B A B 1 7
Pagi hari ketika Lyra mengetuk pintu ruang bawah tanah Snape. Tidak ada jawaban. Perlahan dibukanya pintu. Tidak terkunci. Di atas meja dekat kuali ramuan mereka selembar perkamen pendek tertulis "Pergilah duluan. Aku menyusul"
Lyra membuka tutup kuali ramuan. Ramuan itu telah sempurna kini. Dimatikan apinya, lalu disendokinya hati-hati ke dalam botol-botol kecil. Satu botol untuk satu dosis, Lyra mengukur masing-masing berdasarkan umur yang tertera dan melabelinya dengan teliti.
Setelah selesai dan mengecek ulang, Lyra mengemasnya dalam kotak obatnya, membereskan meja dan kuali, lalu keluar setelah menutup pintunya. Berjalan sampai batas halaman Hogwarts iapun berDisapparate, dan berApparate lagi di St Peter, Heathrow.
Berjalan di koridor menuju sal kemarin, sebuah suara memanggilnya. Ia menoleh. Snape. Di belakangnya ada dua orang, yang rasa-rasanya ia kenal. Mm, ya, mereka dari St Mungo.
"Aku tadi ke St Mungo dulu, menghubungi mereka untuk membantu pemindahan," Snape memberi tahu sebelum ditanya.
Lyra mengangguk, menjabat tangan kedua petugas St Mungo menyapa mereka. Ia serasa teringat dulu saat masih di Akademi ..
Profesor Steinhauser ternyata sudah ada di sal. Ia memberi isyarat agar para perawat keluar. Tanpa banyak bicara Lyra memulai pengobatan. Satu demi satu mereka terbangun, segera disambut "Obliviate" oleh kedua petugas St Mungo tadi.
Lyra menjelaskan secara singkat pada Steinhauser apa yang akan mereka lakukan terhadap pasien sisanya, yang mereka indikasikan adalah penyihir. "Kami juga akan memodifikasi ingatan para perawat yang pernah merawat mereka," Lyra memaparkan, "tapi khusus anda, Profesor Dumbledore sudah memberi instruksi, bahwa anda dikecualikan,"
"Aku merasa tersanjung," sahut Steinhauser, "sebenarnya aku tidak berkeberatan diperlakukan demikian. Untuk jaga-jaga bila suatu saat aku keceplosan,"
"Tidak perlu, Sir, lagipula itu akan merusak persahabatan Anda dengan Kepala Sekolah kami," Lyra memberi alasan. Dengan senyum lebar, Steinhauser menjabat tangan mereka ketika berpamitan.
Sudah lewat tengah hari ketika semua urusan, termasuk memindahkan para pasien penyihir ke St Mungo selesai. Lyra dan Snape sedang berjalan di koridor menuju kantor Dumbledore ketika Harry berlari terengah-engah nyaris menabrak mereka.
"Ada apa Harry ?" Lyra memulai bertanya sebelum Snape sempat berkata apa-apa.
"Sirius mengirim surat lagi, katanya baru saja ia menangkap orang-orang yang mencoba meracuni mata air Hogsmeade,"
Alis Snape terangkat, dan tanpa banyak bicara ia memimpin mereka menuju kantor Dumbledore. Patung gargoyle melangkah sendiri ke samping demikian pula pintunya membuka sendiri, dan di dalam tampak Dumbledore menyambut mereka dengan sehelai perkamen di tangan.
"Ah, Harry, nampaknya Sirius menulis pula padamu," rupanya surat di tangan Dumbledore serupa dengan surat Harry, "aku akan memberitahu Fudge. Sementara ini aku serahkan penanganannya pada kalian. Ya, kau Severus, kau juga Lyra dan Harry,"
Merasa kebingungan bagaimana mereka dapat berperan dalam menangani ini, tapi toh mereka menurut juga. Keluar dari kantor Dumbledore, Snape berjalan di depan, menuju Hogsmeade lewat jalan yang biasa.
Sejenak Harry ragu. Tetapi kemudian, "Mm, Sir," Snape berbalik menatapnya bertanya, "saya rasa lebih cepat lewat sini," Harry menunjukkan jalan ke arah patung si nenek berpunuk.
Snape mengikuti tanpa bicara. Tiba di dekat patung, Harry mengetukkan tongkatnya dan meengucapkan "Dissendium". Seperti sebelumnya, punuk patung itu membuka dan memperlihatkan jalan masuk ke lorong di bawahnya.
