B A B 1 8
Anjing hitam besar itu mendekati kerumunan orang di kantor rumahsakit. Ada Harry, Ron, Hermione, Lyra, Ginny, Remus, dan kepala sekolah mereka, Dumbledore. Dalam hitungan detik ia berubah menjadi Sirius, basah kuyup oleh keringat.
"Aku sudah ke Suffolk, ke kastil Malfoy, namun dia tidak ada di sana," sahutnya terengah-engah. Nampak jelas bahwa ia ingin menyampaikan kabar ini secepatnya. "Dari jejaknya aku tahu bahwa Severus sudah pernah ke sana. Mungkin ia bahkan sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Tetapi aku tidak melihat Malfoy. Dugaanku, Malfoy pergi ke suatu tempat dan Severus membuntutinya,"
Lyra menahan napas. "Apakah .. ia dalam bahaya ?"
Dumbledore menengahi, "Mungkin. Tetapi aku tahu Severus. Ia akan dapat mengatasinya,"
"Tetapi, kini keadaannya lain. Kau-Tahu-Siapa sudah mengetahui siapa dia, ditambah ia sudah kehilangan beberapa orangnya, dan tambahan lagi, Severus mencari permata yang justru merupakan senjata mereka kini," Lyra masih saja khawatir.
"Sirius, apakah kau kira mereka pergi ke .." Remus mencoba menduga-duga.
"Mungkin. Dugaanku, Malfoy menduga anaknya .. emm, Draco maksudku, sudah membocorkan rahasia, maka mereka memindahkan pertemuan, tidak di kastilnya lagi."
"Di mana ?" Hermione penasaran.
"Dart Moor,"
Hermione terpekik. Harry dan Ron cuma bengong.
"Dart Moor, di barat daya Inggris, hutan ideal untuk persembunyian Voldemort," ujar Remus menjelaskan. "Sirius, apa tindakan kita ? Kita tidak bisa membiarkannya sendirian,"
Kepala Sekolah sementara itu hanya mengikuti percakapan mereka, seolah ingin tahu sampai di mana mereka bisa mengatasinya.
"Portkey, mungkin ?" Sirius ragu.
"Kukira juga begitu. Aku akan menyiapkannya, sore ini kita langsung ke sana,"
Dengan perkataan itu, Remus dan Sirius lalu beranjak dari ruangan. Yang lain mengikuti dengan pandangan kagum.
"Kalian bisa lihat bagaimana tujuan bisa mengubah segalanya ? Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi," ujar Dumbledore seolah pada dirinya sendiri, lalu ia pun keluar dari ruangan itu.
"Yah, kukira tidak ada yang bisa kita perbuat di sini sekarang," Lyra memecah keheningan di antara mereka yang tersisa. "Ginny, masih mau menunggui ?" Ginny mengangguk.
"Aku sudah membawakan buku-bukumu," ujar Hermione, "kau bisa mempersiapkan ujian akhir semestermu di sini,"
"Astaga, kapankah OWL ?" seru Ron menepuk kepalanya kaget. "Aku belum menyelesaikan bacaan Pertahanan terhadap Ilmu Hitam-ku,"
"Kalau begitu, sebaiknya kalian segera kembali saja, belajar dulu. Toh, tidak ada yang dapat kalian lakukan di sini sekarang,"
Bertiga mereka mengangguk, lalu keluar ruangan.
"Ginny kau tidak apa-apa kutinggal sendiri sementara ? Aku mau melihat Neville sebentar, bagaimanapun juga Profesor Snape menitipkannya padaku," ujar Lyra setelah melihat lagi kondisi Draco. "jangan khawatir, secara fisik, dia sudah pulih. Kita tinggal berharap," sahut Lyra seolah pada dirinya sendiri.
Ginny mengangguk, lalu mulai menekuni buku-bukunya di samping tempat tidur Draco.
Snape membuka pintu berukir itu dengan Alohomora. Setelah yakin tidak ada siapa-siapa, ia meneruskan pencariannya. Examinus. Setiap jengkal dinding kamar penyimpanan Lucius ia periksa. Tongkatnya berpendar-pendar di satu sisi, diketuknya dengan tangan. Dinding bagian itu seperti kosong.
