B A B 12

Ron sudah pernah sekali berada di kantor Snape. Saat itu ia menerbangkan mobil ayahnya, berdua Harry, dan menabrak Dedalu Perkasa.

Sekarang keadaannya berbeda. Ia tidak punya kesalahan apapun untuk ditakuti. Tetap saja ia merinding memasuki ruangan remang-remang itu.

"Duduklah, Weasley," Snape sendiri mengambil tempat di balik mejanya.

"Aku ingin tahu seberapa baik hubunganmu dengan Potter," Snape memulai tanpa basa-basi.

"Sir ?" Ron heran dengan pertanyaan ini.

"Yah, bagaimana kedekatan kalian, seberapa jauh kalian saling mengenal,"

"Kalau boleh saya bilang, kami sangat dekat, Sir. Sudah bisa dibilang seperti saudara. Mum juga sudah menganggap Harry seperti anak sendiri," Ron menjawab tanpa tahu ke arah mana percakapan mereka akan berujung.

"Apakah sampai pada tahap ..," Snape berhenti sejenak untuk menekankan kata-kata berikutnya, "kalian saling rela mengorbankan nyawa demi menolong yang lain ?"

"Saya rasa, ya," Harry pernah bertaruh nyawa menyelamatkan Ginny dari kamar rahasia. Ron sendiri belum pernah mengalami hal yang menyebabkan ia akan bertaruh nyawa untuk Harry, namun ia yakin, bila ada saat seperti itu, ia tidak akan ragu.

"Bagus kalau begitu," Snape berdiri, "kita ke ruang kelas yang lebih luas,"

Ron menurut tanpa sepatah katapun.

Memasuki ruang kelas yang biasanya dipenuhi kuali-kuali para siswa, kini kosong dan lapang. Snape menyuruhnya berdiri berhadapan dengannya.

"Panjang kalau harus kujelaskan sejak awal. Aku akan menjelaskannya bila ada waktu, namun sekarang yang kurasa mendesak adalah melatihmu Sihir pendukung. Supportium," Snape mengeluarkan tongkatnya, dan mengisyaratkan agar Ron melakukan hal yang serupa.

"Sebenarnya ini sihir level sangat tinggi. Aku tidak mengharapkan kau menguasainya, apalagi dalam waktu yang singkat. Tetapi paling tidak aku ingin kau menguasai caranya, tekniknya, just in case. Mudah-mudahan kita tidak pernah harus melakukan ini,"

"Kau tahu ini bagian dari apa ?"

"Supportium bagian dari Sihir Nurani yang diciptakan Penyihir Besar Merlin, Sir,"

Snape mengangguk, "Intinya adalah, membantu kawan, dan melemahkan lawan. Konsentrasi penuh pada hal menyenangkan yang pernah kalian lalui bersama. Mantranya adalah absit invidia,"

"Absit invidia," Ron mengulang.

"Kita coba ?"

Ron mengangguk, agak ragu.

"Kau yakin ? Ini harus berlandaskan keyakinan. Kalau kau ragu, justru akan membahayakan jiwamu,"

Ron menutup mata menghela napas panjang sekali, sebelum akhirnya membuka matanya dan mengucapkan, "Saya siap, Profesor,"

"Kau boleh mulai,"

Ron memilih saat mereka menonton Piala Dunia Quidditch bersama, berkonsentrasi, dan "absit invidia ! "

Tak terjadi apapun.

Snape menghela napas. Tapi sejurus kemudian ia berkata, lebih pada dirinya sendiri, "memang tidak mudah. Atur lagi napasmu, baru coba lagi,"

Ron menurut. Ia coba membayangkan akhir pekan mereka bersama di keluarga Granger, "absit invidia !"

Dari tongkatnya keluar segumpal asap tipis putih.

Snape mengangguk, "hampir. Konsentrasi lebih dalam, tunggu … atur lagi napasmu, ini penting, kalau tidak kau akan kehabisan napas,"

Ron memang mulai merasa sesak. Apa lagi ? Sejenak Ron ragu, tetapi kemudian ia yakin, ketika ia berbaikan kembali dengan Harry setelah Harry melawan naga, tahun lalu.