"Dalam situasi lain, ini akan menyebabkan Gryffindor kehilangan banyak angka, Potter," Harry tidak mendengar nada mengancam dalam suara Snape seperti biasanya, maka ia hanya bisa nyengir saja dalam remang-remang.
Tiba di Hogsmeade mereka harus berjalan lagi ke arah pegunungan di mana mata air sumber air minum seluruh penduduk Hogsmeade berada. Di sana sudah menanti Sirius berserta Remus, dan beberapa orang berjubah hitam bertudung dengan topeng, dan terikat erat ke sebuah batang pohon besar. Nampaknya mereka sudah dipingsankan.
Sebelum mereka sempat bertukar sapa, sebuah bunyi 'plop' terdengar, dan muncul di hadapan mereka Menteri Sihir, Cornelius Fudge, beserta dua orang bawahannya, mungkin Auror, terka Harry dalam hati.
"Sirius Black," geram Fudge, dan kedua Auror itu sudah bersiap untuk maju, ketika Snape mencegah mereka.
"Bukan dia, Sir," lalu Snape mendekati salah satu yang terikat di pohon dan membuka topengnya dengan sekali sentak.
"Pettigrew," desis Fudge, "tetapi .."
Snape mengeluarkan sebuah tabung berisi cairan bening dari balik jubahnya.
"Veritaserum," bisik Harry.
"Dengan seijin anda, Pak Menteri,"
Fudge mengangguk. Snape menuangkan tiga tetes cairan bening itu ke mulut Pettigrew, membuatnya menelan dengan paksa. Ia membangunkannya dengan 'enervate'.
"Silakan, Pak Menteri,"
Cornelius Fudge sejenak ragu, seolah tak tahu darimana harus memulai. Tetapi kemudian pertanyaan demi pertanyaan meluncur dengan lancar, Mantra Fidelius .. Penjaga Rahasia .. kematian James dan Lily Potter .. peristiwa pembunuhan duabelas Muggle .. pengiriman Sirius ke Azkaban .. animagi sebagai tikus .. Wormtail .. hidup bersama keluarga Weasley .. hingga saat ia ketahuan oleh Sirius, lolos dan bergabung dengan Pangeran Kegelapan.
Airmuka Fudge semakin keruh bersamaan dengan meluncurnya kalimat-kalimat dari mulut Pettigrew. "Jadi benar Dia telah bangkit kembali," ucapnya suram.
"Mr Black," sahutnya lagi setelah terdiam beberapa saat, "segera akan kami umumkan ketidak bersalahan anda secara resmi. Hak-hak anda akan dipulihkan, seperti lisensi ber-Apparate, dan penggunaan tongkat. Kami .. kami juga akan mengumumkan permintaan maaf secara resmi, dan pemenuhan tuntutan ganti rugi bila ada," Fudge menelan ludah.
"Tidak akan ada tuntutan apa-apa, Pak Menteri," serak kalimat yang keluar dari mulut Sirius. "Pemulihan hak-hak sudah cukup bagiku,"
Fudge mengangguk penuh rasa terimakasih, lalu memerintahkan bawahannya untuk menyingkap topeng para Pelahap Maut yang lain.
Crabbe .. Goyle .. Nott .. MacNair .. Fudge tampak tidak bisa lebih terkejut lagi. Pelahap Maut terakhir disingkap topengnya, namun mereka tidak mengenalinya.
"Yung Jin ?" semua keheranan karena Lyra-lah yang mengenalinya.
"Maaf, Miss Fern, anda mengenal dia ?" salah satu Auror itu bertanya.
"Adik seperguruanku,"
Orang itu nampak tak berani memandang Lyra.
"Kenapa, Yung Jin ?" pandangannya terluka.
Ia takut-takut mengangkat kepalanya dan mulai berbicara, "Sewaktu kakak Steve Chan masih ada, Guru Besar Ling Zhi pernah mengatakan bahwa ia ingin menjadikan kakak Steve sebagai kandidat Guru Besar selanjutnya. Aku senang sekali. Setelah ia meninggal, aku sebenarnya berharap Guru Ling akan menunjukku. Aku selalu dikenal sebagai murid terbaik kedua setelah kakak Steve."