Hati-hati diperiksanya lagi. Kertas dindingnya seperti ada sambungan. Seperti dinding yang bisa dibuka tutup. Disentuhkannya tongkatnya Discloserus. Kini nampak garis-garis sinar hijau membentuk bingkai, dengan Tanda Kegelapan di tengahnya, berpendar-pendar. Di bawahnya seperti ada pegangan untuk membuka penyimpanan rahasia itu. Tangan Snape sudah nyaris terulur untuk membukanya ketika ia teringat apa yang dikatakan Draco. Jebakan .. Kata kunci .. Kristal mata hati ..
Dengan tongkatnya dilukiskan huruf-huruf Rune melambangkan kata kunci, di bawah Tanda Kegelapan itu. Proceedius disentuhkannya tongkatnya sekali lagi, dan mendadak bagian dinding itu membuka.
Tiga berlian biru besar berkilauan di dalam sebuah kotak. Hope. Blue Heart. Heart of Eternity. Cepat Snape mengumpulkan ketiganya, memasukannya dalam kantung yang diberikan Dumbledore padanya sebelum berangkat.
Detik berikutnya ia mendengar suara langkah memasuki kamar. Dengan satu sentuhan tongkat dikembalikan dinding tadi ke posisi semula.
Lucius Malfoy. Meraih jubah bertudung dan topengnya dari lemari, lalu bergegas pergi lagi. Sempat Snape mendengarnya menggerutu beberapa kata tentang 'tertangkap', 'begitu ceroboh', dan entah apalagi, yang tak tertangkap telinganya.
Pasti akan ada pertemuan lagi. Snape cepat memutuskan untuk mengikuti. Dengan Surveillantius ia bisa mengikuti dalam jarak aman, bahkan jika Malfoy berDissaparate sekalipun.
Hermione sudah tenggelam lagi di balik tumpukan buku-bukunya. Ron dan Harry juga, walau setidaknya tumpukan buku mereka tidak begitu tinggi. Tetapi kelihatan jelas bahwa Ron tidak bisa konsentrasi.
"Ada apa ?" Harry bertanya penasaran, saat sekali lagi Ron mengeluh di depan halaman bukunya yang sedari tadi belum berganti.
"Aku khawatir pada Sirius dan Remus. Kau tahu sekarang tanggal berapa, maksudku posisi bulan saat ini kan purnama ?"
Harry tercenung. "Maksudmu ?"
"Remus memang dapat mengendalikan transformasinya, di luar saat bulan purnama. Bukan purnama pun ia bisa menjadi serigala, kapanpun ia inginkan,"
"Tetapi pada saat purnama mau tak mau ia pasti menjadi manusia serigala," Harry meneruskan pikiran Ron.
"Ya. Saat non-purnama memang ia bisa mengendalikan dirinya. Tapi saat purnama, apakah ia benar-benar sudah dapat mengendalikan dirinya sepenuhnya ?"
Harry menangkap maksud Ron, "Ron, apakah kau pikir .. ?"
Ron celingak celinguk memandang sekeliling. Semuanya sedang sibuk dengan buku masing-masing. Ia mengangguk pada Harry, keduanya pelan-pelan membereskan buku tanpa suara lalu beranjak ke kamar tidur tanpa menarik perhatian.
"Ron kau yakin ?" Harry berbisik menarik keluar Jubah Gaib-nya dari lemari, "maksudku,kau Prefek, dan segala macam ini .."
"Justru karena aku Prefek," sahut Ron tak sabar, "paling tidak aku punya beberapa hak istimewa melindungiku,"
"Hak untuk keluar menyelinap malam-malam dengan Jubah Gaib ?" Harry menggoda.
Ron tidak menjawab, dan Harry tidak meneruskan. Berdua mereka mengenakan jubah itu, menyelinap hati-hati dan beruntung ada seorang anak kelas tiga membuka lukisan untuk masuk, sehingga mereka bisa keluar tanpa menarik perhatian.
