B A B 3

Suasana riuh menyambut mereka sewaktu tiba di taman hiburan itu. "Entah sudah berapa tahun aku tidak ke sini, banyak wahana baru yang aku belum pernah coba," ujar Lyra di tengah ramainya suasana.

"Apakah ini, Lyra ?"

"Ini taman hiburan Muggle, Ron, kalau kau ingin bersenang-senang di dunia Muggle .." suara Lyra tertelan oleh pekik mereka yang sedang mengendarai roller coaster.

"Bagaimana mereka melakukan itu ?" tanya Fred kagum, "sihir apa yang mereka pakai sehingga mereka tidak jatuh ke tanah ?"

"Oh, tidak ada sihir, Fred," kali ini Hermione yang menjelaskan, " itu sesuatu yang mereka lakukan terhadap gravitasi, efek gaya sentrifugal atau apalah, sesuatu seperti itu,"

"Mau coba ?" tantang Lyra.

"Kau yakin tidak apa-apa ?"

"Ayolah, Fred, kau kan penerbang yang hebat kalau sedang main Quidditch," Hermione menyemangati, dan mereka semua mengantri di loket roller coaster.

Harry benar-benar menikmati semua ini. Keluarga Dursley tidak pernah mengajaknya ke tempat seperti ini. Tentu saja mereka tidak akan pernah berpikiran ingin memberinya apapun yang menyenangkan.

Hari sudah gelap ketika mereka kembali ke kediaman keluarga Granger. Dengan tangan penuh arumanis dan pop corn. Serta baju Ginny kena tumpahan Coca Cola karena didorong George, tetapi tentu saja George berusaha menebus kesalahannya pada adik manisnya itu dengan memenangkan sebuah boneka beruang yang besar di stand "menembak bebek".

"Tadi itu sangat menyenangkan Lyra, trims," Ron berkata dengan gembira saat mereka semua memasuki rumah.

"Aku senang kalian menyukainya," sahut Lyra, lalu dengan gaya seorang ibu asrama ia memerintah, "sekarang mandi, ganti pakaian, dan setelah kalian selesai aku yakin makan malam sudah akan siap ,"

"Aku tidak yakin bisa makan lagi," keluh Fred, rupanya ia terlalu banyak minum Cola tadi.

"Tapi kalian harus makan sesuatu yang mengenyangkan dan bergizi, bukan hanya asupan karbohidrat dan gula seperti tadi,"

"Nah, inilah, alasan mengapa Mum dan Dad ingin agar ada orang dewasa mengawasi kita," bisik Hermione pada Ron, namun rupanya Lyra mendengarnya karena ia memasang wajah pura-pura marah pada keduanya.

"OK, .. OK , baik kami akan laksanakan Ma'am," goda Ron lalu beserta gerombolannya cepat-cepat kabur ke lantai dua.

Mereka duduk santai dengan piyama masing-masing di ruang duduk keluarga Granger. Lyra sibuk memilih-milih pada rak DVD di samping TV.

"Herm, masa' sih koleksimu cuma sebatas Discovery dan Natural Geography," keluh Lyra.

Hermione nyengir, dan Harry berbisik pada Ron, "Sangat Hermionis sekali,"

"Coba cari di kamar Dad, ia paling suka menonton film-film terbaru,"

Lyra beranjak ke kamar Mr Granger dan tidak lama kemudian kembali dengan sebuah film, "Aku tidak sempat nonton ini kemarin waktu di Meksiko," sahutnya sambil melambai-lambaikan filmnya "Spiderman"

Ron langsung pucat. Hermione melihat ini, "Lyra, aku tidak yakin itu pilihan yang tepat. Ron takut laba-laba," dan segera disambut ledekan kedua saudara kembarnya.

"Jangan takut Ron, ini bukan film tentang laba-laba, kau lihat saja nanti," abai Lyra terus melanjutkan menyetelnya.

