B A B 1 9

Tubuh Ron membeku kaku melihat pemandangan di hadapannya. Penyihir yang ditakuti setiap orang, yang bahkan namanya pun tidak berani disebut, kini ada dihadapannya. Dan sedang berduel dengan sahabatnya. Tidak ada yang dapat ia mintai pertolongan. Tidak ada tempat untuk menghindar.

"Sekarang, Weasley !" sebuah suara di belakangnya terdengar jelas. Sebelum benaknya mampu mengolah, tangannya refleks mengacungkan tongkatnya, dan suaranya terdengar nyaring "absit invidia !"

Sinar kebiruan yang biasa keluar dari tongkatnya saat latihan, kini keluar lagi. Hanya terlihat lebih pucat. Dan, Ron baru menyadari bahwa antara latihan tanpa target dengan kenyataan, sungguh berbeda. Tongkatnya itu kini terasa berat, bergetar hebat. Ia mencengkeramnya keras-keras, untuk mencegahnya terlepas.

Secepat itu ia membaca situasi dan memahami bahwa manik-manik di tengah benang keemasan yang menghubungkan tongkat Harry dengan Kau-Tahu-Siapa, harus dipaksa menjauhi tongkat Harry. Jangan sampai gagal .. jangan sampai gagal ..

Tetapi selain merasa tongkatnya bertambah berat, ia juga melihat sosok yang .. kalau bisa lebih baik dihindari .. Seekor laba-laba raksasa, mungkin dua meter tingginya, merayap mendekatinya. Noktah merah itu terlihat jelas di perutnya .. Black Widow .. ukuran raksasa ..

Panik Ron berusaha tetap mempertahankan tongkatnya, dan sinar kebiruan yang dihasilkannya.

Aku bisa .. Aku bisa .. Aku bisa .. Laba-laba itu hanya ilusi .. Harry akan mati jika aku melepaskan .. Aku bisa .. aku bisa ..

Mendadak ia merasa suatu aliran hangat di bahunya. Tongkat Snape menyentuh bahu kanannya. Ia terus memusatkan konsentrasinya,. Mengusir ilusi laba-laba itu. Berhasil. Laba-laba itu memudar, dan ia serasa mendapat dorongan tenaga baru.

Manik-manik itu kini bergerak mendekati Voldemort. Makin cepat dan makin cepat, mereka bisa melihat kepanikan mulai merayap di wajah Pangeran Kegelapan itu. Sampai akhirnya .. manik itu menyentuh tongkat Voldemort, meledak dengan suara keras beserta percikan api dan asap bergulung-gulung.

Serpihan tubuh pun melayang di udara.

Tongkat itu meledak, bersamaan dengan pemiliknya.

Harry, Ron, dan Snape terlempar beberapa meter ke belakang.

Perlu beberapa menit bagi Harry untuk menyadari apa yang terjadi. Benarkah apa yang ia lihat barusan ? Apakah matanya tidak menipunya ?

Barisan Pelahap Maut yang menjerit-jerit kaget, lalu bubar berlari tak tentu arah ketakutan, membuat Harry cepat tersadar. Voldemort memang telah hancur. Apakah ia hancur untuk selamanya, atau akan bangkit kembali, tak jadi soal. Yang penting, saat ini ..

Harry melihat Ron-pun mulai berusaha untuk bangkit. Masih shock akan apa yang dialaminya, suaranya lirih terbata-bata, "apa .. apakah .. dia .. mati ? apa yang kita .. lakukan .. tadi ?"

Harry menggeleng, "Aku tak tahu Ron. Aku tak tahu," Lalu seperti bersepakat, keduanya mendekati Snape.

"Profesor," Harry membantunya duduk, "anda tidak seharusnya melakukan .." Harry bisa melihat ada darah segar menetes di sudut bibirnya. Ron membantu Harry membawa Snape ke tempat yang lebih nyaman,.

"Aku tidak melakukan apa-apa, Potter, Weasley yang membantumu,"

"Tetapi anda yang memberi energi, Sir," bantah Ron, "dan itu sama saja dengan anda melakukannya sendiri. Anda tahu aku belum cukup mampu untuk Supportium,"

Snape mengumpulkan tenaga cukup lama untuk menjawab pertanyaan mereka. Harry melihat ke sekeliling. Andaikan ia bisa menemukan sedikit air, atau apalah ..