"Absit invidia," setengah berteriak Ron mengacungkan tongkatnya, dan keluar seberkas sinar biru transparan lurus langsung menuju ke langit-langit, dan menghilang.

Sebentuk senyum langka terukir di wajah Snape, "luar biasa, Weasley," gumamnya.

Ron kini merasa lelah sekali, seperti habis berlari berkilo-kilo.

"Duduklah dulu," Snape mengarahkannya kembali ke kantornya. Ia menyalakan perapiannya, dan menyihir seteko teh menuangkannya pada dua cangkir, dan mengangsurkan satu pada Ron.

Terus terang Ron merasa kikuk diperlakukan demikian, tetapi ia merasa terlalu lelah untuk membantah.

Rasa hangat setelah mengosongkan isi cangkirnya membuat Ron teringat sesuatu.

"Sir,"

Snape memandang padanya.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih, mm … , maksud saya … adik saya …,"

Snape menggeleng, "Tidak perlu berterimakasih,"

Ron tidak bisa berkata-kata lagi.

Sudah hampir tengah malam ketika Ron kembali ke ruang rekreasi. Tidak begitu banyak anak yang tertinggal. Tapi Harry, Hermione, Fred, George, dan beberapa anak lain masih bangun.

"Ron, ke mana saja kau ?" Hermione bertanya separo khawatir, "Lyra mengabarkan bahwa Ginny sudah sadar. Kukira kau bersamanya ?"

"Snape. Dia ingin aku membantunya," Ron menjawab pendek. Yang lain tidak lagi bertanya.

Masing-masing kembali ke kamar tidurnya. Dan jauh setelah yang lain terlelap, Harry mulai bermimpi lagi. Mimpi yang sudah hampir dilupakannya selama ini.

Minggu pagi, seperti biasa anak-anak bangun agak siang. Harry, susah tidur setelah mimpinya, dan Ron, setelah kelelahan berlatih, bahkan bangun lebih siang. Paling tidak anak-anak sudah berkerumun di meja ruang rekreasi, sepertinya sedang meributkan sesuatu.

" 'Da 'pa, sih ?" Ron masih setengah mengantuk.

Fred mengangsurkan apa yang sedang menjadi pusat perhatian mereka, Witch Weekly edisi terbaru.

SKANDAL KELUARGA PENYIHIR TERHORMAT

Dunia sihir hari ini terguncang dengan adanya skandal yang terjadi dalam sebuah keluarga sihir terhormat, keluarga yang terpandang selama berabad-abad.

"Kami benar-benar tidak mengira," demikian seperti yang dikatakan oleh salah seorang istri pejabat kementrian, "nampaknya mereka baik-baik saja, sampai ..." ia tidak bisa menemukan kata-katanya lagi, dan airmatanya bercucuran.

"Kejadian ini benar-benar mencoreng reputasi Mr Malfoy sebagai penyihir terkemuka," demikian juga diungkapkan salah seorang tokoh senior kepenyihiran yang tidak mau disebut namanya.

Wartawan kami mulai mencium kabar ini setelah dalam beberapa kali penampilan resmi, Mrs Narcissa Malfoy, tidak turut tampil bersama suaminya. Mr Malfoy selalu mengatakan ia sakit., dan dirawat di rumah. Tetapi beberapa sumber yang mesti kami lindungi identitasnya mengatakan bahwa Mrs Malfoy berada di St Mungo, Rumahsakit untuk Penyakit dan Luka-luka Sihir.

Setelah melalui investigative report yang panjang dan berliku, kami akhirnya menemukan beliau di suatu kamar isolasi. Sumber setempat mengatakan bahwa "beliau nampaknya telah mengalami serangkaian penganiayaan fisik secara berkala untuk waktu yang lama".