Segera saja mereka semua, bahkan Ron juga, menikmatinya. Harry melihat Ron memucat dan membeku ketika adegan seekor laba-laba turun dari langit-langit dan menggigit tangan Peter yang sedang memegang kamera. Tetapi ia cepat pulih dan turut berteriak-teriak ketika Spiderman beraksi berayun di udara.

"Kalau kau takut laba-laba, bagaimana dengan kelas Ramuan-mu Ron," tanya Lyra sambil terus memelototi adegan demi adegan di layar TV, "beberapa kan menggunakan laba-laba sebagai bahannya,"

"Aku tidak keberatan dengan laba-laba mati, " Ron mengulang alasan yang pernah diucapkannya pada Harry dan Hermione, "Aku tidak suka pada cara mereka bergerak," Ron bergidik.

"Tidak apa-apa, Ron," hibur Lyra, "ngomong-ngomong, siapa guru Ramuan kalian saat ini ? Masih Snape ? dan masih suka memotong poin tanpa alasan jelas ?"

"Oh, tentu saja, guru Ramuan kami Snape tersayang," keluh Fred, "bayangkan kalau sekali-sekali kami mendapat Ramuan tanpa dia, alangkah indahnya hidup ini," puitis Fred yang segera disambut tepuk tangan anak-anak.

Lyra tersenyum, "Ramuan dulu adalah pelajaran favoritku," yang membuat anak-anak tercengang.

"Masa' sih ?"

"Yah, tentu saja itu sewaktu Snape belum mengajar. Profesor Hermann yang mengajar Ramuan dulu. Beliau sudah sangat tua. Tangannya sudah sering gemetar, tremor. Kalian tahu, kan, Ramuan itu memerlukan keakuratan dalam pengukuran. Jadi seringkali murid yang disuruh membantu mempraktekkan, kalau beliau sedang melakukan peragaan. Beliau konon sudah berkali-kali mengajukan pensiun. Tetapi Dumbledore belum menemukan penggantinya.

Menurut kabar angin, begitu Snape lulus, sebenarnya Dumbledore telah menawarkan posisi itu, tetapi ia menolak. Malah terus bersama-sama dengan gerombolan Pelahap Maut-nya. Entah apa yang terjadi, dua tahun kemudian ia kembali pada Dumbledore. Dumbledore menempatkannya sebagai asisten Hermann, dan dua tahun kemudian, setelah kejatuhan Kau-Tahu-Siapa, Hermann resmi mengundurkan diri. Snape menggantikannya. Sejak saat itu hilanglah sudah kegembiraan mengikuti pelajaran Ramuan … ," Lyra menerawang.

"Aku tidak bisa membayangkan pelajaran Ramuan bisa sangat menyenangkan," Ron bergumam.

"Oh, dengan Profesor Hermann kami semua tidak sabar menunggu datangnya jam pelajaran itu. Dia sabar sekali, terus mendorong setiap murid agar mau mencoba sendiri, melakukan praktek berkali-kali. Kata-katanya yang sangat terkenal adalah 'ramuan ini mudah kok, coba deh'. Dan ia suka mengobrol dengan anak-anak di luar jam pelajaran, sehingga anak-anak sering curhat padanya. Kukira ini juga yang membuat ia menjadi populer dan sangat disukai,"

"Karena itu kau suka Ramuan, Lyra?" Ginny bertanya.

"Yah, mungkin itu salah satunya. Aku paling suka bagian Ramuan Obat. Aku juga suka Herbologi,"

"Jadi setelah lulus kau meneruskan ke Akademi Keperawatan Sihir St Mungo ? Kenapa kau tidak jadi perawat di sana ?" Harry penasaran.

"Karena aku mendengar tentang sekolah pengobatan tradisional di Cina, makanya aku pergi ke sana. Memang menarik sekali, padahal itu sekolah Muggle, lho !"

"Memangnya Muggle tahu cara membuat Ramuan ?" George menyela.

"Muggle-Muggle di Cina adalah jagonya dalam pembuatan Ramuan di dunia, kalau boleh aku bilang. Dan, tentu saja yang aku pelajari adalah Ramuan penyembuh, Ramuan Obat. Biasanya lulusan sekolah itu kemudian menjadi penyembuh, yang mereka sebut 'tabib'. Tetapi ada juga yang terus bekerja di sekolah itu menjadi peneliti."