"Kau tahu apa inti Supportium, Weasley ?" Ron menggeleng.

"Absit Invidia. Let there be no envy or ill will. Intinya adalah dukungan. Dukungan pada sihir apapun yang sedang dilakukan partnernya." Snape berhenti mengumpulkan napas lagi, "Tetapi ini hanya akan membantu sesuai kata hati yang tulus. Karena itu aku memilihmu,"

"Karena saya dan Harry bersahabat ?"

"Sejak awal sudah kutanyakan, apakah kau bersedia mati untuknya jika perlu, bukan ?"

Ron mengangguk.

"Hanya sekedar laba-laba tak menganggumu, ternyata,"

"Anda tahu ?"

"Aku melihatnya juga,"

"Sir, mengapa Ron ?"

"Dumbledore menugaskanku untuk menguasai sihir ini. Cukup berat, bahkan untuk kemampuanku," Harry teringat latihan-latihan Snape di ruang kelas kosong, "tetapi ini semua akan sia-sia jika aku yang melakukannya sendiri. Kau tahu, Potter, sihir ini akan membantu sesuai kata hati penggunanya,"

"Berarti ..," Harry tak berani meneruskan.

"Aku pernah mendukungnya, Potter, aku tidak akan menyangkal. Dan aku membencimu, kau tahu itu. Bayangkan jika aku sendiri yang melakukan, siapa yang akan diuntungkan ?"

Harry bergidik. Tapi kemudian secercah kesadaran merasuki hatinya. Snape pernah mendukung Voldemort. Dan Snape membencinya. Jika Snape sendiri yang melakukan Supportium .. karenanya ia merencanakan melatih Ron ..

Ini sudah cukup membuktikan di pihak mana Snape berada. Tak ada yang perlu diragukan lagi. Dan kenyataan bahwa ia masih melakukan sihir setelah ancaman Voldemort bahwa ia bisa kehilangan kemampuan sihirnya ?

Tapi tak ada waktu untuk merenung.

Hawa mendadak menjadi dingin.

Dingin yang tak wajar.

Dementor.

Harry menyiapkan tongkatnya, maju beberapa langkah meninggalkan Snape. Digamitnya Ron, agar mengikuti langkahnya.

"Aku tahu ini tidak akan mudah, Ron," bisik Harry, "jika mereka mendekat, konsentrasi pada satu peristiwa yang paling menyenangkanmu, lalu katakan Expecto patronum,"

"Expecto Patronum," Ron mengulang, sambil menyiapkan tongkatnya juga.

Makhluk-makhluk menyeramkan itu kini semakin dekat, semakin jelas. Entah ada berapa jumlahnya, Voldemort telah sukses menggalang kekuatan mereka rupanya.

Harry menggenggam tongkatnya bersiap. Ia dapat merasakan Ron juga rupanya sama nekat sepertinya.

Mereka semakin dekat .. semakin dekat .. dan ..

"EXPECTO PATRONUM !"

Seekor rusa jantan dengan tanduk bercabang berkilau keperakan, seekor beruang besar, dan .. seekor rajawali raksasa menyambar-nyambar menghalau Dementor itu sejauh-jauhnya.

Harry ternganga melihatnya, dan tersentak sedetik kemudian. Ia menoleh, mendapati Snape juga tengah mengangkat tongkatnya.

"Sir !" serunya, tepat waktu untuk menyangga tubuh Snape yang limbung, roboh ke tanah.

Setelah para dementor itu tak terlihat lagi, ketiga Patronus itu perlahan kembali ke arah tongkat masing-masing dan berubah menjadi asap, menipis, menghilang.

Ron terdiam beberapa saat, memulihkan kekagetannya. "Tak kukira ..," tapi tak diselesaikan kalimatnya melihat kondisi Snape.

"Bagaimana ?"

Harry menggeleng. "Ia terlalu memaksakan diri,"

Ron menatapnya sedih. Sebelum akhirnya ia teringat sesuatu, merogoh-rogoh saku celananya, mengeluarkan sepotong coklat Honeydukes, memotongnya jadi tiga, dan membagikannya.

"Untung aku masih menyisakannya," gumam Ron. Snape tidak menolak, tapi tidak pula berkomentar.