"Tetapi ternyata Guru Ling tidak pernah menyinggung-nyinggung namaku. Ia bahkan menyebut-nyebut namamu selalu, shi jie," Pemuda itu menelan ludah sebelum melanjutkan, "Beliau selalu memuji-mujimu, mengatakan kau mempunyai kapasitas kepemimpinan, wawasan yang luas, dan entah apa lagi. Beliau selalu mengatakan, bagaimanapun kau akan kembali kepada kami, shi jie,"
Lyra tertawa getir, "Karena itu, hanya karena itu, kau melakukan semua tindakan keji ini, shi di ? Kau tahu dengan siapa kau bergabung ? Dengan penyihir paling keji di dunia. Dan mereka semua membenci manusia biasa, Muggle kata mereka. Kau merendahkan diri sendiri bergabung dengan mereka, karena begitu kau tak berguna lagi kau akan dibunuh,"
"Dan betapa bodohnya kau mengira aku akan kembali ke Perguruan untuk memimpin di sana. Bahkan ketika Steve masih ada pun, ia tidak mau dijadikan Guru Besar. Rencana kami setelah menikah adalah pulang ke sini, ke Inggris. Kau tahu Steve punya darah Wales dari ibunya. Kami ingin mendirikan perguruan sendiri di sini. Itu mungkin yang dimaksud oleh Guru Ling dengan memimpin,"
"Kau benar-benar bodoh tidak menyadari bahwa kau-lah yang diajukan untuk menjadi kandidat Guru Besar oleh Guru Ling,"
"Aku ?"
"Kau tidak ingat misimu menelusuri Sungai YangTse tempo hari ? Mengenali semua jenis bahan ramuan yang mungkin kau temukan di sepanjang perjalanan, menyembuhkan segala penyakit yang mungkin kau hadapi .."
"Itu bukannya tugas rutin biasa ?"
"Itu adalah Ujian Besar, Yung Jin, Seorang calon Guru Besar mesti menjalani beberapa kali Ujian Besar, dan kau sudah lulus yang satu ini dengan baik. Kau bisa mengenali semua bahan ramuan, kau bisa mengenali dan mengobati semua penyakit yang kau temui saat itu, dan terlebih lagi kau memimpin tim ekspedisimu dengan baik. Guru Ling sangat puas denganmu, shi di,"
Yung Jin tampak terpukul sekali.
"Aku tidak mengira kau akan sepicik ini, shi di. Dan aku tidak mengira kau begitu bodoh untuk bergabung dengan para penyihir hitam ini," Lyra menghela napas dalam, " Apa yang mereka tambahkan ke dalam ramuan Chao itu, shi di ?"
Yung Jin menggeleng, "Aku tidak tahu pasti. Semacam permata, mungkin berlian, hanya dicelupkan saja, tetapi mereka bilang akan mempunyai efek yang berbeda terhadap penyihir,"
Lyra memejamkan matanya, menghela napas lagi kali ini lebih panjang. Seolah ia sedang membulatkan tekadnya terhadap sesuatu. Ia mendekati Yung Jin, tangannya terulur.
"Lencana Giok, Yung Jin,"
Yung Jin terlompat ke belakang, saking kagetnya.
"Shi jie ? Kau tega ?"
Tapi Lyra masih mengulurkan tangannya, dengan pandangan yang bahkan Snape pun bergidik melihatnya.
Pemuda itu pasrah. Ia merenggut kalung yang dikenakannya, melepas leontinnya. Sambil berlutut khidmat ia menyerahkan benda itu pada Lyra.
"Lencana ini akan kukirimkan pada Guru Besar. Aku yakin ini akan tiba sebelum dirimu. Biar Guru Besar yang memutuskan apa yang terbaik bagimu,"
"Terima kasih shi jie,"
Masih berlutut Yung Jin merogoh sesuatu dari kaki celananya. Sebilah pisau. Dan sebelum yang lain sempat bereaksi ia mengarahkan pada lehernya sendiri ..
Sebelum mata pisau itu menyentuh lehernya, Lyra telah mendahului "Expelliarmus !" dan pisau itu terlepas, melayang.
"Kau benar-benar mengecewakanku, shi di," Lyra memandangnya sedih, "janganlah menjadi pengecut. Hadapi apa yang telah engkau perbuat," Lyra lalu berbalik menghadap Fudge, "Dia milik anda sekarang, Pak Menteri,"
Fudge memberi isyarat untuk membereskan para tawanan. "Bagaimana dengan dia ?" tanyanya mengarah pada Yung Jin.
"Scotland Yard, sir. Kepolisian Muggle. Biar mereka menyerahkan pada Interpol. Kukira kita punya perjanjian ekstradisi dengan Cina," seorang dari Auror itu menjawab.
