E P I L O G

Bertahun-tahun kemudian ..

Hogwarts Express. Kereta itu baru saja meninggalkan stasiun King's Cross. Seorang pemuda sebelas tahunan, jangkung, tegap, berambut coklat dengan mata biru cerdas berkilat, menyusuri satu demi satu kompartemen. Semua rata-rata sudah penuh.

Sampai akhirnya ia menemukan satu kompartemen yang baru berisi dua orang anak seusianya.

"Boleh aku duduk di sini ?" tanyanya harap-harap cemas.

"Tentu saja," sahut kedua anak itu nyaris berbarengan, "kelas satu juga ?"

Ia mengangguk.

"O ya, kenalkan, namaku Pat. Patrick Sullivan," katanya mengulurkan tangannya, "aku tidak tahu bahwa aku penyihir hingga aku menerima surat dari Hogwarts. Orangtuaku bingung sekaligus senang mengetahui adanya penyihir dalam keluarga,"

"Aku Jim. James Potter," seorang dari mereka menyambut uluran tangannya. Ia berambut hitam berantakan dan mengenakan kacamata. Kulitnya tidak putih seperti orang Inggris pada umumnya, .. yah ..agak kekuningan-lah. Mungkin ada keturunan Cina ?

"Aku Rick. Richard Weasley," sahut yang satunya lagi, juga menyambut jabatan tangannya. Rambutnya merah bergelombang besar-besar. Pipinya penuh bintik-bintik. Giginya agak besar-besar menonjol membuat wajahnya berkesan jenaka. Tetapi ia punya mata biru yang cerdas juga.

"Kalian dari keluarga penyihir ?"

Mereka berdua mengangguk, "Orangtua kami bersahabat akrab. Kami juga sudah akrab sejak masih bayi, kata mereka, lho,"

"Kami berharap masuk asrama yang sama, Gryffindor. Kau juga kan ?"

"Aku tidak tahu. Belum tahu. Kalian tentu sudah tahu banyak tentang sihir. Aku pasti menjadi murid paling bego di kelas,"

"Aaah, jangan takut. Banyak orang yang berasal dari keluarga Muggle, dan mereka belajar dengan cukup cepat,"

"Rick, ibumu berasal dari keluarga Muggle, dan kukira dia tidak bisa dibilang belajar dengan cukup cepat,"

Rick nyengir, "Ya. Kalau dia sih harusnya dibilang belajar dengan sangat cepat. Dad berasal dari keluarga sihir, tetapi dia selalu kalah dalam pelajaran dibanding Mum. Konon Uncle Harry dan Auntie Cho juga," kata Rick mengarahkan pandangan pada Jim. Jim juga nyengir lebar.

"Muggle ? Apakah itu cara kalian menyebut .."

"Masyarakat non-penyihir, betul .."

Ketiganya segera saja merasa saling menyukai dan menjadi sangat akrab. Saat troli makan siang lewat, mereka menunjukan banyak makanan aneh-aneh yang tidak ada di dunia Muggle.

Hari sudah gelap ketika kereta berhenti di stasiun Hogsmeade. Mereka bertiga sudah menggunakan jubah masing-masing.

"Kelas satu ! Kelas satu, semua berkumpul di sini !" terdengar suara menggelegar. Pemilik suara itu adalah seorang tinggi besar berjanggut menyeramkan.

"Itu Hagrid," seru Jim senang, "jangan takut, Pat. Kelihatannya dia menyeramkan, tetapi sebetulnya dia baik, lho,"

"Hai, Hagrid," sapa Rick.

"Jim, Rick ! Jadi juga kalian masuk Hogwarts tahun ini. Apa kabar Harry, Cho, Mione, dan Ron ?"

"Mum dan Dad baik-baik saja, mereka kirim salam untukmu," seru kedua anak itu nyaris bersamaan.

Mereka kemudian mengikuti Hagrid berjalan menyusuri jalan yang sempit dan curam. Di kanan dan kiri mereka gelap sekali, pepohonan di situ pasti lebat. Ketika jalan sempit itu mendadak membuka ke tepi danau, terdengar seruan "Ooooh!" serempak. Di atas gunung tinggi di seberang danau, jendela-jendelanya berkilau terang, di bawah langit penuh bintang, bertengger kastil besar dengan banyak menara besar dan kecil.