"Aku pergi melihat situasi dulu," tawar Ron, "ke mana kira-kira kita akan melanjutkan perjalanan,"

"Hati-hati," sahut Harry. Ron mengangguk. Lalu menghilang di balik pepohonan, setelah menyelakan tongkatnya dengan Lumos

Sesaat hening, hingga Harry mengira Snape tertidur atau bahkan pingsan. Tetapi ..

"Kenapa kalian tidak tinggalkan saja aku," aneh rasanya mendengar suaranya.

"Anda bicara apa, Profesor. Kami tidak mungkin meninggalkan anda seperti ini,"

"Keras kepala,"

Hening lagi. Tak lama kemudian,

"Ah, ya, Aku lupa. Tentu saja, kalian kan Gryffindor. Mana mungkin .."

Harry merasa marah, "Sir, tidak pernah terlintas pada pikiran kami, bahwa kami mengerjakan semua ini hanya karena kami anak Gryffindor. Dan kalau anda ingin tahu, Topi Seleksi sudah akan memasukkan saya ke Slytherin saat itu,"

Alis Snape terangkat. Harry tidak menghiraukannya, meneruskan, "Katanya saya akan mencapai kemasyhuran dengan berada di Slytherin. Bahkan, ketika kelas dua saya dipanggil ke ruang Kepala Sekolah, " Harry tidak memberitahu kenapa, "Topi Seleksi masih bersikeras bahwa saya lebih cocok untuk Slytherin. Saya akan jadi penyihir hebat di Slytherin,"

Senyum aneh terukir di bibir Snape, "Bayangkan jika itu memang terjadi .. anak Potter di asramaku .."

Hening lagi. Keheningan itu baru terpecahkan ketika Ron datang dengan muka kusut.

"Pepohonan ini hanya selapis, tapi kemudian kita dikelilingi rawa di mana-mana. Sulit untuk melakukan perjalanan darat,"

"Andai kita punya Hippogriff sekarang, di sini .."

Mendadak Ron tersentak, seperti ada yang menyalakan lampu di kepalanya, "Yah, benar. Kenapa tidak ?" Dan sebelum Harry bisa menebak ke arah mana pikirannya berjalan, Ron sudah merogoh-rogoh saku jubahnya, mengeluarkan sebuah benda logam pipih berkilat, lalu meniupnya tanpa pikir panjang.

"Ron !" Harry tercekat. Peluit Naga ?

Tetapi tidak ada waktu untuk berpikir lebih lama lagi. Sekawanan dementor mendekat lagi. Mungkin sisa-sisa yang tadi.

Harry ragu. Mereka semua baru saja melepas Patronus, dan ia ragu apakah bisa melepas lagi dalam waktu singkat. Ron, baru pertama kali berhasil, mungkin ia belum siap lagi. Snape, kondisinya sudah semakin lemah.

Jadi sekarang semuanya bergantung padanya. Harry menyiapkan tongkatnya lagi. Pada saat yang bersamaan ia melihat Ron dan Snape juga menyiapkan tongkatnya.

"Profesor, tapi anda .." Harry tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena ia mendadak melihat bahwa para dementor itu seperti disemprot oleh semburan api raksasa. Sekejap saja mereka membeku gosong kehitaman seperti patung.

Mereka bertiga, bahkan Snape, terkesiap melihat seekor naga raksasa mendarat di hadapan mereka. Ia mengeluarkan geraman keras dan mencari kesana kemari.

Harry tak sempat berpikir panjang. Kakinya tidak bisa diajak kompromi untuk melarikan diri.

Tapi tak perlu. Karena naga itu melihat mereka, sama sekali tidak menggeram, apalagi menyemburkan api. Ia merendahkan kepalanya agar bisa menyentuh … Ron .. dan hanya menguik-nguik seperti seekor anak anjing.

Mendadak Harry tersadar.

"Ron !" seru Harry tertahan melihat Ron mematung, masih memegang erat tongkatnya, ketakutan, "dia Norbert, Ron !"

"Norbert ?"

"Ya. Ingat tidak waktu giliranmu memberi makan, kau digigitnya ? Ia mengenalimu, Ron !"

"Norbert ?" Ron ragu tapi tangannya yang tidak memegang tongkat dengan gemetar diangkatnya untuk mengusap-usap moncong naga itu, hati-hati. Makhluk besar itu memejamkan matanya, menguik-nguik kesenangan dibelai-belai Ron.