"Apa kau satu-satunya penyihir di sana ? Apa mereka tahu kau penyihir ?"

"Beberapa teman dekatku tahu kalau aku penyihir. Dan ya, aku rasa aku satu-satunya penyihir di sana. Tapi aku curiga, Guru Besar kami, Master Ling Zhi sebenarnya adalah seorang penyihir. Cuma sampai akhir aku belajar di sana aku tidak pernah tahu dugaanku itu benar atau tidak. Dia orangnya aneh lho, tipe-tipe Dumbledore 'gitu. Tahu segalanya, membiarkan muridnya mencoba-coba dulu. Tetapi dia sangat bijaksana, semua bilang begitu,"

"Coba dia yang mengajar kelas Ramuan," Ron berkhayal.

"Hahaha .. coba saja kau usulkan pada Snape agar mengambil cuti barang dua semester, gitu," Fred mengemukakan usul yang dirasanya sangat gemilang, "bilang saja padanya ia memerlukan sinar matahari agar tidak terlalu pucat,"

"Bisa kau bayangkan Snape berjemur di pantai Waikiki ?" Harry meneruskan, sambil teringat bahwa keluarga Dursley-pun sekarang sedang berada di Hawaii, dan ia tertawa sendiri.

Semua segera menyambut usul 'gemilang' itu tetapi terjadi perdebatan seru tentang siapa yang harus menyampaikannya pada Snape, dan pilihan jatuh pada Ginny yang paling kecil dan paling sulit membela diri.

"Ayolah, Gin, pasang saja muka inosen," bujuk Fred.

"Hihihi, paling dia akan mengatakan, Terimakasih atas usul itu Miss Weasley, dan sebagai balasannya aku memotong limapuluh poin dari Gryffindor," Ginny tertawa juga.

"Sudah.. sudah, sekarang sudah larut malam, besok kita masih akan bersenang-senang lagi, sekarang pergilah tidur," Lyra mulai lagi dengan gaya ibu asrama-nya.

"Yahh, aku masih ingin nonton satu film lagi .." bujuk Fred.

"Boleh,"

"Oh, film apa ya .."

"Boleh, kalian pergilah nonton film 'Kelopak Mata',"

George dan Hermione yang sudah sadar artinya 'menonton kelopak mata' segera meledak tawanya melihat tampang Fred yang menjadi kebingungan, hingga akhirnya ia juga menyadarinya.

"Sialan, kukira …"

Dan semua tertawa, sambil naik ke ruang tidur masing-masing.

Keesokan harinya mereka sudah dalam perjalanan dengan kereta bawah tanah. "Kita melihat olahraga Muggle," ajak Lyra.

Mereka berhenti di stasiun White Hart Lane, dan melihat banyak sekali orang dengan kostum biru-ungu atau biru putih. Mereka mengikuti arus orang banyak ke stadion White Hart, dan terpampang dalam tulisan besar-besar di muka stadion "Hari Ini Tottenham Hotspurs Menantang Westham"

"Westham kan kesebelasan kesukaan Dean," ujar Harry.

"Kesebelasan ? Maksudmu, yang main sebelas orang ? Banyak amat," seru Fred.

Harry hanya pernah menonton permainan ini dalam pertandingan antar sekolah, dan sesekali di TV. Tetapi tentu saja Dudley tidak pernah membiarkannya menonton hingga selesai.

Lyra entah bagaimana caranya berhasil mendapat tempat duduk kelas utama untuk mereka semua. "Ada kenalan" bisiknya tersenyum.

Mereka semua masuk, dan Lyra mulai menjelaskan permainan ini pada Fred dan George yang protes terus karena "tidak ada sapunya, dan gawangnya terlalu rendah".

"Bolanya cuma satu ?'" tanya Fred ngeri, "lalu buat apa pemain sebanyak itu ?"