Kamar Sirius dan Remus tentulah di jajaran kamar tidur guru-guru, Harry menduga. Belum sempat mereka membuktikan dugaan, terdengar suara-suara aneh di lorong di depan mereka. Dalam remang-remang nampak kelebatan sesuatu yang saling mengejar, dan setelah mendekat jelaslah .. Seekor serigala melesat lari dikejar seekor anjing hitam besar. Mereka berdua lari dengan kecepatan tinggi seperti mencoba keluar dari kompleks Hogwarts, secepatnya, ke hutan Terlarang, di mana di sana aman .. tak ada kemungkinan melukai manusia ..
"Ron, kau benar," desis Harry, "Remus masih belum sepenuhnya dapat mengendalikan pikirannya saat purnama .."
"Lalu apa yang akan kita perbuat ?"
"Kita lihat di kamarnya,"
Berdua mereka mencari kamar yang pintunya pasti dibiarkan terbuka, karena tergesa-gesa ditinggalkan. Dapat. Mereka masuk dengan hati-hati, dan di sudut kamar mereka mendapati sebuah tunggul kayu yang berpendar-pendar bercahaya ..
"Portkey," bisik Ron, "Harry .." ia memandang Harry yang tepat sedang memandang ke arahnya, seolah sedang menyamakan pikiran.
Detik berikutnya keduanya telah memegang benda itu, yang langsung terasa berputar dalam deru angin dan pusaran warna. Rasanya berabad-abad sebelum akhirnya kaki mereka terasa menapak tanah, dan pusaran itu berhenti.
Terhuyung Harry mencoba berdiri dengan benar, membetulkan kacamatanya yang merosot, dan melihat keadaan sekeliling. Gelap. Matanya harus menyesuaikan diri dulu beberapa saat sebelum ia dapat melihat kumpulan pepohonan besar-besar dan rapat di sekelilingnya.
"Dart Moor," bisiknya dan Ron nyaris bersamaan. Mereka membetulkan letak Jubah Gaib yang tersingkap, berjaga-jaga agar tidak terlihat siapapun sebelum mereka sempat melihatnya lebih dulu.
Itu kalau mereka beruntung.
Crucio !
Sosok itu menggelepar di tanah. Jelas ia mencoba menahan kesakitan yang sangat. Tetapi tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya, apalagi meminta ampun.
Keras kepala. Sosok yang berdiri di dekatnya, mengacungkan lagi tongkatnya, mengulang kutukannya, dengan level ditingkatkan.
Bertahan, Severus. Kau sudah pernah mengalami yang seperti ini. Bertahan. Kau kuat Severus.
Dia menghentikan kutukan itu. Sosok di tanah itu mencoba bernapas, mencoba bangkit, tetapi gagal dan tersungkur kembali ke tanah.
"Severus, .. sobat ..," pria berwajah mengerikan itu mendekatinya, menarik kerah jubahnya, "ke mana saja kau selama ini, hmm ? Aku tahu apa yang kau inginkan," disusul tawa mengerikan.
Ia melepas pegangannya dari kerah jubah Snape, lalu mengucapkan lagi mantra.
Tahan, Severus. Kau kuat. Kau bisa. Jangan menyerah.
Ia menghentikan lagi kutukannya.
"Sobat, .. kalau kau mengira ini adalah semuanya, kau salah besar," tawa mengerikan lagi, Snape bisa merasa para Pelahap Maut yang mengelilinginya pun menertawakannya, dalam diam.
"Ini justru baru permulaan," dia menjentikkan jarinya dan salah seorang Pelahap Maut maju menyerahkan sesuatu seperti sebuah tabung kecil. "Aku akan memberimu sesuatu. Sesuatu yang sangat kausuka. Ramuan. Ramuan selalu menjadi bidang favoritmu, eh ?"
Pria itu berlutut mendekat, menjambak rambut Snape, mendongakkan kepalanya, memaksanya membuka mulut lalu menuangkan cairan kental kehitaman yang terasa panas membakar tenggorokan Snape.
"Kau tahu kutukan Imperium, Severus ? Kita sering melakukannya bersama-sama di masa lampau, kau ingat ? Betapa menyenangkan bukan, melihat mereka memenuhi perintah kita," Pria itu berdiri lagi membuang tabung yang kosong, "Kini aku menciptakan Cairan Imperium. Dan kau mendapat kehormatan untuk mencobanya pertama kali," tawa itu terdengar lagi.