"Norbert .. Norbert .. Kaukah ini ?" Ron ingin lebih yakin. Naga itu mengangguk-angguk seolah mengerti. Ron yakin kini, ia mengusapnya dengan penuh perasaan.

"Norbert, maukah kau menolong kami ?" Naga itu membuka matanya.

"Bawa kami kembali ke Hogwarts, Norbert. Hogwarts, kau ingat ? Mama Hagrid ?"

Norbert mengangguk-angguk, lalu merendahkan lehernya agar mereka semua bisa naik. Harry ragu sejenak sebelum membantu Snape naik, takut ia tersinggung, tetapi ternyata ia tidak menolak dibantu.

Seperti mimpi rasanya melintasi daratan Inggris naik naga di waktu malam. Hawa dingin semakin menggigit, Harry merapatkan jubahnya. Ia dapat merasa tubuh Snape membeku di depannya. Apakah .. masih belum terlambat ?

Dalam kegelapan Harry seperti melihat pemandangan yang dikenalnya. Danau. Kastil. Pucuk-pucuk pepohonan HutanTerlarang. Mereka sudah tiba.

Memutar mengelilingi kastil, Norbert nampak seperti pesawat yang sedang mencari posisi tepat untuk mendarat. Ia mendarat tepat di lapangan depan pondok Hagrid. Pintu pondok segera terbuka, dan sosok raksasa itu keluar,

"Siapa itu berani-berani .." kata-katanya terhenti takjub melihat pemandangan di hadapannya.

"Hagrid, ini kami," teriak Harry, sambil berusaha turun, "Ini Norbert, Hagrid, kau ingat ?"

"Norbert ? Norbert ? Sayangku, ke mana saja kau ?" Hagrid mendekat tak percaya, airmatanya bercucuran.

"Hagrid, bantu kami dulu, membawa Profesor Snape ke rumahsakit. Nanti kau bisa menyapanya sepuas hati. Norbert, jangan pergi dulu, ya ?" Naga raksasa itu mendekam diam, mengangguk-angguk lagi.

Hagrid menurunkan Snape dengan sekali gerakan, dan membawanya ke rumahsakit diikuti Harry dan Ron dengan langkah-langkah setengah berlari.

"Ada apa Harry, apa yang terjadi, mengapa Norbert bisa ..?'

"Nanti saja Hagrid, ceritanya panjang. Yang penting menyelamatkan Profesor dulu,"

Mereka memasuki sal rumahsakit. Di sana ternyata sudah ada Dumbledore dan Sirius, disamping Hermione yang menemani Ginny.

"Harry, Ron !" pekik Hermione, yang segera teringat untuk menutup mulutnya. Ini rumahsakit ..

Hagrid membaringkan Snape yang nampak semakin pucat. Ia langsung keluar, tak sabar bertemu lagi dengan kesayangannya.

Harry bisa melihat sekilas airmuka lega Lyra saat mereka masuk.

"Kami semua mengkhawatirkanmu," Sirius membuka suara, "begitu aku berhasil mendampingi Remus kembali ke kamar, dan ia nampak sudah lebih tenang, aku melihat bahwa portkey kami sudah tidak ada. Ketika aku hendak melapor pada Kepala Sekolah, aku bertemu dengan Hermione yang hendak melapor kehilangan kalian," Sirius menatap tajam anak walinya dan temannya, yang cuma bisa nyengir merasa bersalah.

"Aku langsung tahu apa yang kalian coba lakukan. Tadinya jika kalian tidak kembali lewat tengah malam ini, aku akan menyusul. Baru saja aku memutuskan akan pergi, ketika kalian masuk .."

Kepala Sekolah memandangi mereka, tersenyum hangat, "Aku tahu, kalian akan bisa mengatasinya. Ceritakan,"

Harry dan Ron bergantian mencoba menyusun kembali apa yang mereka alami tadi, sambung-menyambung, melompat dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya.

"Kepala Sekolah, apakah .. apakah Dia benar-benar sudah mati ?" Ron mengajukan pertanyaan yang sedari tadi membuatnya penasaran.

"Tidak ada yang tahu, Ron. Tidak ada yang bisa mengetahuinya. Biar waktu saja yang menjelaskan nanti," sahutnya.

Lyra selesai memeriksa Snape. Wajahnya nampak suram, "Harry, kau tahu apa yang mereka lakukan padanya ?"