"Baiklah," Fudge lalu mengambil sikap resmi, "Lady and gentlemen, aku mengucapkan terima kasih atas segala bantuan kalian. Dan kupastikan kalian semua akan mendapat imbalannya,"
Dengan kata-kata itu, mereka mengeluarkan bunyi 'plop' lagi, dan menghilang.
Harry menghela napas lega. Semua ini seperti mimpi baginya. Sirius bebas kini !
"Kita kembali ke Hogwarts," ujar Snape, "kukira Dumbledore juga ingin bertemu dengan kalian semua," ia mengarahkan pandangannya pada Sirius dan Remus.
Sirius melangkah maju, "Severus," sahutnya bersungguh-sungguh, mengulurkan tangannya, "terima kasih .."
Semua menunggu dengan tegang, tetapi Snape tak perlu waktu lama untuk menyambut tangan Sirius, "tidak perlu. Aku berhutang budi padamu, dan aku membayarnya. Jadi kita impas kini," Mereka berjabat tangan erat, dan Harry sempat melihat senyum kecil pada wajah kedua orang itu.
Di kantor Dumbledore. Suasana terasa lebih hangat kini. Harry lega, merasakan tidak ada lagi suasana permusuhan. Mereka sedang mendiskusikan kira-kira permata apa yang digunakan untuk memodifikasi ramuan sehingga berakibat begitu fatal pada penyihir, ketika tiba-tiba Dumbledore mengangkat tangannya, membukakan pintu.
"Masuklah, Mr Malfoy dan Miss Weasley," ujarnya.
Draco Malfoy. Ia masuk diikuti Ginny, dengan sikap takut-takut.
"Sir, Kepala Sekolah," Ginny yang membuka pembicaraan, "Draco mengatakan suatu rahasia .. yang sulit untuk diungkapkannya. Tetapi ia mengatakan itu penting,"
Dumbledore memandang mereka berdua dari balik kacamata bulan sabitnya dengan pandangan prihatin, "Mantra Rahasia Kematian ?" Draco mengangguk.
Harry mendengar Snape menggeram pelan, tetapi ia belum mengerti kenapa.
"Sir, secara tidak sengaja saya mendengar ayah saya, maksud saya Lucius, membicarakan sesuatu. Mereka memergoki saya mendengar. Mereka mengenakan mantra itu pada saya, untuk mencegah saya menceritakan pada orang lain,"
Harry masih tak mengerti, hingga Remus menjelaskan, "Mantra ini untuk menjaga agar kau tidak membocorkan rahasia. Versi kejam dari Mantra Fidelius, karena ini termasuk dalam sihir hitam. Kalau kau membuka rahasia, bahkan sekedar memberi petunjuk yang mengarah pada rahasia itu, kau bisa mati karenanya,"
Harry bergidik. Rahasia apa yang membuat Lucius tega mengancam kematian pada anak .. yah paling tidak pernah diakuinya sebagai anak sendiri ?
"Apakah .. apakah ia kurang yakin akan keampuhan mantra ini sehingga beberapa kali berusaha membunuhmu ?"
Snape seakan tersentak dengan pertanyaan Harry ini. Jadi jelas, darah unicorn itu, avada kedavra itu ..
Draco mengangguk, "Mungkin .."
Apa gerangan yang begitu dirahasiakan sehingga ..
Draco mencoba berbicara lagi, tetapi Harry memperhatikan bahwa tubuhnya gemetar, keringatnya bercucuran. Ginny memegangi tangannya, memohon, "Draco, jangan, .. kau tahu kau bisa mati karenanya,"
Tetapi Dumbledore berpikiran lain. "Kuatkan saja hatimu, nak. Kalau kau benar-benar ingin mengatakannya. Bersihkan hatimu, bulatkan tekadmu, yakinkan diri kalau kau akan berhasil,"
Betapa Harry ingin membantunya, kalau saja bisa. Draco memejamkan mata, menggigit bibirnya, sebelum akhirnya membuka suara, "Ini tentang ramuan itu, Sir ..,"
Kalimat itu tidak dapat diselesaikannya karena darah segar menyembur dari mulutnya. Ginny terpekik. Lyra cepat-cepat mendekatinya, memeriksa nadinya. Airmukanya sulit ditebak.
"Sir," katanya penuh tanya, "tidak adakah penawarnya ?"
Dumbledore menggeleng, "Nurani. Hanya itu satu-satunya jalan keluar,"
Draco nampak sudah siap untuk berbicara lagi. Semua menunggu harap-harap cemas.