Dalam proses pencarian berita ini kami juga melakukan berbagai penyamaran,dan kami menemukan fakta bahwa Mr Lucius Malfoy seorang yang infertil, alias steril, alias tidak dapat memberikan keturunan. Lalu, anak siapakah Mr Malfoy muda ?

Dugaan kuat Mr Malfoy menganiaya istrinya secara berkala karena fakta ini, makin terbukti, setelah mereka dikabarkan baru-baru ini secara rahasia pernah mengadakan tes DNA secara Muggle, di sebuah rumah sakit Muggle, dan terbukti bahwa Mr Malfoy muda bukanlah anak kandung Mr Lucius Malfoy.

Sebuah sumber keluarga yang --lagi-lagi harus kami lindungi identitasnya-- mempunyai dugaan kuat ayah Mr Malfoy muda adalah Mr Seth Malfoy, kakak kandung Mr Lucius Malfoy yang meninggal tidak berapa lama setelah Mr Malfoy melangsungkan pernikahannya dengan Mrs Narcissa.Sumber itu pula mengungkapkan bahwa Mr Seth tidak pernah menjadi kesayangan Mr Malfoy senior --ayah mereka-- karena pandangan-pandangan Mr Seth yang berbeda tentang Muggle, Setengah-Setengah, dan Penyihir Murni. Mr Seth adalah satu-satunya dalam anggota keluarga yang tidak berpandangan merendahkan pada Muggle dan penyihir yang terlahir dalam keluarga Muggle.

Meyusul beberapa halaman panjang lebar dengan judul-judul yang berbeda, semuanya dalam satu topik "Laporan Utama"

"Aku bilang juga apa," Parvati mengingatkan ucapannya malam sebelumnya, "Lucius mau membunuh Draco, karena ia ternyata anak haram,"

"Parv," Lavender mengingatkan, "masa sih, hanya karena itu dia ingin membunuh Draco ? Lagian, kalau memang benar dia sudah tahu dari dulu bahwa dia steril, kenapa tidak dari dulu saja dia bunuh Draco ? Kenapa harus sekarang ?"

Anak-anak banyak yang mendukung teori Lavender. Hary dan Ron malas menanggapi, merasa lebih baik menghindar dari semua itu.

"Kita ke rumahsakit saja," bisik Ron, "Lyra mengatakan Ginny sudah boleh keluar pagi ini,"

"Hermione mana ?"

"Dia ke rumahsakit, katanya mau menengok Ginny,"

Harry dan Ron bergegas keluar dari ruang rekreasi, menuju rumahsakit. Di sana mereka menemukan Ginny, sudah segar seperti sediakala, sedang bercakap-cakap dengan Hermione, dan .. Draco.

"Hi, Ron, Harry, ke mana saja kalian, aku kira kalian tidak akan pernah bangun," sapa Hermione.

"Mione, ini kan Minggu," Ron berkilah, "boleh dong sekali-sekali bangun siang," lalu ia mengalihkan perhatian pada adiknya, "Gin, bagaimana perasaanmu sekarang ?"

"Sudah baikan," Ginny memang nampak lebih segar, "kata Lyra setelah pemeriksaan terakhir, aku boleh keluar,"

"Oh, bagus sekali," Ron mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya, "apa Lyra juga bilang kau sudah boleh makan coklat belum ?"

"Ron !" pipi Ginny bersemu merah dadu kini, "tak kukira kau ingat,"

Ron nyengir, tapi mukanya sama merah dadu seperti Ginny, "sekali-sekali tidak lupa kan boleh ?"

"Kalau bisa kau tidak lupa setiap tahun," Ginny berseri-seri.

Hermione memeluknya, "selamat ulangtahun, Gin,"

"Thank's Hermione,"

"Selamat ulangtahun, Gin, dan sebagian coklat itu dari kami, lho," Harry mengulurkan tangannya memberi selamat.

Draco nampak salah tingkah di tengah-tengah kumpulan keluarga bahagia ini. Ia mengulurkan tangannya juga, "Aku tidak tahu kalau ini hari ulangtahunmu, jadi aku tidak bawa apa-apa, tapi .. selamat ulang tahun, ya .."

