dia terarah pada keberadaan planet itu.

"Ara, bahkan malam ini pun, bulan tetap indah seperti biasanya," gumam gadis itu.

Bayangan lain mengitarinya.

Kurumi tersenyum.

"Bagaimana pencariannya?"

Bayangan-bayangan itu perlahan mengambil bentuk fisik.

Penampilan mereka sama persis dengan (yang asli).

"Kebanyakan hanya kabar tentang betapa baiknya dia pada tetangganya," kata Kurumi(2).

"Atau kerennya dia," ujar Kurumi (3).

"Intinya, gak ada info vital yang kita dapat barusan," jelas Kurumi (4).

Kurumi tersenyum tipis.

"Kerja bagus semuanya. Sekarang kalian bisa kembali," kata Kurumi.

Mereka melebur menjadi bayangan usai mengangguk.

Kurumi menghembuskan nafas.

Kurumi mengamati langit malam dengan ekspresi tenang.

Namun, untuk sesaat, ekspresi lain nampak di wajahnya.

Yakni ekspresi marah.

"Jika kau berpikir kau bisa merubahku… maka kau lebih lucu dari yang kupikirkan, Naruto-san."

Kurumi memejamkan mata.

"Jika kau… gak ingin menolong orang lain lagi… maka enggak masalah, tapi setidaknya… carilah… keadilanmu sendiri..."

Jeritan terdengar.

Kurumi matanya terbuka.

Kurumi tersenyum miring.

"Ufufufu, waktunya berburu."

Dia lenyap ditelan bayangan.

.

.

.

Wanita itu tidak tahu kenapa ini semua bisa terjadi.

Pada awalnya, mereka hanya berencana menghabiskan malam dengan berkencan, itu saja.

Namun, tanpa disangka, mereka dihadang oleh sekelompok preman (yang berbahaya).

"Hentikan! Kumohon hentikan!" mohon wanita ktu.

Para preman (yang berjumlah) tiga itu berhenti memukul seorang pria. Pria ini dipenuhi lebam di wajah dan sebagian bajunya kotor karena debu.

"Heh, kalian dengar dia bilang apa?" tanya preman kesatu.

"Hentikan, benar?" tanya balik preman kedua.

"Hentikan… dan cari kesenangan lain," jawab preman ketiga.

Mereka beralih pada wanita itu.

Dia mulai ketakutan.

"M-Mau apa kalian?"

Mereka berjalan mendekat dengan seringai lebar.

"Santai saja, manis. Kami gak akan lakuin hal yang aneh-aneh kok."

"Benar itu."

"Kami cuma ingin 'main' sebentar sama kamu."

Wanita itu mengambil langkah mundur. Tubuhnya gemetar dilanda kepanikan.

Dua orang preman langsung memegang kuat lengan wanita itu. Wanita itu mencoba memberontak.

"L-Lepas. Kubilang lepas!"

Preman terakhir mengarahkan senjata api ke arah pria itu. Mata wanita itu melebar.

"Jika melawan… maka kau akan tahu akibatnya," ancam preman ketiga itu.

Pria itu berusaha bangkit, tapi baru sebentar berdiri, dirinya terjatuh lagi.

Dia mencoba merangkak ke sana.

"J-Jangan kalian berani-berani, menyentuh istriku."

Preman ketiga itu mengarahkan senjata apinya ke udara.

Tembakan terjadi.

Gerakan pria itu tiba-tiba terhenti. Dia gemetar karena menyadari sesuatu.

Preman ketiga itu mengarahkan senjata apinya lagi ke dia.

"Lihat? Ini senjata asli. Aku gak main-main soal ancaman tadi," kata preman ketiga itu.

Nada bicaranya terdengar puas.

Preman ketiga itu berkedip.

Dia melihat pria itu rupanya sudah pingsan.

"Heh, lemah."

Wanita itu berhenti memberontak. Hal ini disadari dua preman lainnya.

"Oi, kawan. Lonte ini gak ngelawan lagi," kata preman kedua.

"Kau keberatan kalau kita duluan yang 'main', bro?" tanya preman kesatu.

Preman ketiga itu terkekeh.