Lyra tertawa, "lihat saja nanti,"

Harry mencari-cari di antara penonton siapa tahu melihat Dean.

"Dia pendukung Westham ?" tanya Lyra, "kalau begitu kau cari di antara yang memakai kostum biru-ungu. Jangan yang biru-putih, mereka pendukung Tottenham. Westham memang diunggulkan, mereka peringkat ke-7 di Liga, sedang Tottenham cuma peringkat ke-9. Tetapi kali ini Tottenham main di kandang sendiri," Lyra menjelaskan.

"Lyra, kau kok tahu banyak tentang dunia Muggle, sih ?" Ginny berusaha untuk mengikuti arah pembicaraan.

"Yah, kalau kau banyak hidup di kedua dunia ini, kau terpaksa harus banyak tahu tentang keduanya," sahut Lyra, sambil melambai memanggil seorang pedagang pop corn.

Permainan dimulai. Memang benar, meski bolanya hanya satu sedang pemainnya duapuluhdua (duapuluh yang mengejar bola, sisanya tentu saja menjaga gawang masing-masing) tetapi para penyihir pemain (atau penonton) Quidditch ini dapat menikmatinya.

Lyra sibuk menerangkan aturan mainnya, tanpa menghiraukan pandangan orang-orang sekitarnya, yang keheranan. Dari planet mana saja mereka ini, berbahasa Inggris tetapi tidak tahu aturan sepakbola ! Sepakbola kan berasal dari Inggris, man !

"Lho, bolanya masuk, tetapi kenapa kipernya diam saja ? Pemain belakangnya juga bengong. Dan penontonnya kenapa tidak ada yang bersorak ?" George kebingungan.

"Itu namanya off side. Kau lihat, pemain Tottenham berdiri lebih dekat ke gawang Westham tanpa ada pemain Westham di depannya kecuali kiper. Lalu ia tidak sedang membawa bola tadi, hanya menunggu operan dari kawannya. Maka golnya tidak sah. Lihat hakim garisnya melambaikan bendera ?"

Permainan berlangsung seru, dan ketika Lyra sedang menerangkan tentang kartu merah dan kartu kuning, mendadak seorang pemain Tottenham jatuh di daerah penalti Westham, dan wasit segera menghadiahinya kartu kuning.

"Tidak adil !" seru Fred, "dia yang terjatuh kok malah dia yang diberi kartu kuning,"

"Dia tidak ditackle lawan, Fred, dia hanya pura-pura jatuh. Tersentuh-pun dia tidak. Itu namanya diving"

"Tetapi untuk apa …"

"Hukuman untuk menjatuhkan lawan yang sedang membawa bola di daerah pinalti adalah tendangan pinalti. Maka dia berpura-pura jatuh, berharap agar kesebelasannya mendapat pinalti. Tetapi wasit yang jeli tidak akan membiarkan itu terjadi. Makanya pemain yang coba-coba bersandiwara begitu diberi hadiah kartu kuning,"

"Ya, ampuuun, rumit amat sih,"

Tetapi pada saat itu terjadi keributan besar. Rupanya pemain yang tadi diberi kartu kuning masih merasa kesal. Pada saat ia mendapat kesempatan menggiring bola lagi, bola ditendang dan berhasil ditangkap kiper. Tetapi pegangan kiper kurang kuat, bola mental sedikit. Pada saat kiper berusaha berlomba dengan pemain depan untuk menguasai bola, si pemain curang tadi menendang sekuatnya, bukan bola, tetapi … kepala si kiper yang sedang bergulingan berusaha menangkap bola.

Karuan saja si kiper mengaduh-aduh kesakitan, darah mengucur dari kepalanya. Wasit berlari mendekat dengan marah, dan si pemain curang tadi langsung diganjarnya dengan kartu merah dan diusir keluar.