"Berbeda dengan kutukan Imperium yang harus selalu diulang manakala kekuatannya telah memudar, maka ramuan ini akan terus bekerja seumur hidupmu. Sampai kau selesai memenuhi apa yang aku perintahkan," Dia merendahkan badannya lagi, seolah agar semua ucapannya tak ada yang terlewatkan.
"Bunuh Dumbledore. Ya, pecinta Darah-Lumpur itu. Tidak, bukan Harry Potter, dia akan kutangani sendiri. Tapi, Dumbledore, dia percaya penuh padamu," tawa lagi.
"O, ya," sahutnya menyebalkan, seolah ada sesuatu yang tidak sengaja terlupa, "kau harus tahu, Severus, bahwa setiap usahamu untuk menentangku, setiap mantra yang kau ucapkan untuk melawanku, atau untuk mencegah Dumbledore terbunuh, akan mengurangi kekuatan sihirmu. Mm .. kita lihat, yah, barangkali dua atau tiga kali expecto patronum akan menghabisi seluruh kekuatan sihirmu. Kau akan kehilangan seluruh kekuatan sihirmu. Kau akan hidup tak beda dengan Muggle," tawa itu semakin mengerikan.
"Tetapi jika kau memenuhi permintaanku, maka kekuatan sihirmu akan bertambah dengan pesat,"
Bicaranya terhenti dengan kedatangan seorang Pelahap Maut, yang langsung mendekatinya, membisikkan sesuatu.
"Apa ? Harry Potter ? Dugaanmu, ya mungkin saja. Hancurkan portkey mereka, lacak keberadaan mereka. Seperti yang lalu, bunuh kawannya, tangkap Potter hidup-hidup. Sementara itu .. " ia melemparkan pandangan pada Snape, "kurung dia, kelilingi dengan pelacak sihir,"
Beberapa Pelahap Maut menyeret paksa Snape dan mengurungnya di sebuah ruangan mirip sel, lalu semuanya mengikuti tuannya pergi.
Snape terduduk di sudut dengan lemah, memikirkan kemungkinan untuk lolos. Beruntung sebelum pergi Dumbledore membekalinya dengan Kantung Gaib. Ketiga permata itu telah aman di dalamnya. Tidak akan ada yang bisa mengetahui, kecuali dia memberitahunya.
Kau harus berjanji akan kembali. Aku .. tidak sanggup kehilangan lagi
Snape tidak tahu apakah kali ini ia bisa menepati janjinya.
Lamunannya terputus ketika ia mendengar seperti ada suara. Ditajamkan pendengarannya dan .. kecurigaannya terwujud ketika ia melihat dua kepala tersingkap dari sesuatu, satu berambut merah, satunya lagi berkacamata.
Tentu saja. Potter dan Weasley. Jubah Gaib itu ..
"Potter," serunya tertahan, "sedang apa kau di sini ?"
Harry mengacuhkan pertanyaannya, "Profesor, anda baik-baik saja ?" sambil mendekat membuka seluruh jubah gaibnya. Tangannya merogoh jubah hendak mengeluarkan tongkatnya.
Tetapi gerakannya terbaca oleh Snape, "Jangan, jangan gunakan sihir, mereka akan melacakmu,"
Gerakan Harry terhenti. Snape merogoh jubahnya, mengeluarkan kantung tak terlihatnya, "Potter, aku sudah mendapatkan permatanya, bawalah pada Lyra, .. emm, maksudku, Miss Fern,"
Harry berani bersumpah bahwa wajah pucat Snape berubah merah ketika menyebut nama Lyra.
"Sir, kami tidak akan pergi tanpa Anda," katanya keras kepala. Sebelum Snape bisa membantah, Harry mengangguk pada Ron, yang segera saja mengerti, merogoh-rogoh saku celananya.
"Trik Muggle lagi, Harry," katanya sambil nyengir, mengeluarkan sebatang jepitan rambut dari logam. Ia mengorek-ngorek kunci pintu sel dengan logam itu sampai terdengar bunyi "klik", dan kunci-pun terbuka.