"Tapi lubang yang bawah untukku," kata preman ketiga itu.

"Baiklah."

"Gak masalah, kawan."

Wanita itu memberanikan diri.

"Setidaknya… jangan bunuh suamiku."

Mereka tertawa.

"Jangan khawatir, kami akan menepati janji kami," ujar preman kesatu.

Dia lalu mencoba mengecup bibir wanita itu.

Namun, tembakan terdengar, jantung preman kesatu mendadak tembus, hal ini mengejutkan orang-orang di sana.

Preman kesatu bergerak mundur, memegang sela mulutnya yang meneteskan darah, dan pada akhirnya tergeletak tak berdaya.

Wanita itu menyadari sesuatu.

'Kesempatan!'

Dia mulai menjauh dari tempat ini.

Preman kedua menyadari tindakannya.

Preman kedua mengeluarkan senjata apinya ke arah wanita itu.

"Dasar pelacur sia-"

Ia tiba-tiba 'terserap' ke celah gelap di tanah.

"Nago!"

Preman ketiga terkejut.

Perlahan, rasa takut mulai dirasakannya, tapi itu berusaha ditahan.

"H-Hey bajingan! Keluar kau! Jangan jadi pengecut!"

Keheningan.

Jawaban untuknya.

Preman ketiga itu mencoba berani.

"D-Dasar pecundang! Kau penakut ya?!"

Keheningan lagi.

"Kihihihihihi~"

Preman ketiga beralih ke belakang.

"Dapat juga ka-"

Kepalanya berlubang seketika. Tubuh preman ketiga tergeletak jatuh di aspal.

Sisa raga dua penjahat itu masuk ke bayangan.

Kurumi memutar satu senjata kunonya.

Kurumi menjilat bibir bagian bawahnya.

"Fufufu, makasih karena telah berbuat buruk," ujar Kurumi.

Kurumi mengamati kondisi korban (yang masih) pingsan.

Kurumi lain muncul dari balik bayangan.

"Apa kita perlu memanggil ambulan?" tanya Kurumi (2).

"Ufufufu, meski itu ide bagus, tapi pasangan dari orang ini sudah melakukannya tadi," jawab Kurumi (3).

Kurumi tersenyum.

"Kalau gitu tugas kita sudah selesai di sini, tak ada lagi yang perlu diurus."

Kurumi (2) dan Kurumi (3) ikut tersenyum.

"Kau benar, diriku."

"Aku setuju, diriku."

Mereka terserap ke dalam bayangan.

Kurumi tersenyum.

"Sekarang, waktunya pergi," gumam Kurumi.

Beberapa saat berlalu.

Wanita itu datang bersama petugas medis dan polisi.

Mereka kaget dengan keadaan lingkungan di sini.

"Ini… benar-benar di luar nalar," gumam salah satu petugas medis.

"Mengesampingkan hal itu, ayo kita bawa pasien ke rumah sakit segera," jawab petugas medis.

"Kau benar. Ayo."

Mereka meletakkan korban ke tandu.

Mereka bergegas membawa tandu ke luar gang.

Polisi itu mengeluarkan sebuah alat.

"Petugas Nakami di sini, mengharapkan bantuan pada koordinat-"

Sementara itu, wanita tersebut mengamati bercak darah di beberapa titik dengan ekspresi ngeri, dan bercampur dengan kelegaan.

"Mungkin… karma itu benar adanya," gumam wanita itu.

.

.

.

Keadaan taman cukup sepi sekarang.

Meski demikian, hal tersebut tidak menyusutkan niat seseorang, dan memilih tempat ini karena cocok.

"Jadi, kau ingin bicara apa, Naruto?" tanya Tenka.

Tenka sekarang memakai jaket karena sesuai keadaan.

Naruto tersenyum.

"Sebelumnya, mau berkeliling sebentar dulu?" tawar Naruto.

Tenka berkedip.

Tenka tersenyum tipis.

"Aku gak keberatan," balas Tenka.

Naruto lega mendengarnya.

Mereka berkeliaran sebentar.

Dalam perjalanan, tak ada pembicaraan (yang terjadi) di antara mereka, semuanya hanya murni jalan santai.

"…"

'Uh… mau sampai kapan begini terus?'