"Aku kurang jelas Lyra. Sejenis ramuan, yang membuatnya harus memenuhi keinginan Voldemort .." Harry memandang kepala sekolahnya, " .. untuk membunuh Anda. Setiap tindakan Profesor Snape untuk menentang perintah itu akan membuatnya kehilangan kekuatan sihirnya,"

"Dan ia menentangnya juga," Dumbledore terlihat prihatin.

"Ya. Satu Supportium, dan satu Patronum," Lyra tersentak kaget mendengar penjelasan Harry.

"Itu membutuhkan energi yang besar sekali. Kelihatannya ia memang sudah kehilangan kekuatan sihirnya,"

"Lyra, tidak adakah sesuatu yang dapat kita perbuat ?" Hermione terdengar sedih.

"Ada. Ramuan Revivalus,"

Sirius terdengar mengeluh. Hermione memekik pelan, sebelum membekap mulutnya sendiri.

"Kenapa ?" Harry tidak mengerti.

"Kalau aku tidak salah," Hermione menguraikan lambat-lambat, "Ramuan ini bisa mengembalikan kondisi seseorang sesehat seperti sebelumnya. Dalam keadaan sekarat sekalipun. Tetapi .. proses penyembuhannya bisa jauh lebih sakit dari penyakitnya sendiri,"

"Mengapa demikian ?"

Lyra mengambil alih, "Karena Revivalus bekerja sangat tuntas. Kalau kau hanya terkena racun ringan, ia hanya akan bekerja di lambungmu, kau akan segera memuntahkan racun itu, dan kau sembuh. Tetapi dalam kondisi seperti Seve .. maksudku Profesor Snape ini, Revivalus akan bekerja di setiap tetes darahnya, di setiap senti otot, tulang, dan semua organ tubuhnya."

Sirius menambahkan, "Tercatat beberapa penyihir yang justru mati karena kesakitan oleh cara kerja ramuan ini, bukan oleh racun yang sesungguhnya. Mereka minum Revivalus sendiri tanpa teman, tak ada yang mengawasi ketika mereka kesakitan, membentur-benturkan diri ke tembok atau semacamnya,"

Harry bergidik. Tak ada pilihan lainkah ?

Sosok tubuh di atas pembaringan itu bergerak. Lyra cepat mendekatinya. Snape tersadar, mengenali Lyra didekatnya. Ia mencengkeram tangannya, berusaha untuk berbicara, namun yang keluar hanya bisikan, "aku .. kembali,"

Lyra mengangguk, berusaha menenangkannya, menoleh pada Dumbledore minta bantuan. Dumbledore mendekat, duduk di sisi pembaringan., sementara Lyra bangkit menuju ke ruang penyimpanan obatnya.

"Aku senang kau kembali dengan selamat, Severus," Suaranya sejuk menenangkan, "Lyra sedang menyiapkan Revivalus. Jangan banyak bergerak dulu,"

Tetapi Snape malah berusaha untuk duduk, mencari-cari dalam jubahnya, menemukan sesuatu dan menyerahkannya pada Dumbledore, tanpa bicara. Dumbledore menyentuhkan tongkatnya, dan perlahan terlihat sebuah kantung mewujud. Ia membukanya, melihat ke dalamnya, dan mengangguk.

"Heart of Eternity. Mereka bisa terselamatkan,"

Lyra kembali dengan sebuah piala mengepulkan asap warna-warni. Snape memandang piala itu dengan enggan, seperti seorang anak yang dipaksa minum obat oleh ibunya.

Sirius maju mendekat, "Severus, kalau kau percaya padaku, bolehkah aku .. ?"

Snape memandang Sirius sejenak dengan ragu, tetapi sejurus kemudian ia mengangguk mantap, "terimakasih, Sirius," ucapnya lemah.

"Sambil duduk, atau berdiri ?"

"Kurasa berdiri lebih leluasa,"

Harry mengikuti percakapan mereka dengan heran. Tetapi ia segera melihat apa maksud Sirius. Ia membantu Snape turun dari pembaringannya, dan menyangganya agar berada dalam posisi berdiri. Sirius berdiri tepat di belakang Snape, kedua tangannya dilingkarkan ke dadanya seperti memeluk.

Lyra memberikan piala itu pada Snape, yang memejamkan mata menahan napas sebelum menghabiskan isi piala itu dalam sekali teguk.