Berdua mereka masuk, membantu Snape berdiri tanpa menghiraukan protesnya, lalu memapahnya keluar. Perlahan mereka berjalan menjauhi bangunan itu, menuju kegelapan hutan.
"Portkey itu, siapa .."
"Mr Lupin yang membuat, Sir. Tadinya ia dan Sirius, .. maksudku Mr Black, yang akan kemari menolong anda, tetapi .." Harry tidak melanjutkan ucapannya. Sinar bulan purnama menyusup masuk di sela-sela pepohonan yang belum begitu rapat disekeliling bangunan tadi.
"Aku mengerti," gumam Snape, "Jadi Lupin berubah menjadi .. dan Black mengejarnya untuk mengendalikannya,"
Harry mengangguk, tak ingat kalau anggukannya tak terlihat dalam keremangan.
"Mereka tahu, atau adakah orang lain yang tahu kalian ke sini ?"
"Tidak, Sir,"
"Sempurna," desis Snape. Harry tak tahu harus menjawab apa, maka ia diam saja.
Mereka terus berjalan perlahan melewati pepohonan, tiba di tempat yang agak terbuka, tempat portkey mereka tadi.
"Di sini tadi portkey kita berada," gumam Ron keheranan mencari-cari.
"Kemana ya ?"
"Sudah aku hancurkan," sebuah suara terdengar bergema, disusul tawa mengerikan.
Harry terkesiap, dan merasakan Ron membeku di sampingnya.
Sosok pemilik suara itu nampak semakin jelas mendekati mereka.
"Hahaha, .. Harry Potter yang terkenal itu, .. yang beberapa kali lolos dariku. Mau ke mana kau sekarang ? Dan siapa yang akan membantumu ? Kepala Sekolah pecinta Darah Lumpur itu tidak di sini. Ibumu sudah tidak ada,"
Ia semakin dekat .. semakin dekat .. dan dekat ..
"Ah, ya. Aku lupa. Kau punya Guru Ramuan-mu tentu saja. Tetapi aku harus mengatakan sesuatu. Dia-sudah-tidak-bisa-melakukan-sihir-lagi," Voldemort mengatakan kalimat terakhir itu dengan penekanan tiap kata, lalu terkekeh kejam.
"Dia hanya bisa melakukan sihir, untuk melaksanakan kehendakku: membunuh Dumbledore. Dan kau sendiri, Harry .. aku akan membunuhmu hari ini,"
Avada Kedavra
Expelliarmus
Dalam hitungan sepersekian detik keduanya sudah mengeluarkan tongkat. Dan peristiwa yang sama dengan tahun lalu terjadi lagi. Priori Incantantem. Sinar hijau dari tongkat Voldemort dan sinar merah dari tongkat Harry, bertabrakan lagi di udara, dan menghasilkan cahaya kecil keemasan. Keduanya terangkat dari tanah, persis seperti tahun lalu, dengan tangan bergetar menahan tongkat masing-masing.
Namun kali ini berbeda, Harry sadar benar. Tahun lalu Voldemort baru saja bangkit kembali, dan kekuatannya belum sepenuhnya pulih. Tahun ini ia pasti sudah lama melatih dan mempersiapkannya .. Manik-manik besar cahaya yang meluncur pada benang yang menghubungkan kedua tongkat .. perlahan merayap mendekatinya. Harry merasa tongkatnya bergetar lebih hebat dari sebelumnya.
Harry berusaha keras mempertahankannya. Tetapi manik-manik itu semakin cepat mendekatinya, dan Harry merasa tongkatnya semakin panas.
"Sekarang, Weasley !" suara itu serasa antara terdengar dan tidak. Suara Snape.
"Absit Invidia !" sayup-sayup Harry seperti mendengar suara Ron. Dan jaringan benang keemasan di antara kedua tongkat seperti dipecah oleh suatu sinar kebiruan, pucat. Perlahan Harry memperhatikan bahwa manik cahaya di tengah benang keemasan itu menjadi kebiruan pula. Tetapi tongkatnya masih bergetar hebat, dan manik itu masih bergerak mendekatinya …