"Berlian Hope .. Blue Heart .. dan .. Heart of Eternity .." kali ini selain semburan darah segar dari mulutnya, hidung dan telinganya pun mengeluarkan darah. Tubuhnya gemetar hebat. Harry dapat mendengar Snape menggertakkan gigi menahan emosinya.
"Ruang penyimpanan Lucius, .. kastil, .. Suffolk," tubuhnya kini merosot dalam posisi berlutut. Snape memburunya, menyangganya. "Jangan katakan apapun lagi, aku mengerti .." lalu memberi isyarat pada Lyra untuk membantunya, "bawa ia ke rumah sakit .."
"Tidak, anda .. tidak mengerti .." Draco masih mencoba untuk bertahan dengan sisa-sisa kekuatannya, "jebakan .., kata kunci .. Kristal .. mata .. hati ..," Dengan kata terakhir ini Draco benar-benar roboh, tubuhnya tertelungkup di lantai.
Snape cepat mendekati, membalikannya dalam pangkuannya. Lyra memeriksa nadinya, "Masih bisa diselamatkan," katanya lega. Semua menarik napas lega.
Dumbledore tersenyum tipis, "aku tahu ia akan bisa bertahan," katanya menenangkan semua.
Snape diiringi Lyra dan Ginny bergegas membawa Draco ke rumahsakit. Dumbledore menyuruh Harry kembali ke asramanya. Walau ia tidak mengatakan apa-apa tapi Harry maklum Dumbledore menyuruhnya tidak membicarakannya dulu dengan siapa-siapa.
Dumbledore juga meminta Sirius dan Remus untuk tinggal sementara di Hogwarts. Mereka menyetujuinya. Harry senang, setidaknya ia bisa dekat dengan walinya kini.
Di rumah sakit. Ginny masih tersedu memegangi tangan Draco yang kini dingin terbaring kaku di tempat tidur. Lyra masih memeriksanya secara menyeluruh. Snape menunggu, berdiri tegang di ujung pembaringan.
Akhirnya Lyra meletakkan tongkatnya. Menghela napas, memandang bergantian pada Ginny dan Snape, "Secara fisik, kerusakan organ-organ tubuhnya bisa diobati dengan Cairan Restoratif Mandrake. Dan itu hanya memakan waktu beberapa jam untuk pulih kembali. Tetapi, aku tidak tahu apakah jiwanya .. akan pulih kembali,"
Ginny terisak makin keras. Snape mengepalkan tangannya.
"Tidak ada jalan lain ?" tanyanya. Lyra mengerti. Snape ingin ia mencoba tusuk jari, atau apapun yang pernah dipelajarinya.
Lyra menggeleng. "Seperti kata Kepala Sekolah, ia harus menguatkan hati, membersihkan nurani, maka ia akan berhasil melalui ini .."
Hening sejenak.
"Bolehkah .. bolehkah .. aku menungguinya ?" Ginny mencoba menghentikan isaknya. Lyra mengangguk. Menepuk pundaknya, "Tenang saja Ginny. Mari kita berharap yang terbaik,"
Lyra berlalu menuju ruang penyimpanan obat untuk mengambil Cairan Restoratif Mandrake. Snape mengikutinya.
"Kau mengerti apa yang dikatakannya tadi .. tentang berlian ?'
Lyra mengangguk perlahan, "secara garis besar, ya. Ramuan Racun Chao dicelupi berlian Hope .. dan penawarnya kemungkinan besar adalah Heart of Eternity,"
Snape mengangguk. Lyra melanjutkan "Ketiga berlian tadi, adalah serangkaian berlian biru terbesar di dunia. Hope, sejak diketemukannya, dikabarkan selalu membawa nasib sial pada pemiliknya. Terutama sewaktu dimiliki oleh Louis XVI dan Maria Antoinette .."
"Kau tahu itu .."
"Jangan lupa aku pernah bekerja pada seorang penyihir pemilik tambang berlian di Afrika Selatan .."
Snape mengangguk. "Kalau saja aku masih bisa memberimu poin asrama .."
Lyra tersenyum kecil. Mengambil cairan yang diperlukan, lalu kembali ke tempat Draco.
Snape tidak mengikutinya kembali, Snape juga tidak ada di ruang penyimpanan obat.
Mendadak Lyra merasa khawatir. Sangat khawatir.
"Emm, Lyra ?"
Lyra tersentak. "Ada apa Ginny ?'