Sejujurnya, Tenka merasa gugup saat ini, dan tentu saja ada alasan dibalik itu.

Setelah pertemuannya dengan Shiizaki dan Minowa, Tenka mempelajari hal tentang 'pasangan', 'keluarga', 'rasa suka' di internet. Semua itu membawa pada satu kesimpulan.

Cinta.

Tenka tentu saja canggung bukan main saat tahu perasaannya terhadap lelaki berambut kuning itu.

Terlebih lagi, dia khawatir kalau Naruto tidak mempunya perasaan (yang sama), sehingga pada awalnya dirinya hanya ingin memendam perasaan ini saja.

Namun, saat bertemu Naruto lagi, ada sesuatu (yang berkembang) dalam diri Spirit itu.

Ia sadar akan hal tersebut, sehingga saat ini, dirinya mengalami dilema (yang cukup) berat.

'Setidaknya... seseorang harus memulai topik,' pikir Tenka.

Tenka berdeham.

"Cuaca hari ini cerah juga, ya,' ujar Tenka.

Naruto berhenti melangkah.

Naruto mengamati Spirit itu.

"…"

"Jika yang kau maksud gak ada hujan atau sejenisnya, maka itu benar," ujar Naruto.

Nada bicaranya terdengar humoris.

Tenka membuang mukanya ke samping. Mungkin Spirit itu merasa malu.

"Y-Ya, seseorang harus memulai percakapan, agak canggung juga kalau kita diam saja dari tadi," kata Tenka.

Naruto tertawa kecil.

Tenka menatap tajam dia.

"J-Jangan ketawa. Itu gak lucu."

Tawanya semakin besar.

"Naruto!"

"Maaf, maaf, habisnya kau imut sekali, dattebayo."

Tenka matanya melebar.

Tenka berjalan lebih cepat.

Naruto terangkat sebelah alisnya.

'Hmm… jangan bilang…'

Naruto mempercepat gerakan kakinya.

Mereka berjalan beriringan lagi.

Naruto memperhatikan ekspresinya. Semburat merah muda nampak di pipi Spirit itu.

'Aw, dia malu-malu rupanya.'

Kurama berkedip.

"Itu yang kau banggakan?"

'Mampu lihat ekspresi malu-malu cewek merupakan momen yang gak boleh dilewatkan bagi seorang pria.'

"Aku gak paham."

'Jeritan penderitaan?'

"Ah, itu baru musik."

Naruto (sweatdrop).

'Kau dan kegemaran lucumu.'

"Dasar penggemar mie."

'Berisik.'

Setelah lama berjalan, mereka duduk di bangku taman, letaknya dekat dengan air mancur (yang aktif).

Naruto melihat sesuatu.

"Kau mau es krim?" tawar Naruto.

"Rasa anggur," jawab Tenka.

Naruto mengangguk.

Naruto pergi sebentar.

Sambil menunggu, Tenka mengeluarkan ponsel, dan melihat ada notifikasi masuk.

[Kakek Zeus kangen duitmu! Ayo segera bergabung dan nikmati gacor slot terbaik abad ini!]

Tenka mengerutkan alis.

Tenka menghapus notifikasi itu.

'Aneh.'

Tidak lama kemudian.

Naruto kembali dengan dua cone es krim.

"Ini milikmu."

"Makasih."

Naruto duduk di sampingnya.

Mereka menghabiskan es krim bersama-sama. Sisa cone dilahap juga.

"Jadi, kau ingin bicara apa denganku?" tanya Tenka.

Nada bicaranya terdengar penasaran.

"Apa yang ingin kubicarakan sebenarnya sederhana," kata Naruto.

"Oh, apa itu?"

"Kau tahu sensasi rasanya jatuh cinta?"

Tenka terbelalak.

"Hah? Huh?"

Naruto mengamati langit malam.

"Berjuang untuk orang itu, menginginkan kebahagiaannya, bahkan jika itu berarti.. menyakiti diri kita sendiri." Naruto menambahkan. "Kedengarannya rumit memang, tapi itulah cinta, bisa membahagiakan… dan di saat bersamaan, bisa juga menghancurkan."