"Wah," seru Harry kagum, "jika peraturan ini diterapkan pada Quidditch, maka Slytherin akan bermain dengan hanya satu pemain, Keeper saja,"

"Itu kalau Keepernyapun tidak berbuat curang. Jika iya, maka kita bisa menang WO," gumam Ron, dalam hati bertekad akan mengkampanyekan penggunaan kartu merah ini kelak …

Pengumuman dari pengeras suara kemudian menerangkan bahwa kiper kesebelasan Westham tidak bisa bermain lagi karena cederanya, dan digantikan oleh kiper cadangan. Suara itu terdiam sejenak ketika seorang pemuda kulit hitam memasuki lapangan, " dan inilah dia kiper cadangan Westham, masih muda, kiper terbaik dari kesebelasan Usia - 17, DEAAAAN THOMAAAAS…"

"Dean .. !" seru Harry, Ron, dan si kembar bersamaan, hampir tidak percaya. Tetapi memang sosok yang memasuki lapangan itu adalah Dean yang mereka kenal selama ini, hanya saja nampak sedikit lebih jangkung dan lebih kekar.

"Aku tidak percaya," seru Harry, berusaha mengalahkan sorak pendukung Westham yang mengelu-elukan kiper baru mereka, "selama ini kukira ia hanya fans saja, tak kukira ia bermain juga,"

Pertandingan berakhir dengan 0 - 0. Sepanjang permainannya Dean sangat gemilang menyelamatkan gawangnya dari serbuan lawan. Setelah tadi tak tahu harus mendukung pihak mana, Harry dan kawan-kawan kini mendukung Westham dan turut bersorak tiap kali Dean melakukan penyelamatan gemilang.

"Kiper muda itu benar-benar tangguh," seru suara di belakang mereka. Harry menoleh, seorang pendukung Westham rupanya. "Ya, padahal Tottie rupanya ingin membalas kekalahan mereka dulu di kandang Westham, apalagi main di kandang sendiri, di depan pendukungnya sendiri," suara lain membalas, "Heran, mengapa tidak sejak dulu kiper ini dimasukkan," suara pertama terdengar lagi, "Aku dengar ia masih sekolah di sebuah internat di Inggris Utara, jadi masih belum bisa masuk pro sepenuhnya. Statusnya juga masih pinjaman," suara kedua menjawab.

Harry hanya bisa nyengir. Bayangkan kalau kedua orang tadi tahu di mana Dean bersekolah …

"Ayo, " ajak Lyra, menuruni tangga stadion, "kita coba ke ruang ganti pemain. Mungkin kita bisa dapat kesempatan ketemu dengan temanmu itu,"

Maka mereka berusaha melewati kerumunan orang berdesakan menuju ruang ganti pemain. Begitu banyak orang di sana. Para satpam bekerja keras mengatur antrean agar tetap tertib.

"Ingin bertemu dengan siapa anak muda," sapa seorang satpam setengah baya, "Vladimir Labant di sebelah sini, Paolo DiCanio yang itu, dan kamar Kanoute sebelah sana," sahutnya menerangkan.

"Kami ingin bertemu dengan Kiper Thomas," ujar Lyra.

"Wah, cepat juga ia mendapat penggemar. Kamarnya di ujung, nomor 33, sesuai nomor punggungnya," satpam itu menerangkan tetap dengan senyum.

"Terimakasih," Lyra bergegas mengajak gerombolannya menuju kamar dimaksud.

Kerumunan di sini lebih sedikit, namun tetap saja mereka harus bersabar sebelum akhirnya Dean melihat mereka.

"Harry, Ron, kalian di sini ..?" ujarnya terkejut bercampur senang. Segera setelah menandatangani kaus terakhir gadis kulit hitam di depannya, ia menyuruh mereka masuk dan menutup pintu kamarnya. "Sedang apa kalian … dan apa kalian tadi melihat permainanku ?"

"Kami semua sedang berlibur di rumah Hermione, dan sepupu ibunya ini …," Harry menoleh pada Lyra dengan senyum lebarnya, "o,ya, kenalkan ini Miss Lyra Fern," mereka berjabat tangan dengan gembira, "dia sesungguhnya yang mengusulkan untuk menonton olahraga Muggle ini,"

Dean agak ragu mendengar kata Muggle, "dia ..?"