"Apakah .. kau pikir dia bisa.. maksudku, dia dulu .." Ginny tidak bisa meneruskan.
Lyra mengerti. Ia tersenyum mencoba menghibur Ginny, "Aku tahu bagaimana Draco dulu. Tetapi, bahwa ia mencoba untuk mengatakan rahasia itu walau dengan taruhan nyawanya, kukira cukup untuk menggambarkan bagaimana ia sekarang. Jangan khawatir Ginny, ia akan selamat. Kalau kau mau, kau boleh menungguinya di sini,"
Ginny mengangguk.
Di pintu terdengar ketukan. Harry, Ron, Hermione.
"Bagaimana ?" Ron jelas tampak khawatir.
"Aku kira kita harus optimis," Lyra menjawab diplomatis, "Harry, kau .."
"Jangan khawatir. Hanya mereka yang tahu apa sebenarnya yang terjadi,"
Ron dan Hermione mengangguk. Ron mengusap pundak adiknya, lalu beranjak, "Kabari kami jika ada perkembangan,"
Lyra mengangguk. Ia mengantar mereka bertiga ke pintu, kemudian ke ruang penyimpanan obat untuk mengembalikan botol Cairan Restoratif Mandrake-nya.
Sepotong pesan tergeletak di atas meja, "Titip Longbottom dan ramuannya, SS"
Kini Lyra yakin bahwa ia memang perlu untuk khawatir. Sangat khawatir
Lyra keluar dari kandang burung hantu itu dengan perasaan tak menentu. Baru saja ia mengirimkan lencana giok milik Yung Jin pada Guru Ling. Lencana Giok, tanda perguruan mereka. Jika seorang sudah lulus tahun pertama, ia berhak menjadi tabib, atau jika ingin meneruskan belajar di perguruan tanpa batas waktu. Atau menjadi peneliti. Tetapi menjadi apapun, mereka akan diberikan lencana giok pertanda kelulusan. Pencabutan lencana giok menurunkan status menjadi serendah siswa tahun pertama. Dengan pertimbangan tertentu malah dapat berarti : diusir dari perguruan.
Biarlah Guru Ling yang akan menentukan, batin Lyra. Ia baru saja akan kembali ke rumahsakit ketika ia melihat sesosok tubuh berkelebat dalam bayangan hitam.
"Severus .." tanpa dapat dicegah ia telah memanggilnya.
Sosok itu berhenti. Lyra mendekatinya. Ia mengenakan jubah bertudung, tanpa topeng.
"Kau pergi juga ?"
Ia mengangguk.
"Mereka sudah kehilangan beberapa Pelahap Maut, akan sangat berbahaya,"
"Aku tahu,"
"Mungkin mereka menyiapkan jebakan untukmu ..,"
"Lyra, aku sudah meninggalkan pesan untukmu. Aku titipkan Longbottom padamu,"
"Kau .. akan .. kembali ?" suara itu terdengar parau.
Snape berbalik. Dilihatnya mata Lyra berkaca-kaca.
"Kau harus berjanji akan kembali. Aku tidak akan sanggup .. kehilangan lagi ..," titik-titik mutiara bening bergulir dari kedua bola matanya.
Snape tertegun.
Airmata.
Untuknya.
Sepanjang hidupnya belum pernah seorangpun ..
Tak dapat menahan diri didekatinya gadis itu, diraihnya ke dalam pelukannya. "Aku akan kembali. Aku berjanji," sahutnya lirih. Dihapusnya airmata gadis itu, dikecupnya keningnya, dan ia berbalik melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Ia takut jika ia menoleh maka ia tidak akan pernah sanggup pergi lagi.
Severus Snape.
Guru yang ditakuti siswa. Mantan Pelahap Maut yang kini menjadi agen ganda.
Tak mampu bahkan untuk menatap mata seorang gadis ..
I used to think that love was just a fairy tale
Until that first hello
Until that first smile
But if I had to do it all again
I wouldn't change a thing
Cause this love is everlasting
Suddenly
Life has new meaning to me
There's beauty up above
And things we never take notice of
You're wake up
Suddenly your in love
Girl you're everything a man could want and more
One thousand words are not enough
To say what I feel inside
Holding hands as we walk along the shore
Never felt like this before
Now you're all I'm living for
Suddenly
Life has new meaning to me
There's beauty up above
And things we never take notice of
You're wake up and
Suddenly you're in love ..
(Suddenly by Billy Ocean)