"…"

"Naruto," panggil Tenka.

"Ya?" respon Naruto.

"Apa kau… pernah jatuh cinta sebelumnya?"

Naruto mengangguk.

Naruto mengamati langit malam.

"Perempuan pertama yang kusuka… menyukai orang lain, sementara yang kedua, dia punya perasaan padaku, dan kami… sempat menjalin hubungan, walau gak berlangsung lama."

"Kenapa?"

"Karena itu gak adil baginya."

Tenka penasaran.

"Gak adil? Kenapa bisa begitu?" Tenka masih bicara. "Maksudku, kedengarannya seperti gak ada masalah di hubungan kalian… jadi apa alasannya?"

Naruto tersenyum.

"Banyak hal bisa kuucapkan, tapi intinya adalah… karena aku gak mencintainya," jelas Naruto.

Hinata adalah wanita (yang mengesankan). Dia cantik, pewaris salah satu klan ternama, dan rekan tim hebat. Pria mana saja pasti terpikat pada pesona dan keanggunannya.

Namun, Naruto sadar sekuat apapun dirinya berusaha, dia tidak bisa menganggap Hinata lebih dari sahabat. Beruntung gadis Hyuuga itu menerima kenyataan kalau mereka tidak bisa bersama.

Walau bukan berarti tak ada air mata jatuh seteahnya.

"…"

Tenka ikut memperhatikan langit malam.

"Benar yang kau katakan, hal seperti cinta… kedengarannya rumit," kata Tenka.

"Begitulah," ujar Naruto.

Keheningan sejenak.

"…"

"…"

Tenka melirik ke samping.

Naruto menengok ke samping.

Mereka saling bertatap muka.

"…"

"…"

Naruto memajukan wajahnya.

Tenka ikut memajukan wajahnya.

Mereka menekan bibirnya masing-masing, berciuman, tanpa ada penyesalan sedikit saja.

Keduanya berhenti berciuman. Pandangan mata mereka masih bertemu satu sama lain.

"Apakah… ini nyata?" tanya Tenka.

Nada bicaranya terdengar berharap.

Naruto tersenyum.

"Kau sendiri yang bilang waktu itu… kalau kau lega saat tahu aku masih punya kekurangan, karena dengan begitu… kita bisa saling mendukung, dan membantu satu sama lain." Naruto menambahkan. "Tentunya semua keputusan ada di tanganmu. Aku gak akan memaksa atau sejenisnya."

"…"

Tenka tersenyum tipis.

"Keputusan di tanganku… hm?" (Tenka).

"Teringat sesuatu?" (Naruto).

"Pertemuan pertama kita sebetulnya." (Tenka).

Naruto terkekeh.

Tenka tertawa kecil.

Dia memeluk lelaki itu.

Naruto berkedip.

Naruto memeluk balik.

"Kuanggap ini sebagai 'iya'," ujar Naruto.

Tenka mengangkat kepalanya.

Dua pasang mata berbeda warna bertemu.

"Mata… adalah jendela jiwa," kata Tenka.

"Kalau begitu, apa yang kau lihat?" tanya Naruto.

"Kita."

Naruto menyengir.

Tenka berseri.

Mereka berpelukan lagi. Kali ini dengan senyum di wajah mereka.

Keduanya melepaskan pelukan.

"Naruto."

"Ya?"

"Bagaimana dengan Spirit lain?"

Naruto terdiam.

Ini bukan berarti dia tidak mengharapkan pertanyaan itu.

Namun, untuk sesaat, keputusan pasti harus dibuat sekarang juga.

"Jujur saja, jika aku memilih salah satu saja dari kalian, aku mungkin akan menyakiti hati yang lainnya." Naruto menambahkan. "Tapi, di sisi lain, apakah aku berhak… menerima perasaan dari gadis berbeda?"

Mencintai atau dicintai.

Naruto mengakui konsep itu rumit.

Segala sesuatu pasti akan ada (yang harus) dikorbankan. Salah satunya adalah masalah cinta.

"Seharusnya itu bukan masalah," ujar Tenka.

"Huh? Apa maksudmu?"