"Dia penyihir juga, Dean, lulusan Hogwarts juga, Ravenclaw," Hermione menerangkan, dan Dean kini nyengir. "Senang berkenalan dengan anda, Miss Fern,"

"Ah, tak usah berbasa-basi, sebut aku Lyra saja," Lyra nampak senang bisa bertemu dengan satu lagi siswa Hogwarts, "ngomong-ngomong, bolehkan kami minta tanda tanganmu ?"

Semua tertawa, dan Dean tersipu, "Aah, aku kan belum sebegitu hebatnya sampai harus dimintai tanda tangan segala,"

"Justru itu," sergah Fred, "kita bisa leluasa minta tanda tangan selagi kau belum begitu terkenal. Tunggu hingga kau menjadi bintang, dan kami harus antri berjam-jam untuk mendapat foto bertandatanganmu, iya kan ..?" Dean cuma bisa nyengir.

Pintu diketuk, dan seorang ofisial masuk, "Mr Thomas, anda diminta hadir di ruangan utama, untuk konferensi pers," dan setelah mengangguk pada semuanya, orang itu keluar lagi. Dean tercengang, "konferensi pers ?" gumamnya tak percaya.

"Aku bilang juga apa, kau segera akan menjadi bintang. Ayo, cepat beri kami tanda tanganmu," Fred mengacak-acak rambut Dean dan George menepuk pundaknya sebelum mereka berpamitan keluar.

"Sampai jumpa di King's Cross," teriak Dean sebelum mereka menghilang menembus kerumunan fans Westham.

Malam hari mereka berkumpul di depan TV lagi, menonton berbagai acara Muggle, sambil mengobrol. Anak-anak sangat antusias mendengarkan pengalaman Lyra di berbagai penjuru dunia.

"Kau pastilah sudah mendatangi semua negeri di dunia ini," keluh Hermione iri.

"Ah, enggak juga sih," Lyra meraih lagi segenggam kacang, "baru ke Cina, India, menyusuri Amazon, menyusuri Nil, jadi perawat pribadi seorang penyihir kaya pemilik tambang berlian di Afrika Selatan, dan terakhir meneliti khasiat kaktus gaib di Meksiko,"

"Wow, sebegitu banyaknya, dan kau bilang 'baru segitu'", ujar Ginny.

"Yah, memang aneh, tetapi kalau kau mengalami sendiri, semakin banyak yang kau lihat, akan kau sadari bahwa semakin banyak pula sebenarnya yang belum engkau ketahui," Lyra sedikit berfilsafat.

"Benar," aku Hermione, "dulu aku kira aku sudah menguasai sebagian besar pelajaranku dengan membacanya sebelum pelajaran dimulai, namun ternyata, semakin banyak aku baca, semakin aku mengikuti kelas, semakin banyak pula yang aku belum ketahui,"

"Ceritakan waktu kau di Amazon," pinta Ron, dia merasa bosan dengan segala filsafat ini.

"Aku melihat laba-laba yang dinamakan Black Widow itu dengan mata kepalaku sendiri," Fred dan George menertawakan airmuka Ron mendengar cerita ini, "penyihir di sana banyak menggunakan Black Widow kering dalam ramuan yang kita kenal menggunakan laba-laba biasa, dan akibatnya ramuan mereka menjadi berlipat ganda kekuatannya," jelas Lyra.

Cerita demi cerita berlalu dengan asyiknya, dan hampir tak ada yang memperhatikan ketika jam menunjukkan pukul 11.55. Hermione bangkit menuju dapur dan kembali dengan sebuah kue tart coklat dengan lilin angka 1 dan 5 di atasnya.

"Sekarang sudah hampir jam 12, jadi kita hampir masuk tanggal 31 Juli," katanya memecah perhatian semua, "Selamat Ulang Tahun Harry …"

"Ya, ampuun," seru Ron sambil memukul dahinya, "mana mungkin aku bisa lupa begini ..,"

Mereka beramai-ramai mengerubungi Harry dan memberinya selamat hingga Harry terhuyung hampir jatuh. Lyra menyalakan lilin dan mereka semua mengelilinginya, menunggu Harry untuk mengucapkan keinginannya, meniup padam kedua lilin, dan bersorak ..