Dengan naik perahu kecil-kecil masing-masing perahu empat anak, mereka menyeberangi danau. Mereka tiba di dinding bukit karang, melewati tirai sulur yang menyembunyikan lubang besar di dinding bukit karang itu. Mereka dibawa melewati lorong gelap, yang rupanya berada persis di bawah kastil, sampai mereka tiba di semacam pelabuhan bawah tanah. Mereka naik ke daratan berbatu karang dan kerikil.

Hagrid mengetuk pintu kastil tiga kali dengan kepalan raksasanya. Pintu terbuka, seorang penyihir wanita sudah tua sekali dengan jubah merah hati menyambut mereka di sana.

"Kelas satu, Profesor McGonagall,"

"Baik, Hagrid, terimakasih. Aku ambil alih dari sini,"

Penyihir wanita itu membawa mereka melintasi sebuah Aula yang besar dengan lantai kotak-kotak, membawa mereka ke sebuah ruangan kecil di sampingnya, dan menyuruh mereka menunggu di sana.

"Aku agak takut padanya," bisik Pat.

"Kata Mum, asal kita taat aturan dan disiplin, dia sebenarnya baik dan penuh perhatian," sahut Rick menenangkan, entah menenangkan Pat atau dirinya sendiri.

Akhirnya mereka memasuki Aula Besar. Aula ini sudah penuh dengan murid-murid kelas yang lebih tua.

"Woow," seru Pat kagum melihat dekorasinya.

"Disihir supaya tampak seperti langit di luar. Mum membacakannya untukku dari Sejarah Hogwarts," Rick menimpali.

"Sekarang apa ?" tanya Pat lagi.

"Kita akan ditentukan asrama. Katanya kita harus melewati sebuah tes. Tapi Mum dan Dad tidak mau memberitahuku tes macam apa yang harus kita kerjakan," Jim menjawab.

"Kata Uncle Fred, kita harus berkelahi melawan Troll .."

Pat bergidik. Dia tidak tahu apa itu Troll, tetapi mendengar kata berkelahi, pastilah itu sesuatu yang menakutkan ..

Profesor McGonagall meletakkan bangku berkaki empat di depan mereka. Di atasnya ia meletakkan sebuah topi sihir berujung runcing, yang sudah bertambal, berjumbai, dan kotor sekali. Topi itu lalu membuka sayatan lebar di bawahnya, rupanya berfungsi sebagai mulut, dan mulai bernyanyi tentang keempat asrama yang ada di Hogwarts berikut syarat masing-masing penghuninya. Di akhir lagunya ia berseru "pakailah aku dan ketahuilah asramamu !"

"Jadi itu!" seru Rick gemas, "awas, kuadukan Uncle Fred pada Auntie Angie karena membuatku ketakutan ..,"

Mereka bertiga akhirnya memang masuk Gryffindor.

Duduk di meja Gryffindor, Pat bisa melihat Meja Tinggi tempat guru-guru dengan jelas. Ada seorang guru mungil, mungil sekali, kelihatannya ia duduk di atas sesuatu yang ditumpukkan di atas kursinya agar duduknya sejajar dengan guru-guru lain. Ada seorang guru wanita pendek gemuk dengan topi bertambal dan rambut seakan beterbangan. Yang duduk di tengah itu pastilah Kepala Sekolah Albus Dumbledore dengan janggut dan rambutnya yang panjang keperakan. Dan guru berikutnya entah mengapa membuat Pat merinding. Yang seorang berambut hitam lurus berminyak, dengan hidung bengkok dan wajah pucat. Ia bercakap dengan guru di sebelahnya, berambut coklat muda dengan banyak senyum.

"Siapa dia ? Kelihatannya menyeramkan," Pat menyenggol Jim.

"Oh, itu. Profesor Snape. Guru Ramuan kita. Dad bilang, kelihatannya saja dia menyeramkan, dan kata-katanya juga tajam. Dia juga suka sekali memotong poin asrama atau memberi detensi. Tetapi .. hatinya baik kok,"

Pat tidak bisa mengerti bagaimana orang yang suka memotong poin dan memberi detensi bisa dikatakan baik.

"Satunya lagi, Profesor Lupin. Guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Dia dulunya manusia serigala,"

"Haa .. ?" Pat melongo.

"Ya, sampai Profesor Snape menemukan ramuan yang bisa menyembuhkannya,"

"Kelihatannya mereka bersahabat akrab,"

"Dad bilang mereka dulunya musuh bebuyutan,"

"Ah, masa .. ?" Pat tidak habis pikir. Banyak betul keanehan di dunia sihir ini ..