Ginny menyambutnya juga, dan tersenyum, "tidak apa-apa. Terimakasih,"

"Kalian sudah di sini. Kukira sudah waktunya aku kembali," Draco mengangguk pada Harry dan Ron, lalu meninggalkan mereka.

"Draco," panggil Ginny.

Langkahnya terhenti, ia menoleh.

"Terimakasih,"

"Untuk apa ?"

"Menungguiku semalam,"

Draco menggeleng, lalu melanjutkan langkahnya.

"Dia menungguimu semalaman di sini ?" Ron memastikan.

Ginny mengangguk, " Setelah kau pergi, dia minta maaf padaku, .. atas kejadian itu. Kami mengobrol sejenak. Lyra bilang dia tetap disini bahkan waktu aku tertidur,"

"Ya," Hermione membenarkan, "kukira aku datang paling pagi, ternyata sudah ada dia,"

"Dia bicara apa saja padamu ?" tanya Ron penuh selidik pada adiknya.

"Yah, bahwa dia menyesal, bahwa dia ingin menjadi temanku, kalau aku bersedia,"

"Dan kau bersedia ?"

Ginny mengangguk, "Kalau melihat seperti apa dia dulu, mungkin dia adalah orang terakhir di muka bumi ini yang akan aku jadikan teman. Tetapi, melihat sikap dia sekarang .. yah, kukira apa salahnya ...,"

Ron mengambil kursi dari sisi pembaringan di sebelah Ginny, dan duduk. Ia mulai menceritakan apa yang sedang digosipkan anak-anak di ruang rekreasi tadi.

"Pantas, ia berkata bahwa anak-anak Slytherin kini menjauhinya. Ia tak punya teman di sana,"

"Betapa beruntungnya kita di Gryffindor," sahut Hermione, "jika kita punya kawan yang tertimpa musibah, kita malah akan simpati padanya. Mengusulkan pertolongan padanya,"

Ginny mengangguk setuju, "Kelihatan kan, sebenarnya apa yang dicari anak-anak Slytherin pada Draco. Begitu tahu bahwa ia bukan anak kandung Lucius, mereka semua menjauhinya,"

"Ya ampun, Gin, baru semalam kau menerimanya sebagai teman, sekarang kau sudah begitu membelanya," Ron memasang wajah seolah-olah terkejut, dengan hasil sebuah bantal melayang ke kepalanya.

"Rame amat," Lyra muncul dari balik tirai, "pemeriksaan terakhir, Gin,"

Harry, Ron, dan Hermione mundur memberi tempat pada Lyra untuk melakukan pemeriksaannya. Lyra menutup tirai pembatas, tetapi hanya beberapa menit ia sudah membukanya lagi.

"OK, kau boleh keluar,"

Ginny tersenyum gembira, "Terimakasih, Lyra, untuk semuanya,"

Lyra membalas senyumnya, "Pergilah berterimakasih pada Profesor Snape, Ginny. Dia yang meramukan obat buatmu,"

"Pasti,"

"Hei," Ron berseru mengingatkan, "lihat sudah jam berapa sekarang .. kita belum sarapan,"

Lyra segera mengusir mereka keluar dari rumahsakit.

Masuk ke Aula Besar meja Gryffindor riuh menyambut kedatangan kembali Ginny. Di tengah-tengah kerubutan anak-anak yang bergembira itu, Ginny mencari-cari di meja Slytherin. Draco duduk lesu agak di sisi, tidak bergabung dengan kroninya yang biasa. Mereka pun nampaknya mengacuhkannya. Tatapan mereka bertemu, Ginny mengangguk dan tersenyum memberi semangat.

Senin siang seusai pelajaran pagi, Ron bersama Harry ke perpustakaan mencari referensi untuk tugas Transfigurasi mereka.

Ginny sudah ada di sana, tampak sibuk mengerjakan sesuatu. Dan duduk semeja dengannya ... Draco. Sesekali nampaknya Ginny bertanya padanya, dan ia menjelaskan.

Ron tidak berkomentar.