Dumbledore mengacungkan tongkatnya pada Snape dan Sirius Quietus.

Harry sudah pernah mengalami kutukan Cruciatus tahun lalu ketika berhadapan dengan Voldemort. Nampaknya apa yang dialami Snape kali ini lebih dari kesakitan akibat Cruciatus. Harry menyaksikan profesornya itu meronta-ronta dengan liar. Mungkin saja ia akan membenturkan kepalanya di tembok, jika tidak ditahan oleh Sirius, yang nampak berusaha sekuatnya menjaga agar gerakan Snape tidak menjurus membahayakan. Dan, teriakan-teriakannya tentu akan mendirikan bulu roma, sekiranya tidak didiamkan oleh Dumbledore.

"Ayo, kini giliranmu dan Ron diperiksa," Lyra tidak menghiraukan protes keduanya, bahwa mereka baik-baik saja. Harry kemudian tahu bahwa Lyra tidak tega melihat Snape kesakitan. Dan memeriksa mereka berdua setidaknya bisa mengalihkan perhatiannya.

"Kalian tidak apa-apa, syukurlah. Tetapi malam ini lebih baik kalian tetap tinggal di sini. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa keributan yang akan terjadi bila kalian kembali ke asrama," Lyra melemparkan piama kepada keduanya.

Rasanya seperti tidak pernah akan berakhir, namun Lyra kemudian membawa sebuah baskom besar ke dekat bilik Snape, "kukira sudah akan selesai," gumamnya lebih pada dirinya sendiri. Dan ia benar. Gerakan Snape mulai melemah. Sirius membimbingnya mendekati baskom yang disediakan Lyra, dan Snape memuntahkan sejumlah besar cairan kental kehitaman.

"Ramuan Imperium," desis Lyra. Dumbledore kembali mengacungkan tongkatnya Sonorus dan mereka dapat mendengar lagi suara Snape maupun Sirius.

Sirius kembali membimbing Snape ke pembaringannya. Setelah yakin Snape dalam posisi yang nyaman, ia kembali ke sisi Dumbledore. Harry bisa melihat sekujur tubuhnya penuh keringat.

"Kukira aku pergi melihat Remus dulu, Kepala Sekolah," katanya setelah menenangkan napasnya. "ia juga tentu ingin tahu kabar baik ini,"

"Apakah .. ia masih .." Harry ingin tahu.

"Masih. Ia masih berujud serigala. Tetapi ia sudah tenang. Kukira ia sudah dapat mengendalikan pikirannya,"

Dumbledore mengangguk padanya, dan Sirius beranjak menuju pintu.

"Sirius .. ,"

Langkahnya terhenti. Snape memanggilnya.

"Terima kasih,"

Sirius menggeleng, "Lupakan saja," Ia melangkah lagi, tapi Snape memanggilnya lagi.

"Severus, benar tidak apa-apa. Aku terbiasa melakukan ini .. setiap bulan,"

"Apakah .. Remus .. separah itu ?"

"Kurang lebih. Ia selalu dalam keadaan sadar bahwa ia tidak ingin menyakiti manusia. Jadi ia menyakiti dirinya sendiri. Semua dorongan untuk menggigit, mencakar, menerkam, .." suara Sirius hampa.

Snape tercenung.

Sirius meneruskan langkahnya membuka pintu dan meninggalkan rumahsakit.

Dumbledore kemudian menyusul, setelah memberi instruksi agar semua pergi tidur.

Hening sejenak. Lyra menawarkan Ramuan Penidur Tanpa Mimpi, tapi tak seorangpun menerima. Ia kemudian mengulangi instruksi Dumbledore agar semua tidur, sambil menggumam sendiri bahwa ia akan mulai meramu penawar untuk para penyihir dengan Heart of Eternity. Setelah mengecek kondisi Snape sekali lagi, ia kembali ke kantornya.

Setelah Lyra menghilang di kantornya, Ginny berbisik pada kakaknya,

"Ron,"

"Hmm,"

"Aku cemas sekali tadi,"

"Yang penting aku sudah kembali dengan selamat, kan,"

"Ron,"

"Apa lagi ?" Ron yang sedang berusaha untuk tidur, langsung terduduk.

"Kau bisa membayangkan apa kata Mum dan Dad bila mengetahui kau habis bertempur dengan .. dia ?"

Ron benar-benar tidak bisa membayangkan apa kata ibunya nanti.