"Iya, hingga mereka melawan Lord Voldemort, penyihir yang terjahat saat itu. Masa itu mereka bahkan tidak berani menyebut namanya. Kau baca sajalah nanti di Sejarah Sihir .. Pokoknya mereka terpaksa harus berkerja sama, termasuk dengan Chief Auror kita saat ini, Sirius Black. Sejak saat itu mereka nampak bersahabat," Jim menjelaskan pada Pat yang nampak semakin keheranan saja.

Pembicaraan mereka terhenti ketika piring-piring di hadapan mereka tiba-tiba saja sudah terisi dengan berbagai makanan yang mengundang selera. Setelah Kepala Sekolah mempersilakan makan, segera saja mereka sibuk mengisi perut masing-masing.

Dari atas Meja Tinggi, Snape memandangi mereka tanpa mereka sadari.

Jadi, mereka telah datang, batinnya. Potter, Chang. Matanya melihat anak berambut hitam berantakan berkacamata. Weasley, Granger. Rambut merah bergelombang itu. Tidak akan salah lagi. Mereka nampak akrab dengan seorang anak yang dia tidak kenal. Mungkin dari keluarga Muggle.

Peristiwa macam apalagi yang akan mereka buat kali ini, hatinya bertanya-tanya. Namun sebuah suara lain dalam hatinya menenangkan. Tenang, Severus, suara itu berkata, biarkan saja mereka. Bukan urusanmu lagi, sudah bukan masamu lagi.

Diam-diam ia membenarkannya. Matanya beralih ke meja Ravenclaw. Seorang pemuda tinggi tegap, dengan rambut hitam lurus, meski tidak berminyak seperti dirinya, terlihat sibuk mengatur dan ramah menyapa anak-anak baru Ravenclaw. Sebastian Snape. Kelas tujuh, Ketua Murid. Cerdas dan cemerlang dalam pelajaran, juga di lapangan Quidditch. Dan dia juga punya bakat istimewa, mudah disenangi orang banyak. Pastilah itu warisan dari ibunya, Snape tersenyum sendiri, mengingat tidak banyak orang yang bisa dikatakan menyenanginya. Lain dengan .. hmm, .. ibunya Sebastian. Semua orang menyukainya. Saat Madam Pomfrey mengajukan pensiun beberapa tahun lalu, Dumbledore tidak membuang-buang waktu untuk memilih kandidat matron lain. Dan mereka bisa bersama-sama selalu, kini.

Yah, biar saja Sebastian yang menangani gerombolan Potter itu jika mereka membuat ulah, pikir Snape senang. Ia merasa lebih baik memusatkan perhatiannya pada masalah lain. Misalnya, pada keputusan Dumbledore untuk pensiun tahun depan. Dan tawaran beliau yang gencar padanya, agar ia mau menggantikannya.

Tapi ia tahu pasti apa yang akan dilakukannya. Ia tidak akan membiarkan Hogwarts memiliki Kepala Sekolah yang ditakuti murid-muridnya. Ia tersenyum sendiri. Kepala Sekolah Hogwarts haruslah seorang yang bijak. Dan selalu berkepala dingin, dalam menghadapi masalah apapun.

Dan itu tidak dimilikinya. Tapi ia tahu siapa yang memiliki kapasitas seperti itu. Ia tersenyum memandangi guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam di sebelahnya.

Besok pagi akan kuajukan namanya pada Dumbledore.

Don't lose your way

With each passing day

You've come so far

Don't throw it away

Keep believing

Dreams are for living

Wonders are waiting to start

Live your story

Faith hope and glory

Hold to the truth in your heart

If we hold on together

I know our dreams

Will never die

Dreams see us through

To forever

Where clouds roll by

For you and I

Souls in the wind

Must learn how to bend

Seek out a star

Hold on to the end

Valleys, mountains

There is a fountain

Washes our tears all away

Worlds are swaying

Someone is praying

Please let us come home to stay

If we hold on together

I know our dreams

Will never die

Dreams see us through

To forever

Where clouds roll by

For you and I

When we are out there

In the dark

We'll dream about the sun

In the dark

We'll feel the light

Warm our hearts

Everyone

If we hold on together

I know our dreams

Will never die

Dreams see us through

To forever

As high

As souls can fly

The clouds roll by

For you and I

(If We Hold On Together - Diana Ross

Theme from The Land Before Time)

S E L E S A I