Hari-hari ini terasa begitu indah bagi Harry, terlalu indah sehingga ia merasa bagai mimpi dan samasekali tidak ingin terbangun.

The Burrow. Kembali lagi ke dunia penyihir. Hari Minggu, hari terakhir di dunia Muggle mereka isi dengan berjalan-jalan ke bandara Heathrow dan melihat-lihat pesawat. Ron merasa ayahnya seharusnya menjemput lebih awal sehingga bisa ikut dalam 'tur' ini, tetapi karena Mr Weasley baru akan menjemput mereka melalui Jaringan Floo Minggu sore itu, maka ia bertekad menyerap sebanyak mungkin informasi untuk diceritakan kelak pada ayahnya.

Dan kini, hanya tinggal beberapa hari lagi menjelang liburan usai. Mrs Weasley sudah mulai sibuk mengingatkan anak-anaknya apa-apa yang harus dibawa (dan apa-apa yang tidak boleh dibawa, Kembang Api Fillibuster, misalnya) ke Hogwarts. Ron dengan enggan mulai menggosok lencana Prefeknya. Percy, di tengah kesibukannya, memberinya beberapa 'petuah berharga' tentang kehidupan Prefek yang didengarkan setengah hati oleh Ron sambil menahan diri agar tidak menguap (menahan diri juga bagian dari kehidupan seorang Prefek, pikir Ron getir).

"Kurasa burung hantumu juga harus diberi pelajaran tata krama yang benar, Ron," Fred berlagak serius ketika saat makan malam Percy kembali menguliahi adik laki-lakinya yang terkecil itu. Ginny terkikik geli. Ron berpura-pura tidak mendengar, perhatiannya tertuju penuh pada potongan buncis dan wortel di piringnya.

"Sudahlah," Mr Weasley menengahi, "Ronald Edward Weasley," sahutnya kini lebih serius. Ron mengangkat kepalanya memandang ayanhya, Kalau beliau memanggil namanya sedemikian rupa tentu ada hal sangat-sangat-sangat penting yang akan dikatakannya.

"Aku sangat bangga bahwa kau bisa terpilih menjadi Prefek," suara itu bersungguh-sungguh. "Akan tetapi itu bukan berarti bahwa kau harus menjelma menjadi orang yang sama sekali lain. Aku bangga padamu sebagai Prefek, dan aku lebih bangga lagi padamu sebagai Ronald Edward Weasley," nada suaranya kini lebih meminta perhatian, "Nak, jadilah dirimu sendiri, dan aku --kami, aku dan ibumu-- akan tetap bangga pada dirimu, sebagai apapun dirimu," suara itu kini tercekat. Harry memperhatikan mata Mrs Weasley basah, meski ia berusaha tetap tersenyum.

Ron tertegun dan kehilangan kata-katanya, "te .. teri.. terimakasih, Dad, Mum," akhirnya terbata-bata, "aku tidak akan mengecewakan kalian," Mrs Weasley sudah tidak tahan lagi dan menghambur menyeberangi meja untuk memeluk anaknya.

"Mum tidak begini waktu Percy menjadi Prefek," bisik Fred pada Harry yang dengan kikuk berusaha mengalihkan perhatiannya dari adegan mengharukan itu.

"Ya, tentu saja," tukas George, "Percy sudah bertingkahlaku sedemikian rupa sehingga semua orang tahu bahwa dia pasti akan terpilih menjadi sesuatu, tidak bisa tidak," George menghabiskan potongan terakhir puding coklatnya dengan sekali suap, "Tetapi Ron ? Bisa dibilang dia lebih mirip kami," katanya memandang Harry, "dan itu pasti akibat bergaul denganmu, Harry," Harry sudah mau protes saat disadari George nyengir memandanginya.