"Begini, maksudku… jika Spirit gak punya seseorang yang disayanginya, bukankah itu berarti dia akan terus mengamuk, dan menyerang siapa saja yang dianggapnya sebagai ancaman.

"Terlebih lagi, ada kemungkinan setiap Spirit memiliki kekuatan uniknya masing-masing, misalnya saja pengendalian waktu, menghasilkan imajinasi menjadi kenyataan, penciptaan lubang hitam, manipulasi realita maupun logika.

"Jadi kalau mereka sendirian dan gak punya seseorang yang berharga, bahaya yang ditimbulkan…"

"A-Aku paham, gak perlu diteruskan."

"Baiklah."

Kurama (sweatdrop).

"Cewek ini terlalu rasional," kata Kurama.

'Efek dari tinggal bersama Maria-chan mungkin.'

"Uuui, mengerikan."

Naruto (sweatdrop).

Naruto mengelus dagunya.

"Tetap saja... yang kau katakan itu ada benarnya juga." (Naruto).

"Aku juga merinding memikirkannya." (Tenka).

Naruto menghembuskan nafas.

Naruto menatap lurus Spirit itu.

"Baiklah, garis besarnya aku paham, tapi jika misalnya aku membuat kesalahan… jangan segan untuk memukulku."

Tenka mengangguk.

"Aku mengerti, tapi kurasa itu gak akan pernah terjadi," kata Tenka.

"Kenapa?"

"Karena aku percaya padamu."

Naruto tersentak.

Naruto berseri.

"Aku akan berusaha kalau begitu."

Tenka tersenyum.

Naruto memeriksa arloji(nya).

"Sudah hampir tengah malam. Pulang?"

"Um."

Mereka pergi dari sana.

Namun, kali ini, keduanya saling bergandengan tangan.

Tenka memastikan kepalanya bersandar pada bahunya.

Naruto memegang erat lengan Spirit itu.

Mereka tidak berhenti tersenyum saat ini.


Keesokan harinya.

Suasana meriah terjadi di berbagai tempat hiburan pada kota ini.

Itu bukan hal aneh, karena hari ini bukan hari kerja, maka wajar banyak orang menghabiskan waktu santai mereka dengan pergi berlibur.

Salah satunya orang ini. Seorang lelaki berambut kuning berpakaian kasual tapi modis.

Naruto memperhatikan arloji(nya).

"Ara, Naruto-san, maaf telah membuatmu menunggu lama."

Naruto beralih ke samping.

Kurumi berdiri dengan gaun gothic hitam melekat pada tubuhnya. Tidak lupa dia juga membawa sebuah tas pinggang.

Naruto terkekeh.

"Jangan khawatir, aku juga baru sampai ini," kata Naruto.

Kurumi tersenyum.

"Kalau begitu… mari kita berkencan?"

Naruto berseri.

"Ayo."

Keduanya melangkah bersama.

T-B-C

A/N: Halllooo reader-san sekalian! Bagaimana chapter kali ini? Memuaskan? Membosankan? Beritahu isi pikiran kalian di tempat yang seharusnya :D

Seperti yang kalian lihat, chapter kali ini mengupas beberapa hal, seperti kepingan masa lalu Kurumi misalnya :D

Jujur, proses Kurumi menjadi Spirit tentunya akan sedikit berbeda dari versi canon-nya, dan itu akan terungkap pada chapter mendatang :D

Tentang hubungan Naruto & Tenka, yah, mereka resmi jadi sepasang kekasih pada chapter ini :)

Wohoo!

Mungkin beberapa di antara kalian ada yang beranggapan kalau hubungan Naruto & Tenka terlalu cepat (dan agak dipaksakan).

Tapi, mengingat latar belakang Spirit yang unik, author berpikir wajar saja jika Tenka mempunyai perasaan pada ninja kuning kita, terlebih pola pikir mereka yang agak lain bila dibandingkan dengan manusia normal mendukung pendapat author ini :D

Kalian bisa mengharapkan dinamika hubungan antara mc dan member haremnya nanti :D

Hehehe :)

Khusus jadwal update SN, kalian bisa cek nanti, tepatnya di bio akun author :)

Terakhir…

Sampai jumpa di chapter berikutnya ;)

{Racemoon - Sign out}